Supaya Jelas
Jalan
ORANG YANG BERDOSA
(Bagian 1 )
Oleh: Syaikh Abu Mush’ab Az-Zarqawi
Segala puji bagi Allah kita memohon pertolongan kepada-Nya, dan
meminta perlindungan dari keburukan diri kita dan perbuatan-perbuatan kita, dan
aku bersaksi bahwa tiada Ilah (sesembahan yang hak) kecuali Allah dan bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.
Allah ta’ala berfirman, “Wahai orang-orang
beriman maukan aku tunjukkan kepada kalian perniagaan yang akan menyelamatkan
kalian dari siksaan yang pedih, kalian beriman kepad Allah dan rasul-ya,
berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian, yang demkian itu lebih
bak bagi kalian jika kalian mengetahui, Allah akan mengampuni dosa-dosa kalian
dan memasukkan kalian ke dalam surge yang di bawahnya mengalir sungai-sungai
dan tempat tinggal yang bagus di surge Aden, ituah kemenangan yang nyata, dan
hal lainnya yang kalian senangi, yaitu pertolongan dari Alllah dan kemenangan
yang dekat.” (Ash-Shaff: 10-13)
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata dalam kitab Madarij-nya,
“Orang-orang kafir menjajah negeri Islam merupakan kadar atau ketentuan Allah,
apakah pantas bagi kaum muslimin pasrah dengan takdir dan tidak melawannya
dengan takdir semisalnya yaitu Jihad yang dengannya mereka menahan serangan
kuffar (takdir Allah) dengan takdir lainnya (jihad)?”
Ketahuilah wahai kaum muslimin, jihad di jalan Allah pada hari ini
adalah penawar untuk banyak penyakit yang dikeluhkan oleh umat, tidak ada
sesuatu apa pun setelah tauhid yang mengimbangi manfaat jihad untuk negeri dan
umat. Ia merupakan jalan yang dijamin Allah hidayah bagi para penempuhnya,
sebagaimana firman Allah, “Orang-orang yang berjihad di
jalan kami, kami akan tunjukkan jalan kami.” (Al-‘Ankabut: 69)
Oleh karena itu, dulu para salaf jika menghadapi masalah dalam
perkara agama, maka mereka merujuk kepada ahlu tsughur (mujahid) dan
jihad, berharap mendapatkan kebenaran dari mereka. Jihad merupakan salah satu
pintu surga, dengannya Allah menghilangkan rasa gundah dan gelisah sebagaimana
dalam hadits, “Berjihadlah sungguh itu adalah salah satu pintu surga,
dengannya Allah menghilangkan rasa gundah dan gelisah.” Dengannya,
tujuan-tujuan agama terjaga pun kehormatan, sebagaimana yang dikabarkan oleh
Allah Ta’ala, “Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah, dan
membela orang-orang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang
semuanya berdoa: “Wahai Rabb kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah)
yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dari sisi Engkau, dan berilah
kami penolong dari sisi Engkau.” (An
Nisaa`: 75)
Allah Ta’ala berfirman, “Dan barangsiapa yang
berjihad, maka sesungguhnya jihadnya itu adalah untuk dirinya sendiri.
Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari
semesta alam,” (Al-‘Ankabut: 6). Maksudnya adalah kebaikan yang dihasilkan dari jihad kembalinya
ke diri kita sendiri, Allah Ta’ala tidak membutuhkan kita dan jihad kita. Ia
juga merupakan pintu penyaringan yang besar, dengannya bisa dibedakan antara
orang mukmin dan munafik yang ingin dipuji dengan hal yang tidak dia lakukan.
Jihad bisa dibilang, “terjemahan” dari tauhid. Ia adalah bukti
kejujuran muwahid. Barangsiapa tidak pernah menempuh jihad dan merasakan
ujiannya, maka dia tak layak menduduki posisi terdepan dalam kepemimpinan dan
dominansi, meskipun punya banyak ilmu dan gagasan baik. Jika pun dia
mendudukinya, maka sama saja dia berpura-pura menampakkan hal yang sejatinya
tak ada pada dirinya, dia bak orang yang mengenakan pakaian palsu.
Betapa umat membutuhkan timbangan dan pelita pada zaman merebaknya
para munafik, para ‘pendaki’ dan para ‘penjual’. Allah Ta’ala berfiman, “Apakah
kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah
orang-orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar,” (Ali ‘Iman: 142) dan firman-Nya, “Dan orang-orang yang beriman
dan berhijrah serta berjihad pada jalan Allah, dan orang-orang yang memberi
tempat kediaman dan memberi pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka
itulah orang-orang yang benar-benar beriman,” (Al-Anfal:
74). Allah berfirman juga, “Orang-orang
yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda
dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah
orang-orang yang mendapat kemenangan,” (At-Taubah:
20). Allah juga berfirman, “Sesungguhnya
orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada
Allah dan Rasul- Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang
(berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah
orang-orang yang benar.” (Al-Hujurat: 15)
Maka Allah Ta’ala menganggap jihad mereka sebagai bukti kejujuran
iman dan tauhid mereka. Mereka adalah mukmin sejati –para muwahid sejati—
merekalah orang-orang jujur lagi beruntung dunia-akhirat.
Adapun orang-orang yang tidak berjihad dan tidak berangkat, orang
yang hatinya selalu merasa takut setiap kali penyeru jihad memanggil, atau
setiap kali dibukakan di hadapan umat pintu untuk berkorban dan berjuang, maka
mereka adalah orang-orang dengan iman hanya menjadi dakwaan dan klaim mereka
palsu, Allah Ta’ala berfirman, “ Sesungguhnya yang akan
meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari
kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam
keraguannya. Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan
persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan
mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. dan dikatakan kepada mereka:
“Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.” (At- Taubah: 45-46)
Allah Ta’ala menganggap tidak ikut sertanya mereka berjihad bersama
Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sebagai bukti kemunafikan dan penegasian
iman. Sebagaimana Allah menganggap ketiadaan i’dad (persiapan) dan
pengambilan faktor-faktor jihad sebagai bukti ketidakjujuran dan tidak adanya
keinginan untuk berangkat jihad di jalan Allah.
Setiap klaim dan pengakuan meniscayakan bukti dan penjelasan.
Mengklaim dengan lisan tanpa adanya amalan tidaklah cukup, lalu apa gerangan
dengan yang menggembosi umat agar tidak berjihad bahkan mencela mujahidin
lantaran jihad mereka?!
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata dalam kitab Al-‘Ubudiyah,
“Allah menjadikan orang-orang yang dicintai-Nya memiliki dua tanda:
Pertama: Mengikuti Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam;
Kedua: Berjihad di jalan-Nya.
Demikianlah, lantaran jihad hakikatnya adalah berusaha maksimal
meraih apa yang dicintai Allah berupa keimanan, amal saleh, dan menampik hal-hal
yang dibenci-Nya berupa kekafiran, kefasikan, dan kemaksiatan.” Selesai
perkataan beliau rahimahullah.
Seandainya rakyat muslim mempersembahkan sedikit
bagian saja dari bagian yang mereka persembahkan di jalan thaghut untuk jalan
jihad di jalan Allah, maka niscaya keadaan akan semakin membaik, urusan mereka
akan berbeda dari apa yang menimpa mereka sekarang ini berupa kehinaan,
kennistaan, dan penghambaan kepada para thaghut.
Lalu bagaimana lagi jika rakyat ini mengetahui hakikat kabar
tentang jihad di Irak??
Sungguh, rancangan dan proyek jihad berjalan dan mengaliri “Negeri
Dua Aliran Sungai” (Bilad Ar-Rafidain/Irak). Buah manisnya berwujud
perbaikan yang mengguncang singgasana kekafiran di daerah itu. Mereka pun
menjalin ‘ikatan’ mereka, menyiapkan konspirasi, mendatangkan kebencian dan
kebiadaban mereka ke bumi Fallujah yang baik.
Lalu apa yang diperoleh penjajah AS dan para anteknya dari
kalangan Rafidhah dan selainnya, dari penindasan dan penjajahan mereka terhadap
Darul Islam yang aman??
Skandal mereka kini terungkap
dan kedustaan mereka tersingkap di hadapan dunia. Segenap argumentasi dan klaim
mereka curahkan demi merealisasikan keamanan dan kenyamanan abgi pemerintahan
murtad Irak.
PROYEK
MEREKA PALING UTAMA SEKARANG ADALAH MENYUKSESKAN KEDUSTAAN TERBESAR AS BERNAMA
“DEMOKRASI”
AS
mempermainkan akal rakyat melalui kedustaan “demokrasi sipil” dan menghipnotis
mereka bahwa kebahagiaan dan kesenangan tergadai dengan manhaj manusia yang
hina ini. Selanjutnya, pemerintahan kafir AS memutuskan untuk menginvasi Irak
dan Afghanistan, karena ia mengklaim sebagai penjaga demokrasi dunia dan
pengawal utamanya.
Maka
didirikanlah pemerintahan Alawiyah di Irak demi menjalankan tujuan tersebut,
yaitu mendistorsi dan menipu akal rakyat Irak dan dunia, serta mengilusi AS
serius dalam mendirikan negara independen Irak. Dengan itu, Salibis membungkus
semua tujuannya dalam rangka memapankan negara Israel, serta menyembunyikan
kerakusan dan ketamakannya dalam meraup kekayaan dan sumber daya alam di Irak.
Termasuk
hal terbesar yang menjadikan Islam ini tetap jernih dan murni adalah identitas
dan akseptabilitas agama ini, sebagaimana ia diterima dengan segenap
perintahnya, batasannya, dan pondasinya. Jauh dari penyelewengan dan distorsi,
jauh dari sikap ghuluw (ekstrem), eksesif (ifrath/ melampaui
batas), dan pengabaian (tafrith). Semua hal ini ditegaskan di dalam
banyak ayat Al- Quran dan hadits Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Allah Ta’ala
berfirman, “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar,
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta
kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang
kamu kerjakan,” (Hud: 112). Allah berfirman, “Dan
ikutilah apa yang diwahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi
keputusan dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya,” (Yunus:
109)
Allah
berfirman juga, “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu,” (Al- Maa`idah: 49).
Allah
berfirman, “Maka berpegang teguhlah kamu kepada agama yang
telah diwahyukan kepadamu. Sesungguhnya kamu berada di atas jalan yang lurus,” (Az-Zukhruf:
43). Kalam- Nya: “Ikutilah
apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti
pemimpin-pemimpin selain-Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran
(daripadanya),” (Al- A’raaf: 3). Allah
berfirman, “Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah
jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena
jalan-jalan itu mencerai beraikan kamu dari jalan-Nya,” (Al- An’am:
53)
Nabi
shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan
agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” Beliau bersabda lagi, “…barangsiapa yang hidup setelahku, maka
akan melihat perselisihan yang banyak. Maka hendaklah kalian berpegang teguh
dengan sunnahku dan sunnah Khulafa Ar-Rasyidin yang mendapat hidayah setelahku.
Gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Berhati-hatilah kalian terhadap
perkara-perkara baru (dalam agama), karena setiap bidah adalah sesat.”
Demokrasi
datang dan berkata kepada kita, “Dalam sistem demokrasi, rakyat adalah sumber
hukum dan rujukan. Rakyat menjadi kata pemutus di setiap perkara. Substansi
sistem ini menyatakan, ‘Tidak
boleh menolak keputusannya, keputusannya tidak dapat diganggu gugat. Hukum
kembali kepadanya, kehendaknya adalah sakral, pilihannya mengikat, pendapatnya
diprioritaskan dan dihormati. Hukumnya bijaksana lagi adil. Barangsiapa
menjunjungnya maka akan dijunjung, dan barangsiapa merendahkannya, maka dia
akan direndahkan. Apa yang dihalalkan rakyat, maka ia adalah halal. Dan apa
yang diharamkan rakyat, maka ia adalah haram. UU dan sistem yang diinginkan
rakyat, maka itulah yang dijalankan. Selainnya tidaklah bernilai, tidak suci,
dan tidak berharga, meskipun itu adalah agama yang lurus dan syariat bijaksana
dari Rabb Semesta Alam.
Semboyan
ini –maksudku adalah hukum rakyat untuk rakyat— adalah inti dari demokrasi,
esensi, kutub, dan poros yang mana setiap persoalan dan masalah bergerak
mengelilinginya. Ia tidak akan eksis tanpanya. Maka inilah “Agama Demokrasi”
yang siang-malam didengungkan. Inilah yang ditetapkan para teoretikus, pemikir,
dan penyerunya di hadapan dunia. Inilah yang kita lihat dan saksikan dalam
realita.
**********
Demokrasi,
dengan berbagai divergensi (cabang) dan interpretasinya, berdiri di atas
beberapa prinsip dan pondasi, kami ringkas ke dalam sejumlah poin berikut:
Pertama, demokrasi berdiri di atas prinsip bahwa rakyat adalah sumber
kekuasaan yang mencakup ke dalamnya adalah “kekuasaan legislatif”, rakyat yang
mewakili mereka dalam tugas legislasi dan pembuatan UU. Dengan kata lain,
pembuat UU yang ditaati dalam demokrasi adalah manusia, dan bukan Allah.
Maknanya, yang dituhankan lagi diibadati dan ditaati dalam
ranah legislasi (pembuatan UU), penghalalan dan pengharaman adalah manusia lagi
makhluk, dan bukan Allah Ta’ala. Inilah inti kekafiran, kesyirikan, dan
kesesatan yang bertentangan dengan ushuluddin (pokok-pokok agama) dan tauhid.
Sebagaimana demokrasi juga mencakup partisipasi manusia yang lemah dan bodoh
membersamai Allah dalam persoalan Uluhiyah paling khusus milik Allah, yaitu
membuat hukum dan UU. Allah Ta’ala berfirman, “Keputusan (hukum)
hanyalah milik Allah, dan Dia telah memerintahkan agar tidak kalian tidak
menyembah selain Dia,”
(Yusuf: 40) Allah berfirman, “Dia tidak mengambil seorang pun menjadi
sekutu-Nya dalam menetapkan hukum,” (Al-Kahfi: 26). Dia juga berfirman, “Tentang apa pun kalian
berselisih maka keputusannya terserah pada Allah,” (Asy-Syura: 10), bukan
kepada rakyat, jumhur, dan suara mayoritas. Allah Ta’ala berfirman, “Apakah hukum
jahiliyyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada
hukum yang mereka kehendaki daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maa`idah: 50). Dan Allah
berfirman, “Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah
yang telah menurunkan kitab (Al Quran) kepadamu dengan terperinci,” (Al-An’aam: 114).
Allah berfirman, “Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan
selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (Asy-Syura: 21). Allah menamai
orang-orang yang membuat UU tanpa berdasarkan kekuasaan Allah sebagai sekutu
dan tandingan.
Allah berfirman, “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara
mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu mereka, dan berhatihatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian yang telah diturunkan Allah kepadamu,” (Al-Maa`idah: 49). Allah berfirman, “Mereka menjadikan
orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb (sesembahan) selain Allah,” (At-Taubah: 3) Dalam hadits
diriwayatkan dari Addi bin Hatim, tatkala dia mendatangi Nabi shallallahu’alaihi wasallam –dia seorang Nasrani
waktu itu— saat itu dia mendengar beliau membaca ayat, “Mereka menjadikan orang
alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb (sesembahan) selain Allah,” dia berkata,
‘Aku katakan kepada beliau, kami tidaklah menyembah mereka (maksudnya kami
tidak menyembah mereka dengan cara mempersembahkan doa, sujud, rukuk, dan lain
sebagainya, karena dia menyangka bahwa ibadah sebatas ritual-ritual tadi saja).
Maka beliau bersabda, ‘Bukankah mereka mengharamkan apa yang Allah halalkan,
lalu kalian pun mengharamkannya. Dan mereka menghalalkan apa yang Allah
haramkan, lalu kalian pun menghalalkannya?’ Aku menjawab, ‘Ya.’ Beliau bersabda
lagi, “Itulah peribadatan mereka.’”
Semoga Allah merahmatii Sayyid Quthb yang pernah berkata,
“Sesungguhnya manusia di seluruh tatanan buatan manusia, menjadikan sebagian
yang lainnya sebagai rabb-rabb selain Allah. Hal ini terjadi dalam sistem
demokrasi paling maju sebagaimana terjadi dalam sistem diktator paling hina.”
Dia berkata juga, “Sesungguhnya hak Rububiyah eksklusif paling nyata yang
diukur untuk manusia adalah menjadikan manusia sebagai hamba-Nya, membuat
syariat untuk kehidupan mereka, menegakkan tata nilai untuk mereka. Barangsiapa
mendakwakan sesuatu untuk dirinya dari semua ini, maka sungguh dia telah
mendakwakan dirinya memiliki hak Uluhiyah khusus, dan menahbiskan dirinya untuk
manusia sebagai ilah selain Allah.”
Dia melanjutkan, “Sesungguhnya yang memiliki hak penghalalan
dan pengharaman adalah Allah semata, dan hal itu bukan milik manusia mana pun,
bukan individu, bukan kelas masyarakat, bukan bangsa, bukan juga manusia
seluruhnya, kecuali kekuasaan milik Allah sesuai syariat Allah.” Selesai
pernyataannya rahimahullah.
Kedua, agama demokrasi dibangun di atas prinsip kebebasan
beragama dan berkeyakinan. Di bawah naungan demokrasi, seseorang bisa memiliki
keyakinan apa saja, beragama dengan agama sesuai keinginannya, dan murtad
menuju agama mana pun kapan pun dia mau. Meskipun hal itu menjadikannya keluar
dari agama Allah Ta’ala, menuju atheisme dan peribadatan selain Allah ta’ala.
Tidak diragukan lagi, hal ini adalah batil lagi rusak, dan berlainan dengan
banyak sekali teks syariat. Ini mengingat, seorang muslim yang murtad dari agamanya
menuju kekafiran maka hukuman dalam Islam adalah dibunuh, sebagaimana
disebutkan dalam hadits riwayat Al-Bukhari dan selainnya, “Barang siapa yang mengganti
agamanya maka bunuhlah dia,” dan bukan malah: “biarkanlah dia.” Maka seorang
murtad tidaklah sah untuk terikat dengan sebuah perjanjian, keamanan, dan hak hidup
berdampingan. Dia tidak mendapatkan apa pun dalam agama Allah selain permohonan
taubat atau pedang.
Ketiga, demokrasi juga berdiri di atas paradigma bahwa rakyat
adalah satu-satunya pemutus yang menjadi rujukan semua peraturan dan persengketaan.
Jika terjadi perselisihan atau persengketaan antara pemutus hukum dan yang
dihukumi, maka kita dapati kedua pihak ini saling mengancam untuk mengembalikan
semuanya kepada kehendak dan pilihan rakyat. Rakyat menjadi pemutus
perselisihan di antara keduanya.
Sungguh, ini berlainan dan bertentangan dengan ushul
(pokok-pokok) tauhid yang menetapkan bahwa al-hakam (pemutus) yang berhak memutuskan
pertikaian adalah Allah Ta’ala, tidak ada siapa pun selain-Nya. Allah Ta’ala
berfirman, “Tentang sesuatu apapun kamu berselisih maka hukumnya dikembalikan
kepada Allah,”
(Asy-Syura: 10). Sedangkan demokrasi mengatakan, “Apa pun yang kamu
perselisihkan maka hukumnya dikembalikan kepada rakyat dan tidak ada selain
rakyat.
Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian, maka jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Al Quran dan As Sunnah, jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian (akhirat),” (An-Nisaa`: 59)
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata di dalam kitabnya I’lam Al-Muwaqqi’in,
“’Pengembalian’ (kepada Al-Quran dan As-Sunnah) dijadikan sebagai salah satu
sebab keimanan dan prasyaratnya. Apabila “pengembalian” ini tiada, maka tiada
pula keimanan.” Selesai perkataan beliau.
Sungguh, kehendak untuk berhakim kepada rakyat atau kepada
selain Allah Ta’ala, menurut pandangan syariat sama dengan berhakim kepada
thaghut yang wajib untuk dikafirkan. Sebagaimana Allah berfirman, “Tidakkah kamu melihat
orang-orang yang mengklaim bahwa mereka beriman dengan apa yang diturunkan kepadamu
dan yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kamu, mereka ingin berhakim kepada
thaghut padahal mereka diperintahkan untuk mengkufurinya,” (An-Nisaa`: 60)
Maka Allah Ta’ala menganggap iman mereka hanya klaim dan hanya
sebatas pengakuan, tidak ada hakikatnya. Hanya sekadar keinginan untuk berhakim
kepada thaghut dan UU-nya, serta seluruh peraturan selain peraturan Allah. Atau
hukum selain hukum yang diturunkan Allah, maka itu termasuk ke dalam makna
thaghut yang wajib dikafirkan.
Source: AL FATIHIN 09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar