T A K D I R
DAN
TINGKATAN-TINGKATANNYA
Takdir merupakan salah
satu dari enam rukun iman. Di muka telah disebutkan secara global mengenai iman
kepada takdir. Kemudian, penulis Rahimahullah menyebutkan
disini secara terperinci.
Takdir adalah
ketentuan Allah Ta'ala terhadap segala
sesuatu sejak masa dahulu, Ilmu Allah Ta'ala bahwa
itu akan terjadi pada waktu-waktu tertentu yang diketahui -Nya dan dengan
sifat-sifat tertentu, penulisan hal itu oleh-Nya subhanahu wa ta’ala , kehendak-Nya
terhadapnya, kejadiannya sesuai dengan apa yang telah ditetapkan oleh-Nya, dan
penciptaannya oleh-Nya ["Al-Ajwibah
Al-Ushuliyah", hal. 121] . Syaikh Rahimahullah
telah menyebutkan empat tingkatan takdir, yang harus
diimani sebagaimana Ahlus Sunnah mengimaninya.
1. Tingkatan Pertama
Beriman bahwa Allah Ta'ala
mengetahui apa yang dikerjakan oleh seluruh makhluk,
dengan ilmu-Nya yang azali dan abadi. Allah telah mengetahui segala keadaan
mereka, yang berupa ketaatan, rezki, maupun ajal. Dia subhanahu wa ta’ala
mengetahui apa yang telah dan akan terjadi, apa yang tidak terjadi bila ia
terjadi, serta bagaimana ia terjadi. Allah Ta'ala
berfirman :
وَأَنَّ ٱللَّهَ قَدۡ
أَحَاطَ بِكُلِّ شَيۡءٍ عِلۡمَۢا
"Dan
sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu."
(Ath-Thalaq : 12).
إِنَّ ٱللَّهَ بِكُلِّ
شَيۡءٍ عَلِيمٞ
"Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu."
(Al-'Ankabut
: 62).
2. Tingkatan Kedua
Penulisan segala
sesuatu oleh Allah di dalam Lauh Mahfuzh, baik yang kecil maupun yang besar,
baik yang telah terjadi maupun yang akan terjadi.
Allah Ta'ala berfirman
:
مَآ
أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ وَلَا فِيٓ أَنفُسِكُمۡ إِلَّا فِي كِتَٰبٖ
مِّن قَبۡلِ أَن نَّبۡرَأَهَآۚ إِنَّ ذَٰلِكَ عَلَى ٱللَّهِ يَسِيرٞ
"Tiada suatu bencana pun
yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah
tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah."
(Al-Hadid
: 22).
وَكُلَّ شَيۡءٍ
أَحۡصَيۡنَٰهُ فِيٓ إِمَامٖ مُّبِينٖ
"Dan
segala
sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata."
(Yasin
: 12).
3. Tingkatan Ketiga
Kehendak Allah yang
berlaku, yang tidak bisa ditolak dan kekuasaan-Nya yang tidak bisa dihindarkan
oleh suatu apapun. Seluruh peristiwa terjadi dengan kehendak dan kekuasaan
Allah. Apapun yang Dia kehendaki, niscaya terjadi dan apapun yang tidak Dia
kehendaki, niscaya tidak terjadi.
Allah Ta'ala
berfirman
:
وَمَا تَشَآءُونَ إِلَّآ
أَن يَشَآءَ ٱللَّهُ رَبُّ ٱلۡعَٰلَمِينَ
"Dan kamu tidak dapat
menghendaki, kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Rabb semesta alam."
(At-Takwir
: 29).
4. Tingkatan Keempat
Mencipta adalah
wewenang Allah Ta'ala. Dialah
Khaliq (Pencipta),
sedangkan selain-Nya adalah makhluk yang diciptakan-Nya. Allah Ta'ala berfirman
:
ٱللَّهُ خَٰلِقُ كُلِّ
شَيۡءٖۖ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ وَكِيلٞ
"Allah menciptakan segala
sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu."
(Az-Zumar
: 62 ) .
هَلۡ مِنۡ خَٰلِقٍ غَيۡرُ ٱللَّهِ
"Adakah sesuatu pencipta
selain Allah ?"
(Fathir
: 3).
Allah-lah yang
menciptakan segala sesuatu yang telah terjadi, bersamaan dengan itu Dia
memerintahkan para hamba untuk mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya shallallahu
‘alaihi wasallam serta melarang mereka dari kemaksiatan terhadap-Nya. Dia
subhanahu wa ta’ala mencintai orang-orang yang berbuat kebajikan dan
orang-orang yang berbuat adil serta
meridhai orang-orang yang beriman dan beramal shalih. Dia tidak mencintai orang-orang
kafir dan tidak meridhai kaum yang fasik. Dia tidak memerintahkan perbuatan
keji, tidak meridhai kekafiran bagi hamba-hamba-Nya, dan tidak mencintai
kerusakan.
Dia subhanahu wa ta’ala Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Ada sebagian ulama yang
memadukan keempat tingkatan takdir ini dalam satu bait sya'ir sebagai berikut:
(Taqdir) adalah Ilmu,
penulisan dan kehendak Maula kita
Begitu juga
penciptaan-Nya, yaitu pengadaan dan pembentukannya
Iman
Kepada Penulisan Takdir,
Mencakup
Lima Takdir:
1. Takdir yang meliputi seluruh
makhluk.
Artinya, Allah telah mengetahui, menulis, menghendaki, dan menciptakannya, sebagaimana
dijelaskan sebelumnya berikut dalil-dalilnya, dalam empat tingkatannya.
2. Takdir kedua adalah penulisan mitsaq
(perjanjian),
ketika Allah berfirman :
وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ
بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ
أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ
يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ ١٧٢
"Dan (ingatlah)
ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil persaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman) : 'Bukankah Aku
ini Rabbmu ?' Mereka menjawab : 'Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi/
(Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan,
'Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap
ini." (Al-A'raf: 172.)
3. At-Takdir
Al-'Umri (Penetapan umur) :
Sekaligus penetapan rezki, ajal,
dan amal perbuatan seorang hamba, serta apakah ia bahagia ataukah sengsara,
yaitu ketika masih berada di perut ibunya. Dalilnya adalah hadits yang
diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud radhiallahu ‘anhu [Muslim 1V/2036]
4 .
At-Takdir As-Sanawy (Penetapan Tahunan).
Allah berfirman :
فِيهَا
يُفۡرَقُ كُلُّ أَمۡرٍ حَكِيمٍ
"Pada
malam itu, dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah."
(Ad-Dukhan
: 4 ) .
Ibnu
Abbas berkata :
"Ketika lailatul qadar, ditulislah pada ummul kitab, segala yang akan
terjadi pada tahun itu, baik yang berupa kebaikan, keburukan, maupun
rezki."
5. At-Takdir Al-Yaumy (Penetapan Harian).
Allah Ta'ala berfirman
:
كُلَّ
يَوۡمٍ هُوَ فِي شَأۡنٖ
"Setiap hari Dia dalam
kesibukan." (Ar-Rahman: 29).
Jadi,
setiap hari Allah mengampuni dosa, menghilangkan kesusahan, mengangkat derajat
suatu kaum, dan merendahkan kaum yang lain ["Ma'arij
Al-Qabul" II/345].
Takdir ini adalah
penggiringan berbagai ketentuan kepada waktu-waktu yang telah ditentukan
sebelumnya. Takdir yaumy
ini
merupakan perincian dari takdir
sanawi, takdir sanawi perincian dari takdir umri (usia) ketika ruh ditiupkan ke janin yang ada di dalam
perut ibunya, sedangkan takdir umri juga
merupakan perincian dari takdir pertama, di masa mitsaq (perjanjian), dan
takdir di masa mitsaq ini
merupakan perincian dari takdir yang ditulis oleh qalam dalam
Lauh Mahfuzh [Ibid.
hal.
247.]
Menurut petunjuk
As-Sunnah, Qalam tersebut
terdapat empat macam:
1. Qalam pertama yang umum dan menyeluruh, meliputi
seluruh makhluk.
2. Qalam kedua ketika Adam diciptakan. Qalam ini juga
bersifat umum, tetapi hanya meliputi seluruh bani Adam saja.
3. Qalam ketiga ketika malaikat diutus kepada janin
yang berada diperut ibunya, Qalam ini digunakan untuk menulis empat kalimat.
4. Qalam keempat diciptakan untuk seorang hamba ketika
telah mencapai baligh. Qalam ini dipegang oleh para malaikat pencatat, yang
mereka gunakan untuk mencatat apa yang dikerjakan oleh bani Adam."
Apabila seorang hamba
telah mengetahui bahwa kesemua itu berasal dari sisi Allah, maka yang wajib
baginya adalah meng-Esa-kan Allah dalam beribadah dan bertakwa kepadanya [Syarh "Al-'Aqidah
Ath-Thahawiyah", tahqiq Al-Amauth, hal. 235.] Seorang hamba berkewajiban untuk
menjalankan usaha dengan penuh kesungguhan seraya meminta pertolongan dan
petunjuk kepada Allah, ia harus yakin bahwa tidak ada musibah yang menimpanya
selain dari apa yang telah dituliskan Allah untuknya, serta meyakini dengan
seyakin-yakinnya bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang
berbuat kebajikan dan tidak menzhalimi walaupun sekecil biji dzarrah pun.
فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ
ذَرَّةٍ خَيۡرٗا يَرَهُۥ ٧ وَمَن يَعۡمَلۡ
مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ شَرّٗا يَرَهُۥ ٨
"Barangsiapa
yang mengerjakan kebaikan seberat biji dzarrahpun, niscaya ia akan
melihatnya."
(Az-Zalzalah
: 7-8).
MADZHAB
AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH DALAM
MASALAH
IMAN DAN DIN
Ad-Dien dan Al-Iman, menurut Ahlus Sunnah adalah : Perkataan,
perbuatan, dan keyakinan. Perkataan dengan hati dan lidah, sedangkan perbuatan
dengan hati, lidah, dan anggota badan. Iman itu bertambah dengan ketaatan dan
berkurang dengan kemaksiatan. Perkataan hati adalah kepercayaan dan
keyakinannya. Perkataan lidah adalah pengucapan dua kalimah syahadah dan ikrar
terhadap konsekuensikonsekuensinya.
Amalan hati adalah niat, ikhlas, cinta, tunduk, dan keterikatan
hati kepada Allah, serta tawakkal kepadan-Nya, juga segala hal yang merupakan
konsekuensi dari semua itu dan semua yang termasuk amalan hati. Amalan lisan
adalah apa saja yang hanya dilaksanakan dengan lidah, seperti membaca
Al-Qur'an, seluruh bentuk dzikir, seperti: tasbih, tahmid, dan takbir, doa,
istighf ar, dan sebagainya. Sedangkan amalan anggota badan adalah apa yang tidak
bisa dilaksanakan kecuali dengannya, seperti : berdiri, ruku', sujud, berjalan
dalam melaksanakan amalan yang diridhai Allah, amar ma'ruf, dan nahyi munkar ["Ma'arijul
Qabul"II/17.].
Adapun bertambah dan berkurangnya iman, adalah berdasarkan firman
Allah Ta'ala :
وَإِذَا تُلِيَتۡ
عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتُهُۥ زَادَتۡهُمۡ إِيمَٰنٗا وَعَلَىٰ رَبِّهِمۡ يَتَوَكَّلُونَ
"Dan
apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat kami, maka bertambahlah iman
mereka."
(Al-Anfal
: 2).
Juga sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
يَخْرُجُ
مِنَ النَّارِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَكَانَ فِي قَلْبِهِ مِنَ
الْخَيْرِ مَا بَزِنُ شَعِيرَةً
"Akan keluar dari Neraka
Barangsiapa yang telah
mengucapkan Laa Ilaaha Illallah',
sedangkan di hatinya terdapat
kebaikan seberat biji gandum."
[Muslim
1/182]
Di antara dalil yang menunjukkan Berkurang dan Bertambahnya
IMAN adalah bahwa Allah telah membagi orang-orang beriman menjadi tiga
bagian :
ثُمَّ
أَوۡرَثۡنَا ٱلۡكِتَٰبَ ٱلَّذِينَ ٱصۡطَفَيۡنَا مِنۡ عِبَادِنَاۖ فَمِنۡهُمۡ
ظَالِمٞ لِّنَفۡسِهِۦ وَمِنۡهُم مُّقۡتَصِدٞ وَمِنۡهُمۡ سَابِقُۢ بِٱلۡخَيۡرَٰتِ
بِإِذۡنِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ هُوَ ٱلۡفَضۡلُ ٱلۡكَبِيرُ
"Kemudian Kitab itu Kami
wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih diantara hamba-hamba Kami, lalu
diantara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka
ada yang pertengahan, dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat
kebaikan, dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat
besar."
(Fathir : 32)
Orang yang menganiaya
dirinya sendiri adalah orang yang lalai, yang melaksanakan sebagian kewajiban
dan melakukan sebagian perbuatan dosa. Orang yang pertengahan adalah orang yang
melaksanakan seluruh kewajiban dan meninggalkan seluruh perbuatan dosa, tetapi
kadang-kadang meninggalkan hal-hal yang
mustahab
dan melakukan hal-hal yang
makruh. Sedangkan orang yang lebih dahulu berbuat kebaikan
adalah orang yang melaksanakan semua kewajiban dan hal yang mustahab serta
meninggalkan perbuatan haram dan yang makruh.
[Mukhtashar Ibnu
Katsir III/554, Ar-Rafi'i dan Ibnu Katsir III/554. Mengenai firman Allah,
"Di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri," Syaikh
Abdurrahman bin Nashir As-Sa'diy berkata, "Mereka adalah orang-orang yang
meninggalkan sebagian kewajiban iman dan melakukan sebagian hal yang
diharamkan." (Lihat "At-Taudhih
wal Bayan H Syajarah Al-lman" hal. 17)]
Ahlus Sunnah wal
Jama'ah tidak mengkafirkan Ahlul Qiblah karena kemaksiatan dan dosa besar
semata, selama pelakunya tidak menghalalkan perbuatan dosa. Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam telah bersabda :
مَنْ
صَلَّ صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا, وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا فَذَالِكَ الْمُسْلِمُ
"Barangsiapa yang
melaksanakan shalat kita, menghadap kiblat kita, dan memakan sembelihan kita,
maka ia seorang muslim."
[Al-Bukhari,
'"Fathul
Bari" 1/496. Lihat pula "Ar-Raudhah
An-Nadiyah", hal. 382]
Setiap pelaku dosa
besar atau orang yang melakukan dosa kecil secara terus menerus, maka ia
disebut sebagai orang yang maksiat dan fasik. Ia sebagaimana seluruh orang mukmin yang
lain, tidak keluar dari keimanan disebabkan kemaksiatannya, selama ia tidak
menghalalkannya dosa-dosa tadi. Ia disebut: Orang yang beriman dengan
keimanannya dan orang yang fasik dengan dosa besarnya. Atau orang beriman yang
kurang keimanannya. Ia tidak diberi sebutan iman secara mutlak, tetapi sebutan
tersebut tidak dicabut darinya secara mutlak pula.
Adapun hukumnya di akhirat, ia berada di bawah kehendak Allah Ta'ala,
bila ia
meninggal dunia sebelum bertaubat. Bila Allah menghendaki, niscaya akan
mengadzabnya sesuai dengan kadar dosanya, dan tempat terakhirnya adalah jannah.
Sebaliknya, jika Allah menghendaki pula, niscaya akan mengampuninya sejak
pertama kali dan memasukkannya ke jannah dengan rahmat dan karunianya. Adapun
menurut Kaum Khawarij dan Mu'tazilah, pelaku dosa besar itu kekal di naar
diakhirat nanti, sedangkan di dunia ia adalah orang kafir yang halal darah dan
hartanya menurut Kaum Khawarij, adapun menurut Kaum Mu'tazilah, ia berada di
suatu tempat di antara dua tempat, ia keluar dari keimanan, akan tetapi belum
masuk ke dalam kekafiran. Lain lagi menurut Kaum Jahmiyah dan Murji'ah, ia
tetap sempurna keimanannya dan tidak berhak untuk disiksa. Mengenai hal ini,
telah dibahas dalam bab sikap pertengahan Ahlus Sunnah.
Source:
Syarh
Al-Aqidah Al-Wasithiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Oleh: Sa’id bin Ali bin Wahfi AI-Qahthaniy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar