7/30/2019

TAKDIR DAN TINGKATAN-TINGKATANNYA - Oleh Ibnu Taimiyah


T A K D I R
DAN TINGKATAN-TINGKATANNYA


Takdir merupakan salah satu dari enam rukun iman. Di muka telah disebutkan secara global mengenai iman kepada takdir. Kemudian, penulis Rahimahullah menyebutkan disini secara terperinci.

Takdir adalah ketentuan Allah Ta'ala terhadap segala sesuatu sejak masa dahulu, Ilmu Allah Ta'ala bahwa itu akan terjadi pada waktu-waktu tertentu yang diketahui -Nya dan dengan sifat-sifat tertentu, penulisan hal itu oleh-Nya subhanahu wa ta’ala , kehendak-Nya terhadapnya, kejadiannya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh-Nya, dan penciptaannya oleh-Nya ["Al-Ajwibah Al-Ushuliyah", hal. 121] . Syaikh Rahimahullah telah menyebutkan empat tingkatan takdir, yang harus diimani sebagaimana Ahlus Sunnah mengimaninya.


1. Tingkatan Pertama

Beriman bahwa Allah Ta'ala mengetahui apa yang dikerjakan oleh seluruh makhluk, dengan ilmu-Nya yang azali dan abadi. Allah telah mengetahui segala keadaan mereka, yang berupa ketaatan, rezki, maupun ajal. Dia subhanahu wa ta’ala mengetahui apa yang telah dan akan terjadi, apa yang tidak terjadi bila ia terjadi, serta bagaimana ia terjadi. Allah Ta'ala berfirman :

وَأَنَّ ٱللَّهَ قَدۡ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عِلۡمَۢا

"Dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu."
(Ath-Thalaq : 12).

إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عَلِيمٞ

"Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu."
(Al-'Ankabut : 62).


2. Tingkatan Kedua

Penulisan segala sesuatu oleh Allah di dalam Lauh Mahfuzh, baik yang kecil maupun yang besar, baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi.

Allah Ta'ala berfirman :

مَآ أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٞ

"Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."
(Al-Hadid : 22).

وَكُلَّ شَيۡءٍ أَحۡصَيۡنَٰهُ فِيٓ إِمَامٖ مُّبِينٖ

"Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata."
(Yasin : 12).


3. Tingkatan Ketiga

Kehendak Allah yang berlaku, yang tidak bisa ditolak dan kekuasaan-Nya yang tidak bisa dihindarkan oleh suatu apapun. Seluruh peristiwa terjadi dengan kehendak dan kekuasaan Allah. Apapun yang Dia kehendaki, niscaya terjadi dan apapun yang tidak Dia kehendaki, niscaya tidak terjadi.
Allah Ta'ala berfirman :

وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ

"Dan kamu tidak dapat menghendaki, kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Rabb semesta alam."
(At-Takwir : 29).


4. Tingkatan Keempat

Mencipta adalah wewenang Allah Ta'ala. Dialah Khaliq (Pencipta), sedangkan selain-Nya adalah makhluk yang diciptakan-Nya. Allah Ta'ala berfirman :

ٱللَّهُ خَٰلِقُ كُلِّ شَيۡءٖۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ وَكِيلٞ

"Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu."
(Az-Zumar : 62 ) .

هَلۡ مِنۡ خَٰلِقٍ غَيۡرُ ٱللَّهِ

"Adakah sesuatu pencipta selain Allah ?"
(Fathir : 3).

Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu yang telah terjadi, bersamaan dengan itu Dia memerintahkan para hamba untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam serta melarang mereka dari kemaksiatan terhadap-Nya. Dia subhanahu wa ta’ala mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan dan orang-orang yang berbuat adil serta meridhai orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Dia tidak mencintai orang-orang kafir dan tidak meridhai kaum yang fasik. Dia tidak memerintahkan perbuatan keji, tidak meridhai kekafiran bagi hamba-hamba-Nya, dan tidak mencintai kerusakan.

Dia subhanahu wa ta’ala Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Ada sebagian ulama yang memadukan keempat tingkatan takdir ini dalam satu bait sya'ir sebagai berikut:

(Taqdir) adalah Ilmu, penulisan dan kehendak Maula kita
Begitu juga penciptaan-Nya, yaitu pengadaan dan pembentukannya



Iman Kepada Penulisan Takdir,  
Mencakup Lima Takdir:

1. Takdir yang meliputi seluruh makhluk.

Artinya, Allah telah mengetahui, menulis,  menghendaki, dan menciptakannya, sebagaimana dijelaskan sebelumnya berikut dalil-dalilnya, dalam empat tingkatannya.

2. Takdir kedua adalah penulisan mitsaq (perjanjian),

ketika Allah berfirman :
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢

"Dan (ingatlah) ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil persaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : 'Bukankah Aku ini Rabbmu ?' Mereka menjawab : 'Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi/ (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan, 'Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini." (Al-A'raf: 172.)

3. At-Takdir Al-'Umri (Penetapan umur) :

Sekaligus penetapan rezki, ajal, dan amal perbuatan seorang hamba, serta apakah ia bahagia ataukah sengsara, yaitu ketika masih berada di perut ibunya. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiallahu ‘anhu [Muslim 1V/2036]

4 . At-Takdir As-Sanawy (Penetapan Tahunan).

Allah berfirman :

فِيهَا يُفۡرَقُ كُلُّ أَمۡرٍ حَكِيمٍ

"Pada malam itu, dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah."
(Ad-Dukhan : 4 ) .

Ibnu Abbas berkata : "Ketika lailatul qadar, ditulislah pada ummul kitab, segala yang akan terjadi pada tahun itu, baik yang berupa kebaikan, keburukan, maupun rezki."

5. At-Takdir Al-Yaumy (Penetapan Harian).

Allah Ta'ala berfirman :

كُلَّ يَوۡمٍ هُوَ فِي شَأۡنٖ

"Setiap hari Dia dalam kesibukan." (Ar-Rahman: 29).

Jadi, setiap hari Allah mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, mengangkat derajat suatu kaum, dan merendahkan kaum yang lain ["Ma'arij Al-Qabul" II/345].

Takdir ini adalah penggiringan berbagai ketentuan kepada waktu-waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Takdir yaumy ini merupakan perincian dari takdir sanawi, takdir sanawi perincian dari takdir umri (usia) ketika ruh ditiupkan ke janin yang ada di dalam perut ibunya, sedangkan takdir umri juga merupakan perincian dari takdir pertama, di masa mitsaq (perjanjian), dan takdir di masa mitsaq ini merupakan perincian dari takdir yang ditulis oleh qalam dalam Lauh Mahfuzh [Ibid. hal. 247.]

Menurut petunjuk As-Sunnah, Qalam tersebut terdapat empat macam:

1. Qalam pertama yang umum dan menyeluruh, meliputi seluruh makhluk.
2. Qalam kedua ketika Adam diciptakan. Qalam ini juga bersifat umum, tetapi hanya meliputi seluruh bani Adam saja.
3. Qalam ketiga ketika malaikat diutus kepada janin yang berada diperut ibunya, Qalam ini digunakan untuk menulis empat kalimat.
4. Qalam keempat diciptakan untuk seorang hamba ketika telah mencapai baligh. Qalam ini dipegang oleh para malaikat pencatat, yang mereka gunakan untuk mencatat apa yang dikerjakan oleh bani Adam."

Apabila seorang hamba telah mengetahui bahwa kesemua itu berasal dari sisi Allah, maka yang wajib baginya adalah meng-Esa-kan Allah dalam beribadah dan bertakwa kepadanya [Syarh "Al-'Aqidah Ath-Thahawiyah", tahqiq Al-Amauth, hal. 235.] Seorang hamba berkewajiban untuk menjalankan usaha dengan penuh kesungguhan seraya meminta pertolongan dan petunjuk kepada Allah, ia harus yakin bahwa tidak ada musibah yang menimpanya selain dari apa yang telah dituliskan Allah untuknya, serta meyakini dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebajikan dan tidak menzhalimi walaupun sekecil biji dzarrah pun.

فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ ٧  وَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ ٨

"Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat biji dzarrahpun, niscaya ia akan melihatnya."
(Az-Zalzalah : 7-8).


MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH DALAM
MASALAH IMAN DAN DIN

Ad-Dien dan Al-Iman, menurut Ahlus Sunnah adalah : Perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Perkataan dengan hati dan lidah, sedangkan perbuatan dengan hati, lidah, dan anggota badan. Iman itu bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Perkataan hati adalah kepercayaan dan keyakinannya. Perkataan lidah adalah pengucapan dua kalimah syahadah dan ikrar terhadap konsekuensikonsekuensinya.

Amalan hati adalah niat, ikhlas, cinta, tunduk, dan keterikatan hati kepada Allah, serta tawakkal kepadan-Nya, juga segala hal yang merupakan konsekuensi dari semua itu dan semua yang termasuk amalan hati. Amalan lisan adalah apa saja yang hanya dilaksanakan dengan lidah, seperti membaca Al-Qur'an, seluruh bentuk dzikir, seperti: tasbih, tahmid, dan takbir, doa, istighf ar, dan sebagainya. Sedangkan amalan anggota badan adalah apa yang tidak bisa dilaksanakan kecuali dengannya, seperti : berdiri, ruku', sujud, berjalan dalam melaksanakan amalan yang diridhai Allah, amar ma'ruf, dan nahyi munkar ["Ma'arijul Qabul"II/17.].

Adapun bertambah dan berkurangnya iman, adalah berdasarkan firman Allah Ta'ala :
وَإِذَا تُلِيَتۡ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنٗا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ

"Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami, maka bertambahlah iman mereka."
(Al-Anfal : 2).

Juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

يَخْرُجُ مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ الْخَيْرِ مَا بَزِنُ شَعِيرَةً

"Akan keluar dari Neraka
Barangsiapa yang telah mengucapkan Laa Ilaaha Illallah',
sedangkan di hatinya terdapat kebaikan seberat biji gandum."
[Muslim 1/182]

Di antara dalil yang menunjukkan Berkurang dan Bertambahnya IMAN adalah bahwa Allah telah membagi orang-orang beriman menjadi tiga bagian :

ثُمَّ أَوۡرَثۡنَا ٱلۡكِتَٰبَ ٱلَّذِينَ ٱصۡطَفَيۡنَا مِنۡ عِبَادِنَاۖ فَمِنۡهُمۡ ظَالِمٞ لِّنَفۡسِهِۦ وَمِنۡهُم مُّقۡتَصِدٞ وَمِنۡهُمۡ سَابِقُۢ بِٱلۡخَيۡرَٰتِ بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَضۡلُ ٱلۡكَبِيرُ

"Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan, dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan, dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar."
(Fathir : 32)

Orang yang menganiaya dirinya sendiri adalah orang yang lalai, yang melaksanakan sebagian kewajiban dan melakukan sebagian perbuatan dosa. Orang yang pertengahan adalah orang yang melaksanakan seluruh kewajiban dan meninggalkan seluruh perbuatan dosa, tetapi kadang-kadang meninggalkan hal-hal yang mustahab dan melakukan hal-hal yang makruh. Sedangkan orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan adalah orang yang melaksanakan semua kewajiban dan hal yang mustahab serta meninggalkan perbuatan haram dan yang makruh.

[Mukhtashar Ibnu Katsir III/554, Ar-Rafi'i dan Ibnu Katsir III/554. Mengenai firman Allah, "Di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri," Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa'diy berkata, "Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan sebagian kewajiban iman dan melakukan sebagian hal yang diharamkan." (Lihat "At-Taudhih wal Bayan H Syajarah Al-lman" hal. 17)]

Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidak mengkafirkan Ahlul Qiblah karena kemaksiatan dan dosa besar semata, selama pelakunya tidak menghalalkan perbuatan dosa. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :

مَنْ صَلَّ صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا, وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا فَذَالِكَ الْمُسْلِمُ

"Barangsiapa yang melaksanakan shalat kita, menghadap kiblat kita, dan memakan sembelihan kita, maka ia seorang muslim."
[Al-Bukhari, '"Fathul Bari" 1/496. Lihat pula "Ar-Raudhah An-Nadiyah", hal. 382]

Setiap pelaku dosa besar atau orang yang melakukan dosa kecil secara terus menerus, maka ia disebut sebagai orang yang maksiat dan fasik. Ia sebagaimana seluruh orang mukmin yang lain, tidak keluar dari keimanan disebabkan kemaksiatannya, selama ia tidak menghalalkannya dosa-dosa tadi. Ia disebut: Orang yang beriman dengan keimanannya dan orang yang fasik dengan dosa besarnya. Atau orang beriman yang kurang keimanannya. Ia tidak diberi sebutan iman secara mutlak, tetapi sebutan tersebut tidak dicabut darinya secara mutlak pula.

Adapun hukumnya di akhirat, ia berada di bawah kehendak Allah Ta'ala, bila ia meninggal dunia sebelum bertaubat. Bila Allah menghendaki, niscaya akan mengadzabnya sesuai dengan kadar dosanya, dan tempat terakhirnya adalah jannah. Sebaliknya, jika Allah menghendaki pula, niscaya akan mengampuninya sejak pertama kali dan memasukkannya ke jannah dengan rahmat dan karunianya. Adapun menurut Kaum Khawarij dan Mu'tazilah, pelaku dosa besar itu kekal di naar diakhirat nanti, sedangkan di dunia ia adalah orang kafir yang halal darah dan hartanya menurut Kaum Khawarij, adapun menurut Kaum Mu'tazilah, ia berada di suatu tempat di antara dua tempat, ia keluar dari keimanan, akan tetapi belum masuk ke dalam kekafiran. Lain lagi menurut Kaum Jahmiyah dan Murji'ah, ia tetap sempurna keimanannya dan tidak berhak untuk disiksa. Mengenai hal ini, telah dibahas dalam bab sikap pertengahan Ahlus Sunnah.


Source:
Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Oleh: Sa’id bin Ali bin Wahfi AI-Qahthaniy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...