7/16/2019

WAWANCARA DENGAN ABU ‘UBAYDAH AL-LUBNANIY


Wawancara dengan
Abu ‘Ubaydah al-Lubnaniy :

Al-Qoidah Telah Berubah Menjadi Ikhwaniy (IM)

Pada putaran terakhir dari pertemuannya dengan an-Naba’, mantan penanggung jawab keamanan Al-Qo’idah Khurosan menyingkap bagaimana Revolusi Arab berpengaruh terhadap tersingkapnya manhaj menyimpang yang dimiliki oleh al-Qo’idah, serta membeberkan sikap-sikap para pemimpin al-Qo’idah dalam memandang syirik demokrasi dan orang-orang yang berkecimpung di dalamnya.

An-Naba’: Anda telah menyebutkan kepada kami pada pertemuan terakhir yang menyatukan kita bahwa Anda merasa terpukul dengan realitas-realitas al-Qo’idah setelah kedatangan Anda ke Waziristan. Apa penyebab keterpukulan sebagaimana yang Anda gambarkan ini?

Abu ‘Ubaydah: Segala puji bagi Alloh semata. Sholawat semoga terlimpah kepada dia yang tiada nabi setelahnya. Wa ba’d, jika seseorang telah melukiskan dalam benaknya sebuah gambaran yang gemilang tentang sesuatu atau seseorang, lalu terbukti bahwa semua yang digambarkannya itu tidak lebih dari sekadar ilusi, maka tidak diragukan bahwa dia akan merasakan pukulan keras. Inilah yang terjadi pada saya dan pada banyak orang seperti saya yang masuk ke al-Qo’idah pada fase Waziristan. Saya akan menyebutkan di sini seorang dari muhajirin yang paling terkenal pada fase tersebut, yaitu Abu Dujanah al-Khurosaniy —taqobbalahulloh— pelaku aksi Khost yang terkenal terhadap para perwira CIA dan intelijen Jordania. Dia telah tertimpa dengan apa yang menimpa saya setelah melihat al-Qo’idah secara nyata setelah bertahun-tahun memberikan dukungan kepadanya melalui forum-forum jihad. Dia telah menggambarkan kondisi al-Qo’idah ketika saya bertanya kepadanya tentang pendapatnya mengenai apa yang telah ditemukannya, dengan berkata: “al-Qo’idah tampak seperti nenek tua.” Maksudnya, karena kelemahannya, sedikitnya trik para pemimpinnya, dan hilangnya kewibawaannya di wilayah-wilayah Waziristan.

An-Naba’: Apakah kondisi ketuaan dan kelemahan yang menimpa Tanzhim merupakan faktor yang cukup, menurut Anda, yang menyebabkan pendatang baru merasa terpukul?

Abu ‘Ubaydah: Tentu saja tidak. Bukan ini saja penyebabnya. Tetapi jika Anda ingat, media pada fase pasca serangan September menggambarkan Tanzhim al-Qo’idah dengan potret yang sangat dibesar-besarkan. Dan sayang sekali, Tanzhim terpukau dengan deskripsi yang berlebihan tentang kapabilitasnya ini. Mulailah ia mengutip perkataan setiap orang yang mempopulerkan potret ini dalam rilisan-rilisan videonya dan dalam media tidak resmi yang dikelola oleh para pendukung Tanzhim di jaringan internet. Tetapi ketika kami mengetahui realitas yang sebenarnya di Waziristan, kami mengerti bahwa Tanzhim di sana merupakan sebuah kelompok lemah yang tidak bisa mengadakan perubahan apa pun terhadap realitas kawasan yang berada di luar kekuasaan pemerintahan thoghut mana pun, pada saat media mereka mempopulerkannya sebagai pelopor umat untuk mengembalikan khilafah di seluruh dunia.
Sebenarnya, pada awalnya kami membenarkan diri kami sendiri bahwa kondisi kelemahan ini adalah penyebab di balik pengambilan manhaj menyimpang ini oleh para pemimpin al-Qo’idah dalam berinteraksi dengan realitas Jahiliyyah di Waziristan. Tetapi peristiwa-peristiwa yang terjadi secara beruntun sejak saat itu menjelaskan kepada kami dengan cara yang tidak menyisakan tempat bagi keraguan bahwa kami telah salah dalam menganalisa realitas, dan bahwa kebalikannya lah yang benar. Manhaj yang menyimpanglah yang menjadi penyebab di balik kondisi kelemahan yang dialami oleh al-Qo’idah di Waziristan. Dan ini adalah salah satu dari ni’mat Alloh kepada para hamba, bahwa Dia menguji mereka sampai kualitas mereka menjadi jelas dan hakikat mereka menjadi terang. Sebagaimana firman-Nya subhanahu:

مَّا كَانَ ٱللَّهُ لِيَذَرَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ عَلَىٰ مَآ أَنتُمۡ عَلَيۡهِ حَتَّىٰ يَمِيزَ ٱلۡخَبِيثَ مِنَ ٱلطَّيِّبِۗ

Alloh tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman sebagaimana dalam keadaan kalian sekarang ini, sehingga Dia membedakan yang buruk dari yang baik.” [Ali ‘Imron: 179]

An-Naba’: Kenapa Anda membutuhkan peristiwa-peristiwa ini untuk mengetahui manhaj mereka, selagi para pemimpin mereka secara berkesinambungan muncul untuk menjelaskan aqidah dan manhaj mereka?

Abu ‘Ubaydah: Ini adalah sunnatulloh pada makhluq. Hakekat manusia tidak mungkin tampak kecuali dengan ujian dan situasi kritis yang menuntut ketegasan dan kejelasan. Karena itu, Anda tidak mungkin mengetahui hakikat seseorang atau suatu tanzhim kecuali melalui responsnya terhadap berbagai peristiwa. Ini dari satu sisi. Dari sisi lain, “nalar pengumpulan” yang di atasnya al-Qo’idah berjalan menghalangi Anda untuk menyingkap hakikat manhaj dan aqidah mereka dengan mudah. Anda menemukan di dalam Tanzhim dan di antara para pemimpinnya keanekaragaman yang sangat besar dari sisi keyakinan dan manhaj. Anda menemukan orang yang mengusung ‘aqidah Ahlus Sunnah dan manhaj mereka. Anda menemukan orang yang mengusung ‘aqidah Murji’ah dan bid’ah-bid’ah mereka. Anda menemukan orang yang mengusung aqidah dan manhaj Ikhwan Muflisin. Dan sebagaimana telah saya sebutkan kepada Anda sebelumnya, ada juga orang-orang sufi. Para pemimpin al-Qo’idah biasa melakukan manuver agar semua aliran yang saling bertentangan ini tetap berada di bawah kepemimpinannya. Dalam rangka itu, mereka menggunakan gaya melarikan diri dari menjawab pertanyaan-pertanyaan sensitif, terutama azh-Zhowahiriy, dan gaya meredam kemarahan orang-orang yang menentang mereka, yaitu dengan membius mereka dengan janji-janji reformasi yang tidak akan pernah terjadi dan sejenisnya, dan ini adalah gaya yang dikuasai dengan baik oleh ‘Athiyatulloh. Tetapi pada akhirnya datanglah kasus-kasus yang tidaklah bermanfaat bersamanya kecuali sikap-sikap tegas. Dan ini yang menyingkapkan bagi kita aqidah dan manhaj Tanzhim al-Qo’idah.

An-Naba’: Apa itu kasus-kasus yang menjadikan para pemimpin al-Qo’idah mengambil sikap-sikap yang menyingkap aqidah-aqidah yang sebelumnya mereka sembunyikan atau setidaknya tersembunyi dari mata kita?

Abu ‘Ubaydah: Sebenarnya itu adalah serangkaian kasus yang ditaqdirkan oleh Alloh agar datang secara beruntun, di mana ia menyibukkan kami selama masa yang panjang, sampai menjadi jelas bagi kami potret Tanzhim dengan bentuk yang tidak ada kesamaran di dalamnya. Yang paling penting di antara kasus-kasus ini adalah kasus masuknya Harokah Hammas ke dalam pemilu parlemen, dan selanjutnya menduduki pemerintahan di Jalur Gaza dan memerintah rakyat dengan undang-undang thoghut.

Sebagaimana diketahui oleh semua orang, Tanzhim al-Qo’idah selalu mendeklarasikan bahwa perang yang dijalaninya tidak lain adalah demi penegakan syari’at, menyerang para thoghut karena mereka memerintah dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh, dan memandang demokrasi sebagai syirik kepada Alloh. Tetapi ketika Harokah Hammas masuk ke dalam proses demokrasi, lalu memerintah rakyat dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh, para pemimpin al-Qo’idah mendiamkannya. Ketika sebagian ikhwah mendesak mereka, mereka terpaksa menyatakan bahwa mereka tidak mengkafirkan pemerintahan Hammas berdasarkan kejatuhannya ke dalam perbuatan-perbuatan yang mengkafirkan ini. Yang demikian itu dengan dalih bahwa meskipun mereka terjatuh ke dalam kekafiran, tetapi mereka tidak memaksudkan kekafiran, namun menjadikan kekafiran ini sebagai sarana untuk menerapkan syari’at. Lebih dari itu mereka mengatakan bahwa para thoghut yang memerintah dengan selain yang diturunkan oleh Alloh itu adalah saudara-saudara mereka.

Bahkan amir al-Qo’idah di Khurosan, Mushthofa Abu al-Yazid, muncul dalam sebuah konferensi pers untuk mengatakan bahwa manhaj al-Qo’idah dan Hammas adalah satu manhaj, sebelum dia mencabut pernyataan ini untuk mengaburkan pandangan. Kasus ini juga menjelaskan kepada Anda besarnya lelucon yang dijalani oleh Tanzhim al-Qo’idah. Anda menemukan di dalam Tanzhim yang sama dua kelompok yang saling bertentangan. Yang pertama mengkafirkan pemerintahan Hammas, perdana menterinya, dan para tentara, disertai dengan hukum-hukum yang didirikan di atasnya, yaitu kewajiban memerangi mereka dalam kapasitas mereka sebagai thoghut. Dan kelompok lain memandang mereka sebagai muslim yang wajib ditolong dan dibantu. Apakah ini sebuah tanzhim atau sebuah kekacauan dengan nama Tanzhim?

An-Naba’: Apakah kasus penetapan keislaman pemerintahan Hammas berhenti sampai di sini? Ataukah ada konsekuensi-konsekuensi lain?

Abu ‘Ubaydah: Saya telah mengatakan kepada Anda bahwa ada beberapa peristiwa yang menyingkap manhaj yang dianut dalam Tanzhim dan aqidah baku yang di dalamnya terdapat penyelewengan besar dalam perkara-perkara iman. Kasus pemerintahan Hammas, atau katakanlah kasus penetapan hukum terhadap pemerintahan yang mengklaim bahwa ia menginginkan penerapan syari’at, sementara ia menghancurkan klaimnya itu dengan mengerjakan perbuatan yang mengkafirkan (yaitu masuk ke dalam demokrasi dan selanjutnya memerintah dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh), telah diterapkan hampir secara total pada semua eksperimen serupa selanjutnya. Salim ath-Thoroblusiy, tim syar’iy umum al-Qo’idah pada fase itu, misalnya, termasuk salah seorang yang mengatakan keislaman thoghut Erdogan dengan sebab yang sama. Sebagaimana tidak pernah keluar pengingkaran apa pun dari mereka terhadap si murtad ‘Abdul Hakim Balhaj dan kelompoknya setelah mereka masuk ke parlemen. Kemudian datanglah kasus yang paling terkenal dalam hal ini, yaitu pemerintahan Ikhwan Muflisin di Mesir yang dipimpin oleh thoghut Mursi.

Sebagaimana sebagian dari para pemimpin al-Qo’idah yang berasal dari Mesir juga terpedaya dengan thoghut Hazim Sholah Abu Isma’il yang masuk ke parlemen dan mencalonkan dirinya untuk menjadi presiden, di mana mereka merekam ceramah-ceramah dan pidato-pidatonya dan mengedarkannya ke barak-barak agar didengar oleh para tentara.

An-Naba’: Karena Anda masuk ke tema yang dinamakan dengan “Musim Semi Arab”, bagaimana manhaj al-Qo’idah terpengaruh oleh terjadinya revolusi itu?

Abu ‘Ubaydah: Revolusi ini adalah satu cincin dalam rantai peristiwa yang menyingkap aqidah dan manhaj Tanzhim di hadapan kita. Pondasi rusak tempat mereka mendirikan bangunan mereka dengan tidak mengkafirkan orang yang mempraktekkan demokrasi, telah mengantarkan mereka ke jurang yang lebih dalam. Kondisi setelah terjadinya revolusi membawa mereka untuk mendukung beberapa partai demokrasi yang menisbatkan dirinya dengan dusta kepada Islam, sebagaimana di Libya. Bahkan mereka berpikir dengan serius untuk berpartisipasi dalam proses politik yang berdiri di atas dasar demokrasi. Pemikiran ini sangat diterima oleh Salim ath-Thoroblusiy. Bahkan saya mendengar bahwa Abu ‘Ubaydah al ‘Adam berkeinginan untuk mendapatkan sebuah fatwa untuk mendirikan sebuah partai politik, untuk masuk ke dalam parlemen seandainya kesempatan untuk itu dibukakan bagi mereka. Selanjutnya sampai kepada saya bahwa mereka mengirim utusan kepada Abul Walid al-Ghozziy yang terkenal dengan al-Anshoriy (Kholid Fathi Kholid al-Agho) untuk mendapatkan fatwa ini.

Banyak di antara para pemimpin al-Qo’idah yang beranggapan bahwa keberhasilan partai-partai demokrasi seperti Ikhwan Muslimin dan yang serupa dengannya dalam pemilu dan sampainya sebagian darinya ke puncak kekuasaan sebagai kemenangan bagi Islam, dan mungkin bagi mereka sendiri untuk mengambil manfaat dari kemenangan ini dengan cara berpartisipasi di dalamnya melalui partai-partai yang mereka dirikan. Dengan cara itu mereka ikut serta dalam proyek Ikhwan yang terwujud dalam penegakan syari’at Islam dengan cara jatuh ke dalam syirik demokrasi.

Dan penyebab di balik semua itu, sebagaimana telah saya sebutkan kepada Anda, adalah prinsip-prinsip mereka yang rusak dengan tidak menganggap masing-masing dari tindakan masuk ke dalam demokrasi dan memerintah dengan selain apa yang diturunkan oleh Alloh sebagai perbuatan-perbuatan yang mengkafirkan bagi yang terjatuh ke dalamnya di antara gerakan-gerakan dan partai-partai yang mengklaim ingin menerapkan syari’at. Mereka bersikap lapang dalam membenarkan perkara-perkara ini bagi orang lain, sebelum mereka membenarkan diri mereka sendiri. Dan sebaliknya, mereka justru mengingkari orang yang menerapkan syari’at dan menegakkan hukum Alloh di bumi ini, serta memprovokasi manusia untuk menentangnya.

An-Naba’: Apakah maksud Anda Dawlah Islamiyyah?

Abu ‘Ubaydah: Saya tidak berbicara kepada Anda tentang Dawlah Islamiyyah dengan realitasnya saat ini. Permusuhan Tanzhim al-Qo’idah dengan semua cabangnya terhadap Dawlah Islamiyyah sangat jelas dan terang. Terutama setelah Dawlah Islamiyyah menegakkan syari’at dan mengembalikan khilafah. Tetapi yang saya maksud adalah perkara lama dan kembali kepada masa Dawlah Islamiyyah Iraq yang pendiriannya tidak disetujui oleh para syar’iy al-Qo’idah. Mereka dulu mengirimkan surat kepada Dawlah Islamiyyah Iraq untuk meyakinkan mereka agar tidak menegakkan hukum-hukum syari’at pada masa itu. Dan hal itu kembali kepada prinsip rusak yang menjadi landasan manhaj mereka, yaitu tidak menegakkan hukum-hukum syari’at dalam kondisi perang.

Bahkan perkara ini membawa mereka mengingkari para ikhwah yang menegakkan syari’at di wilayah Orakzai, terutama asy-Syaykh Hafizh Sa’id—hafizhohulloh—wali Khurosan saat ini, serta asy-Syaykh Maqbul dan asy-Syaykh Khodim—taqobbalahumalloh. Ini adalah satu-satunya wilayah yang di dalamnya syari’at ditegakkan di Waziristan, sampai mereka bergabung dengan karavan khilafah dan berbai’at kepada Amirul Mu’minin. Setelah itu menjadi jelaslah permusuhan antara mereka dan al-Qo’idah dengan berdirinya Wilayah Khurosan yang berada di bawah Dawlah Islamiyyah.

Di antara prinsip golongan itu adalah tidak menegakkan syari’at dalam kondisi mereka berhasil menguasai suatu wilayah dan menerima berlanjutnya hukum-hukum Jahiliyyah di dalamnya, sebagaimana sebelumnya telah saya ceritakan kepada Anda tentang kondisi di Waziristan, dan sebagaimana kondisi mereka saat ini di Syam dan Yaman. Maka bagaimana bisa mereka mengingkari Hammas yang tidak menerapkan syari’at di Gaza atau Mursi yang memerintah dengan undang-undang konvensional di Mesir. Jika dulu sebagian dari pemimpin mereka menyerang Tanzhim Jama’ah Islamiyyah Mesir yang sesat dengan berkata: “Jama’ah Islamiyyah telah berubah menjadi Ikhwaniy,” maka mereka lebih layak untuk dikatakan: “Al- Qo’idah telah berubah menjadi Ikhwaniy.”

An-Naba’: Apakah ini menafsirkan ketertambatan hati al-Qo’idah dengan revolusi Arab dan para pemberontak?

Abu ‘Ubaydah: al-Qo’idah melihat revolusi Arab seolah-olah sebagai pintu yang darinya dia akan masuk menuju tamkin di bumi, terutama revolusi di Libya. Al-Qo’idah telah mengirimkan sebagian dari kadernya ke sana untuk mengkoordinir pekerjaan dan mengikat tanzhim-tanzhim yang ada dengan al-Qo’idah. Di antaranya Abu Anas al-Libiy dan Abu Malik al-Libiy.

Dan mereka telah mempersiapkan Abu ‘Ubaydah al-Libiy untuk itu, tetapi dia terbunuh sebelum pengirimannya. Yang demikian itu karena Libya dianggap sebagai “tanah peperangan”, berdasarkan klasifikasi mereka. Adapun Mesir, menurut mereka adalah “tanah penjelasan”. Maka proyek azh-Zhowahiriy didasarkan pada pengiriman beberapa anggota faksi lamanya “al-Jihad” untuk melaksanakan tugas ini. Azh-Zhowahiriy telah menawarkan hal ini kepada Abu Hafsh al-Mishriy yang bergelar al-Husainiy, terutama setelah permasalahannya dengan azh-Zhowahiriy terus bertambah. Jadi, proyek al-Qo’idah terhadap Revolusi Arab adalah dengan masuk ke bawah proyek-proyek yang dimiliki oleh kelompokkelompok yang menyimpang, atau bekerja dengan garis yang sejajar dengannya, atau minimal tidak bertindak dengan cara yang akan menyebabkan kehancuran proyek-proyek yang rusak ini. Perkara ini kita lihat di Tunis, Mesir, Libya, Yaman, dan Syam.

An-Naba’: Selagi kalian telah menyingkap semua penyimpangan ini dan lainnya yang tidak mungkin dijelaskan panjang lebar, seperti ketetapan mereka akan keislaman tentara thogut yang terdiri dari militer, intelijen, dan polisi, serta kekacauan dalam penetapan hukum antara satu negara dengan negara lain, kenapa kalian tidak meninggalkan Tanzhim yang menyimpang ini sejak masa yang lama dan kalian menunggu sampai kembalinya khilafah?

Abu ‘Ubaydah: Jika Anda memerhatikan sebagian besar partai dan tanzhim yang menyimpang, Anda akan menemukan di dalamnya banyak sekali orang yang tidak ridho dengan manhaj-manhaj dan aqidah-aqidahnya. Tetapi mereka meyakinkan diri mereka, atau berhasil diyakinkan, akan keharusan untuk tetap berada dalam barisannya, karena dua hal.

Hal pertama adalah ilusi-ilusi tentang reformasi dari dalam. Sebab, masing-masing dari mereka memberikan harapan kepada dirinya sendiri bahwa dengan tetapnya dia di dalam tanzhim maka dia mungkin bisa melakukan reformasi dengan naiknya dia di tangga kepemimpinan, dan bahwa keluarnya dia dari tanzhim akan berarti berkuasanya orang-orang yang rusak atas tanzhim dan selanjutnya penyimpangannya beserta semua orang yang ada di dalamnya secara lebih besar. Sedang pembenaran lainnya adalah tidak adanya alternatif pengganti baginya, karena dia menemukan semua tanzhim atau partai yang ada di lapangan tidak kurang menyimpangnya daripada tanzhimnya.

Inilah yang terjadi pada kami di Waziristan. Meskipun kami tahu sejak bertahun-tahun bahwa al-Qo’idah bukanlah tanzhim yang melaluinya kami bercita-cita untuk menegakkan syari’at, tetapi kami memberikan harapan kepada diri kami sendiri bahwa kami bisa melakukan reformasi jika kami tetap berada di dalam tanzhim ini. Dan inilah yang pada akhirnya kami simpulkan mustahil terjadi dalam situasi itu, di mana Tanzhim dikuasai oleh azh-Zhowahiriy dan menantunya sendiri, Mukhtar al-Maghribiy. Mereka mengatur semua urusan Tanzhim sesuai dengan hawa nafsu mereka. Sementara aqidah dan manhaj Tanzhim dirumuskan oleh ‘Athiyatulloh, Abu Yahya dan Salim ath-Thoroblusiy. Merekalah perumus yang sesungguhnya bagi semua penyimpangan aqidah dan manhaj di dalam Tanzhim. Kedua pihak ini tidak akan pernah mengizinkan Anda untuk mengalihkan al-Qo’idah dari jurang dalam yang mereka berusaha mengarahkan al-Qo’idah kepadanya. Karena itu, ketika Abu Dujanah al-Khurosani menggambarkan al-Qo’idah sebagai “nenek tua”, saya menjawab dengan mengatakan bahwa ia bukan cuma demikian, tetapi ia adalah nenek tua yang berdiri di tengah jalan, sedangkan mobil-mobil yang lewat nyaris menabrak dan membinasakannya, tetapi di saat yang sama dia tidak mau mengulurkan tangannya kepada orang yang berusaha menyelamatkannya dan menjauhkannya dari kebinasaan.

An-Naba’: Tetapi pada akhirnya Anda meninggalkan mereka?

Abu ‘Ubaydah: Ya. Segala puji bagi Alloh atas hal itu. Sebelum Dawlah Islamiyyah mendeklarasikan eksistensinya di Syam lalu memuliakan jihadnya dengan mengembalikan khilafah, sulit bagi kami untuk meninggalkan al-Qo’idah. Yang demikian itu karena kami tidak menemukan alternatif untuk dijadikan tempat berpindah. Tetapi ketika menjadi terang bagi kami kebenaran manhaj dan kejelasan aqidah Dawlah Islamiyyah, lalu tamkinnya di bumi dan penerapannya terhadap syariat Alloh di dalamnya, lalu deklarasi kembalinya khilafah, tidak tersisa bagi kami pembenaran untuk berada di dalam barisan Tanzhim al-Qo’idah. Kami pun berhijrah, sampai ke negeri khilafah, dan menjadi salah satu dari tentaranya. Wal hamdu lillah.

An-Naba’: Bagaimana dengan Tanzhim al-Qo’idah secara keseluruhan? Menurut pendapat Anda, apa pengaruh terbesar dari kembalinya Khilafah Islamiyyah terhadap Tanzhim, dengan elemen-elemen dan manhajnya?

Abu ‘Ubaydah: Kembalinya khilafah adalah satu ni’mat di antara ni’mat-ni’mat yang dianugerahkan oleh Alloh kepada seluruh umat Islam, bahkan kepada seluruh manusia. Yang demikian itu karena ia menegakkan syari’at Alloh di bumi, menampakkan tauhid dan memerangi syirik beserta para penganutnya, agar binasa orang yang binasa dengan bukti nyata dan hidup orang yang hidup dengan bukti nyata.

Adapun bagi Tanzhim al-Qo’idah, sebagaimana telah saya sebutkan kepada Anda, kembalinya khilafah adalah tali keselamatan bagi siapa saja yang ingin menyelamatkan agamanya dari ketenggelaman bersama bahtera Tanzhim yang dilubangi oleh para pemimpin Tanzhim dan para syar’iynya untuk menenggelamkan semua orang dalam samudera kesesatan. Maka keluarlah darinya orang yang diberi hidayah oleh Alloh, dan kita masih menunggu sisanya.

Selain itu, deklarasi khilafah adalah perlindungan bagi puluhan ribu pemuda dari terjatuh ke dalam perangkap fitnah nama-nama bersinar yang dimiliki oleh Tanzhim dan para pemimpinnya, karena mereka menemukan aqidah yang bersih dari syirik di Dawlah Islamiyyah. Mereka pun bergantung padanya dan berperang di bawah benderanya.

Di sisi lain, kembalinya khilafah mencegah para pemimpin al-Qo’idah untuk menyelam lebih jauh ke dalam samudera kesesatan karena takut para pemuda akan meninggalkan mereka dan berpaling kepada Dawlah Islamiyyah. Dan kita telah melihat itu selama dua tahun terakhir khususnya. Hanya saja saat ini kita melihat para pemimpin cabang-cabang Tanzhim mulai mengungkap lebih banyak lagi penyimpangan-penyimpangan mereka. Khususnya setelah mayoritas dari mereka memutuskan untuk membunuh setiap orang yang mereka curigai cenderung untuk meninggalkan mereka dan bergabung dengan karavan Khilafah Islamiyyah.

An-Naba’: Semoga Alloh membalas Anda dengan kebaikan atas pertemuan-pertemuan yang menyenangkan ini. Kami memohon kepada Alloh agar menerima apa yang telah Anda sampaikan dari berbagai informasi yang berharga ini kepada kami dan kepada saudara-saudara kita. Was salamu ‘alaikum wa rohmatullohi wa barokatuh.

Ditarjamah dan disebarluaskan oleh Tim Penyebar Berita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...