Wawancara dengan
Abu ‘Ubaydah al-Lubnaniy :
Al-Qo’idah Telah Berubah Menjadi Ikhwaniy (IM)
Pada putaran terakhir dari
pertemuannya dengan an-Naba’, mantan penanggung jawab keamanan Al-Qo’idah
Khurosan menyingkap bagaimana Revolusi Arab berpengaruh terhadap tersingkapnya
manhaj menyimpang yang dimiliki oleh al-Qo’idah, serta membeberkan sikap-sikap para
pemimpin al-Qo’idah dalam memandang syirik demokrasi dan orang-orang yang berkecimpung
di dalamnya.
An-Naba’: Anda telah menyebutkan kepada kami pada pertemuan
terakhir yang menyatukan kita bahwa Anda merasa terpukul dengan
realitas-realitas al-Qo’idah setelah kedatangan Anda ke Waziristan. Apa
penyebab keterpukulan sebagaimana yang Anda gambarkan ini?
Abu ‘Ubaydah: Segala puji bagi Alloh
semata. Sholawat semoga terlimpah kepada dia yang tiada nabi setelahnya. Wa ba’d, jika seseorang telah melukiskan dalam benaknya sebuah gambaran
yang gemilang tentang sesuatu atau seseorang, lalu terbukti bahwa semua yang digambarkannya
itu tidak lebih dari sekadar ilusi, maka tidak diragukan bahwa dia akan merasakan
pukulan keras. Inilah yang terjadi pada saya dan pada banyak orang seperti saya
yang masuk ke al-Qo’idah pada fase Waziristan. Saya akan menyebutkan di sini
seorang dari muhajirin yang paling terkenal pada fase tersebut, yaitu Abu
Dujanah al-Khurosaniy —taqobbalahulloh— pelaku aksi Khost yang
terkenal terhadap para perwira CIA dan intelijen Jordania. Dia telah tertimpa
dengan apa yang menimpa saya setelah melihat al-Qo’idah secara nyata setelah
bertahun-tahun memberikan dukungan kepadanya melalui forum-forum jihad. Dia
telah menggambarkan kondisi al-Qo’idah ketika saya bertanya kepadanya tentang pendapatnya
mengenai apa yang telah ditemukannya, dengan berkata: “al-Qo’idah tampak seperti
nenek tua.” Maksudnya, karena kelemahannya, sedikitnya trik para pemimpinnya, dan
hilangnya kewibawaannya di wilayah-wilayah Waziristan.
An-Naba’: Apakah kondisi ketuaan dan kelemahan yang menimpa
Tanzhim merupakan faktor yang cukup, menurut Anda, yang menyebabkan pendatang
baru merasa terpukul?
Abu ‘Ubaydah: Tentu saja tidak. Bukan ini
saja penyebabnya. Tetapi jika Anda ingat, media pada fase pasca serangan
September menggambarkan Tanzhim al-Qo’idah dengan potret yang sangat
dibesar-besarkan. Dan sayang sekali, Tanzhim terpukau dengan deskripsi yang berlebihan
tentang kapabilitasnya ini. Mulailah ia mengutip perkataan setiap orang yang mempopulerkan
potret ini dalam rilisan-rilisan videonya dan dalam media tidak resmi yang dikelola
oleh para pendukung Tanzhim di jaringan internet. Tetapi ketika kami mengetahui
realitas yang sebenarnya di Waziristan, kami mengerti bahwa Tanzhim di sana
merupakan sebuah kelompok lemah yang tidak bisa mengadakan perubahan apa pun
terhadap realitas kawasan yang berada di luar kekuasaan pemerintahan thoghut
mana pun, pada saat media mereka mempopulerkannya sebagai pelopor umat untuk
mengembalikan khilafah di seluruh dunia.
Sebenarnya, pada awalnya kami
membenarkan diri kami sendiri bahwa kondisi kelemahan ini adalah penyebab di
balik pengambilan manhaj menyimpang ini oleh para pemimpin al-Qo’idah dalam
berinteraksi dengan realitas Jahiliyyah di Waziristan. Tetapi peristiwa-peristiwa
yang terjadi secara beruntun sejak saat itu menjelaskan kepada kami dengan cara
yang tidak menyisakan tempat bagi keraguan bahwa kami telah salah dalam
menganalisa realitas, dan bahwa kebalikannya lah yang benar. Manhaj yang
menyimpanglah yang menjadi penyebab di balik kondisi kelemahan yang dialami
oleh al-Qo’idah di Waziristan. Dan ini adalah salah satu dari ni’mat Alloh
kepada para hamba, bahwa Dia menguji mereka sampai kualitas mereka menjadi
jelas dan hakikat mereka menjadi terang. Sebagaimana firman-Nya subhanahu:
مَّا كَانَ ٱللَّهُ
لِيَذَرَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ عَلَىٰ مَآ أَنتُمۡ عَلَيۡهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ ٱلۡخَبِيثَ
مِنَ ٱلطَّيِّبِۗ
“Alloh tidak akan membiarkan orang-orang yang
beriman sebagaimana dalam keadaan kalian sekarang ini, sehingga Dia membedakan
yang buruk dari yang baik.” [Ali
‘Imron: 179]
An-Naba’: Kenapa Anda membutuhkan peristiwa-peristiwa ini untuk
mengetahui manhaj mereka, selagi para pemimpin mereka secara berkesinambungan
muncul untuk menjelaskan aqidah dan manhaj mereka?
Abu ‘Ubaydah: Ini adalah sunnatulloh pada
makhluq. Hakekat manusia tidak mungkin tampak kecuali dengan ujian dan situasi
kritis yang menuntut ketegasan dan kejelasan. Karena itu, Anda tidak mungkin
mengetahui hakikat seseorang atau suatu tanzhim kecuali melalui responsnya
terhadap berbagai peristiwa. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, “nalar
pengumpulan” yang di atasnya al-Qo’idah berjalan menghalangi Anda untuk menyingkap
hakikat manhaj dan aqidah mereka dengan mudah. Anda menemukan di dalam Tanzhim
dan di antara para pemimpinnya keanekaragaman yang sangat besar dari sisi
keyakinan dan manhaj. Anda menemukan orang yang mengusung ‘aqidah Ahlus Sunnah
dan manhaj mereka. Anda menemukan orang yang mengusung ‘aqidah Murji’ah dan bid’ah-bid’ah
mereka. Anda menemukan orang yang mengusung aqidah dan manhaj Ikhwan Muflisin.
Dan sebagaimana telah saya sebutkan kepada Anda sebelumnya, ada juga
orang-orang sufi. Para pemimpin al-Qo’idah biasa melakukan manuver agar semua
aliran yang saling bertentangan ini tetap berada di bawah kepemimpinannya.
Dalam rangka itu, mereka menggunakan gaya melarikan diri dari menjawab
pertanyaan-pertanyaan sensitif, terutama azh-Zhowahiriy, dan gaya meredam
kemarahan orang-orang yang menentang mereka, yaitu dengan membius mereka dengan
janji-janji reformasi yang tidak akan pernah terjadi dan sejenisnya, dan ini
adalah gaya yang dikuasai dengan baik oleh ‘Athiyatulloh. Tetapi pada akhirnya
datanglah kasus-kasus yang tidaklah bermanfaat bersamanya kecuali sikap-sikap
tegas. Dan ini yang menyingkapkan bagi kita aqidah dan manhaj Tanzhim al-Qo’idah.
An-Naba’: Apa itu kasus-kasus yang menjadikan para pemimpin al-Qo’idah
mengambil sikap-sikap yang menyingkap aqidah-aqidah yang sebelumnya mereka
sembunyikan atau setidaknya tersembunyi dari mata kita?
Abu ‘Ubaydah: Sebenarnya itu adalah
serangkaian kasus yang ditaqdirkan oleh Alloh agar datang secara beruntun, di
mana ia menyibukkan kami selama masa yang panjang, sampai menjadi jelas bagi
kami potret Tanzhim dengan bentuk yang tidak ada kesamaran di dalamnya. Yang
paling penting di antara kasus-kasus ini adalah kasus masuknya Harokah Hammas
ke dalam pemilu parlemen, dan selanjutnya menduduki pemerintahan di Jalur Gaza
dan memerintah rakyat dengan undang-undang thoghut.
Sebagaimana diketahui oleh
semua orang, Tanzhim al-Qo’idah selalu mendeklarasikan bahwa perang yang
dijalaninya tidak lain adalah demi penegakan syari’at, menyerang para thoghut karena
mereka memerintah dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh, dan memandang demokrasi
sebagai syirik kepada Alloh. Tetapi ketika Harokah Hammas masuk ke dalam proses
demokrasi, lalu memerintah rakyat dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh,
para pemimpin al-Qo’idah mendiamkannya. Ketika sebagian ikhwah mendesak mereka,
mereka terpaksa menyatakan bahwa mereka tidak mengkafirkan pemerintahan Hammas berdasarkan
kejatuhannya ke dalam perbuatan-perbuatan yang mengkafirkan ini. Yang demikian
itu dengan dalih bahwa meskipun mereka terjatuh ke dalam kekafiran, tetapi mereka
tidak memaksudkan kekafiran, namun menjadikan kekafiran ini sebagai sarana
untuk menerapkan syari’at. Lebih dari itu mereka mengatakan bahwa para thoghut
yang memerintah dengan selain yang diturunkan oleh Alloh itu adalah
saudara-saudara mereka.
Bahkan amir al-Qo’idah di
Khurosan, Mushthofa Abu al-Yazid, muncul dalam sebuah konferensi pers untuk
mengatakan bahwa manhaj al-Qo’idah dan Hammas adalah satu manhaj, sebelum dia
mencabut pernyataan ini untuk mengaburkan pandangan. Kasus ini juga menjelaskan
kepada Anda besarnya lelucon yang dijalani oleh Tanzhim al-Qo’idah. Anda
menemukan di dalam Tanzhim yang sama dua kelompok yang saling bertentangan.
Yang pertama mengkafirkan pemerintahan Hammas, perdana menterinya, dan para
tentara, disertai dengan hukum-hukum yang didirikan di atasnya, yaitu kewajiban
memerangi mereka dalam kapasitas mereka sebagai thoghut. Dan kelompok lain
memandang mereka sebagai muslim yang wajib ditolong dan dibantu. Apakah ini
sebuah tanzhim atau sebuah kekacauan dengan nama Tanzhim?
An-Naba’: Apakah kasus penetapan keislaman pemerintahan Hammas
berhenti sampai di sini? Ataukah ada konsekuensi-konsekuensi lain?
Abu ‘Ubaydah: Saya telah mengatakan
kepada Anda bahwa ada beberapa peristiwa yang menyingkap manhaj yang dianut
dalam Tanzhim dan aqidah baku yang di dalamnya terdapat penyelewengan besar
dalam perkara-perkara iman. Kasus pemerintahan Hammas, atau katakanlah kasus
penetapan hukum terhadap pemerintahan yang mengklaim bahwa ia menginginkan
penerapan syari’at, sementara ia menghancurkan klaimnya itu dengan mengerjakan
perbuatan yang mengkafirkan (yaitu masuk ke dalam demokrasi dan selanjutnya
memerintah dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh), telah diterapkan hampir
secara total pada semua eksperimen serupa selanjutnya. Salim ath-Thoroblusiy,
tim syar’iy umum al-Qo’idah pada fase itu, misalnya, termasuk salah seorang
yang mengatakan keislaman thoghut Erdogan dengan sebab yang sama. Sebagaimana
tidak pernah keluar pengingkaran apa pun dari mereka terhadap si murtad ‘Abdul
Hakim Balhaj dan kelompoknya setelah mereka masuk ke parlemen. Kemudian
datanglah kasus yang paling terkenal dalam hal ini, yaitu pemerintahan Ikhwan
Muflisin di Mesir yang dipimpin oleh thoghut Mursi.
Sebagaimana sebagian dari
para pemimpin al-Qo’idah yang berasal dari Mesir juga terpedaya dengan thoghut
Hazim Sholah Abu Isma’il yang masuk ke parlemen dan mencalonkan dirinya untuk
menjadi presiden, di mana mereka merekam ceramah-ceramah dan pidato-pidatonya dan
mengedarkannya ke barak-barak agar didengar oleh para tentara.
An-Naba’: Karena Anda masuk ke tema yang dinamakan dengan “Musim
Semi Arab”, bagaimana manhaj al-Qo’idah terpengaruh oleh terjadinya revolusi
itu?
Abu ‘Ubaydah: Revolusi ini adalah satu
cincin dalam rantai peristiwa yang menyingkap aqidah dan manhaj Tanzhim di
hadapan kita. Pondasi rusak tempat mereka mendirikan bangunan mereka dengan
tidak mengkafirkan orang yang mempraktekkan demokrasi, telah mengantarkan
mereka ke jurang yang lebih dalam. Kondisi setelah terjadinya revolusi membawa
mereka untuk mendukung beberapa partai demokrasi yang menisbatkan dirinya dengan
dusta kepada Islam, sebagaimana di Libya. Bahkan mereka berpikir dengan serius untuk
berpartisipasi dalam proses politik yang berdiri di atas dasar demokrasi.
Pemikiran ini sangat diterima oleh Salim ath-Thoroblusiy. Bahkan saya mendengar
bahwa Abu ‘Ubaydah al ‘Adam berkeinginan untuk mendapatkan sebuah fatwa untuk
mendirikan sebuah partai politik, untuk masuk ke dalam parlemen seandainya
kesempatan untuk itu dibukakan bagi mereka. Selanjutnya sampai kepada saya
bahwa mereka mengirim utusan kepada Abul Walid al-Ghozziy yang terkenal dengan
al-Anshoriy (Kholid Fathi Kholid al-Agho) untuk mendapatkan fatwa ini.
Banyak di antara para
pemimpin al-Qo’idah yang beranggapan bahwa keberhasilan partai-partai demokrasi
seperti Ikhwan Muslimin dan yang serupa dengannya dalam pemilu dan sampainya
sebagian darinya ke puncak kekuasaan sebagai kemenangan bagi Islam, dan mungkin
bagi mereka sendiri untuk mengambil manfaat dari kemenangan ini dengan cara berpartisipasi
di dalamnya melalui partai-partai yang mereka dirikan. Dengan cara itu mereka ikut
serta dalam proyek Ikhwan yang terwujud dalam penegakan syari’at Islam dengan
cara jatuh ke dalam syirik demokrasi.
Dan penyebab di balik semua
itu, sebagaimana telah saya sebutkan kepada Anda, adalah prinsip-prinsip mereka
yang rusak dengan tidak menganggap masing-masing dari tindakan masuk ke dalam
demokrasi dan memerintah dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh sebagai
perbuatan-perbuatan yang mengkafirkan bagi yang terjatuh ke dalamnya di antara gerakan-gerakan
dan partai-partai yang mengklaim ingin menerapkan syari’at. Mereka bersikap
lapang dalam membenarkan perkara-perkara ini bagi orang lain, sebelum mereka membenarkan
diri mereka sendiri. Dan sebaliknya, mereka justru mengingkari orang yang menerapkan
syari’at dan menegakkan hukum Alloh di bumi ini, serta memprovokasi manusia untuk
menentangnya.
An-Naba’: Apakah maksud Anda Dawlah Islamiyyah?
Abu ‘Ubaydah: Saya tidak berbicara kepada
Anda tentang Dawlah Islamiyyah dengan realitasnya saat ini. Permusuhan Tanzhim
al-Qo’idah dengan semua cabangnya terhadap Dawlah Islamiyyah sangat jelas dan
terang. Terutama setelah Dawlah Islamiyyah menegakkan syari’at dan
mengembalikan khilafah. Tetapi yang saya maksud adalah perkara lama dan kembali
kepada masa Dawlah Islamiyyah Iraq yang pendiriannya tidak disetujui oleh para syar’iy
al-Qo’idah. Mereka dulu mengirimkan surat kepada Dawlah Islamiyyah Iraq untuk meyakinkan
mereka agar tidak menegakkan hukum-hukum syari’at pada masa itu. Dan hal itu kembali
kepada prinsip rusak yang menjadi landasan manhaj mereka, yaitu tidak
menegakkan hukum-hukum syari’at dalam kondisi perang.
Bahkan perkara ini membawa
mereka mengingkari para ikhwah yang menegakkan syari’at di wilayah Orakzai,
terutama asy-Syaykh Hafizh Sa’id—hafizhohulloh—wali
Khurosan saat ini, serta asy-Syaykh Maqbul dan asy-Syaykh Khodim—taqobbalahumalloh. Ini adalah satu-satunya
wilayah yang di dalamnya syari’at ditegakkan di Waziristan, sampai mereka
bergabung dengan karavan khilafah dan berbai’at kepada Amirul Mu’minin. Setelah
itu menjadi jelaslah permusuhan antara mereka dan al-Qo’idah dengan berdirinya
Wilayah Khurosan yang berada di bawah Dawlah Islamiyyah.
Di antara prinsip golongan
itu adalah tidak menegakkan syari’at dalam kondisi mereka berhasil menguasai
suatu wilayah dan menerima berlanjutnya hukum-hukum Jahiliyyah di dalamnya,
sebagaimana sebelumnya telah saya ceritakan kepada Anda tentang kondisi di Waziristan,
dan sebagaimana kondisi mereka saat ini di Syam dan Yaman. Maka bagaimana bisa
mereka mengingkari Hammas yang tidak menerapkan syari’at di Gaza atau Mursi
yang memerintah dengan undang-undang konvensional di Mesir. Jika dulu sebagian
dari pemimpin mereka menyerang Tanzhim Jama’ah Islamiyyah Mesir yang sesat
dengan berkata: “Jama’ah Islamiyyah telah berubah menjadi Ikhwaniy,” maka
mereka lebih layak untuk dikatakan: “Al- Qo’idah telah berubah menjadi
Ikhwaniy.”
An-Naba’: Apakah ini menafsirkan ketertambatan hati al-Qo’idah
dengan revolusi Arab dan para pemberontak?
Abu ‘Ubaydah: al-Qo’idah melihat revolusi
Arab seolah-olah sebagai pintu yang darinya dia akan masuk menuju tamkin di
bumi, terutama revolusi di Libya. Al-Qo’idah telah mengirimkan sebagian dari
kadernya ke sana untuk mengkoordinir pekerjaan dan mengikat tanzhim-tanzhim yang
ada dengan al-Qo’idah. Di antaranya Abu Anas al-Libiy dan Abu Malik al-Libiy.
Dan mereka telah
mempersiapkan Abu ‘Ubaydah al-Libiy untuk itu, tetapi dia terbunuh sebelum
pengirimannya. Yang demikian itu karena Libya dianggap sebagai “tanah peperangan”,
berdasarkan klasifikasi mereka. Adapun Mesir, menurut mereka adalah “tanah penjelasan”.
Maka proyek azh-Zhowahiriy didasarkan pada pengiriman beberapa anggota faksi
lamanya “al-Jihad” untuk melaksanakan tugas ini. Azh-Zhowahiriy telah
menawarkan hal ini kepada Abu Hafsh al-Mishriy yang bergelar al-Husainiy,
terutama setelah permasalahannya dengan azh-Zhowahiriy terus bertambah. Jadi,
proyek al-Qo’idah terhadap Revolusi Arab adalah dengan masuk ke bawah
proyek-proyek yang dimiliki oleh kelompokkelompok yang menyimpang, atau bekerja
dengan garis yang sejajar dengannya, atau minimal tidak bertindak dengan cara
yang akan menyebabkan kehancuran proyek-proyek yang rusak ini. Perkara ini kita
lihat di Tunis, Mesir, Libya, Yaman, dan Syam.
An-Naba’: Selagi kalian telah menyingkap semua penyimpangan ini
dan lainnya yang tidak mungkin dijelaskan panjang lebar, seperti ketetapan
mereka akan keislaman tentara thogut yang terdiri dari militer, intelijen, dan
polisi, serta kekacauan dalam penetapan hukum antara satu negara dengan negara
lain, kenapa kalian tidak meninggalkan Tanzhim yang menyimpang ini sejak masa
yang lama dan kalian menunggu sampai kembalinya khilafah?
Abu ‘Ubaydah: Jika Anda memerhatikan
sebagian besar partai dan tanzhim yang menyimpang, Anda akan menemukan di dalamnya
banyak sekali orang yang tidak ridho dengan manhaj-manhaj dan aqidah-aqidahnya.
Tetapi mereka meyakinkan diri mereka, atau berhasil diyakinkan, akan keharusan
untuk tetap berada dalam barisannya, karena dua hal.
Hal pertama adalah
ilusi-ilusi tentang reformasi dari dalam. Sebab, masing-masing dari mereka
memberikan harapan kepada dirinya sendiri bahwa dengan tetapnya dia di dalam tanzhim
maka dia mungkin bisa melakukan reformasi dengan naiknya dia di tangga kepemimpinan,
dan bahwa keluarnya dia dari tanzhim akan berarti berkuasanya orang-orang yang
rusak atas tanzhim dan selanjutnya penyimpangannya beserta semua orang yang ada
di dalamnya secara lebih besar. Sedang pembenaran lainnya adalah tidak adanya
alternatif pengganti baginya, karena dia menemukan semua tanzhim atau partai
yang ada di lapangan tidak kurang menyimpangnya daripada tanzhimnya.
Inilah yang terjadi pada kami
di Waziristan. Meskipun kami tahu sejak bertahun-tahun bahwa al-Qo’idah
bukanlah tanzhim yang melaluinya kami bercita-cita untuk menegakkan syari’at, tetapi
kami memberikan harapan kepada diri kami sendiri bahwa kami bisa melakukan reformasi
jika kami tetap berada di dalam tanzhim ini. Dan inilah yang pada akhirnya kami
simpulkan mustahil terjadi dalam situasi itu, di mana Tanzhim dikuasai oleh
azh-Zhowahiriy dan menantunya sendiri, Mukhtar al-Maghribiy. Mereka mengatur
semua urusan Tanzhim sesuai dengan hawa nafsu mereka. Sementara aqidah dan
manhaj Tanzhim dirumuskan oleh ‘Athiyatulloh, Abu Yahya dan Salim ath-Thoroblusiy.
Merekalah perumus yang sesungguhnya bagi semua penyimpangan aqidah dan manhaj
di dalam Tanzhim. Kedua pihak ini tidak akan pernah mengizinkan Anda untuk
mengalihkan al-Qo’idah dari jurang dalam yang mereka berusaha mengarahkan al-Qo’idah
kepadanya. Karena itu, ketika Abu Dujanah al-Khurosani menggambarkan al-Qo’idah
sebagai “nenek tua”, saya menjawab dengan mengatakan bahwa ia bukan cuma
demikian, tetapi ia adalah nenek tua yang berdiri di tengah jalan, sedangkan mobil-mobil
yang lewat nyaris menabrak dan membinasakannya, tetapi di saat yang sama dia tidak
mau mengulurkan tangannya kepada orang yang berusaha menyelamatkannya dan menjauhkannya
dari kebinasaan.
An-Naba’: Tetapi pada akhirnya Anda meninggalkan mereka?
Abu ‘Ubaydah: Ya. Segala puji bagi Alloh
atas hal itu. Sebelum Dawlah Islamiyyah mendeklarasikan eksistensinya di Syam
lalu memuliakan jihadnya dengan mengembalikan khilafah, sulit bagi kami untuk
meninggalkan al-Qo’idah. Yang demikian itu karena kami tidak menemukan
alternatif untuk dijadikan tempat berpindah. Tetapi ketika menjadi terang bagi kami
kebenaran manhaj dan kejelasan aqidah Dawlah Islamiyyah, lalu tamkinnya di bumi
dan penerapannya terhadap syariat Alloh di dalamnya, lalu deklarasi kembalinya
khilafah, tidak tersisa bagi kami pembenaran untuk berada di dalam barisan
Tanzhim al-Qo’idah. Kami pun berhijrah, sampai ke negeri khilafah, dan menjadi
salah satu dari tentaranya. Wal hamdu
lillah.
An-Naba’: Bagaimana dengan Tanzhim al-Qo’idah secara keseluruhan?
Menurut pendapat Anda, apa pengaruh terbesar dari kembalinya Khilafah
Islamiyyah terhadap Tanzhim, dengan elemen-elemen dan manhajnya?
Abu ‘Ubaydah: Kembalinya khilafah adalah
satu ni’mat di antara ni’mat-ni’mat yang dianugerahkan oleh Alloh kepada
seluruh umat Islam, bahkan kepada seluruh manusia. Yang demikian itu karena ia
menegakkan syari’at Alloh di bumi, menampakkan tauhid dan memerangi syirik
beserta para penganutnya, agar binasa orang yang binasa dengan bukti nyata dan
hidup orang yang hidup dengan bukti nyata.
Adapun bagi Tanzhim al-Qo’idah,
sebagaimana telah saya sebutkan kepada Anda, kembalinya khilafah adalah tali
keselamatan bagi siapa saja yang ingin menyelamatkan agamanya dari ketenggelaman
bersama bahtera Tanzhim yang dilubangi oleh para pemimpin Tanzhim dan para syar’iynya
untuk menenggelamkan semua orang dalam samudera kesesatan. Maka keluarlah
darinya orang yang diberi hidayah oleh Alloh, dan kita masih menunggu sisanya.
Selain itu, deklarasi
khilafah adalah perlindungan bagi puluhan ribu pemuda dari terjatuh ke dalam
perangkap fitnah nama-nama bersinar yang dimiliki oleh Tanzhim dan para pemimpinnya,
karena mereka menemukan aqidah yang bersih dari syirik di Dawlah Islamiyyah.
Mereka pun bergantung padanya dan berperang di bawah benderanya.
Di sisi lain, kembalinya
khilafah mencegah para pemimpin al-Qo’idah untuk menyelam lebih jauh ke dalam
samudera kesesatan karena takut para pemuda akan meninggalkan mereka dan
berpaling kepada Dawlah Islamiyyah. Dan kita telah melihat itu selama dua tahun
terakhir khususnya. Hanya saja saat ini kita melihat para pemimpin
cabang-cabang Tanzhim mulai mengungkap lebih banyak lagi
penyimpangan-penyimpangan mereka. Khususnya setelah mayoritas dari mereka
memutuskan untuk membunuh setiap orang yang mereka curigai cenderung untuk
meninggalkan mereka dan bergabung dengan karavan Khilafah Islamiyyah.
An-Naba’: Semoga Alloh membalas Anda dengan kebaikan atas
pertemuan-pertemuan yang menyenangkan ini. Kami memohon kepada Alloh agar
menerima apa yang telah Anda sampaikan dari berbagai informasi yang berharga
ini kepada kami dan kepada saudara-saudara kita. Was salamu ‘alaikum wa
rohmatullohi wa barokatuh.
Ditarjamah dan disebarluaskan oleh Tim Penyebar Berita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar