Abu
Nu’man Yantari
Sekian
lama berjihad di Somalia ... namun dengan licik mereka membunuhnya
Sahabat yang mulia Abdullah Ibn Salam –
Radhiyallahu ‘anhu – adalah seseorang yang mempunyai kedudukan diantara para
sahabatnya (orang-orang Yahudi). Ia berkata kepada Nabi, ‘alaihis sholatu wa
salam ketika masuk islam: “Wahai Rasulullah sesungguhnya Yahudi itu kaum pemfitnah,
sesungguhnya mereka jika mengetahui keislamanku sebelum engkau bertanya kepada
mereka, mereka akan memfitnahku”. Maka ketika orang-orang Yahudi datang, Nabi
Sholallahu’alaihi wa sallam bertanya kepada mereka: “Lelaki seperti apa
Abdullah bagi kalian? Mereka berkata: “Ia adalah sebaik-baik kami dan
sebaik-baik putra kami, ia adalah tuan kami dan anak lelaki tuan kami”. Berkata
Rasulullah: “Bagaimana pendapat kalian jika ‘Abdullah Ibn Salam masuk Islam?
Maka mereka berkata: “Semoga Allah melindunginya dari hal itu! Maka keluarlah
‘Abdullah kemudian berkata: “Asyhadu allaa ilaa ha illallah wa asyhadu anna
Muhammadar rasulullah” (saya bersaksi tiada sesembahan yang berhak disembah kecuali
Allah dan Muhammad Rasulullah). Mereka berkata: “Seburuk-buruk kami dan
seburuk-buruk putra kami!” Dan mereka (orang-orang Yahudi) menghinanya.
Abdullah ibn Salam berkata: Inilah yang aku khawatirkan wahai Rasulullah” (HR
Bukhari).
Inilah tabiat Yahudi di setiap tempat, dan demikian juga karakter
siapapun yang mengadopsi manhaj batil mereka; berupa menyombongkan diri dari
mengikuti kebenaran dan membuat makar atas pemeluknya. Hal itu lantaran
kedengkian akut dalam diri mereka ketika mengetahui kebenaran ada pada pihak
lawannya.
Syaikh Abu Nu’man Yantari
– taqobbalahullah, dari sedikit manusia yang selalu berusaha menggali kebenaran
dan menjelajahi jalan petunjuk. Ketika memperolehnya, maka tak dipedulikannya
lagi kedudukannya di antara kaumnya, sekalipun mereka akan berbuat makar
atasnya dan memfitnahnya. Bahkan, ia meyakini kebenaran itu dengan sepenuh
hatinya, melaksanakan konsekuensinya, menyeru manusia pada apa yang diyakininya
itu, dan bersabar dengan gangguan yang didapatnya.
Adalah keikutsertaan beliau cukup bagus dalam meletakkan pondasi
jihad di Somalia. Bahkan beliau termasuk para petingginya yang terkemuka.
Berjuang memerangi murtaddin dan salibis dan terluka beberapa kali. Tertimpa
celaka, kelaparan, dipenjara dan diusir, semuanya fie sabilillah. Yang pada
akhirnya, perjalanan emasnya ini berakhir terbunuh secara licik ditangan
orang-orang yang dahulu menganggapnya sebagai orang terbaik mereka putra
terbaik mereka. Hanya dengan kebergabungannya dalam kafilah Khilafah, beliau
berubah menjadi target tikaman mereka. Mereka memfitnahnya, mencederai
kehormatannya, yang akhirnya menikamnya dari balik punggungnya, setelah
sebelumnya beliau menolong, menaungi dan mengamankan mereka.
Syaikh Basyir Adam Feili, yang masyhur (terkenal) dengan
panggilan Abu Nu’man Yantari, lahir di tahun 1390 H di desa Gaduud, distrik
Saakow. Nasabnya kembali ke kabilah Yantar yang merupakan bagian dari kabilah
Rahanweyn.
Beliau
keluar dari kampungnya untuk menuntut ilmu ketika masih kecil. Ia mempelajari
Al Quran di desa Hakarka di daerah administratif Bay. Kemudian pindah ke kota
Baidoa untuk mendaftar di Darul Hadits, lalu bergabung di Ma’had Syar’i di
Distrik Luuq dan mendapat pelatihan militer dalam kamp-kamp Al Ittihad Al
Islami pada masa pemerintahan milisi Somalia. Kemudian ia pindah ke kota Saakow
untuk bertugas sebagai da’i dan pengajar ilmu-ilmu Syar’i. Tugasnya itu
membuatnya berbenturan dengan orang-orang Sufi musyrik dan pemuka-pemuka
milisi kabilah yang menguasai kota itu. Allah menyelamatkannya dari usaha
pembunuhan yang dirancang mereka, dengan cara menembakinya ketika sedang menyampaikan
pidato di salah satu jalanan kota.
Setelah peristiwa 11 September, Syaikh langsung terjun ke medan
perang. Perjalanan jihadnya ini dimulai dengan bantuannya kepada Syaikh Adam
Hashi Ayro – taqabbalahullah – dalam membentuk Mu’askar Al Huda (Kamp Al Huda)
di desa kelahirannya, desa Gaduud. Beliau juga ikut bertugas di kamp tersebut sebagai
juru dakwah dan pelatih rekrutmen.
Setelah itu beliau pindah ke mu’askar Kamboni sebagai pelatih,
yang semakin menambah pengalaman jihad dan wawasan militernya. Sehingga
kemudian beliau ditetapkan sebagai amir dan penanggung jawab syar’i di salah
satu desa Distrik Kamboni, yaitu desa Burkabo.
Bersamaan dengan dibentuknya Shahawat di Mogadishu dengan nama
“Aliansi Anti Terorisme”, para mujahidin mengirimnya ke desa kelahirannya untuk
kembali membuka Mu’askar Al Huda, yang dikemudian hari menjadi sumber logistic
dan bala bantuan penting bagi mujahidin di Mogadishu. Kemudian beliau ikut
serta bersama gerakan Ittihad al-Mahakim al-Islamiyyah (Persatuan Pengadilan
Islam) dalam penaklukan kota Kismayo. Beliau terus beraktivitas bersama mereka
sampai masuknya tentara Salib Ethiopia menginvasi Somalia. Beliau ikut serta
dalam pertempuran Idale yang terkenal itu dan terkena luka tembak.
Pada tahun 1427 H bersamaan dengan kembalinya
momentum perang melawan tentara Ethiopia, beliau – rahimahullah – kembali
berpartisipasi dalam pertempuran demi pertempuran. Namun, dalam suatu operasi,
salibis berhasil menangkapnya. Kemudian beliau dipindah ke salah satu penjara
Addis Ababa ibukota Ethiopia dan ditahan selama dua tahun, setelah mengalami masa penahanan selama enam bulan di
salah satu penjara Mogadishu.
Bersamaan dengan kebebasannya, ketika itu Harakah Asy Syabab telah
didirikan dan memulai perjuangannya melawan pasukan Aliansi Afrika (AMISOM) dan
para agen murtadnya. Beliau kemudian bergabung dan bertempur bersama Harakah
Asy Syabab. Mereka mengangkatnya menjadi wali daerah administrative Juba Bawah
(Jubbada Hoose). Sekalipun demikian, beliau tidaklah lupa dengan isu-isu kaum
muslimin di luar Somalia. Adalah beliau amat mendukung Daulah Islamiyah Irak, selalu
menyeru untuk membela dan mendukungnya.
Setelah deklarasi kembalinya Khilafah, beliau berada di antara
orang-orang yang pertama kali mendukungnya dan selalu berusaha untuk bergabung
dengannya. Dan itulah yang akhirnya dilakukannya pada bulan Muharram 1438 H.
Bai’atnya kepada Amirul Mukminin tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi,
bahkan dengan terang-terangan beliau menantang para kriminal petinggi Harokah
Asy Syabab yang mengancam siapa saja yang meninggalkan detasemennya dan
menggabungkan diri dalam jama’ah kaum muslimin dan imam mereka.
Para criminal itu, yang berbaiat kepada antek intel Pakistan,
Akhtar Manshur, yang fanatic dengan faksinya yang memecah belah kaum muslimin,
tidak tinggal diam dengan aksi beliau. Apalagi mereka mengetahui kedudukannya
di sisi masyarakat Somalia secara umum dan di sisi pejuang Harokah Asy Syabab
secara khusus, yang mana beliau adalah seorang ‘alim mujahid yang selalu
berribath, salah satu penggagas jihad di Somalia, dan pendidik
bergenerasi-generasi mujahidin. Maka, merekapun merencanakan pembunuhannya.
Beliau menyadari niat mereka, namun beliau tidak mempedulikannya, bahkan beliau
terus menyeru para pejuang untuk bergabung dalam jama’ah kaum muslimin.
Mereka merencanakan pembunuhannya. Keislamannya yang lurus,
tahun-tahun panjang jihadnya, cobaan demi cobaan yang menimpanya dalam berbagai
pertempuran melawan musuh-musuh Dien, dan kesabarannya menghadapi cobaan berat
di jalan Allah, sama sekali tidak menghalangi rencana busuk itu. Pandangan
mereka terhadapnya persis sebagimana pandangan Yahudi atas ‘Abdullah Ibn Salam
Radhiallahu ’anhu. Maka mereka membunuhnya dan tidak menyembunyikan perbuatan
kotor itu, bahkan mereka membanggakannya dan mengumumkannya di depan khayalak
ramai, untuk menanamkan ketakutan pada diri prajuritnya, dan memberi pelajaran
kepada mereka bahwa para petinggi Harakah tidak segan-segan menumpahkan darah
yang suci jika persoalannya menyangkut mashlahat sempit mereka.
Kisah pembunuhannya – taqabbalahullah – adalah contoh nyata pengkhianatan
atas prajurit Daulah Islamiyyah yang telah menjadi kebanggaan Tanzhim Al
Qa’idah dan sekutunya dari para shahawat.
Setelah beliau mengumumkan bai’atnya kepada Amirul Mu’minin dan
menyeru orang-orang untuk bergabung dalam kafilah Khilafah yang diberkahi,
petinggi Harokah Asy Syabab mengutus sekolompok mata-matanya yang mempunyai
hubungan pribadi dengan beliau untuk menemuinya, dengan alasan mereka ingin
membai’at Amirul Mu’minin. Maka beliau bersedia bertemu mereka, dan mengutus
sekelompok ikhwah untuk menjemput mereka. Beliau sendiri yang menanggung ongkos
perjalanan mereka. Beliau lalu menyambut mereka dengan sebaik-baiknya,
menyampaikan nasihat, mengingatkan mereka atas Allah, dan mendorong mereka
untuk berbaiat kepada Amirul Mukminin. Untuk menjamu mereka, beliau menyembelih
seekor kambing, dan memberi makan mereka dari simpanannya sendiri. Untuk
menjamin keamanan mereka, beliau membiarkan mereka menenteng senjata mereka.
Namun, balasan yang didapatkan adalah pengkhianatan dan pembunuhan, setelah
kelicikan dan penipuan.
Ketika itu Syaikh Abu Nu’man pergi bersama dua orang ikhwah untuk
beristirahat. Tiga ikhwah sisanya ditugaskan untuk melayani tamu-tamunya itu.
Namun para pengkhianat itu berhasil menyelinap ke kamarnya dan membunuh beliau
beserta dua ikhwah itu. Mereka juga membunuh ikhwah yang melayani mereka. Tidak
ada yang selamat kecuali satu ikhwah yang ketika itu sedang turun ke sumur
untuk mengambil air. Para penjahat itu lalu kabur ke tuan-tuan mereka membawa
kabar pembunuhan Syaikh Asy Syahid – demikianlah anggapan kami dan kami tidak
menyucikan seorangpun di hadapan Allah.
Syaikh Abu Nu’man – taqabbalahullah – telah
terbunuh, namun pohon Khilafah di bumi dua hijrah belumlah mati, sebagaimana
yang diharapkan Yahudi jihadis, bahkan semakin tumbuh – dengan keutamaan Allah
– memanjangkan dahan dan rantingnya. Para sahabat beliau, prajuritnya, dan
murid-muridnya masih akan dan terus mengalir bergabung dalam kafilah Khilafah.
Persatuan dan jihad mereka akan membuahkan, dengan izin Allah, kemuliaan dan
tamkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar