Upaya Para Nabi
Menjaga Agama Keluarga Mereka
“Dan
ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu dia memberi pelajaran
kepadanya,
‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
(Luqman: 13)
Segala puji bagi Allah semata, shalawat
serta salam untuk Nabi Pamungkas shallallahu ‘alaihi wasallam, amma ba’du:
Para nabi tiada henti sepanjang siang-malam berdakwah
mengajak kepada agama Allah , secara sembunyi-sembunyi maupun terbuka, demi
menunaikan amanat tablig (penyiaran agama) yang telah Allah kuasakan kepada
mereka. Tiada seorang pun nabi melainkan dia berkata kaumnya, “Aku menyampaikan amanat-amanat Rabbku kepadamu
dan aku hanyalah pemberi nasihat yang terpercaya bagimu,” (Al-A’raaf: 68). Tak ketinggalan, keluarga mereka menjadi bagian dari
dakwah mereka. Sesungguhnya para nabi senantiasa berupaya untuk hal itu
sepanjang hidup mereka. Bahkan tatkala kematian menghampiri mereka,
wasiat-wasiat yang mereka berikan bukanlah wasiat bagi waris, pemutusan
silaturahim, atau perintah mencari dunia yang hina lagi fana. Mustahil mereka
seperti itu. Akan tetapi wasiatnya adalah wasiat agar berserah diri kepada
Allah dengan tauhid dan memberangus kesyirikan. Melalui hal itu, terdapat
keselamatan dari neraka dan masuk ke dalam surga Allah Yang Maha Perkasa lagi
Maha Pengampun.
Berapa banyak manusia yang lebih mengutamakan
kehidupan fana ketimbang kehidupan kekal? Apakah di dalam wasiat orang yang
berwasiat terdapat bagian dari wasiat-wasiat para nabi untuk anak-anak mereka?
Apakah para ayah sudah membaca firman Allah Ta’ala, “Dan tidak ada yang membenci agama Ibrahim
(Islam), melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri. Sungguh, Kami telah
memilihnya di dunia dan sesungguhnya di akhirat dia termasuk orang-orang yang
saleh. Ketika Rabbnya berfirman kepadanya, “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab,
“Aku tunduk patuh kepada Rabb semesta alam.” Dan Ibrahim mewasiatkan ucapan itu
kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’qub. (Ibrahim berkata): “Wahai
anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah
kamu mati kecuali dalam keadaan muslim.” (Al-Baqarah: 130-132)
Nabi Ibrahim ‘alaihis salam memeluk Islam dan berserah
diri kepada Allah Rabb semesta alam dengan segenap hati dan anggota badannya.
Sang Nabi adalah pemimpin orang-orang bertauhid. Di antara petunjuknya, dia
mewasiatkan anak-anaknya agar jangan mati kecuali mati di atas Islam yang
berarti berserah diri kepada Allah dengan tauhid dan tunduk kepada-Nya dengan
ketaatan, serta berlepas diri dari kesyirikan dan para penganutnya. Lalu
perhatikanlah upaya keturunan Nabi Ibrahim –dari golongan para nabi– untuk
menjaga wasiat tersebut. Di antara keturunannya adalah sang cucu Nabi Allah
Ya’qub bin Ishaq ‘alaihis salam, seorang nabi yang selalu mewasiatkan
anak-anaknya dengan wasiat sang kakek, yaitu Ibrahim ‘alaihis salam.
Tatkala kematian menjemput, Nabi Ya’qub bertanya
kepada mereka (keturunannya) tentang peribadatan mereka dan siapa yang akan
mereka sembah sepeninggalnya, saat Allah mewafatkan dia. Jawaban anak-anaknya
adalah mereka orang-orang bertauhid yang mengarahkan ibadah hanya kepada Allah
semata. Di manakah sikap demikian di kalangan para ayah dan anak-anak pada hari
ini? Di manakah sikap meneladani petunjuk para nabi yang suci? Tidak
mengherankan, bahwa Sang Jujur Nabi Yusuf ‘alaihis salam bin Ya’qub ‘alaihis
salam berada di atas jalan agung itu. Dia berkata mendakwahkan para penghuni
penjara, “Hukum itu
hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah
selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.” (Yusuf: 40)
Dia menetapkan bahwa mengarahkan tindak tahakum (berhukum)
kepada selain Allah adalah kesyirikan kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Oleh karena itu, dakwah
para nabi berpengaruh di Mesir dan menyebar ke berbagai ruang lingkup yang luas
pada masa Nabi Yusuf ‘alaihis salam. Hal demikian bisa menjadi tafsir dari
intimidasi Firaun di Mesir kepada anak-cucu Ya’qub setelah Firaun mencabut
otoritas hukum dari para raja yang merupakan rakyat kaum muslimin Bani Israil.
Ketetapan hukum Firaun berdiri di atas prinsip pagan (berhala) yang
bertentangan dengan tauhid Uluhiyah dan Rububiyah. Sedangkan syariat para nabi
berdiri di atas prinsip yang menentang ke-rububiyah-an para thaghut dan
ketetapan hukum mereka. Inilah akidah yang senantiasa dijaga Nabi Allah Ibrahim
dan Nabi Ya’qub, untuk diajarkan kepada anak-anak mereka dan diwasiatkan di
saat kematian mereka.
Apabila kita menelaah ayat-ayat Al-Quran yang
mengandung petunjuk, cahaya, dan penawar bagi penyakit-penyakit yang ada di
dalam dada, dari berbagai wasiat agung itu, maka kita akan mendapati satu
wasiat Luqman Al-Hakim kepada putranya. Maka cermatilah ia, ambillah pelajaran
dan ‘ibrah (teladan, contoh). Allah ta’ala berfirman, “Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada
anaknya, di waktu dia memberi pelajaran kepadanya, ‘Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar
kezaliman yang besar.’” (Luqman: 13)
Wasiat tersebut merupakan wasiat yang sangat gamblang
dari Sang Bapak Bijaksana kepada putranya dalam menerangkan syirik. Di dalamnya
terdapat larangan menyekutukan Allah, karena syirik merupakan seburuk-buruknya
dosa dan sebesar-besarnya kezaliman. Bagaimana bisa syirik bukan kezaliman
terhadap hak Allah c, sementara Allah-lah yang menciptakan makhluk, mengurusi
segala urusan mereka, memberi rezeki kepada mereka, menghidupkan dan mematikan
mereka, dan kepada-Nyalah mereka dikembalikan. Setelah semua ini, lalu mereka
menyekutukan-Nya, beribadah kepada para thaghut hukum, perundang-undangan, dan
pengawasan. Mereka menyembah kuburan dan berhala, serta memalingkan segala
bentuk peribadatan kepada mereka (para thaghut).
Berapa banyak ayah hari ini yang senantiasa menjaga
keselamatan anak-anak mereka dari syirik dan dampak buruknya, serta berkomitmen
kepada jamaah dan Darul Islam? Dan berapa banyak dari mereka selalu menjaga
keselamatan anak-anak mereka dari pembunuhan –menurut klaim mereka–lalu
mewanti-wanti mereka dari jihad, tidak berusaha menjaga dampak persoalan mereka
dan menimpakan kebinasaan kepada mereka, menggiring mereka menuju Darul Kufur
dan membiarkan agama mereka rusak?
Apakah para ayah yang membaca Al-Quran juga
merenungkan wasiat-wasiat tersebut, dan memasukkannya ke dalam wasiat mereka,
ataukah lembaran-lembaran wasiat tersebut kosong dari ilmu mulia yang
diwariskan secara turun-temurun itu? Apakah para ayah hanya fokus mengumpulkan
harta, membangun rumah-rumah, mendirikan bisnis, membangun taman-taman dan
istana-istana, kemudian menuliskan wasiat untuk anak-anak mereka agar menjaga
semua rongsokan itu, ataukah menuliskan wasiat-wasiat para nabi ulul-‘azmi
(bertekad kuat) yang mulia untuk mereka?
Sejatinya kebanyakan manusia menjerumuskan anak-anak
dan istrinya ke dalam kezaliman. Dia tidak menunaikan hak bagi mereka yang
berada di bawah perlindungannya; hak penyampai tablig (penyiaran agama) yang
dilakoni para rasul kepada para istri dan keturunan mereka. Sesungguhnya
kezaliman paling hebat terhadap istri dan keturunan tidak terletak pada
pengabaian terhadap hak-hak keduniaan mereka. Namun sejatinya kezaliman paling
hebat terkait hak mereka adalah kita membiarkan mereka tidak mengetahui urusan
agama mereka, tidak mendakwahkan mereka untuk mengetahui dan memahami apa yang
telah Allah wajibkan kepada mereka dalam rukun Islam pertama. Yaitu rukun
teragung dua kalimat syahadat berisi keimanan kepada Allah, mengesakan-Nya,
kafir kepada para thaghut, serta keimanan kepada kenabian Muhammad , mengikuti
syariat beliau, tidak mendahulukan syariat-syariat lain daripada syariat yang
dibawa beliau, serta apa-apa yang beliau bawa berupa cahaya dan hidayah dari
sisi Allah.
Bahkan parahnya, para ayah sendiri tidak mengetahui
urusan agama mereka, tidak mau menyingkirkan kebodohan dari diri mereka di
bawah naungan cahaya syariat dan otoritas para pengusung kebenaran. Kebanyakan
dari para ayah menghalangi anak-anak mereka dari kebenaran dan mengikuti
petunjuk, padahal keluarganya telah tercerahkan hidayah dan menyerunya kepada
kebaikan. Barangsiapa yang keadaannya seperti demikian, maka sesungguhnya
urusannya berujung pada kerugian dan kebinasaan. Keberuntungan dan kabar
gembira bukan milik orang yang telinga tuli dari mendengarkan tauhid, tidak
mengkafirkan orang musyrik dan pembuat tandingan bagi Allah. Sesungguhnya kabar
gembira dan hidayah hanya milik orang yang Allah berfirman mengenai mereka, “Dan orang-orang yang menjauhi thagut (yaitu) tidak
menyembahnya dan kembali kepada Allah; bagi mereka berita gembira; sebab itu
sampaikanlah berita itu kepada para hamba-Ku. Yang mendengarkan perkataan lalu
mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang
telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”
(Az-Zumar: 17-18)
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta'ala memuji para nabi-Nya dengan
banyak atribut. Semua ini agar kita meneladani mereka dan memiliki akhlak
seperti akhlak mereka. Di antara mereka adalah Nabi Ismail ‘alaihis salam yang
diri dan dakwahnya kepada keluarganya dipuji oleh Allah Ta’ala. Di dalam
sosoknya, Anda menemukan citra seorang ayah yang peduli dan seorang nabi yang
menyeru keluarganya, sehingga berupaya agar keluarganya ikut bersamanya menjadi
penghuni rumah di surga. Dia senantiasa berupaya mengajak mereka untuk
menunaikan shalat dan zakat yang merupakan rukun-rukun teragung setelah rukun
dua kalimat syahadat. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, “Dan ceritakanlah (wahai Muhammad kepada mereka) kisah Ismail (yang
tersebut) di dalam Al-Quran. Sesungguhnya dia adalah seorang yang benar
janjinya, dan dia adalah seorang rasul dan nabi. Dan dia menyuruh keluarganya
untuk mengerjakan shalat dan menunaikan zakat, dan dia adalah seorang yang
diridhai di sisi Rabbnya.” (Maryam: 54-55)
Hendaknya setiap ayah meninjau kembali dan merenungkan
apa yang telah dipersembahkannya kepada keluarganya berupa nasihat untuk
berkomitmen kepada tauhid, kafir kepada thaghut, dan melakoni ketaatan kepada
Allah c, guna meneladani sejarah para nabi yang mendapat petunjuk. Selamat
kepada setiap ayah bertauhid yang memimpin keluarganya menuju sikap istikamah
dan hidayah, serta tidak membiarkan keluarganya tersesat dan sia-sia. Sungguh
jauh perbedaan orang yang masuk neraka, merugikan dirinya sendiri, dan
sendirian di neraka tanpa keluarga, dengan orang yang masuk surga bersama istri
serta keturunannya, dan para malaikat memasukkan mereka dari setiap pintu
dengan penuh keselamatan. Para malaikat mengucapkan selamat kepada mereka atas
apa yang telah mereka perbuat berupa kesabaran dan keteguhan di atas perintah
Allah subhanahu wa ta’ala. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.
Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam,
shalawat serta keberkahan untuk Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam, para
anggota keluarga dan sahabat beliau.
Source: AL FATIHIN 11
Tidak ada komentar:
Posting Komentar