7/12/2019

SUPAYA JELAS JALAN ORANG YANG BERDOSA


Supaya Jelas Jalan
ORANG YANG BERDOSA
(Bagian 1 )
Oleh: Syaikh Abu Mush’ab Az-Zarqawi


Segala puji bagi Allah kita memohon pertolongan kepada-Nya, dan meminta perlindungan dari keburukan diri kita dan perbuatan-perbuatan kita, dan aku bersaksi bahwa tiada Ilah (sesembahan yang hak) kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.
Allah ta’ala berfirman, Wahai orang-orang beriman maukan aku tunjukkan kepada kalian perniagaan yang akan menyelamatkan kalian dari siksaan yang pedih, kalian beriman kepad Allah dan rasul-ya, berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian, yang demkian itu lebih bak bagi kalian jika kalian mengetahui, Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian dan memasukkan kalian ke dalam surge yang di bawahnya mengalir sungai-sungai dan tempat tinggal yang bagus di surge Aden, ituah kemenangan yang nyata, dan hal lainnya yang kalian senangi, yaitu pertolongan dari Alllah dan kemenangan yang dekat.” (Ash-Shaff: 10-13)
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab Madarij-nya, “Orang-orang kafir menjajah negeri Islam merupakan kadar atau ketentuan Allah, apakah pantas bagi kaum muslimin pasrah dengan takdir dan tidak melawannya dengan takdir semisalnya yaitu Jihad yang dengannya mereka menahan serangan kuffar (takdir Allah) dengan takdir lainnya (jihad)?”
Ketahuilah wahai kaum muslimin, jihad di jalan Allah pada hari ini adalah penawar untuk banyak penyakit yang dikeluhkan oleh umat, tidak ada sesuatu apa pun setelah tauhid yang mengimbangi manfaat jihad untuk negeri dan umat. Ia merupakan jalan yang dijamin Allah hidayah bagi para penempuhnya, sebagaimana firman Allah, Orang-orang yang berjihad di jalan kami, kami akan tunjukkan jalan kami.” (Al-‘Ankabut: 69)
Oleh karena itu, dulu para salaf jika menghadapi masalah dalam perkara agama, maka mereka merujuk kepada ahlu tsughur (mujahid) dan jihad, berharap mendapatkan kebenaran dari mereka. Jihad merupakan salah satu pintu surga, dengannya Allah menghilangkan rasa gundah dan gelisah sebagaimana dalam hadits, “Berjihadlah sungguh itu adalah salah satu pintu surga, dengannya Allah menghilangkan rasa gundah dan gelisah.” Dengannya, tujuan-tujuan agama terjaga pun kehormatan, sebagaimana yang dikabarkan oleh Allah Ta’ala, “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah, dan membela orang-orang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdoa: “Wahai Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah kami penolong dari sisi Engkau.(An Nisaa`: 75)
Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam,(Al-‘Ankabut: 6). Maksudnya adalah kebaikan yang dihasilkan dari jihad kembalinya ke diri kita sendiri, Allah Ta’ala tidak membutuhkan kita dan jihad kita. Ia juga merupakan pintu penyaringan yang besar, dengannya bisa dibedakan antara orang mukmin dan munafik yang ingin dipuji dengan hal yang tidak dia lakukan.
Jihad bisa dibilang, “terjemahan” dari tauhid. Ia adalah bukti kejujuran muwahid. Barangsiapa tidak pernah menempuh jihad dan merasakan ujiannya, maka dia tak layak menduduki posisi terdepan dalam kepemimpinan dan dominansi, meskipun punya banyak ilmu dan gagasan baik. Jika pun dia mendudukinya, maka sama saja dia berpura-pura menampakkan hal yang sejatinya tak ada pada dirinya, dia bak orang yang mengenakan pakaian palsu.
Betapa umat membutuhkan timbangan dan pelita pada zaman merebaknya para munafik, para ‘pendaki’ dan para ‘penjual’. Allah Ta’ala berfiman, Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar,(Ali ‘Iman: 142) dan firman-Nya, “Dan orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman,(Al-Anfal: 74). Allah berfirman juga, “Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan,” (At-Taubah: 20). Allah juga berfirman, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul- Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.(Al-Hujurat: 15)
Maka Allah Ta’ala menganggap jihad mereka sebagai bukti kejujuran iman dan tauhid mereka. Mereka adalah mukmin sejati –para muwahid sejati— merekalah orang-orang jujur lagi beruntung dunia-akhirat.
Adapun orang-orang yang tidak berjihad dan tidak berangkat, orang yang hatinya selalu merasa takut setiap kali penyeru jihad memanggil, atau setiap kali dibukakan di hadapan umat pintu untuk berkorban dan berjuang, maka mereka adalah orang-orang dengan iman hanya menjadi dakwaan dan klaim mereka palsu, Allah Ta’ala berfirman, Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keraguannya. Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At- Taubah: 45-46)
Allah Ta’ala menganggap tidak ikut sertanya mereka berjihad bersama Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sebagai bukti kemunafikan dan penegasian iman. Sebagaimana Allah menganggap ketiadaan i’dad (persiapan) dan pengambilan faktor-faktor jihad sebagai bukti ketidakjujuran dan tidak adanya keinginan untuk berangkat jihad di jalan Allah.
Setiap klaim dan pengakuan meniscayakan bukti dan penjelasan. Mengklaim dengan lisan tanpa adanya amalan tidaklah cukup, lalu apa gerangan dengan yang menggembosi umat agar tidak berjihad bahkan mencela mujahidin lantaran jihad mereka?!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam kitab Al-‘Ubudiyah, “Allah menjadikan orang-orang yang dicintai-Nya memiliki dua tanda:
Pertama: Mengikuti Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam;
Kedua: Berjihad di jalan-Nya.
Demikianlah, lantaran jihad hakikatnya adalah berusaha maksimal meraih apa yang dicintai Allah berupa keimanan, amal saleh, dan menampik hal-hal yang dibenci-Nya berupa kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan.” Selesai perkataan beliau rahimahullah.
Seandainya rakyat muslim mempersembahkan sedikit bagian saja dari bagian yang mereka persembahkan di jalan thaghut untuk jalan jihad di jalan Allah, maka niscaya keadaan akan semakin membaik, urusan mereka akan berbeda dari apa yang menimpa mereka sekarang ini berupa kehinaan, kennistaan, dan penghambaan kepada para thaghut.
Lalu bagaimana lagi jika rakyat ini mengetahui hakikat kabar tentang jihad di Irak??
Sungguh, rancangan dan proyek jihad berjalan dan mengaliri “Negeri Dua Aliran Sungai” (Bilad Ar-Rafidain/Irak). Buah manisnya berwujud perbaikan yang mengguncang singgasana kekafiran di daerah itu. Mereka pun menjalin ‘ikatan’ mereka, menyiapkan konspirasi, mendatangkan kebencian dan kebiadaban mereka ke bumi Fallujah yang baik.
Lalu apa yang diperoleh penjajah AS dan para anteknya dari kalangan Rafidhah dan selainnya, dari penindasan dan penjajahan mereka terhadap Darul Islam yang aman??
Skandal mereka kini terungkap dan kedustaan mereka tersingkap di hadapan dunia. Segenap argumentasi dan klaim mereka curahkan demi merealisasikan keamanan dan kenyamanan abgi pemerintahan murtad Irak. 


PROYEK MEREKA PALING UTAMA SEKARANG ADALAH MENYUKSESKAN KEDUSTAAN TERBESAR AS BERNAMA “DEMOKRASI”

AS mempermainkan akal rakyat melalui kedustaan “demokrasi sipil” dan menghipnotis mereka bahwa kebahagiaan dan kesenangan tergadai dengan manhaj manusia yang hina ini. Selanjutnya, pemerintahan kafir AS memutuskan untuk menginvasi Irak dan Afghanistan, karena ia mengklaim sebagai penjaga demokrasi dunia dan pengawal utamanya.
Maka didirikanlah pemerintahan Alawiyah di Irak demi menjalankan tujuan tersebut, yaitu mendistorsi dan menipu akal rakyat Irak dan dunia, serta mengilusi AS serius dalam mendirikan negara independen Irak. Dengan itu, Salibis membungkus semua tujuannya dalam rangka memapankan negara Israel, serta menyembunyikan kerakusan dan ketamakannya dalam meraup kekayaan dan sumber daya alam di Irak.
Termasuk hal terbesar yang menjadikan Islam ini tetap jernih dan murni adalah identitas dan akseptabilitas agama ini, sebagaimana ia diterima dengan segenap perintahnya, batasannya, dan pondasinya. Jauh dari penyelewengan dan distorsi, jauh dari sikap ghuluw (ekstrem), eksesif (ifrath/ melampaui batas), dan pengabaian (tafrith). Semua hal ini ditegaskan di dalam banyak ayat Al- Quran dan hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Allah Ta’ala berfirman, Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan,” (Hud: 112). Allah berfirman, Dan ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya,” (Yunus: 109)
Allah berfirman juga, Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu,” (Al- Maa`idah: 49).
Allah berfirman, Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus,” (Az-Zukhruf: 43). Kalam- Nya: Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya),” (Al- A’raaf: 3). Allah berfirman, Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya,” (Al- An’am: 53)
Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” Beliau bersabda lagi, “…barangsiapa yang hidup setelahku, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang teguh dengan sunnahku dan sunnah Khulafa Ar-Rasyidin yang mendapat hidayah setelahku. Gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara baru (dalam agama), karena setiap bidah adalah sesat.”
Demokrasi datang dan berkata kepada kita, “Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah sumber hukum dan rujukan. Rakyat menjadi kata pemutus di setiap perkara. Substansi sistem ini menyatakan, ‘Tidak boleh menolak keputusannya, keputusannya tidak dapat diganggu gugat. Hukum kembali kepadanya, kehendaknya adalah sakral, pilihannya mengikat, pendapatnya diprioritaskan dan dihormati. Hukumnya bijaksana lagi adil. Barangsiapa menjunjungnya maka akan dijunjung, dan barangsiapa merendahkannya, maka dia akan direndahkan. Apa yang dihalalkan rakyat, maka ia adalah halal. Dan apa yang diharamkan rakyat, maka ia adalah haram. UU dan sistem yang diinginkan rakyat, maka itulah yang dijalankan. Selainnya tidaklah bernilai, tidak suci, dan tidak berharga, meskipun itu adalah agama yang lurus dan syariat bijaksana dari Rabb Semesta Alam.
Semboyan ini –maksudku adalah hukum rakyat untuk rakyat— adalah inti dari demokrasi, esensi, kutub, dan poros yang mana setiap persoalan dan masalah bergerak mengelilinginya. Ia tidak akan eksis tanpanya. Maka inilah “Agama Demokrasi” yang siang-malam didengungkan. Inilah yang ditetapkan para teoretikus, pemikir, dan penyerunya di hadapan dunia. Inilah yang kita lihat dan saksikan dalam realita.
**********

Demokrasi, dengan berbagai divergensi (cabang) dan interpretasinya, berdiri di atas beberapa prinsip dan pondasi, kami ringkas ke dalam sejumlah poin berikut:
Pertama, demokrasi berdiri di atas prinsip bahwa rakyat adalah sumber kekuasaan yang mencakup ke dalamnya adalah “kekuasaan legislatif”, rakyat yang mewakili mereka dalam tugas legislasi dan pembuatan UU. Dengan kata lain, pembuat UU yang ditaati dalam demokrasi adalah manusia, dan bukan Allah.

Maknanya, yang dituhankan lagi diibadati dan ditaati dalam ranah legislasi (pembuatan UU), penghalalan dan pengharaman adalah manusia lagi makhluk, dan bukan Allah Ta’ala. Inilah inti kekafiran, kesyirikan, dan kesesatan yang bertentangan dengan ushuluddin (pokok-pokok agama) dan tauhid. Sebagaimana demokrasi juga mencakup partisipasi manusia yang lemah dan bodoh membersamai Allah dalam persoalan Uluhiyah paling khusus milik Allah, yaitu membuat hukum dan UU. Allah Ta’ala berfirman, “Keputusan (hukum) hanyalah milik Allah, dan Dia telah memerintahkan agar tidak kalian tidak menyembah selain Dia,” (Yusuf: 40) Allah berfirman, “Dia tidak mengambil seorang pun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum,” (Al-Kahfi: 26). Dia juga berfirman, “Tentang apa pun kalian berselisih maka keputusannya terserah pada Allah,” (Asy-Syura: 10), bukan kepada rakyat, jumhur, dan suara mayoritas. Allah Ta’ala berfirman, “Apakah hukum jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum yang mereka kehendaki daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maa`idah: 50). Dan Allah berfirman, “Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci,” (Al-An’aam: 114).

Allah berfirman, “Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21). Allah menamai orang-orang yang membuat UU tanpa berdasarkan kekuasaan Allah sebagai sekutu dan tandingan. 

Allah berfirman, “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka, dan berhatihatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian yang telah diturunkan Allah kepadamu,” (Al-Maa`idah: 49). Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb (sesembahan) selain Allah,” (At-Taubah: 3) Dalam hadits diriwayatkan dari Addi bin Hatim, tatkala dia mendatangi Nabi shallallahu’alaihi wasallam –dia seorang Nasrani waktu itu— saat itu dia mendengar beliau membaca ayat, “Mereka menjadikan orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb (sesembahan) selain Allah,” dia berkata, ‘Aku katakan kepada beliau, kami tidaklah menyembah mereka (maksudnya kami tidak menyembah mereka dengan cara mempersembahkan doa, sujud, rukuk, dan lain sebagainya, karena dia menyangka bahwa ibadah sebatas ritual-ritual tadi saja). Maka beliau bersabda, ‘Bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan, lalu kalian pun mengharamkannya. Dan mereka menghalalkan apa yang Allah haramkan, lalu kalian pun menghalalkannya?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda lagi, “Itulah peribadatan mereka.’” 

Semoga Allah merahmatii Sayyid Quthb yang pernah berkata, “Sesungguhnya manusia di seluruh tatanan buatan manusia, menjadikan sebagian yang lainnya sebagai rabb-rabb selain Allah. Hal ini terjadi dalam sistem demokrasi paling maju sebagaimana terjadi dalam sistem diktator paling hina.” Dia berkata juga, “Sesungguhnya hak Rububiyah eksklusif paling nyata yang diukur untuk manusia adalah menjadikan manusia sebagai hamba-Nya, membuat syariat untuk kehidupan mereka, menegakkan tata nilai untuk mereka. Barangsiapa mendakwakan sesuatu untuk dirinya dari semua ini, maka sungguh dia telah mendakwakan dirinya memiliki hak Uluhiyah khusus, dan menahbiskan dirinya untuk manusia sebagai ilah selain Allah.”
Dia melanjutkan, “Sesungguhnya yang memiliki hak penghalalan dan pengharaman adalah Allah semata, dan hal itu bukan milik manusia mana pun, bukan individu, bukan kelas masyarakat, bukan bangsa, bukan juga manusia seluruhnya, kecuali kekuasaan milik Allah sesuai syariat Allah.” Selesai pernyataannya rahimahullah. 

Kedua, agama demokrasi dibangun di atas prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan. Di bawah naungan demokrasi, seseorang bisa memiliki keyakinan apa saja, beragama dengan agama sesuai keinginannya, dan murtad menuju agama mana pun kapan pun dia mau. Meskipun hal itu menjadikannya keluar dari agama Allah Ta’ala, menuju atheisme dan peribadatan selain Allah ta’ala. Tidak diragukan lagi, hal ini adalah batil lagi rusak, dan berlainan dengan banyak sekali teks syariat. Ini mengingat, seorang muslim yang murtad dari agamanya menuju kekafiran maka hukuman dalam Islam adalah dibunuh, sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan selainnya, “Barang siapa yang mengganti agamanya maka bunuhlah dia,” dan bukan malah: “biarkanlah dia.” Maka seorang murtad tidaklah sah untuk terikat dengan sebuah perjanjian, keamanan, dan hak hidup berdampingan. Dia tidak mendapatkan apa pun dalam agama Allah selain permohonan taubat atau pedang. 

Ketiga, demokrasi juga berdiri di atas paradigma bahwa rakyat adalah satu-satunya pemutus yang menjadi rujukan semua peraturan dan persengketaan. Jika terjadi perselisihan atau persengketaan antara pemutus hukum dan yang dihukumi, maka kita dapati kedua pihak ini saling mengancam untuk mengembalikan semuanya kepada kehendak dan pilihan rakyat. Rakyat menjadi pemutus perselisihan di antara keduanya. 

Sungguh, ini berlainan dan bertentangan dengan ushul (pokok-pokok) tauhid yang menetapkan bahwa al-hakam (pemutus) yang berhak memutuskan pertikaian adalah Allah Ta’ala, tidak ada siapa pun selain-Nya. Allah Ta’ala berfirman, “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka hukumnya dikembalikan kepada Allah,” (Asy-Syura: 10). Sedangkan demokrasi mengatakan, “Apa pun yang kamu perselisihkan maka hukumnya dikembalikan kepada rakyat dan tidak ada selain rakyat.

Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian, maka jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Al Quran dan As Sunnah, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian (akhirat),” (An-Nisaa`: 59) 

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam kitabnya I’lam Al-Muwaqqi’in, “’Pengembalian’ (kepada Al-Quran dan As-Sunnah) dijadikan sebagai salah satu sebab keimanan dan prasyaratnya. Apabila “pengembalian” ini tiada, maka tiada pula keimanan.” Selesai perkataan beliau. 

Sungguh, kehendak untuk berhakim kepada rakyat atau kepada selain Allah Ta’ala, menurut pandangan syariat sama dengan berhakim kepada thaghut yang wajib untuk dikafirkan. Sebagaimana Allah berfirman, “Tidakkah kamu melihat orang-orang yang mengklaim bahwa mereka beriman dengan apa yang diturunkan kepadamu dan yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kamu, mereka ingin berhakim kepada thaghut padahal mereka diperintahkan untuk mengkufurinya,” (An-Nisaa`: 60)

Maka Allah Ta’ala menganggap iman mereka hanya klaim dan hanya sebatas pengakuan, tidak ada hakikatnya. Hanya sekadar keinginan untuk berhakim kepada thaghut dan UU-nya, serta seluruh peraturan selain peraturan Allah. Atau hukum selain hukum yang diturunkan Allah, maka itu termasuk ke dalam makna thaghut yang wajib dikafirkan.

Source: AL FATIHIN 09



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...