ZAKATNYA H A T I
Penulis: Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah
Secara bahasa zakat berarti tumbuh dan
bertambah dalam kebaikan, juga berarti kesempurnaan sesuatu. Dikatakan zakasy
syai'u, jika sesuatu itu tumbuh.
Allah berfirman,
خُذْ
مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا
"Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
menyucikan mereka." (At-Taubah: 103).
Dua hal, yakni pertumbuhan dan
kebersihan dikumpulkan karena keterikatan satu dengan yang lain.
Sesungguhnya
kotornya berbagai perbuatan keji dan maksiat dalam hati sama dengan berbagai
adukan kotoran yang ada pada tubuh, atau sama dengan kerusakan yang terjadi
pada tanaman, atau sama dengan dekil yang ada pada emas, perak, tembaga dan
besi. Sebagaimana badan, jika ia dikosongkan dari berbagai kotoran akan menjadi
murnilah kekuatan alamiahnya sehingga dia menjadi ringan, lalu ia mampu bekerja
tanpa penghalang dan kendala, dan badan pun tumbuh sehat, maka demikian pula
dengan hati jika ia bebas dari berbagai dosa dengan taubat, ia berarti bebas
dari kotoran, sehingga menjadi murnilah kekuatan hati dan keinginannya pada
kebaikan, ia menjadi leluasa tanpa godaan dari faktor-faktor perusak dan
materi-materi yang rendah, ia pun tumbuh dan berkembang, kuat dan kokoh, duduk
di atas singgasana kerajaannya, dan memerintahkan berbagai aturannyakepadarakyatnya
(anggota tubuh). Semua mendengar dan taat padanya. Karena itu, tidak ada jalan
bagi pertumbuhannya kecuali setelah ia bersih, sebagaimana firman Allah,
قُلْ
لِّلْمُؤْمِنِيْنَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ
أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللهَ خَبِيْرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
"Katakanlah kepada
orang laki-laki yang beriman, 'Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya, yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat'." (An-Nuur:
30).
Dalam ayat di atas, Allah
menjadikan zakat (kesucian, pertumbuhan) itu setelah menahan pandangan dan
memelihara kemaluan. Karena itu, menahan pandangan dari apa yang diharamkan
Allah memberikan tiga manfaat yang sangat besar dan mulia.
Pertama: Manis
dan lezatnya iman, yang ia lebih manis, lebih nikmat dan lebih lezat daripada
sesuatu yang ia berpaling daripadanya, dan yang ia tinggalkan karena Allah Ta'ala.
Karena,
مَنْ
تَرَكَ شَيْئًا لَلَّهِ عَوَّضَهُ اللهُ وَجَلَّ خَبِيْرًا مِنْهُ
"Siapa
yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah Azza Wa
jalla akan menggantinya dengan sesuatu yang lebih baik daripada-nya.”
[Hadits riwayatAhmad (5/363), Al-Marwazi
dalam Zawa'iduz Zuhd (412), Nasa'i dalam Al-Kubra, seperti
disebutkan dalam Tuhfatul Asyraf (11/199) dari salah seorang sahabat
bahwasanya ia berkata, Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,
"Sesungguhnya engkau tidak meninggalkan sesuatu untuk Allah kecuali
Allah menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik daripadanya." Dan
sanad hadits ini shahih. Dalam Al-ltmam (23124) terdapat
penjelasan tambahan tentang masalah ini.]
Dan jiwa manusia mempunyai
kecintaan melihat pada gambar-gambar yang cantik, sedangkan mata adalah utusan
hati. Ia mengutus utusannya untuk melihat apa yang ada di sana. Jika ia
mengabarkan kejelitaan dan kecantikan pemandangan padanya, maka tergeraklah
hati untuk rindu kepadanya, dan pada galibnya ia membuat letih dan payah
utusannya. Seperti dikatakan penyair,
"Dan
engkau, jika suatu hari mengutus pandanganmu sebagai utusan hatimu, niscaya
berbagai pemandangan itu akan melelahkanmu.
Engkau
melihat sesuatu yang tidak pada semuanya bahkan tidak pada sebagiannya engkau
mampu bersabar.
Padahal
jika engkau menahan utusanmu (pandanganmu) dari membuka pandangan dan meneliti,
niscaya hati akan istirahat dari lelahnya mencari dan mengingini.
Siapa
yang membiarkan detik-detiknya bergulir tak berguna, niscaya akan abadilah
penyesalannya, karena sesungguhnya melihat melahirkan cinta. "
[Pengarang (Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah) telah menyebutkan dalam kitabnya Raudhatul Muhibbin (hal.16)
lebih dari 60 sifat dan pengaruh cinta. Dan para ahli ilmu memasukkannya
sebagai nama-nama dari cinta itu sendiri. Dan buku tersebut telah dialih
bahasakan dengan judul, "Taman Orang-orang jatuh Cinta dan Memendam
Rindu", oleh Penerbit Darul Falah (red).]
Dari sini, berawallah
hubungan antara hati dengan apa yang dilihatnya. Lalu hubungan itu menguat
sehingga menjadi kerinduan yang tertuang ke segenap sisi hati. Kerinduan itu
pun menguat hingga menjadi gharam (cinta membara), seperti gharim (orang
yang berpiutang) yang tak pernah meninggalkan gharimnya (orang yang
berhutang padanya). Lalu gharam itu pun menguat hingga menjadi Hsyq, yaitu
cinta yang berlebihan. Lalu ia pula menguat hingga menjadi syaghaf, yaitu
cinta yang sampai menukik tajam dan menyatu dengan hati. Kemudian ia juga
menguat hingga menjadi tatayyum, yakni penyembahan. Ia menyembah cinta,
hatinya pun kemudian menjadi hamba bagi orang yang ia tidak layak menjadi
hambanya. Dan ini semua adalah kejahatan karena melihat. Ketika itu hati
kemudian menjadi tawanan. Ia menjadi tawanan setelah sebelumnya menjadi raja.
Ia menjadi terpenjara setelah sebelumnya merdeka. Sang hati pun kemudian merasa
dizalimi oleh mata dan ia mengeluh padanya, sedangkan mata menjawab, "Saya
adalah utusan dan delegasimu, engkaulah yang mengutusku!"
Hati yang diuji dengan
cobaan seperti ini adalah hati yang kosong dari kecintaan kepada Allah dan
ikhlas kepada-Nya. Sesungguhnya hati mesti bergantung kepada sesuatu yang
dicintainya. Dan barangsiapa yang bukan Allah semata sebagai yang dicintai,
Tuhan dan yang disembahnya maka hatinya akan menyembah kepada selain-Nya.**)
**) Seperti dikatakan dalam bait syair, "Cintanya datang kepadaku
sebelum aku mengenal cinta Cinta itu lalu menyelinap ke dalam hati yang kosong
sehingga ia melekat kuat." Silahkan
menelaah apa yang dikatakan oleh pengarang tentang masalah ini pada lembaran
berikut dan dalam Ad-Da' wad Dawa yang saya tahqiq, diterbitkan
oleh Dar Ibnul Jauzi.
Allah befirman tentang Yusuf Ash-Shiddiq Alaihis-Salam,
كَّذَلَكَ
لِنَصْرِفَ عَنْهُ السُّوءَ وَالْفَحْشَاءَ إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا
الْمُخْلَصِيْنَ
"Demikianlah
agar Kami memalingkan daripadanya kemungkaran dan kekejian. Sesungguhnya Yusuf
itu termasuk hamba-hamba Kami yang terpilih." (Yusuf:
24).
Adapun
permaisuri raja, karena dia seorang wanita musyrik, maka terjadilah pada
dirinya apa yang terjadi, padahal dia memiliki seorang suami. Sedangkan Yusuf Alaihis-Salam,
karena dia seorang yang ikhlas kepada Allah Ta'ala maka ia pun
selamat dari kekejian itu, padahal dia adalah seorang pemuda, belum menikah,
terasing dan hamba sahaya.
Kedua: Dalam
menahan pandangan tersimpan cahaya hati dan kebenaran firasat. Ibnu Syuja'
Al-Kirman berkata, "Siapa yang memakmurkan lahiriahnya dengan mengikuti
Sunnah, memakmurkan batiniahnya dengan muraqabah (penjagaan kepada
Allah), menahan nafsunya dari syahwat dan menahan pandangannya dari apa yang
diharamkan, serta ia membiasakan diri makan yang halal, niscaya firasatnya
tidak akan salah."
Allah
menyebutkan kisah kaum Luth serta apa yang menimpa mereka, kemudian setelah itu
Allah befirman,
إِنَّ
فِيْ ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِلْمُتَوَسِّمِيْنَ
"Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Kami) bagi
para mutawassimin." (Al-Hijr: 75).
Mutawassimin
yaitu para ahli firasat yang selamat dari pandangan yang
diharamkan dan pandangan yang keji.
Setelah
memerintah orang-orang beriman agar menahan pandangan dan menjaga kemaluan
mereka, Allah lalu befirman,
اللهُ
نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
"Allah
(pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi." (An-Nuur:
35).
Rahasia semua ini adalah
bahwasanya balasan itu sesuai dengan jenis amal perbuatan. Maka barangsiapa
yang menahan diri dari meman-dang apa yang diharamkan Allah, niscaya Allah
menggantinya dengan yang sejenis, yang lebih baik daripadanya. Sebagaimana ia
menahan cahaya pandangannya dari hal-hal yang diharamkan, maka Allah mencemerlangkan
cahaya pandangan dan hatinya, sehingga dengannya ia melihat apa yang tidak bisa
dilihat oleh orang meliarkan pandangannya dan tidak menahannya dari apa yang
diharamkan Allah Ta'ala.
Masalah ini dapat dirasakan
oleh orang dalam dirinya sendiri. Hati adalah laksana cermin, sedangkan hawa
nafsu laksana karat di dalamnya. Jika cermin itu terbebas dari karatan maka
gambar-gambar di dalamnya akan seperti aslinya, dan jika cermin itu karatan
maka ia tidak akan bisa menampakkan gambar ilmu pengetahuan yang sebenarnya,
sehingga ilmu dan pembicaraannya hanyalah praduga dan perkiraan belaka.
Ketiga:
Timbulnya kekuatan hati, keteguhan dan keberaniannya. Dengan kekuatan hati,
Allah memberinya kekuasaan dan kemenangan, sebagaimana dengan cahaya hati Ia
memberikan kekuatan hujjah. Maka dihimpunkan untuknya dua kekuatan,
sehingga syetan pun lari daripada-nya, seperti disebutkan dalam atsar,
"Sesungguhnya
orang yang menyelisihi hawa nafsunya syetan takut dan lari dari
naungannya."
[Atsar ini tidak
marfu' (kepada Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam]
Karena
itu, orang yang mengikuti hawa nafsunya akan mendapatkan bahwa jiwanya hina,
rendah dan nista. Demikianlah yang dikehendaki Allah terhadap orang yang
maksiat kepada-Nya. Allah hanya menjadikan kemuliaan pada orang yang
mentaati-Nya dan kehinaan kepada orang yang mengingkari-Nya.
Allah befirman,
وَلَا
تَهِنُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَنْتُمُ الْأَعْلَوْنَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِيْنَ
"Janganlah kamu
bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah
orang-orang yang paling tinggi (derajatnya) jika kamu orang-orang yang
beriman." (Ali Imran: 139).
Dan Allah befirman,
مَنْ
كَانَ يُرِيْدُ الْعِزَّةَ فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيْعًا
"Barangsiapa menginginkan kemuliaan maka sesungguhnya
kemuliaan itu adalah milik Allah semuanya." (Fathir:
10)
Artinya, siapa yang mencari
kemaksiatan bagi hatinya maka Allah enggan kecuali menjadikan hina orang yang
mendurhakai-Nya.
Sebagian orang berkata,
"Orang-orang mencari kemuliaan di pintu-pintu kerajaan, dan mereka tak
akan mendapatkannya kecuali dalam ketaatan kepada Allah."
Al-Hasan berkata,
"Meskipun kuda-kuda berjalan bagus bersama mereka, keledai-keledai
berjalan berkelotek bersama mereka, tetapi sungguh kehinaan maksiat berada
dalam hati-hari mereka, Allah Azza via Jalla enggan kecuali la
menjadikan hina orang yang mendurhakainya."
Hal itu karena orang yang
taat kepada Allah berarti Allah telah mengasihinya. Dan tidak akan dihinakan
orang yang dikasihi Tuhannya, seperti disebutkan dalam doa qunut,
إِنَّهُ
لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ, وَلَا يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ
"Sesungguhnya tidaklah hina orang yang Engkau kasihi
dan tidaklah mulia orang yang Engkau musuhi.”
[Ini
adalah potongan dari hadits doa qunut, dikeluarkan oleh Abu Daud (1425), Nasa'i
(3/248). Tirmidzi (464),Ibnu Majah (1178), Darimi (1/311-312), Ahmad
(1/199-300), Ibnu Khuzaimah (2/151-152), dari Al-Hasan bin Ali Radhiyallahu
Anhuma. Hadits ini shahih. Sanad hadits ini telah banyak
dibicarakan, tetapi semuanya tertolak. Lihat Nashbur Rayah (2/125), Talkhishul
Habir (1/247).]
Maksudnya, zakat
(pertumbuhan)-nya hati tergantung pada kebersihannya. Sebagaimana pertumbuhan
badan tergantung pada kekosongannya dari berbagai penyakit dan kejahatan yang
merusak.
Allah befirman,
يَٰٓأَيُّهَا
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَتَّبِعُواْ خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِۚ وَمَن يَتَّبِعۡ
خُطُوَٰتِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَإِنَّهُۥ يَأۡمُرُ بِٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۚ
وَلَوۡلَا فَضۡلُ ٱللَّهِ عَلَيۡكُمۡ وَرَحۡمَتُهُۥ مَا زَكَىٰ مِنكُم مِّنۡ
أَحَدٍ أَبَدٗا وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يُزَكِّي مَن يَشَآءُۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ
عَلِيمٞ ٢١
"Sekiranya tidaklah
karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu sekalian, niscaya tidak seorangpun
darikamu bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya,
tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui." (An-Nuur: 21).
Allah menyebutkan ayat di
atas setelah pengharaman zina, menuduh zina tanpa bukti dan menikahi wanita
pezina, maka hal itu menunjukkan bahwa membersihkan diri adalah dengan menjauhi
segala hal tersebut.
Demikian pula dengan firman
Allah tentang meminta izin kepada penghuni rumah. Allah befirman,
وَإِن قِيلَ لَكُمُ ٱرۡجِعُواْ
فَٱرۡجِعُواْۖ هُوَ أَزۡكَىٰ لَكُمۡۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعۡمَلُونَ عَلِيمٞ
"Dan jika dikatakan kepadamu, 'Kembali (saja)-lah', maka
hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu." (An-Nuur:
28).
Sesungguhnya
jika mereka diminta untuk pulang agar tidak mengetahui rahasia yang tidak
disukai penghuni rumah jika diketahui maka hal itu lebih bersih bagi mereka,
sebagaimana menahan pandangan dan menundukkannya, lebih bersih bagi pemiliknya.
فَقُلۡ
هَل لَّكَ إِلَىٰٓ أَن تَزَكَّىٰ
"Dan katakanlah (kepada Fir'aun), 'Adakah keinginan bagimu
untuk membersihkan diri (dari kesesatan)?" (An-Nazi'at:
18).
Allah
befirman tentang Musa Alaihis-Salam dalam ucapannya terhadap Fir'aun,
وَوَيۡلٞ
لِّلۡمُشۡرِكِينَ ٦ ٱلَّذِينَ لَا يُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَهُم بِٱلۡأٓخِرَةِ هُمۡ
كَٰفِرُونَ ٧
"Dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang
menyekutukan-(Nya), (yaitu) orang-orang yang tidak menunaikan zakat." (Fushshilat:
6-7).
Sebagian
besar ahli tafsir dari orang-orang salaf dan orang-orang sesudah mereka (Ma'alimut Tamil (5/57) dan Tafsir
Ibnu Katsir (4/139)) berkata,
"la adalah tauhid, yakni bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak
disembah kecuali Allah dan beriman yang dengannya hati menjadi bersih. Dan
sungguh yang demikian itu menjamin penafian ketuhanan selain daripada Allah
dari dalam had, dan dengan cara itulah kebersihan hati itu, serta penetapan
ketuhanan Allah Ta'ala, dan itulah pokok dari kesucian dan
pertumbuhan."
Sesungguhnya
tazakki -meskipun asalnya berarti pertumbuhan, tambahan dan barakah- ia
hanya bisa diperoleh dengan menghilangkan keburukan. Karena itu tazakki mengandung
dua hal tersebut (pertama: Pertumbuhan, tambahan dan barakah; kedua: Penghilangan
keburukan). Maka sesuatu yang dengannya pertama kali hati dan ruh menjadi
bersih adalah tauhid. Dan tazkiyah adalah menjadikan sesuatu agar bersih,
baik dalam dzatnya maupun dalam kepercayaan dan berita tentangnya. Seperti
dikatakan, "Addaltuhu wafassaqtuhu", jikaAnda menjadikannya
adil dan fasik di luar atau di dalam kepercayaan dan berita.
Dalam
hal ini maka firman Allah, "Karena itu janganlah kamu mensucikan dirimu
sendiri", tidaklah sama dengan makna firman Allah, "Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu." (Asy-Syams: 9).
Karena
makna ayat yang pertama adalah janganlah kamu mengabarkan tentang kesucian
dirimu dan kamu berkata bahwa kamu adalah orang-orang yang suci, shalih dan
bertakwa. Karena itu pada penghujung ayat disebutkan,
"Dia lebih mengetahui tentang siapa yang lebih bertakwa (di
antara kamu)."
Dahulunya,
nama Zainab adalah Barrah (orang yang baik). Maka Rasulullah Shallallahu
Alaihi wa Sallam bertanya heran, "Apakah dia mensucikan dirinya
sendiri?" Akhirnya beliau Shallallahu Alaihi wa Sallam memberinya
nama Zainab, seraya bersabda, "Allah lebih mengetahui tentang para ahli
kebaikan di antara kalian.
Demikian pula dengan
firman Allah,
أَلَمۡ
تَرَ إِلَى ٱلَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنفُسَهُمۚ
"Apakah engkau tidak memperhatikan orang-orang yang
menganggap dirinya suci?"
(An-Nisa': 49).
Artinya, mereka mempercayai
tentang kesucian dirinya dan mengabarkan hal itu kepada orang lain, seperti
orang lain yang memberikan kesaksian suci atas dirinya, lalu dia bercerita
tentang dirinya sebagaimana yang biasa dikatakan oleh orang yang memberikan
kesaksian suci. Lalu Allah befirman,
بَلِ ٱللَّهُ يُزَكِّي مَن
يَشَآءُ وَلَا يُظۡلَمُونَ فَتِيلًا
"Padahal Allahlah yang mensucikan siapa yang
dikehendaki-Nya." (An-Nisa': 49).
Artinya, Dialah yang
menjadikan dia orang yang suci. Dan ini berbeda dengan firman-Nya,
قَدۡ أَفۡلَحَ مَن
زَكَّىٰهَا
"Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa
itu."
(Asy-Syams:
9).
Sebab ayat ini (Asy-Syams: 9) semakna
dengan firman-Nya,
فَقُلۡ هَل لَّكَ إِلَىٰٓ
أَن تَزَكَّىٰ
"Adakah keinginan bagimu untuk
membersihkan diri (dari kesesat-an)?'
(An-Nazi'at:
18).
Artinya, engkau melakukan ketaatan
kepada Allah sehingga engkau menjadi orang yang bersih.
Ayat yang sejenis adalah firman Allah, "Sesungguhnya
beruntunglah orang yang membersihkan diri." (Al-A'la: 14). Dan firman
Allah, "Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu."
(Asy-Syams: 9).
Makna yang benar dari kedua ayat di atas
menurut jumhur para ahli tafsir adalah sebagaimana yang
dikatakan oleh Qatadah, "Siapa yang melakukan amal kebaikan maka berarti
ia membersihkan dirinya dengan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla." Ia
juga berkata, "Beruntunglah orang yang membersihkan dirinya dengan beramal
shalih."
Al-Hasan berkata, "Beruntunglah
orang yang membersihkan dirinya, memperbaikinya dan membawanya pada ketaatan
kepada Allah. Dan merugilah orang yang menghancurkan dirinya dan membawanya
pada kemaksiatan kepada Allah Ta'ala."
Ibnu Qutaibah berkata, "Maksud
kalimat, 'Beruntunglah orang yang membersihkan dirinya', adalah ia
menumbuhkannya dan meninggikannya dengan ketaatan, kebaikan dan shadaqah serta
dengan berbuat yang ma'ruf. Dan firman-Nya, 'Dan merugilah orang yang
mengotori jiwanya', artinya, orang yang mengurangi jiwanya dan
menyembunyikannya dengan meninggalkan perbuatan baik dan melakukan berbagai
maksiat"
Orang yang pendosa senantiasa
tersembunyi tempatnya, kemanusiaannya sakit, kepribadiannya tak jelas,*) kepalanya terbalik, maka orang
yang melakukan berbagai kekejian telah mengotori dan menghanguskan jiwanya.
Sedang orang yang berbuat kebajikan dia telah membuka jiwanya dan
meninggikannya.
*) Adapun orang
Muslim yang jujur, yang melihat (kebenaran) dan mengikutinya adalah orang yang
kepribadiannya jelas, mu'amalahnya tampak, demikian pula perilakunya, tidak ada
yang tersembunyi, tidak ada yang ditutup-tutupi, terutama di antara para
saudara dan orang-orang yang dicintainya. Ia tidak memiliki dua wajah atau dua
lisan.
Sebagian ahli tafsir berkata, "Merugilah orang yang menyelinap di antara orang-orang shalih sementara ia tidak termasuk golongan mereka."
Al-Wahidi berkata, "Dan itu
berarti, ia menyembunyikan dirinya di tengah-tengah orang-orang shalih, tampak
oleh manusia bahwa ia di antara mereka, padahal ia tidak berlaku seperti
perilaku orang-orang shalih."
Pengertian ini -meskipun maknanya
benar-, tetapi perlu dikaji lagi jika yang dimaksud adalah pengertian ayat di
atas. Hanya saja, ia bisa masuk dalam pengertian ayat secara umum. Karena
setiap orang yang mengotori jiwanya dengan berbagai kekejian, manakala ia
berkumpul dengan orang-orang ahli kebaikan maka ia mengotori dirinya di antara
mereka. Wallahu alam.
Source:
Ringkasan - MANAJEMEN QOLBU - (Melumpuhkan Senjata
Syetan )
Judul
Asli: Mawaridul Aman Al-Muntaqa min Ighatsatul Lahfan fi Mashayidisy Syaithan
Penulis:
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Penerjemah: Ainul Haris Umar Arifin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar