7/25/2019

ZAKATNYA HATI


ZAKATNYA  H A T I
Penulis: Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah

Secara bahasa zakat berarti tumbuh dan bertambah dalam kebaikan, juga berarti kesempurnaan sesuatu. Dikatakan zakasy syai'u, jika sesuatu itu tumbuh.

Allah berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا

"Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka." (At-Taubah: 103).

Dua hal, yakni pertumbuhan dan kebersihan dikumpulkan karena keterikatan satu dengan yang lain.

Sesungguhnya kotornya berbagai perbuatan keji dan maksiat dalam hati sama dengan berbagai adukan kotoran yang ada pada tubuh, atau sama dengan kerusakan yang terjadi pada tanaman, atau sama dengan dekil yang ada pada emas, perak, tembaga dan besi. Sebagaimana badan, jika ia dikosongkan dari berbagai kotoran akan menjadi murnilah kekuatan alamiahnya sehingga dia menjadi ringan, lalu ia mampu bekerja tanpa penghalang dan kendala, dan badan pun tumbuh sehat, maka demikian pula dengan hati jika ia bebas dari berbagai dosa dengan taubat, ia berarti bebas dari kotoran, sehingga menjadi murnilah kekuatan hati dan keinginannya pada kebaikan, ia menjadi leluasa tanpa godaan dari faktor-faktor perusak dan materi-materi yang rendah, ia pun tumbuh dan berkembang, kuat dan kokoh, duduk di atas singgasana kerajaannya, dan memerintahkan berbagai aturannyakepadarakyatnya (anggota tubuh). Semua mendengar dan taat padanya. Karena itu, tidak ada jalan bagi pertumbuhannya kecuali setelah ia bersih, sebagaimana firman Allah,

قُلْ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
"Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat'." (An-Nuur: 30).
Dalam ayat di atas, Allah menjadikan zakat (kesucian, pertumbuhan) itu setelah menahan pandangan dan memelihara kemaluan. Karena itu, menahan pandangan dari apa yang diharamkan Allah memberikan tiga manfaat yang sangat besar dan mulia.
Pertama: Manis dan lezatnya iman, yang ia lebih manis, lebih nikmat dan lebih lezat daripada sesuatu yang ia berpaling daripadanya, dan yang ia tinggalkan karena Allah Ta'ala. Karena,

مَنْ تَرَكَ شَيْئًا لَلَّهِ عَوَّضَهُ اللهُ وَجَلَّ خَبِيْرًا مِنْهُ
"Siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah Azza Wa jalla akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik daripada-nya.”

[Hadits riwayatAhmad (5/363), Al-Marwazi dalam Zawa'iduz Zuhd (412), Nasa'i dalam Al-Kubra, seperti disebutkan dalam Tuhfatul Asyraf (11/199) dari salah seorang sahabat bahwasanya ia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya engkau tidak meninggalkan sesuatu untuk Allah kecuali Allah menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik daripadanya." Dan sanad hadits ini shahih. Dalam Al-ltmam (23124) terdapat penjelasan tambahan tentang masalah ini.]

Dan jiwa manusia mempunyai kecintaan melihat pada gambar-gambar yang cantik, sedangkan mata adalah utusan hati. Ia mengutus utusannya untuk melihat apa yang ada di sana. Jika ia mengabarkan kejelitaan dan kecantikan pemandangan padanya, maka tergeraklah hati untuk rindu kepadanya, dan pada galibnya ia membuat letih dan payah utusannya. Seperti dikatakan penyair,
"Dan engkau, jika suatu hari mengutus pandanganmu sebagai utusan hatimu, niscaya berbagai pemandangan itu akan melelahkanmu.
Engkau melihat sesuatu yang tidak pada semuanya bahkan tidak pada sebagiannya engkau mampu bersabar.
Padahal jika engkau menahan utusanmu (pandanganmu) dari membuka pandangan dan meneliti, niscaya hati akan istirahat dari lelahnya mencari dan mengingini.
Siapa yang membiarkan detik-detiknya bergulir tak berguna, niscaya akan abadilah penyesalannya, karena sesungguhnya melihat melahirkan cinta. "

[Pengarang (Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah) telah menyebutkan dalam kitabnya Raudhatul Muhibbin (hal.16) lebih dari 60 sifat dan pengaruh cinta. Dan para ahli ilmu memasukkannya sebagai nama-nama dari cinta itu sendiri. Dan buku tersebut telah dialih bahasakan dengan judul, "Taman Orang-orang jatuh Cinta dan Memendam Rindu", oleh Penerbit Darul Falah (red).]

Dari sini, berawallah hubungan antara hati dengan apa yang dilihatnya. Lalu hubungan itu menguat sehingga menjadi kerinduan yang tertuang ke segenap sisi hati. Kerinduan itu pun menguat hingga menjadi gharam (cinta membara), seperti gharim (orang yang berpiutang) yang tak pernah meninggalkan gharimnya (orang yang berhutang padanya). Lalu gharam itu pun menguat hingga menjadi Hsyq, yaitu cinta yang berlebihan. Lalu ia pula menguat hingga menjadi syaghaf, yaitu cinta yang sampai menukik tajam dan menyatu dengan hati. Kemudian ia juga menguat hingga menjadi tatayyum, yakni penyembahan. Ia menyembah cinta, hatinya pun kemudian menjadi hamba bagi orang yang ia tidak layak menjadi hambanya. Dan ini semua adalah kejahatan karena melihat. Ketika itu hati kemudian menjadi tawanan. Ia menjadi tawanan setelah sebelumnya menjadi raja. Ia menjadi terpenjara setelah sebelumnya merdeka. Sang hati pun kemudian merasa dizalimi oleh mata dan ia mengeluh padanya, sedangkan mata menjawab, "Saya adalah utusan dan delegasimu, engkaulah yang mengutusku!"

Hati yang diuji dengan cobaan seperti ini adalah hati yang kosong dari kecintaan kepada Allah dan ikhlas kepada-Nya. Sesungguhnya hati mesti bergantung kepada sesuatu yang dicintainya. Dan barangsiapa yang bukan Allah semata sebagai yang dicintai, Tuhan dan yang disembahnya maka hatinya akan menyembah kepada selain-Nya.**)

**) Seperti dikatakan dalam bait syair, "Cintanya datang kepadaku sebelum aku mengenal cinta Cinta itu lalu menyelinap ke dalam hati yang kosong sehingga ia melekat kuat." Silahkan menelaah apa yang dikatakan oleh pengarang tentang masalah ini pada lembaran berikut dan dalam Ad-Da' wad Dawa yang saya tahqiq, diterbitkan oleh Dar Ibnul Jauzi.

Allah befirman tentang Yusuf Ash-Shiddiq Alaihis-Salam,

كَّذَلَكَ لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُخْلَصِيْنَ

"Demikianlah agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih." (Yusuf: 24).

Adapun permaisuri raja, karena dia seorang wanita musyrik, maka terjadilah pada dirinya apa yang terjadi, padahal dia memiliki seorang suami. Sedangkan Yusuf Alaihis-Salam, karena dia seorang yang ikhlas kepada Allah Ta'ala maka ia pun selamat dari kekejian itu, padahal dia adalah seorang pemuda, belum menikah, terasing dan hamba sahaya.

Kedua: Dalam menahan pandangan tersimpan cahaya hati dan kebenaran firasat. Ibnu Syuja' Al-Kirman berkata, "Siapa yang memakmurkan lahiriahnya dengan mengikuti Sunnah, memakmurkan batiniahnya dengan muraqabah (penjagaan kepada Allah), menahan nafsunya dari syahwat dan menahan pandangannya dari apa yang diharamkan, serta ia membiasakan diri makan yang halal, niscaya firasatnya tidak akan salah."

Allah menyebutkan kisah kaum Luth serta apa yang menimpa mereka, kemudian setelah itu Allah befirman,

إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِيْنَ

"Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi para mutawassimin." (Al-Hijr: 75).

Mutawassimin yaitu para ahli firasat yang selamat dari pandangan yang diharamkan dan pandangan yang keji.

Setelah memerintah orang-orang beriman agar menahan pandangan dan menjaga kemaluan mereka, Allah lalu befirman,

اللهُ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ

"Allah (pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi." (An-Nuur: 35).

Rahasia semua ini adalah bahwasanya balasan itu sesuai dengan jenis amal perbuatan. Maka barangsiapa yang menahan diri dari meman-dang apa yang diharamkan Allah, niscaya Allah menggantinya dengan yang sejenis, yang lebih baik daripadanya. Sebagaimana ia menahan cahaya pandangannya dari hal-hal yang diharamkan, maka Allah mencemerlangkan cahaya pandangan dan hatinya, sehingga dengannya ia melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh orang meliarkan pandangannya dan tidak menahannya dari apa yang diharamkan Allah Ta'ala.

Masalah ini dapat dirasakan oleh orang dalam dirinya sendiri. Hati adalah laksana cermin, sedangkan hawa nafsu laksana karat di dalamnya. Jika cermin itu terbebas dari karatan maka gambar-gambar di dalamnya akan seperti aslinya, dan jika cermin itu karatan maka ia tidak akan bisa menampakkan gambar ilmu pengetahuan yang sebenarnya, sehingga ilmu dan pembicaraannya hanyalah praduga dan perkiraan belaka.
Ketiga: Timbulnya kekuatan hati, keteguhan dan keberaniannya. Dengan kekuatan hati, Allah memberinya kekuasaan dan kemenangan, sebagaimana dengan cahaya hati Ia memberikan kekuatan hujjah. Maka dihimpunkan untuknya dua kekuatan, sehingga syetan pun lari daripada-nya, seperti disebutkan dalam atsar,
"Sesungguhnya orang yang menyelisihi hawa nafsunya syetan takut dan lari dari naungannya."
[Atsar ini tidak marfu' (kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam]

Karena itu, orang yang mengikuti hawa nafsunya akan mendapatkan bahwa jiwanya hina, rendah dan nista. Demikianlah yang dikehendaki Allah terhadap orang yang maksiat kepada-Nya. Allah hanya menjadikan kemuliaan pada orang yang mentaati-Nya dan kehinaan kepada orang yang mengingkari-Nya.

Allah befirman,

وَلَا تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ

"Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang beriman." (Ali Imran: 139).

Dan Allah befirman,

مَنْ كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعًا
"Barangsiapa menginginkan kemuliaan maka sesungguhnya kemuliaan itu adalah milik Allah semuanya." (Fathir: 10)

Artinya, siapa yang mencari kemaksiatan bagi hatinya maka Allah enggan kecuali menjadikan hina orang yang mendurhakai-Nya.

Sebagian orang berkata, "Orang-orang mencari kemuliaan di pintu-pintu kerajaan, dan mereka tak akan mendapatkannya kecuali dalam ketaatan kepada Allah."
Al-Hasan berkata, "Meskipun kuda-kuda berjalan bagus bersama mereka, keledai-keledai berjalan berkelotek bersama mereka, tetapi sungguh kehinaan maksiat berada dalam hati-hari mereka, Allah Azza via Jalla enggan kecuali la menjadikan hina orang yang mendurhakainya."

Hal itu karena orang yang taat kepada Allah berarti Allah telah mengasihinya. Dan tidak akan dihinakan orang yang dikasihi Tuhannya, seperti disebutkan dalam doa qunut,

إِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ, وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ
"Sesungguhnya tidaklah hina orang yang Engkau kasihi
dan tidaklah mulia orang yang Engkau musuhi.”

[Ini adalah potongan dari hadits doa qunut, dikeluarkan oleh Abu Daud (1425), Nasa'i (3/248). Tirmidzi (464),Ibnu Majah (1178), Darimi (1/311-312), Ahmad (1/199-300), Ibnu Khuzaimah (2/151-152), dari Al-Hasan bin Ali Radhiyallahu Anhuma. Hadits ini shahih. Sanad hadits ini telah banyak dibicarakan, tetapi semuanya tertolak. Lihat Nashbur Rayah (2/125), Talkhishul Habir (1/247).]

Maksudnya, zakat (pertumbuhan)-nya hati tergantung pada kebersihannya. Sebagaimana pertumbuhan badan tergantung pada kekosongannya dari berbagai penyakit dan kejahatan yang merusak.

Allah befirman,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ وَمَن يَتَّبِعۡ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَإِنَّهُۥ يَأۡمُرُ بِٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۚ وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنۡ أَحَدٍ أَبَدٗا وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يُزَكِّي مَن يَشَآءُۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٞ ٢١
"Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu sekalian, niscaya tidak seorangpun darikamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (An-Nuur: 21).
Allah menyebutkan ayat di atas setelah pengharaman zina, menuduh zina tanpa bukti dan menikahi wanita pezina, maka hal itu menunjukkan bahwa membersihkan diri adalah dengan menjauhi segala hal tersebut.
Demikian pula dengan firman Allah tentang meminta izin kepada penghuni rumah. Allah befirman,
وَإِن قِيلَ لَكُمُ ٱرۡجِعُواْ فَٱرۡجِعُواْۖ هُوَ أَزۡكَىٰ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٞ
"Dan jika dikatakan kepadamu, 'Kembali (saja)-lah', maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu." (An-Nuur: 28).

Sesungguhnya jika mereka diminta untuk pulang agar tidak mengetahui rahasia yang tidak disukai penghuni rumah jika diketahui maka hal itu lebih bersih bagi mereka, sebagaimana menahan pandangan dan menundukkannya, lebih bersih bagi pemiliknya.

فَقُلۡ هَل لَّكَ إِلَىٰٓ أَن تَزَكَّىٰ
"Dan katakanlah (kepada Fir'aun), 'Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesatan)?" (An-Nazi'at: 18).

Allah befirman tentang Musa Alaihis-Salam dalam ucapannya terhadap Fir'aun,

وَوَيۡلٞ لِّلۡمُشۡرِكِينَ ٦ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُم بِٱلۡأٓخِرَةِ هُمۡ كَٰفِرُونَ ٧

"Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang menyekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat." (Fushshilat: 6-7).

Sebagian besar ahli tafsir dari orang-orang salaf dan orang-orang sesudah mereka (Ma'alimut Tamil (5/57) dan Tafsir Ibnu Katsir (4/139)) berkata, "la adalah tauhid, yakni bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan beriman yang dengannya hati menjadi bersih. Dan sungguh yang demikian itu menjamin penafian ketuhanan selain daripada Allah dari dalam had, dan dengan cara itulah kebersihan hati itu, serta penetapan ketuhanan Allah Ta'ala, dan itulah pokok dari kesucian dan pertumbuhan."

Sesungguhnya tazakki -meskipun asalnya berarti pertumbuhan, tambahan dan barakah- ia hanya bisa diperoleh dengan menghilangkan keburukan. Karena itu tazakki mengandung dua hal tersebut (pertama: Pertumbuhan, tambahan dan barakah; kedua: Penghilangan keburukan). Maka sesuatu yang dengannya pertama kali hati dan ruh menjadi bersih adalah tauhid. Dan tazkiyah adalah menjadikan sesuatu agar bersih, baik dalam dzatnya maupun dalam kepercayaan dan berita tentangnya. Seperti dikatakan, "Addaltuhu wafassaqtuhu", jikaAnda menjadikannya adil dan fasik di luar atau di dalam kepercayaan dan berita.

Dalam hal ini maka firman Allah, "Karena itu janganlah kamu mensucikan dirimu sendiri", tidaklah sama dengan makna firman Allah, "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu." (Asy-Syams: 9).

Karena makna ayat yang pertama adalah janganlah kamu mengabarkan tentang kesucian dirimu dan kamu berkata bahwa kamu adalah orang-orang yang suci, shalih dan bertakwa. Karena itu pada penghujung ayat disebutkan,

"Dia lebih mengetahui tentang siapa yang lebih bertakwa (di antara kamu)."

Dahulunya, nama Zainab adalah Barrah (orang yang baik). Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bertanya heran, "Apakah dia mensucikan dirinya sendiri?" Akhirnya beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam memberinya nama Zainab, seraya bersabda, "Allah lebih mengetahui tentang para ahli kebaikan di antara kalian.

Demikian pula dengan firman Allah,

أَلَمۡ تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنفُسَهُمۚ
"Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci?"
(An-Nisa': 49).

Artinya, mereka mempercayai tentang kesucian dirinya dan mengabarkan hal itu kepada orang lain, seperti orang lain yang memberikan kesaksian suci atas dirinya, lalu dia bercerita tentang dirinya sebagaimana yang biasa dikatakan oleh orang yang memberikan kesaksian suci. Lalu Allah befirman,

بَلِ ٱللَّهُ يُزَكِّي مَن يَشَآءُ وَلَا يُظۡلَمُونَ فَتِيلًا
"Padahal Allahlah yang mensucikan siapa yang dikehendaki-Nya." (An-Nisa': 49).
Artinya, Dialah yang menjadikan dia orang yang suci. Dan ini berbeda dengan firman-Nya,
قَدۡ أَفۡلَحَ مَن زَكَّىٰهَا
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu."
                                                                  (Asy-Syams: 9).      

Sebab ayat ini (Asy-Syams: 9) semakna dengan firman-Nya,
فَقُلۡ هَل لَّكَ إِلَىٰٓ أَن تَزَكَّىٰ
"Adakah keinginan bagimu untuk membersihkan diri (dari kesesat-an)?'
(An-Nazi'at: 18).

Artinya, engkau melakukan ketaatan kepada Allah sehingga engkau menjadi orang yang bersih.

Ayat yang sejenis adalah firman Allah, "Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri." (Al-A'la: 14). Dan firman Allah, "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu." (Asy-Syams: 9).

Makna yang benar dari kedua ayat di atas menurut jumhur para ahli tafsir adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Qatadah, "Siapa yang melakukan amal kebaikan maka berarti ia membersihkan dirinya dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla." Ia juga berkata, "Beruntunglah orang yang membersihkan dirinya dengan beramal shalih."

Al-Hasan berkata, "Beruntunglah orang yang membersihkan dirinya, memperbaikinya dan membawanya pada ketaatan kepada Allah. Dan merugilah orang yang menghancurkan dirinya dan membawanya pada kemaksiatan kepada Allah Ta'ala."

Ibnu Qutaibah berkata, "Maksud kalimat, 'Beruntunglah orang yang membersihkan dirinya', adalah ia menumbuhkannya dan meninggikannya dengan ketaatan, kebaikan dan shadaqah serta dengan berbuat yang ma'ruf. Dan firman-Nya, 'Dan merugilah orang yang mengotori jiwanya', artinya, orang yang mengurangi jiwanya dan menyembunyikannya dengan meninggalkan perbuatan baik dan melakukan berbagai maksiat" 

Orang yang pendosa senantiasa tersembunyi tempatnya, kemanusiaannya sakit, kepribadiannya tak jelas,*)  kepalanya terbalik, maka orang yang melakukan berbagai kekejian telah mengotori dan menghanguskan jiwanya. Sedang orang yang berbuat kebajikan dia telah membuka jiwanya dan meninggikannya.

*) Adapun orang Muslim yang jujur, yang melihat (kebenaran) dan mengikutinya adalah orang yang kepribadiannya jelas, mu'amalahnya tampak, demikian pula perilakunya, tidak ada yang tersembunyi, tidak ada yang ditutup-tutupi, terutama di antara para saudara dan orang-orang yang dicintainya. Ia tidak memiliki dua wajah atau dua lisan. 



Sebagian ahli tafsir berkata, "Merugilah orang yang menyelinap di antara orang-orang shalih sementara ia tidak termasuk golongan mereka."

Al-Wahidi berkata, "Dan itu berarti, ia menyembunyikan dirinya di tengah-tengah orang-orang shalih, tampak oleh manusia bahwa ia di antara mereka, padahal ia tidak berlaku seperti perilaku orang-orang shalih."

Pengertian ini -meskipun maknanya benar-, tetapi perlu dikaji lagi jika yang dimaksud adalah pengertian ayat di atas. Hanya saja, ia bisa masuk dalam pengertian ayat secara umum. Karena setiap orang yang mengotori jiwanya dengan berbagai kekejian, manakala ia berkumpul dengan orang-orang ahli kebaikan maka ia mengotori dirinya di antara mereka. Wallahu alam.


Source: 
Ringkasan  - MANAJEMEN QOLBU - (Melumpuhkan Senjata Syetan )
Judul Asli: Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatul Lahfan fi Mashayidisy Syaithan
Penulis: Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Penerjemah: Ainul Haris Umar Arifin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...