7/27/2019

R I D H A - Oleh Ibnu Qayyim


R I D H A
Oleh :Ibnu Qayyim AI-Jauziyah
 
 
Para ulama telah sepakat bahwa ridha merupakan sunat atau sunat mu’akkad. Ada dua pendapat yang berbeda tentang wajibnya. Saya pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengisahkan dua pendapat ini dari rekan-rekan Al-Imam Ahmad. Tetapi Al-Imam Ahmad sendiri menyatakannya sunat. Tidak pernah disebutkan adanya perintah ridha seperti halnya perintah sabar. Penyebutannya hanya sebatas pujian terhadap orang-orang yang ridha.

Ibnu Taimiyah juga berkata, “Tentang riwayat dari Allah yang menyatakan, ‘Siapa yang tidak sabar menerima cobaan-Ku dan tidak ridha terhadap qadha’-Ku, maka hendaklah ia mengambil sesembahan selain Aku, maka ini adalah kisah Isra’iliyat, yang sama sekali tidak pernah diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.” Apalagi dengan pendapat yang mengatakan bahwa ridha itu bukan termasuk amal yang diusahakañ, tapi merupakan pemberian dan anugerah, lalu dikatakan, “Bagaimana mungkin ridha ini diperintahkan, sedangkan hamba tidak ditakdirkan untuk ridha?”

Ada Tiga pendapat tentang Ridha ini:

1.       Ridha termasuk satu kedudukan yang mulia, yaitu puncak dan tawakkal. Berarti hamba bisa mencapai ridha ini dengan usahanya. ini merupakan pendapat para ulama Khurasan.

2.       Ridha termasuk keadaan dan tidak bisa diupayakan hamba, tapi ridha ini turun ke hati hamba seperti keadaan-keadaan lainnya. Ini merupakan pendapat para ulama Irak. Perbedaan antara kedudukan dan keadaan, kedudukan diperoleh karena usaha, sedangkan keadaan semata karena pemberian dan anugerah.

3.      Golongan ketiga ada di antara golongan pertama dan kedua. Menurut mereka, dua pendapat ini dapat disatukan, bahwa permulaan ridha bisa diusahakan hamba, yang berarti termasuk kedudukan, sedangkan kesudahannya termasuk keadaan dan tidak bisa diupayakan hamba. Permulaannya merupakan kedudukan dan kesudahannya merupakan keadaan.

Mereka yang menganggap ridha termasuk kedudukan atau amal yang bisa diupayakan, berdalih bahwa Allah memuji pelakunya dan menganjurkannya. Ini berarti mereka mampu mengupayakannya. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda,

ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ اللهَ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دْينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا

YANG MERASAKAN MANISNYA IMAN IALAH
ORANG YANG RIDHA KEPADA ALLAH SEBAGAI RABB,
KEPADA ISLAM SEBAGAI AGAMA DAN
KEPADA MUHAMMAD SEBAGAI RASUL“.

Beliau juga bersabda, .

مَنْ قَالَ حِينَ يَسْمَعُ الْمُؤَذِّنَ رَضِيتُ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُولًا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا غُفِرَ لَهُ ذَنْبُهُ

Siapa yang mengucapkan saat mendengar adzan, “Aku ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sebagai rasul maka diampuni dosanya.”

Dua hadits ini merupakan inti kedudukan agama dan sekaligus merupakan puncaknya, yang di dalamnya terkandung ridha terhadap Rububiyah dan Uluhiyah Allah, ridha kepada Rasul-Nya, ketundukan, ridha kepada agama-Nya dan kepasrahan kepada-Nya. Siapa yang menghimpun empat perkara ini, maka dia adalah orang yang Shiddiq. Memang hal ini mudah diucapkan, tapi termasuk sulit dan berat jika datang cobaan, apalagi jika ada sesuatu yang bertentangan dengan nafsu dan keinginannya, sehingga akan tampak apakah ridha itu hanya sekedar diusahakan atau memang merupakan keadaan dirinya.

Ridha kepada Rububiyah Allah mengandung ridha terhadap pengaturan-Nya terhadap hamba, juga mengandung pengakuan terhadap kesendirian-Nya dalam tawakkal, keyakinan, penyandaran dan permintaan pertolongan. Sedangkan ridha kepada Rasul-Nya mengandung kesempurnaan kepatuhan dan kepasrahan kepadanya, sehingga keberadaan Rasul-Nya lebih penting daripada keberadaan dirinya, tidak mencari petunjuk kecuali dari kalimat-kalimatnya, tidak ridha kepada selain Hukumnya, dalam masalah apa pun, zhahir maupun batin.

Sedangkan ridha kepada agama-Nya berarti patuh kepada hukum, perintah dan larangan agama, sekalipun mungkin bertentangan dengan kehendaknya atau pendapat kaum dan golongannya.

Yang pasti dalam masalah ini, ridha adalah sesuatu yang bisa diupayakan ditilik dan sebabnya, dan merupakan pemberian jika ditilik dari hakikatnya. Jika memang sebab-sebabnya dimungkinkan dan pohonnya dapat ditanam, maka buah ridha juga bisa clipetik. Sebab ridha merupakan akhir dari tawakkal. Siapa yang pijakan kakinya mantap pada tawakkal, penyerahan diri dan kepasrahan, tentu akan mendapatkan ridha. Tapi karena sulitnya mendapatkan ridha ini, maka Allah tidak mewajibkannya kepada makhluk-Nya, sebagai rahmat dan keringanan bagi mereka.

Namun begitu Allah menganjurkannya kepada mereka, memuji pelakunya dan mengabarkan bahwa pahala yang mereka terima adalah keridhaan Allah terhadap mereka, dan ini merupakan pahala yang lebih agung daripada surga dan seisinya. Siapa yang ridha kepada Rabb-nya, maka Dia juga ridha kepadanya. Karena itu ridha ini merupakan pintu Allah yang paling besar, surga dunia, kehidupan orang-orang yang mencintai dan kenikmatan orang-orang yang banyak beribadah. Di antara faktor yang paling besar mendatangkan ridha ialah mengikuti apa yang Allah ridha kepadanya, karena inilah yang akan menghantarkan kepada ridha.

Yahya bin Mu’adz pernah ditanya, “Kapankah seorang hamba mencapai kedudukan ridha?” Maka dia menjawab, “Jika dia menempatkan dirinya pada empat landasan tindakan Allah kepadanya, lalu dia berkata, “Jika Engkau memberiku, maka aku menerimanya. Jika Engkau menahan pemberian kepadaku, maka aku ridha. Jika Engkau membiarkanku, maka aku tetap beribadah. Jika Engkau menyeruku, maka aku memenuhinya.”

Ridha tidak disyaratkan untuk tidak merasakan penderitaan dan hal-hal yang tidak disukai. Tapi keadaan ini tidak boleh dihadapi dengan kemarahan atau penolakan takdir. Karena itu banyak orang yang tidak bisa ridha karena haI-hal yang tidak disukai, seraya berkata, “Ini tidak mungkin menurut tabiat.” itu hanya bisa dihadapi dengan sabar. Sebab bagaimana mungkin ridha dan kebencian bisa menyatu padahal keduanya saling bertentangan?

Yang benar, tidak ada pertentangan antara ridha dan kebencian.

Adanya penderitaan dan kebencian tidak menafikan ridha, seperti ridhanya orang yang sakit untuk minum obat, ridhanya orang puasa pada hari yang sangat panas yang harus menanggung derita lapar dan dahaga atau ridhanya mujahid fi sabilillah yang harus menanggung derita luka dan Iain-lainnya. Jalan ridha merupakan jalan yang paling singkat dan paling dekat ke tujuan. Tapi sulit dan berat. Tapi kesulitannya tidak seberat kesulitan jalan mujahadah, karena di sana tidak ada rintangan dan kesudahan, selain dari hasrat yang tinggi, jiwa yang suci dan menenima apa pun yang datang dari Allah. Yang demikian itu relatif lebih mudah bagi hamba, apalagi dia mengetahui kelemahan dirinya.

Allah berfirman,

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. “ (Al-Fajr: 27-30)

Pengarang Manazilus Sa’irin berkata, “Di dalam ayat ini Allah tidak memberikan jalan bagi orang yang marah. Ridha merupakan syarat bagi hamba agar dapat masuk surga Allah. Ridha adalah berada dalam ikatan agama seperti yang dikehendaki Allah, tanpa ragu-nagu dan tanpa pengingkaran, di mana pun hamba berada.”

Menurutnya, ada Tiga Derajat Ridha, yaitu:

1) Ridha Secara Umum, yaitu ridha kepada Allah sebagai Rabb dan membenci ibadah kepada selain-Nya. Ini merupakan poros Islam dan membersihkannya dari syirik yang besar.

Ridha kepada Allah sebagai Rabb artinya tidak mengambil penolong selain Allah, yang diserahi kekuasaan untuk menangani dirinya dan menjadi tumpuan kebutuhannya. Allah befirman,

Katakanlah ‘Apakah aku akan mencari Rabb selain Allah, padahal Dia adalah Rabb, bagi segala sesuatu?” (Al-An’am: 164).

Menurut Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, maksud Rabb dalam ayat ini adalah tuan dan sesembahan. Di awal surat juga disebutkan, “Katakanlah, ‘Apakah akan aku jadikan Rabb selain dari Allah yang menjadikan langit dan bumi?” (Al-An’am: 14).

Arti Rabb di dalam ayat ini adalah sesembahan, penolong, pelindung dan tempat kembali. Hal ini mencerminkan loyalitas yang mengharuskan adanya ketaatan dan cinta. Di bagian tengah surat Allah juga berfirman,

Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci?”
(AI-An’am: 114).

Artinya, layakkah selain Allah aku jadikan hakim yang mengadili perkara antara diriku dan diri kalian dari yang kita perselisìhkan? Padahal Kitab ini adalah pemimpin semua kitab. Maka bagaimana mungkin kita menyerahkan perkara kepada kitab yang bukan Kitab-Nya? Sementara Kitab-Nya itu diturunkan secara rinci, jelas dan menyeluruh?

Jika engkau memperhatikan tiga ayat ini lebih cermat, tentu engkau akan tahu bahwa di sana terkandung ridha kepada Allah sebagai Rabb, ridha kepada Islam sebagai agama dan ridha kepada Muhammad sebagai rasul. Banyak orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb dan tidak mencari Rabb selain-Nya. Tapi mereka tidak menjadikan Allah sebagai satu-satunya penolong dan pelindung, tetapi mereka mengangkat penolong selain-Nya, karena menganggap penolong ini dapat mendekatkan mereka kepada Allah. Bahkan loyalitasnya kepada penolong ini seperti loyalitas mereka kepada raja. Tentu saja ini merupakan šyirik.

Yang disebut tauhid ialah tidak mengambil selain Allah sebagai penolong. AI-Qur’an banyak ditebari penjelasan sifat orang-orang musyrik, yang pada intinya mereka mengambil para penolong selain Allah. Banyak juga orang yang mengangkat selain Allah sebagai hakim yang berhak membuat keputusan hukum bagi dirinya.

Jadi ada Tiga Sendi Tauhid, yaitu:
Tidak mengambil selain Allah sebagai Rabb, sebagai Sesembahan dan sebagai Hakim.

Penafsiran ridha kepada Allah sebagai Rabb ialah membenci penyembahan kepada selain-Nya, dan ini merupakan kesempurnaan dan ridha ini. Siapa yang memberikan hak-hak ridha kepada Allah sebagai Rabb, tentu akan membenci penyembahan kepada selain-Nya. Sebab ridha terhadap kemurnian Rububiyah mengharuskan adanya kemurnian ibadah kepada-Nya, sebagaimana ilmu tentang tauhid Rububiyah mengharuskan adanya ilmu tentang tauhid Uluhiyah.

Ridha ini membersihkan dari syirik yang besar, yang pada hakikatnya syirik itu ada dua macam, besar dan kecil. Ridha ini membersihkan pelakunya dari syirik besar. Sedangkan syirik kedil dapat dibersihkan jika seorang hamba berada di tempat persinggahan iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in.

Menurut pengarang Manazilus Sa’irin, ridha ini menjadi benar dengan tiga syarat: Allah paling dicintai hamba daripada cintanya kepada segala sesuatu, yang paling layak untuk dìagungkan, dan paling layak untuk ditaati.

2) Ridha terhadap Allah. Dengan ridha inilah dibacakan ayat-ayat yang diturunkan. Ridha terhadap Allah ini merupakan ridha terhadap qadha’ dan qadar-Nya, dan ini merupakan permulaan perjalanan orang orang yang khusus. .

Pengarang Manazilus Sa’irin menjadikan derajat ini lebih tingi dan derajat sebelumnya. Menurutnya, seseorang belum dianggap masuk Islam kecuali dengan derajat yang pertama. Jika dia sudah berada di sana, berarti dia sudah berada dalam Islam. Sedangkan derajat ini termasuk mu‘amalah hati, yang diperuntukkan bagi orang-orang yang khusus, yaitu ridha terhadap hukum-hukum Allah dan ketetapan-Nya.

Dikatakan sebagai permulaan perjalanan bagi orang-orang yang khusus, karena ridha ini merupakan pendahuluan untuk keluar dari jiwa atau keluarnya hamba dan bagian untuk dirinya dan menempatkan diri pada kehendak Allah, bukan pada kehendaknya.

Inilah yang dikatakan Syaikh. Tapi dengan menempatkan derajat ini lebih tinggi daripada derajat pertama, perlu dipertimbangkan lagi.

Mestinya, derajat pertama Iebih tìnggi daripada derajat ini. Sebab derajat pertama bersifat khusus, sedangkan derajat ini bersifat umum. Ridha kepada qadha’ bisa dilakukan orang Mukmin dan juga orang kafir. Sasarannya adalah tunduk kepada qadha’ dan qadar Allah. Lalu apalah artinya jika hal ini dibandingkan dengan ridha kepada Allah sebagai Rabb, Rabb dan sesembahan? Di samping itu, ridha kepada Allah sebagai Rabb merupakan keharusan, bahkan termasuk keharusan yang kuat. Siapa yang tidak ridha kepada-Nya sebagai Rabb, maka Islamnya tidak dianggap sah, begitu pula amal dan keadaannya. Sedangkan ridha kepada qadha’Nya merupakan sunat dan bukan wajib, sekalipun ada pula yang menganggapnya wajib.

3) Ridha kepada Allah sebagai Rabb meliputi ridha terhadap-Nya. Ridha kepada Rububiyah Allah berarti keridhaan hamba kepada perintah, larangan, pemberian, penahanan, pembagian dan qadar-Nya. Siapa yang tidak ridha terhadap semua ini, berarti dia tidak ridha kepada-Nya sebagai Rabb dan segala sisi, sekalipun mungkin dia ridha kepada-Nya sebagai Rabb dari sebagian sisinya. Ridha kepada-Nya sebagai Rabb juga berkait dengan Dzat-Nya, sifat, asma’, Rububiyah-Nya yang bersifat khusus maupun umum, yaitu ridha kepada-Nya sebagai pencipta, pengatur, pemberi perintah dan larangan, raja, pemberi, penahan, hakim, pelindung, penolong, pemberi afiat, pemberi cobaan, dan lain-lainnya dari sifat-sifat Rububiyah. Sedangkan ridha terhadap Allah ialah keridhaan hamba terhadap apa yang dilakukan Allah dan apa yang diberikan kepadanya. Karenanya penyebutan ridha ini hanya berkait dengan pahala dan balasan, seperti firman-Nya, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya.”

Ridha kepada Allah merupakan dasar ridha terhadap Allah. Ridha terhadap Allah merupakan buah ridha kepada Allah. Artinya ridha kepada Allah berkaitan dengan asma’ dan sifat-sifatNya, sedangkan ridha terhadap Allah berkaitan dengan pahala dan balasan-Nya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga mengaitkan rasa manisnya iman dengan orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb dan tidak mengaitkannya dengan orâng yang ridha terhadap Allah, sebagaimana sabda beliau, “Yang merasakan manisnya Iman ialah orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabb, kepada Islam sebagai agama dan kepada Muhammad sebagai nabi-Nya. Tiga perkara ini merupakan dasar agama. “

Beliau menjadikan ridha kepada Allah sebagai pasangan ridha kepada agama dan Ridha kepada Allah sebagai Rabb mengandung tauhid dan ubudiyah kepada-Nya, penyandaran, tawakkal, takut, berharap,mencintai dan sabar karena-Nya. Ridha kepada-Nya mencakup syahadat la ilaha ilallah. Ridha kepada Muhammad sebagai rasul mencakup syahadat bahwa Muhammad adalah rasul Allah. Ridha kepada Islam sebagai agama mencakup ketaatan kepada Allah dan ketaatan kepada Rasul-Nya. Tiga perkara ini menghimpun semua unsur dalam agama.

Perolehan ridha dalam derajat ini tergantung dan keberadaan yang diridhai hamba, apakah yang diridhai itu lebih dicintai dari segala sesuatu, lebih Iayak diagungkan dan lebih berhak ditaati, yang semua ini merupakan kaidah-kaidah ubudiyah, dan yang dari sini muncul cabang-cabangnya.

Karena cinta yang sempurna itu merupakan kecenderungan hati secara total kepada yang dicintai, maka kecenderungan ini membawanya untuk taat dan mengagungkannya. Selagi kecenderungannya kuat, maka ketaatannya Iebih sempurna dan pengagùngannya lebih banyak. Kecenderungan ini mengharuskan adanya iman, dan bahkan merupakan ruh dan intinya iman. Lalu apakah yang Iebih tinggi kedudukannya daripada sesuatu yang menjadikan Allah paling dicintai hamba, lebih Iayak diagungkan dan paling berhak ditaati?

Dengan cara inilah seorang hamba bisa merasakan mamsnya iman, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits shahih dan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَمَنْ أَحَبَّ عَبْدًا لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ وَمَنْ يَكْرَهُ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُلْقَى فِي النَّارِ

Tiga perkara, siapa yang tiga perkara ini ada pada dirinya, maka akan merasakan manisnya Iman, yaitu: Siapa yang Allah dan Rasul-Nya lebih dia cintai daripada selain keduanya, siapa yang mencintai seseorang, dia tidak mencintainya melainkan karena Allah, dan siapa yang tidak suka kembali kepada kekufuran, setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran itu, sebagaimana dia tidak suka dilemparkan ke neraka”.

Beliau mengaitkan manisnya iman dengan ridha kepada Allah sebagai Rabb, yaitu keberadaan Allah sebagai sesuatu yang paling. Dicintai hamba, begitu pula Rasul-Nya. Karena cinta yang sempurna dan ikhlas ini merupakan buah ridha, maka ridha ini Iebih tinggi daripada ridha kepada Rububiyah Allah, dan buahnya juga lebih tinggi, yaitu MANISNYA IMAN.




Source:
Madarijus-Salikin (Pendakian Menuju Allah)
Penulis : Ibnu Qayyim AI-Jauziyah;
penerjemah: Kathur Suhardi; -Cet. 1
Jakarta: Pustaka A1.-Kautsar, 1998.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...