Hukum Shalat Di Belakang
I m a m F a j i r
Oleh : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Adapun shalat di belakang ahlul
ahwa' dan ahlul bid'ah atau di belakang imam yang fajir maka ada perselisihan di antara
ulama' secara masyhur. Adapun perinciannya bukan di sini
tempat untuk memaparkannya. Akan tetapi sebagai pertengahan di antara
pendapat-pendapat tersebut adalah bahwa seseorang tidak diperbolehkan
mengangkat imam dari golongan tersebut jika ada kemampuan untuk mengangkat imam
selain mereka. Jika tampak suatu kefajiran atau bid'ah maka wajib untuk
mencegah dan melarang darinya.
Dan tingkatan minimal dalam
mencegah kemungkaran adalah dengan memboikotnya agar ia berhenti dari perbuatan
fajir dan bid'ah.
Untuk itulah jumhur ulama'
membedakan antara penyeru kebid'ahan dengan orang yang berbuat bid'ah namun
tidak menyeru kepada yang lain. Jika dia sebagai penyeru bid'ah maka berarti
dia menampakkan kemungkaran maka sudah selayaknya untuk dicegah. Lain halnya
dengan orang yang diam, kedudukannya sebagaimana orang yang melakukan dosa
secara tidak terang-terangan, maka ia tidak dicegah dengan cara yang dhahir,
sebab maksiat jika disembunyikan maka tidak mendatangkan madharat melainkan terhadap
dirinya sendiri, akan tetapi jika dia
melakukannya secara terang-terangan maka dapat menimbulkan madharat bagi yang
lain.
Untuk itulah orang-orang munafik
tetap diperlakukan baik secara dhahir, kemudian urusan batinnya diserahkan
kepada Allah Ta'ala. Berbeda dengan orang yang
menampakkan kekafirannya. Maka apabila dia sebagai penyeru tidak boleh berwala'
kepadanya, mengangkatnya sebagai imam mengambil kesaksian dan riwayatnya. Hal
itu dilandaskan atas dasar mencegah kemungkaran, bukan karena rusaknya shalat
atau celaannya terhadap kesaksian dan periwayatannya.
Jika seseorang mampu untuk tidak
mengangkat orang yang menampakkan kemungkaran sebagai imam, maka wajib untuk
mengerjakannya. Akan tetapi jika orang lain mengangkatnya sebagai imam dan
tidak memungkinkan baginya untuk menggantinya dengan yang lain, atau imam
tersebut tidak dapat diganti melainkan oleh orang yang lebih jahat dan lebih
besar madharatnya daripada kemadharatan yang ditimbulkan imam tersebut, maka
tidak boleh mencegah kerusakan yang kecil dengan kerusakan yang lebih besar.
Dan tidak boleh mencegah kerusakan yang paling ringan di antara dua kerusakan
dengan kerusakan yang lebih besar di antara keduanya. Karena syari'at datang
untuk mendatangkan maslahat dan menyempurnakannya, Shalat Di Belakang Imam Fajir
serta menghilangkan mafsadat (kerusakan) dan menguranginya
semaksimal mungkin.
Maka sebagai konsekuensinya adalah
mengambil yang terbaik di antara dua kebaikan jika memang tidak bisa diambil kedua-duanya
dan mencegah kerusakan yang lebih besar di antara dua kerusakan jika memang keduanya
tidak dapat dihindari secara keseluruhan.
Jika tidak mungkin mencegah imam
yang menampakkan kebid'ahan dan fajir
melainkan dengan yang lebih rusak,
maka tidak boleh mencegah imam tersebut, bahkan hendaknya ia tetap shalat di
belakangnya selagi tidak memungkinkan baginya untuk shalat (jama'ah) melainkan
di belakangnya. Seperti ketika shalat Jum'at, hari raya dan shalat jama'ah lima
waktu, jika memang tidak ada imam selainnya.
Untuk itulah para sahabat juga
shalat di belakang Al Hajjaj24), Al-Mukhtar bin Abi Ubaid
Ats-Tsaqafi dan selain keduanya tatkala shalat Jum'at ataupun shalat jama'ah.
Sebab kehilangan shalat Jum'at dan shalat jama'ah lebih besar kerusakannya
daripada shalat di belakang imam yang fajir.
Apalagi jika dengan ia meninggalkan
shalat jama'ah tidak dapat merubah kefajiran imam tersebut, maka berarti dia
telah meninggalkan maslahat (shalat jama'ah) tanpa dapat mencegah mafsadat.
24. Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar Radhiyalhhu 'Anhuma bahwa beliau shalat di belakang Al-Hajjaj bin Yusuf
Ats-Tsaqafi.
Oleh karena itu, orang yang
meninggalkan shalat Jum'at dan shalat jama'ah secara mutlak dengan alasan
karena imamnya fajir, divonis oleh para ulama' salaf dan para imam ulama'
sebagai ahli bid'ah.
Namun, jika memungkinkan bagi
seseorang untuk mengerjakan shalat Jum'at dan shalat jama'ah di belakang imam
yang baik, jelas hal ini lebih utama untuk dikerjakan daripada shalat di
belakang imam yang fajir. Dalam kondisi seperti ini, hukum
bagi orang yang shalat di belakang imam
fajir tanpa udzur ada beberapa ijtihad
ulama'. Di antara mereka berpendapat, "Dia harus mengulang shalatnya,
karena dia telah mengerjakan apa yang tidak disyari'atkan, yang mana dia
meninggalkan kewajiban untuk mencegah kemungkaran dan shalat di belakang imam yang
fajir, maka shalat di belakangnya adalah
dilarang sehingga dia harus mengulanginya."
Ada pula yang
berpendapat,"Dia tidak perlu mengulang shalatnya." Karena shalatnya
sendiri tetap sah, sedangkan perkara dia meninggalkan kewajiban mencegah
kemungkaran adalah perkara lain yang terpisah dari urusan shalat. Dia bagaikan seseorang
yang berjual beli ketika ada panggilan shalat Jum'at.
Namun jika tidak memungkinkan
baginya untuk shalat melainkan di belakang imam yang fajir seperti sholat Jum'at, maka ia
tidak perlu mengulang shalatnya. Bahkan jika dia mengulanginya maka hal itu
adalah perbuatan ahli bid'ah.
Beberapa fuqaha' menyangka bahwa
ketika dikatakan "Sesungguhnya shalat di belakang orang fasik tidak
sah" itu berarti dia harus mengulang shalat jum'atnya ketika ia shalat di
belakang orang fasik dan jika tidak mengulangi dianggap belum shalat.
Padahal tidak demikian maksudnya.
Tetapi yang menjadi pembicaraan di sini adalah tentang larangan bagi seseorang
untuk shalat di belakangnya, namun apabila ia diperintah untuk shalat di
belakangnya, pendapat yang benar adalah tidak perlu mengulang shalatnya,
sebagaimana yang telah kami kemukakan di atas bahwa seorang hamba tidak
diperintahkan untuk shalat dua kali.
Adapun shalat di belakang ahlul
ahwa' yang melakukan bid'ah yang dianggap menyebabkan kekafiran, maka para
ulama' berbeda pendapatdalam hal shalat Jum'at. Barangsiapa mengatakan "dia
kafir", maka dia harus mengulang shalatnya, sebab tidak boleh shalat di
belakang orang kafir.
Tetapi persoala1 ini
berkaitan dengan takfir (vonis kafir) terhadap ahlul
ahwa', sedangkan para ulama' banyak berselisih dalam hal ini. Diriwayatkan
bahwa Imam Malik memiliki dua pendapat, Imam Syafi'i memiliki dua pendapat
pula, Imam Ahmad demikian pula, termasuk juga ahli kalam, mereka mengatakan bahwa
Al-Asy'ari memiliki dua pendapat. Pada umumnya
masing-masing madzhab memberikan perinciannya.
Pada pokoknya bahwa perkataan
kafir terkadang dimaksudkan untuk pengkafiran pelakunya secara ithlaa (umum). Maka jika dikatakan
"barangsiapa mengatakan begini dia kafir" akan tetapi secara mu'ayyan (orang tertentu) yang
mengatakannya tidak boleh dihukumi kafir sebelum ditegakkan hujjah atasnya. Hal
ini sebagaimana yang berlaku tentang ayat-ayat ancaman, Allah ta'ala. berfirman :
إِنَّ
ٱلَّذِينَ يَأۡكُلُونَ أَمۡوَٰلَ ٱلۡيَتَٰمَىٰ ظُلۡمًا إِنَّمَا يَأۡكُلُونَ فِي
بُطُونِهِمۡ نَارٗاۖ وَسَيَصۡلَوۡنَ سَعِيرٗا
"Sesungguhnya orang-orang yang memakan
harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh
perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (An-Nisa': 10)
Ayat di atas dan juga ayat ancaman
yang semisalnya harus diyakini kebenarannya, akan tetapi untuk menghukumi
individu tertentu tidak bisa kita vonis bahwa ia pasti akan mendapatkan ancaman
tersebut, dan tidak boleh kita memastikan ahli kiblat (muslim) dengan neraka,
sekalipun boleh mengkaitkan antara perbuatannya dengan ancaman.
Karena bisa jadi persyaratannya
tidak terpenuhi, atau adanya penghalang (yang menyebabkan dia terhindar dari
apa yang diancamkan atas dirinya), atau mungkin dia belum tahu bahwa hal itu
haram, atau bisa jadi nantinya dia akan bertaubat dari hal yang haram, atau
bisa jadi pula dia memiliki kebaikan yang agung sehingga menghapus dosa yang
telah dia kerjakan.
Bisa jadi pula (kesabarannya dalam
menjalani) musibah telah menghapuskan kesalahan-kesalahannya, atau dia nantinya
akan mendapatkan syafa'at. Begitulah, ucapan yang dapat menyebabkan pelakunya
menjadi kafir, terkadang dalil untuk mengetahui kebenaran tersebut belum sampai
kepada seseorang. Atau kalaupun sudah sampai, belum jelas keshahihannya
baginya. Atau sulit baginya untuk memahaminya dan terkadang pula ada syubhat
yang dengannya Allah memberikan udzur (dispensasi) kepadanya. Maka barangsiapa
di antara orang-orang yang beriman dengan sungguh-sungguh dan tulus mencari
kebenaran kemudian tersalah, maka sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala mengampuni
dirinya apapun kesalahannya, baik dalam persoalan wawasan (pendapat) maupun
berupa amal. Inilah pendapat para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
keluarganya dan jumhur imam-imam kaum muslimin.
Source:
Judul Asli : Qa'idah Ahlus Sunnah wal
Jama'ah
Penulis : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Penerjemah : Abu Umar Abdillah
Asy-Syarif
Penerbit : Daarul Wathan 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar