7/14/2019

Upaya Para Nabi Menjaga Agama Keluarga Mereka


Upaya Para Nabi
Menjaga Agama Keluarga Mereka

Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu dia memberi pelajaran kepadanya, 
‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.
(Luqman: 13)
Segala puji bagi Allah semata, shalawat serta salam untuk Nabi Pamungkas shallallahu ‘alaihi wasallam, amma ba’du:

Para nabi tiada henti sepanjang siang-malam berdakwah mengajak kepada agama Allah , secara sembunyi-sembunyi maupun terbuka, demi menunaikan amanat tablig (penyiaran agama) yang telah Allah kuasakan kepada mereka. Tiada seorang pun nabi melainkan dia berkata kaumnya, Aku menyampaikan amanat-amanat Rabbku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu,” (Al-A’raaf: 68). Tak ketinggalan, keluarga mereka menjadi bagian dari dakwah mereka. Sesungguhnya para nabi senantiasa berupaya untuk hal itu sepanjang hidup mereka. Bahkan tatkala kematian menghampiri mereka, wasiat-wasiat yang mereka berikan bukanlah wasiat bagi waris, pemutusan silaturahim, atau perintah mencari dunia yang hina lagi fana. Mustahil mereka seperti itu. Akan tetapi wasiatnya adalah wasiat agar berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan memberangus kesyirikan. Melalui hal itu, terdapat keselamatan dari neraka dan masuk ke dalam surga Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Berapa banyak manusia yang lebih mengutamakan kehidupan fana ketimbang kehidupan kekal? Apakah di dalam wasiat orang yang berwasiat terdapat bagian dari wasiat-wasiat para nabi untuk anak-anak mereka? Apakah para ayah sudah membaca firman Allah Ta’ala, Dan tidak ada yang membenci agama Ibrahim (Islam), melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri. Sungguh, Kami telah memilihnya di dunia dan sesungguhnya di akhirat dia termasuk orang-orang yang saleh. Ketika Rabbnya berfirman kepadanya, “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab, “Aku tunduk patuh kepada Rabb semesta alam.” Dan Ibrahim mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.(Al-Baqarah: 130-132)
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memeluk Islam dan berserah diri kepada Allah Rabb semesta alam dengan segenap hati dan anggota badannya. Sang Nabi adalah pemimpin orang-orang bertauhid. Di antara petunjuknya, dia mewasiatkan anak-anaknya agar jangan mati kecuali mati di atas Islam yang berarti berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk kepada-Nya dengan ketaatan, serta berlepas diri dari kesyirikan dan para penganutnya. Lalu perhatikanlah upaya keturunan Nabi Ibrahim –dari golongan para nabi– untuk menjaga wasiat tersebut. Di antara keturunannya adalah sang cucu Nabi Allah Ya’qub bin Ishaq ‘alaihis salam, seorang nabi yang selalu mewasiatkan anak-anaknya dengan wasiat sang kakek, yaitu Ibrahim ‘alaihis salam.
Tatkala kematian menjemput, Nabi Ya’qub bertanya kepada mereka (keturunannya) tentang peribadatan mereka dan siapa yang akan mereka sembah sepeninggalnya, saat Allah mewafatkan dia. Jawaban anak-anaknya adalah mereka orang-orang bertauhid yang mengarahkan ibadah hanya kepada Allah semata. Di manakah sikap demikian di kalangan para ayah dan anak-anak pada hari ini? Di manakah sikap meneladani petunjuk para nabi yang suci? Tidak mengherankan, bahwa Sang Jujur Nabi Yusuf ‘alaihis salam bin Ya’qub ‘alaihis salam berada di atas jalan agung itu. Dia berkata mendakwahkan para penghuni penjara, Hukum itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (Yusuf: 40)
Dia menetapkan bahwa mengarahkan tindak tahakum (berhukum) kepada selain Allah adalah kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Oleh karena itu, dakwah para nabi berpengaruh di Mesir dan menyebar ke berbagai ruang lingkup yang luas pada masa Nabi Yusuf ‘alaihis salam. Hal demikian bisa menjadi tafsir dari intimidasi Firaun di Mesir kepada anak-cucu Ya’qub setelah Firaun mencabut otoritas hukum dari para raja yang merupakan rakyat kaum muslimin Bani Israil. Ketetapan hukum Firaun berdiri di atas prinsip pagan (berhala) yang bertentangan dengan tauhid Uluhiyah dan Rububiyah. Sedangkan syariat para nabi berdiri di atas prinsip yang menentang ke-rububiyah-an para thaghut dan ketetapan hukum mereka. Inilah akidah yang senantiasa dijaga Nabi Allah Ibrahim dan Nabi Ya’qub, untuk diajarkan kepada anak-anak mereka dan diwasiatkan di saat kematian mereka.
Apabila kita menelaah ayat-ayat Al-Quran yang mengandung petunjuk, cahaya, dan penawar bagi penyakit-penyakit yang ada di dalam dada, dari berbagai wasiat agung itu, maka kita akan mendapati satu wasiat Luqman Al-Hakim kepada putranya. Maka cermatilah ia, ambillah pelajaran dan ‘ibrah (teladan, contoh). Allah ta’ala berfirman, Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu dia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.’” (Luqman: 13)
Wasiat tersebut merupakan wasiat yang sangat gamblang dari Sang Bapak Bijaksana kepada putranya dalam menerangkan syirik. Di dalamnya terdapat larangan menyekutukan Allah, karena syirik merupakan seburuk-buruknya dosa dan sebesar-besarnya kezaliman. Bagaimana bisa syirik bukan kezaliman terhadap hak Allah c, sementara Allah-lah yang menciptakan makhluk, mengurusi segala urusan mereka, memberi rezeki kepada mereka, menghidupkan dan mematikan mereka, dan kepada-Nyalah mereka dikembalikan. Setelah semua ini, lalu mereka menyekutukan-Nya, beribadah kepada para thaghut hukum, perundang-undangan, dan pengawasan. Mereka menyembah kuburan dan berhala, serta memalingkan segala bentuk peribadatan kepada mereka (para thaghut).
Berapa banyak ayah hari ini yang senantiasa menjaga keselamatan anak-anak mereka dari syirik dan dampak buruknya, serta berkomitmen kepada jamaah dan Darul Islam? Dan berapa banyak dari mereka selalu menjaga keselamatan anak-anak mereka dari pembunuhan –menurut klaim mereka–lalu mewanti-wanti mereka dari jihad, tidak berusaha menjaga dampak persoalan mereka dan menimpakan kebinasaan kepada mereka, menggiring mereka menuju Darul Kufur dan membiarkan agama mereka rusak?
Apakah para ayah yang membaca Al-Quran juga merenungkan wasiat-wasiat tersebut, dan memasukkannya ke dalam wasiat mereka, ataukah lembaran-lembaran wasiat tersebut kosong dari ilmu mulia yang diwariskan secara turun-temurun itu? Apakah para ayah hanya fokus mengumpulkan harta, membangun rumah-rumah, mendirikan bisnis, membangun taman-taman dan istana-istana, kemudian menuliskan wasiat untuk anak-anak mereka agar menjaga semua rongsokan itu, ataukah menuliskan wasiat-wasiat para nabi ulul-‘azmi (bertekad kuat) yang mulia untuk mereka?
Sejatinya kebanyakan manusia menjerumuskan anak-anak dan istrinya ke dalam kezaliman. Dia tidak menunaikan hak bagi mereka yang berada di bawah perlindungannya; hak penyampai tablig (penyiaran agama) yang dilakoni para rasul kepada para istri dan keturunan mereka. Sesungguhnya kezaliman paling hebat terhadap istri dan keturunan tidak terletak pada pengabaian terhadap hak-hak keduniaan mereka. Namun sejatinya kezaliman paling hebat terkait hak mereka adalah kita membiarkan mereka tidak mengetahui urusan agama mereka, tidak mendakwahkan mereka untuk mengetahui dan memahami apa yang telah Allah wajibkan kepada mereka dalam rukun Islam pertama. Yaitu rukun teragung dua kalimat syahadat berisi keimanan kepada Allah, mengesakan-Nya, kafir kepada para thaghut, serta keimanan kepada kenabian Muhammad , mengikuti syariat beliau, tidak mendahulukan syariat-syariat lain daripada syariat yang dibawa beliau, serta apa-apa yang beliau bawa berupa cahaya dan hidayah dari sisi Allah.
Bahkan parahnya, para ayah sendiri tidak mengetahui urusan agama mereka, tidak mau menyingkirkan kebodohan dari diri mereka di bawah naungan cahaya syariat dan otoritas para pengusung kebenaran. Kebanyakan dari para ayah menghalangi anak-anak mereka dari kebenaran dan mengikuti petunjuk, padahal keluarganya telah tercerahkan hidayah dan menyerunya kepada kebaikan. Barangsiapa yang keadaannya seperti demikian, maka sesungguhnya urusannya berujung pada kerugian dan kebinasaan. Keberuntungan dan kabar gembira bukan milik orang yang telinga tuli dari mendengarkan tauhid, tidak mengkafirkan orang musyrik dan pembuat tandingan bagi Allah. Sesungguhnya kabar gembira dan hidayah hanya milik orang yang Allah berfirman mengenai mereka, Dan orang-orang yang menjauhi thagut (yaitu) tidak menyembahnya dan kembali kepada Allah; bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada para hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (Az-Zumar: 17-18)
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala memuji para nabi-Nya dengan banyak atribut. Semua ini agar kita meneladani mereka dan memiliki akhlak seperti akhlak mereka. Di antara mereka adalah Nabi Ismail ‘alaihis salam yang diri dan dakwahnya kepada keluarganya dipuji oleh Allah Ta’ala. Di dalam sosoknya, Anda menemukan citra seorang ayah yang peduli dan seorang nabi yang menyeru keluarganya, sehingga berupaya agar keluarganya ikut bersamanya menjadi penghuni rumah di surga. Dia senantiasa berupaya mengajak mereka untuk menunaikan shalat dan zakat yang merupakan rukun-rukun teragung setelah rukun dua kalimat syahadat. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, Dan ceritakanlah (wahai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang tersebut) di dalam Al-Quran. Sesungguhnya dia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan dia menyuruh keluarganya untuk mengerjakan shalat dan menunaikan zakat, dan dia adalah seorang yang diridhai di sisi Rabbnya.” (Maryam: 54-55)
Hendaknya setiap ayah meninjau kembali dan merenungkan apa yang telah dipersembahkannya kepada keluarganya berupa nasihat untuk berkomitmen kepada tauhid, kafir kepada thaghut, dan melakoni ketaatan kepada Allah c, guna meneladani sejarah para nabi yang mendapat petunjuk. Selamat kepada setiap ayah bertauhid yang memimpin keluarganya menuju sikap istikamah dan hidayah, serta tidak membiarkan keluarganya tersesat dan sia-sia. Sungguh jauh perbedaan orang yang masuk neraka, merugikan dirinya sendiri, dan sendirian di neraka tanpa keluarga, dengan orang yang masuk surga bersama istri serta keturunannya, dan para malaikat memasukkan mereka dari setiap pintu dengan penuh keselamatan. Para malaikat mengucapkan selamat kepada mereka atas apa yang telah mereka perbuat berupa kesabaran dan keteguhan di atas perintah Allah subhanahu wa ta’ala. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam, shalawat serta keberkahan untuk Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, para anggota keluarga dan sahabat beliau.

Source: AL FATIHIN 11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...