Jika Kalian
Tidak Berperang,
Niscaya Allah Mengazab Kalian dengan Azab Pedih
Jihad di jalan Allah adalah puncak amalan Islam
tertinggi Islam dan amal shalih paling utama. Jihad menjadi faktor yang membuat
Allah mengampuni dosa, menghapuskan kesalahan, meninggikan derajat, melenyapkan
duka nestapa, menolong orang-orang beriman, menyiksa orang-orang musyrik,
menolak permusuhan para thaghut zalim dan para penjahat perusak, serta
menegakkan agama dan melindungi kehormatan kaum muslimin.
Meskipun
terdapat banyak keutamaan yang mendorong seorang mukmin untuk memperolehnya dan
berupaya untuk meraihnya, meskipun dengan merangkak, akan tetapi Allah subhanahu wa
ta’ala tidak menjadikan ibadah agung ini sebagai
ibadah sunah yang pelakunya mendapat pahala sedangkan yang meninggalkan tidak
diadili. Bahkan Allah subhanahu wa ta’ala menjadikannya sebagai kewajiban atas orang-orang beriman, yang mana
setiap orang yang mampu harus melaksanakan apa kewajiban tersebut, selama Allah
tidak menguzurnya.
Allah subhanahu wa
ta’ala berfirman, “DIWAJIBKAN
ATAS KAMU BERPERANG, Padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci.
Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, Padahal ia amat baik bagimu, dan boleh Jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui
sedang kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah:
216)
KELUARLAH
KALIAN BERPERANG BAIK DALAM KEADAAN RINGAN MAUPUN BERAT
Allah subhanahu wa
ta’ala mencela orang yang tidak ikut dalam Perang
Tabuk karena ridha kepada dunia dan lebih mengutamakan kesenangan dunia yang
sedikit ketimbang apa yang telah disiapkan Allah subhanahu wa ta’ala untuk mujahidin fi sabilillah; berupa kenikmatan melimpah lagi abadi
di akhirat. Dan Allah mengancam orang yang tidak ikut perang dengan siksaan
amat pedih. Allah juga menjelaskan bahwa dengan itu, mereka berarti telah
menjerumuskan diri mereka ke dalam kerugian, dan sekali-kali mereka tidaklah
merugikan Allah sedikit pun. Pasalnya, sangat mudah bagi Allah untuk mengganti
mereka yang menentang perintah-perintahNya dengan kaum lain yang mencintai-Nya
dan berusaha meraih ridha-Nya, berjihad di jalan-Nya dengan sebenar-benar jihad
dan tidak takut kepada selain-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya
bila dikatakan kepadamu: “Berangkatlah (untuk berperang) di jalan Allah,” kamu
merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan
di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia
ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu
tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang
pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat
memberi kemudharatan kepada-Nya sedikit pun. Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” (At-Taubah:
38-39)
Kemudian
datang perintah Allah subhanahu wa ta’ala untuk orang-orang beriman agar menyambut perintah perang yang datang
kepada mereka melalui Rasul-Nya g, dan hendaklah mereka berangkat dalam kondisi
apapun, baik kaya maupun miskin, muda maupun tua. Allah juga mengajarkan mereka
bahwa jihad mereka di jalan Allah dengan harta maupun jiwa mereka, maka hal ini
lebih baik untuk mereka di dunia dan akhirat. Allah berfirman, “Berangkatlah
kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan
harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu,
jika kamu mengetahui.” (At-Taubah: 41)
Allah juga
menjelaskan bahwa tidak ada yang meminta izin untuk tidak mengerjakan perintah
agung yang telah menjadi kewajiban individu (fardhu ‘ain) bagi setiap
orang beriman melalui seruan mobilisasi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
kecuali orang-orang munafik yang berbohong ketika mengutarakan berbagai alasan
mereka demi melegalkan keengganan berjihad yang telah menjadi kewajiban bagi
mereka, kemaksiatan mereka terhadap perintah Nabi dan Imam mereka, serta
ridhanya mereka untuk tidak turut berperang bersama beliau dan orang-orang
beriman. Mereka adalah orang-orang yang keberangkatannya dibenci oleh Allah
untuk berperang di dalam barisan kaum muslimin untuk menghadapi musuh-musuh
Allah. Allah subhanahu wa ta’ala
berfirman, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan Hari
Kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu untuk tidak ikut berjihad dengan
harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa.
Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak
beriman kepada Allah dan Hari Kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu
mereka selalu bimbang dalam keraguannya. Dan jika mereka mau berangkat,
tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah
tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka.
Dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal
itu.” (At-Taubah:
44-46)
APABILA
KALIAN DIPERINTAHKAN UNTUK BERPERANG, MAKA BERANGKATLAH!
Ahlussunah
sepakat bahwa Jihad menjadi kewajiban individual setiap muslim yang diseru oleh
imam untuk berperang di jalan Allah. Meskipun sebenarnya bukanlah fardhu ‘ain
baginya karena telah mencukupinya kaum muslimin yang berjihad fi sabilillah
untuk menjaga tapal batas, menjaga kehormatan, dan keluar memerangi orang-orang
musyrik.
Ibnu
Qudamah rahimahullah berkata di dalam “Syarh Al-Kabir”, “Dan jihad menjadi
fardhu ‘ain dalam tiga kondisi:
Pertama: Apabila dua pasukan telah saling berhadapan, maka haram bagi siapa pun
yang hadir untuk lari. Dan kondisi ini membuat jihad menjadi fardhu ‘ain
baginya berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala : “Hai orang-orang yang beriman. apabila kamu memerangi
pasukan (musuh), Maka berteguh hatilah kamu dan sebutlah (nama) Allah
sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung.” (Al-Anfal:
45)
Dan
firman-Nya: “Dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta
orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal:
46)
Juga
firman Allah subhanahu wa ta’ala : “Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir
yang sedang menyerangmu, Maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur).
Barangsiapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok
untuk (sisat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain,
maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan
tempatnya ialah neraka Jahannam dan amat buruklah tempat kembalinya.” (Al-Anfal:
15-16)
Kedua: Apabila orang-orang kafir menjejaki suatu negeri, maka menjadi fardhu
‘ain bagi penduduk negeri tersebut untuk berperang dan melawan mereka.
Ketiga: Apabila seorang imam menyeru suatu kaum untuk berangkat berperang,
niscaya mereka yang ditunjuk wajib untuk berangkat berperang bersamanya,
berdasarkan firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, Apakah sebabnya bila
dikatakan kepadamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah,” kamu
merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan
di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia
ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu
tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang
pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat
memberi kemudharatan kepada-Nya sedikit pun. Allah Maha Kuasa atas segala
sesuatu.” (At-Taubah:
38-39)
Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,
“APABILA
KALIAN DISERU UNTUK BERPERANG,
MAKA BERANGKATLAH.”
(HR. Al-Bukhari)
Jika kita melihat
kondisi kaum muslimin hari ini, niscaya kita mendapati mayoritas mereka
memandang bahwa jihad adalah amalan sunah, bukan kewajiban niscaya yang mana
keimanan seseorang tidaklah sempurna kecuali dengan melaksanakannya. Di antara
mereka ada yang mengira bahwa tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban ini
hanya berlaku untuk bala tentara Daulah Islam, sedangkan kewajiban mereka hanya
sebatas menolong dengan ucapan, doa, atau dengan harta. Dia pura-pura lupa
bahwa suatu kewajiban jika telah menjadi fardhu ‘ain atas seorang muslim, maka
dosa tidak akan diangkat darinya karena adanya orang lain dari umat Islam yang
menegakkannya, sedangkan dia hanya duduk-duduk belaka. Berbeda hal dengan
fardhu kifayah yang mana untuk mengangkat dosa dari umat Islam cukup dengan
bangkitnya sejumlah kaum muslimin. Seperti halnya umat Islam keluar untuk
menaklukkan negeri-negeri kaum musyrik, kondisi mereka banyak serta mencukupi
dalam hal jumlah dan kekuatan, sehingga orang-orang yang berjihad akan mendapat
pahala, berbeda dengan orang-orang yang duduk-duduk. Kendati mereka selamat
dari dosa, namun mereka tetap merugi karena tidak mendapatkan pahala, kecuali
jika mereka menggantikan posisi para mujahid untuk menyantuni keluarga dan
semua urusan mereka dengan baik.
MAKA JANGANLAH
KALIAN LARI KE BELAKANG
Oang yang
mengamati kondisi umat Islam hari ini, akan mendapati –tanpa diragukan lagi–
bahwa jihad telah menjadi fardhu ‘ain bagi setiap muslim yang akil baligh dan
mampu menenteng senjata. Ini mengingat, orang-orang musyrik telah menjajah
negeri-negeri kaum muslimin sejak berabad-abad lamanya. Mereka menghapus
syariat Allah, lalu menerapakan hukum undang-undang thaghut syirik. Sementara
itu, orang-orang yang berangkat untuk memerangi mereka di sebagian besar
negeri, hanyalah sekelompok kecil kaum muslimin yang tak berdaya menahan
orang-orang musyrik. Selanjutnya, kewajiban untuk keluar memerangi orang-orang
musyrik dan mengembalikan Darul Islam, maka menjadi fardhu ‘ain bagi setiap
muslim mukalaf hingga jumlah para petempur mencukupi.
Seiring
dengan kembalinya Khilafah dan seruan jihad dari Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi
–semoga Allah menjaganya– kepada seluruh kaum muslimin untuk berjihad fi
sabilillah, maka kewajiban individual jihad semakin kuat untuk umat Islam di
setiap tempat, terutama di negeri-negeri Islam yang berada di bumi Daulah
Islam. Kemungkaran orang-orang yang enggan berjihad akan semakin bertambah
ketika kita melihat kondisi beberapa kota Daulah Islam. Tidaklah kita
mendapatkan satu kota pun, melainkan orang-orang musyrik telah memobilisasi
pasukan untuk menyerangnya. Mujahidin di sana pun telah siap untuk berhadapan
dan mengusir mereka dari negeri-negeri Islam. Kedua kubu pasukan telah bertemu
dan saling berhadapan. Kondisi orang yang enggan berjihad malah melarikan diri
ketika perang berkecamuk, dan berbalik ke belakang, berhak untuk mendapatkan
azab Allah subhanahu wa ta’ala yang
telah disinyalir dengan firman-Nya: “Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu,
maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi
mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau
hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka Sesungguhnya orang itu
kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahannam dan amat buruklah
tempat kembalinya.” (Al-Anfal:
15-16)
WAHAI UMAT
ISLAM DI SETIAP TEMPAT, KHUSUSNYA DI NEGERI-NEGERI DAULAH ISLAM…
Keluarlah kalian untuk berperang di jalan Allah, tunaikanlah apa yang
telah diwajibkan Allah berupa jihad melawan orang-orang musyrik dan menjaga
kehormatan umat Islam. Janganlah kalian menjerumuskan diri kalian ke dalam
kemurkaan dan ancaman Allah. Jangan sampai harta dan anak-anak yang kalian
nikmati, lebih kalian cintai daripada Allah, Rasul-Nya, dan membela agama-Nya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
“Katakanlah: “Jika
BAPAK-BAPAK,
ANAK-ANAK,
SAUDARA-SAUDARA,
ISTRI-ISTRI,
KAUM KELUARGAMU,
HARTA KEKAYAAN YANG KAMU
USAHAKAN,
PERNIAGAAN YANG KAMU
KHAWATIRKAN KERUGIANNYA,
DAN TEMPAT TINGGAL YANG KAMU
SUKAI,
ADALAH LEBIH KAMU
CINTAI DARI
ALLAH DAN RASUL-NYA DAN DARI
BERJIHAD
DI
JALAN NYA,
MAKA TUNGGULAH SAMPAI ALLAH
MENDATANGKAN KEPUTUSAN-NYA.” DAN ALLAH TIDAK MEMBERI PETUNJUK KEPADA
ORANG-ORANG YANG FASIK.”
(At-Taubah: 24)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar