R I D H A Oleh :Ibnu Qayyim AI-Jauziyah
Para ulama telah sepakat bahwa ridha
merupakan sunat atau sunat mu’akkad. Ada dua pendapat yang berbeda tentang
wajibnya. Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengisahkan dua
pendapat ini dari rekan-rekan Al-Imam Ahmad. Tetapi Al-Imam Ahmad sendiri menyatakannya
sunat. Tidak pernah disebutkan adanya perintah ridha seperti halnya perintah
sabar. Penyebutannya hanya sebatas pujian terhadap orang-orang yang ridha.
Ibnu Taimiyah juga berkata, “Tentang
riwayat dari Allah yang menyatakan, ‘Siapa yang tidak sabar menerima cobaan-Ku
dan tidak ridha terhadap qadha’-Ku, maka hendaklah ia mengambil sesembahan
selain Aku, maka ini adalah kisah Isra’iliyat, yang sama sekali tidak pernah diriwayatkan
dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Apalagi dengan pendapat yang
mengatakan bahwa ridha itu bukan termasuk amal yang diusahakañ, tapi merupakan
pemberian dan anugerah, lalu dikatakan, “Bagaimana mungkin ridha ini
diperintahkan, sedangkan hamba tidak ditakdirkan untuk ridha?”
Ada
Tiga pendapat tentang Ridha ini:
1. Ridha
termasuk satu kedudukan yang mulia, yaitu puncak dan tawakkal. Berarti hamba
bisa mencapai ridha ini dengan usahanya. ini merupakan pendapat para ulama
Khurasan.
2. Ridha
termasuk keadaan dan tidak bisa diupayakan hamba, tapi ridha ini turun ke hati
hamba seperti keadaan-keadaan lainnya. Ini merupakan pendapat para ulama Irak.
Perbedaan antara kedudukan dan keadaan, kedudukan diperoleh karena usaha, sedangkan
keadaan semata karena pemberian dan anugerah.
3. Golongan
ketiga ada di antara golongan pertama dan kedua. Menurut mereka, dua pendapat
ini dapat disatukan, bahwa permulaan ridha bisa diusahakan hamba, yang berarti
termasuk kedudukan, sedangkan kesudahannya termasuk keadaan dan tidak bisa
diupayakan hamba. Permulaannya merupakan kedudukan dan kesudahannya merupakan
keadaan.
Mereka yang menganggap ridha termasuk
kedudukan atau amal yang bisa diupayakan, berdalih bahwa Allah memuji pelakunya
dan menganjurkannya. Ini berarti mereka mampu mengupayakannya. Nabi Shallallahu
Alaihi wa Sallam bersabda,
ذَاقَ
طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ اللهَ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دْينًا
وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا
“YANG MERASAKAN
MANISNYA IMAN IALAH
ORANG YANG RIDHA
KEPADA ALLAH SEBAGAI RABB,
KEPADA ISLAM
SEBAGAI AGAMA DAN
KEPADA MUHAMMAD SEBAGAI
RASUL“.
Beliau
juga bersabda, .
مَنْ
قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ
رَسُولًا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ
“Siapa yang mengucapkan saat mendengar
adzan, “Aku ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan
kepada Muhammad sebagai rasul maka diampuni dosanya.”
Dua hadits ini merupakan inti kedudukan
agama dan sekaligus merupakan puncaknya, yang di dalamnya terkandung ridha
terhadap Rububiyah dan Uluhiyah Allah, ridha kepada Rasul-Nya, ketundukan, ridha
kepada agama-Nya dan kepasrahan kepada-Nya. Siapa yang menghimpun empat perkara
ini, maka dia adalah orang yang Shiddiq. Memang hal ini mudah diucapkan,
tapi termasuk sulit dan berat jika datang cobaan, apalagi jika ada sesuatu yang
bertentangan dengan nafsu dan keinginannya, sehingga akan tampak apakah ridha
itu hanya sekedar diusahakan atau memang merupakan keadaan dirinya.
Ridha kepada Rububiyah Allah mengandung
ridha terhadap pengaturan-Nya terhadap hamba, juga mengandung pengakuan
terhadap kesendirian-Nya dalam tawakkal, keyakinan, penyandaran dan permintaan
pertolongan. Sedangkan ridha kepada Rasul-Nya mengandung kesempurnaan kepatuhan
dan kepasrahan kepadanya, sehingga keberadaan Rasul-Nya
lebih penting daripada keberadaan dirinya, tidak mencari petunjuk kecuali dari
kalimat-kalimatnya, tidak ridha kepada selain Hukumnya, dalam masalah
apa pun, zhahir maupun batin.
Sedangkan ridha kepada agama-Nya berarti patuh kepada
hukum, perintah dan larangan agama, sekalipun mungkin bertentangan dengan kehendaknya
atau pendapat kaum dan golongannya.
Yang pasti dalam masalah ini, ridha adalah
sesuatu yang bisa diupayakan ditilik dan sebabnya, dan merupakan pemberian jika
ditilik dari hakikatnya. Jika memang sebab-sebabnya dimungkinkan dan pohonnya dapat
ditanam, maka buah ridha juga bisa clipetik. Sebab ridha merupakan akhir dari
tawakkal. Siapa yang pijakan kakinya mantap pada tawakkal, penyerahan diri dan
kepasrahan, tentu akan mendapatkan ridha. Tapi karena sulitnya mendapatkan ridha
ini, maka Allah tidak mewajibkannya kepada makhluk-Nya, sebagai rahmat dan
keringanan bagi mereka.
Namun begitu Allah menganjurkannya kepada
mereka, memuji pelakunya dan mengabarkan bahwa pahala yang mereka terima adalah
keridhaan Allah terhadap mereka, dan ini merupakan pahala yang lebih agung daripada
surga dan seisinya. Siapa yang ridha kepada Rabb-nya, maka Dia juga ridha
kepadanya. Karena itu ridha ini merupakan pintu Allah yang paling besar, surga
dunia, kehidupan orang-orang yang mencintai dan kenikmatan orang-orang yang
banyak beribadah. Di antara faktor yang paling besar mendatangkan ridha ialah
mengikuti apa yang Allah ridha kepadanya, karena inilah yang akan menghantarkan
kepada ridha.
Yahya bin Mu’adz pernah ditanya, “Kapankah
seorang hamba mencapai kedudukan ridha?” Maka dia menjawab, “Jika dia menempatkan
dirinya pada empat landasan tindakan Allah kepadanya, lalu dia berkata, “Jika
Engkau memberiku, maka aku menerimanya. Jika Engkau menahan pemberian kepadaku,
maka aku ridha. Jika Engkau membiarkanku, maka aku tetap beribadah. Jika Engkau
menyeruku, maka aku memenuhinya.”
Ridha tidak disyaratkan untuk tidak
merasakan penderitaan dan hal-hal yang tidak disukai. Tapi keadaan ini tidak
boleh dihadapi dengan kemarahan atau penolakan takdir. Karena itu banyak orang
yang tidak bisa ridha karena haI-hal yang tidak disukai, seraya berkata, “Ini
tidak mungkin menurut tabiat.” itu hanya bisa dihadapi dengan sabar. Sebab bagaimana
mungkin ridha dan kebencian bisa menyatu padahal keduanya saling bertentangan?
Yang
benar, tidak ada pertentangan antara ridha dan kebencian.
Adanya penderitaan dan kebencian tidak
menafikan ridha, seperti ridhanya orang yang sakit untuk minum obat, ridhanya
orang puasa pada hari yang sangat panas yang harus menanggung derita lapar dan
dahaga atau ridhanya mujahid fi sabilillah yang harus menanggung derita luka
dan Iain-lainnya. Jalan ridha merupakan jalan yang paling singkat dan paling dekat
ke tujuan. Tapi sulit dan berat. Tapi kesulitannya tidak seberat kesulitan
jalan mujahadah, karena di sana tidak ada rintangan dan kesudahan, selain dari
hasrat yang tinggi, jiwa yang suci dan menenima apa pun yang datang dari Allah.
Yang demikian itu relatif lebih mudah bagi hamba, apalagi dia mengetahui
kelemahan dirinya.
Allah
berfirman,
“Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada
Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan
hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. “ (Al-Fajr: 27-30)
Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Di
dalam ayat ini Allah tidak memberikan jalan bagi orang yang marah. Ridha
merupakan syarat bagi hamba agar dapat masuk surga Allah. Ridha adalah berada
dalam ikatan agama seperti yang dikehendaki Allah, tanpa ragu-nagu dan tanpa
pengingkaran, di mana pun hamba berada.”
Menurutnya,
ada Tiga
Derajat Ridha,
yaitu:
1) Ridha Secara Umum, yaitu ridha
kepada Allah sebagai Rabb dan membenci ibadah kepada selain-Nya. Ini merupakan
poros Islam dan membersihkannya dari syirik yang besar.
Ridha kepada Allah sebagai Rabb artinya
tidak mengambil penolong selain Allah, yang diserahi kekuasaan untuk menangani
dirinya dan menjadi tumpuan kebutuhannya. Allah befirman,
“Katakanlah
‘Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb, bagi
segala sesuatu?” (Al-An’am: 164).
Menurut
Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, maksud Rabb dalam ayat ini adalah tuan dan
sesembahan. Di awal surat juga disebutkan, “Katakanlah, ‘Apakah akan aku
jadikan Rabb selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi?” (Al-An’am:
14).
Arti Rabb di dalam ayat ini adalah sesembahan,
penolong, pelindung dan tempat kembali. Hal ini mencerminkan loyalitas yang
mengharuskan adanya ketaatan dan cinta. Di bagian tengah surat Allah juga berfirman,
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci?”
(AI-An’am: 114).
Artinya, layakkah selain Allah aku jadikan hakim yang
mengadili perkara antara diriku dan diri kalian dari yang kita perselisìhkan?
Padahal Kitab ini adalah pemimpin semua kitab. Maka bagaimana mungkin kita
menyerahkan perkara kepada kitab yang bukan Kitab-Nya? Sementara Kitab-Nya itu
diturunkan secara rinci, jelas dan menyeluruh?
Jika engkau memperhatikan tiga ayat ini lebih cermat, tentu engkau akan tahu bahwa di sana terkandung ridha kepada Allah sebagai Rabb, ridha kepada Islam sebagai agama dan ridha kepada Muhammad sebagai rasul. Banyak orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb dan tidak mencari Rabb selain-Nya. Tapi mereka tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya penolong dan pelindung, tetapi mereka mengangkat penolong selain-Nya, karena menganggap penolong ini dapat mendekatkan mereka kepada Allah. Bahkan loyalitasnya kepada penolong ini seperti loyalitas mereka kepada raja. Tentu saja ini merupakan šyirik.
Yang disebut tauhid ialah tidak mengambil
selain Allah sebagai penolong. AI-Qur’an banyak ditebari penjelasan sifat orang-orang
musyrik, yang pada intinya mereka mengambil para penolong selain Allah. Banyak
juga orang yang mengangkat selain Allah sebagai hakim yang berhak membuat keputusan
hukum bagi dirinya.
Jadi ada Tiga Sendi Tauhid, yaitu:
Tidak mengambil selain Allah sebagai Rabb, sebagai Sesembahan dan
sebagai Hakim.
Penafsiran ridha kepada Allah sebagai Rabb
ialah membenci penyembahan kepada selain-Nya, dan ini merupakan kesempurnaan
dan ridha ini. Siapa yang memberikan hak-hak ridha kepada Allah sebagai Rabb,
tentu akan membenci penyembahan kepada selain-Nya. Sebab ridha terhadap kemurnian
Rububiyah mengharuskan adanya kemurnian ibadah kepada-Nya, sebagaimana ilmu
tentang tauhid Rububiyah mengharuskan adanya ilmu tentang tauhid Uluhiyah.
Ridha ini membersihkan dari syirik yang
besar, yang pada hakikatnya syirik itu ada dua macam, besar dan kecil. Ridha
ini membersihkan pelakunya dari syirik besar. Sedangkan syirik kedil dapat
dibersihkan jika seorang hamba berada di tempat persinggahan iyyaka na’budu wa
iyyaka nasta’in.
Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, ridha ini
menjadi benar dengan tiga syarat: Allah paling dicintai hamba daripada cintanya
kepada segala sesuatu, yang paling layak untuk dìagungkan, dan paling layak untuk
ditaati.
2) Ridha terhadap Allah. Dengan ridha
inilah dibacakan ayat-ayat yang diturunkan. Ridha terhadap Allah ini merupakan ridha
terhadap qadha’ dan qadar-Nya, dan ini merupakan permulaan perjalanan orang orang
yang khusus. .
Pengarang Manazilus Sa’irin menjadikan
derajat ini lebih tingi dan derajat sebelumnya. Menurutnya, seseorang belum
dianggap masuk Islam kecuali dengan derajat yang pertama. Jika dia sudah berada
di sana, berarti dia sudah berada dalam Islam. Sedangkan derajat ini termasuk mu‘amalah
hati, yang diperuntukkan bagi orang-orang yang khusus, yaitu ridha terhadap
hukum-hukum Allah dan ketetapan-Nya.
Dikatakan sebagai permulaan perjalanan bagi
orang-orang yang khusus, karena ridha ini merupakan pendahuluan untuk keluar dari
jiwa atau keluarnya hamba dan bagian untuk dirinya dan menempatkan diri pada
kehendak Allah, bukan pada kehendaknya.
Inilah yang dikatakan Syaikh. Tapi dengan
menempatkan derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama, perlu
dipertimbangkan lagi.
Mestinya, derajat pertama Iebih tìnggi
daripada derajat ini. Sebab derajat pertama bersifat khusus, sedangkan derajat
ini bersifat umum. Ridha kepada qadha’ bisa dilakukan orang Mukmin dan juga
orang kafir. Sasarannya adalah tunduk kepada qadha’ dan qadar Allah. Lalu
apalah artinya jika hal ini dibandingkan dengan ridha kepada Allah sebagai
Rabb, Rabb dan sesembahan? Di samping itu, ridha kepada Allah sebagai Rabb merupakan
keharusan, bahkan termasuk keharusan yang kuat. Siapa yang tidak ridha kepada-Nya
sebagai Rabb, maka Islamnya tidak dianggap sah, begitu pula amal dan
keadaannya. Sedangkan ridha kepada qadha’Nya merupakan sunat dan bukan wajib,
sekalipun ada pula yang menganggapnya wajib.
3) Ridha kepada Allah sebagai Rabb
meliputi ridha terhadap-Nya. Ridha kepada Rububiyah Allah berarti
keridhaan hamba kepada perintah, larangan, pemberian, penahanan, pembagian dan
qadar-Nya. Siapa yang tidak ridha terhadap semua ini, berarti dia tidak ridha
kepada-Nya sebagai Rabb dan segala sisi, sekalipun mungkin dia ridha kepada-Nya
sebagai Rabb dari sebagian sisinya. Ridha kepada-Nya sebagai Rabb juga berkait
dengan Dzat-Nya, sifat, asma’, Rububiyah-Nya yang bersifat khusus maupun umum,
yaitu ridha kepada-Nya sebagai pencipta, pengatur, pemberi perintah dan
larangan, raja, pemberi, penahan, hakim, pelindung, penolong, pemberi afiat,
pemberi cobaan, dan lain-lainnya dari sifat-sifat Rububiyah. Sedangkan ridha
terhadap Allah ialah keridhaan hamba terhadap apa yang dilakukan Allah dan apa
yang diberikan kepadanya. Karenanya penyebutan ridha ini hanya berkait dengan
pahala dan balasan, seperti firman-Nya, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah
kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”
Ridha kepada Allah merupakan dasar ridha
terhadap Allah. Ridha terhadap Allah merupakan buah ridha kepada Allah. Artinya
ridha kepada Allah berkaitan dengan asma’ dan sifat-sifatNya, sedangkan ridha
terhadap Allah berkaitan dengan pahala dan balasan-Nya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam juga mengaitkan rasa manisnya iman dengan orang yang ridha kepada
Allah sebagai Rabb dan tidak mengaitkannya dengan orâng yang ridha terhadap
Allah, sebagaimana sabda beliau, “Yang merasakan manisnya Iman ialah orang yang
ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad
sebagai nabi-Nya. Tiga perkara ini merupakan dasar agama. “
Beliau menjadikan ridha kepada Allah
sebagai pasangan ridha kepada agama dan Ridha kepada Allah sebagai Rabb
mengandung tauhid dan ubudiyah kepada-Nya, penyandaran, tawakkal, takut,
berharap,mencintai dan sabar karena-Nya. Ridha kepada-Nya mencakup syahadat la
ilaha ilallah. Ridha kepada Muhammad sebagai rasul mencakup syahadat bahwa
Muhammad adalah rasul Allah. Ridha kepada Islam sebagai agama mencakup ketaatan
kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya. Tiga perkara ini menghimpun semua
unsur dalam agama.
Perolehan ridha dalam derajat ini
tergantung dan keberadaan yang diridhai hamba, apakah yang diridhai itu lebih
dicintai dari segala sesuatu, lebih Iayak diagungkan dan lebih berhak ditaati,
yang semua ini merupakan kaidah-kaidah ubudiyah, dan yang dari sini muncul
cabang-cabangnya.
Karena cinta yang sempurna itu merupakan
kecenderungan hati secara total kepada yang dicintai, maka kecenderungan ini membawanya
untuk taat dan mengagungkannya. Selagi kecenderungannya kuat, maka ketaatannya
Iebih sempurna dan pengagùngannya lebih banyak. Kecenderungan ini mengharuskan
adanya iman, dan bahkan merupakan ruh dan intinya iman. Lalu apakah yang Iebih
tinggi kedudukannya daripada sesuatu yang menjadikan Allah paling dicintai
hamba, lebih Iayak diagungkan dan paling berhak ditaati?
Dengan cara inilah seorang hamba bisa
merasakan mamsnya iman, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih dan
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
ثَلَاثٌ
مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُولُهُ
أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَمَنْ أَحَبَّ عَبْدًا لَا يُحِبُّهُ إِلَّا
لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ يَكْرَهُ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ
أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ
“Tiga perkara, siapa yang tiga perkara
ini ada pada dirinya, maka akan merasakan manisnya Iman, yaitu: Siapa yang Allah
dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, siapa yang mencintai
seseorang, dia tidak mencintainya melainkan karena Allah, dan siapa yang tidak suka
kembali kepada kekufuran, setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu,
sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke neraka”.
Beliau mengaitkan manisnya iman dengan
ridha kepada Allah sebagai Rabb, yaitu keberadaan Allah sebagai sesuatu yang
paling. Dicintai hamba, begitu pula Rasul-Nya. Karena cinta yang sempurna dan
ikhlas ini merupakan buah ridha, maka ridha ini Iebih tinggi daripada ridha kepada
Rububiyah Allah, dan buahnya juga lebih tinggi, yaitu MANISNYA IMAN.
Source:
Madarijus-Salikin
(Pendakian Menuju Allah)
Penulis
: Ibnu Qayyim AI-Jauziyah;
penerjemah: Kathur Suhardi; -Cet. 1
Jakarta: Pustaka A1.-Kautsar, 1998.
penerjemah: Kathur Suhardi; -Cet. 1
Jakarta: Pustaka A1.-Kautsar, 1998.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar