MENGOLOK-OLOK AGAMA
HUKUM DAN BENTUKNYA
Kita berbicara mengenai fenomena istihzaa` (mengolok-olok) dan
mencela yang marak di negara-negara kafir kontemporer. Kami akan mengulas
sebagian gambaran, corak, serta bentuk dari mencela dan mengolok-olok yang
berkembang di negara-negara itu. Ini mengingat, begitu banyak, bervariasi, dan
beragam coraknya. Semoga Allah membungkam lisan para pencela dan pengolok-olok,
serta melumpuhkan anggota tubuh mereka.
Di antara bentuk paling popular adalah mencela Allah
dan mencela agama melalui lisan, menggunakan berbagai lafazh terkenal. Kita
menjauhkan diri untuk melansirnya, dan tak ingin memberitahu seseorang yang
belum pernah mendengarnya. Wallahu al-musta’an!
Termasuk di antaranya adalah mencela malaikat,
sebagaimana diyakini oleh aliran Al- Bathiniyah (Syiah kebatinan) bahwa
Malaikat Jibril ‘alaihis salam mengkhianati amanah, karena semestinya dia
menurunkan wahyu kepada Ali radhiallahu’anh. Karenanya, di antara ritual
kelompok Al- Bathiniyah adalah mereka mencela Jibril selepas setiap shalat
sebanyak tiga kali.
Di antaranya lagi adalah mengolok-olok para rasul dan
nabi Allah, sebagaimana kebiasaan kaum Yahudi. Bahkan kondisinya sampai
tingkatan mereka menyelewengkan Taurat, dan mengurangi kedudukan mereka
–shalawat dan salam untuk mereka— di dalam kitab tersebut.
Di antaranya juga: berbagai teori atheisme di dalam
buku-buku diktat kuliah. Semisal teori manusia berasal dari kera! Atau teori
reinkarnasi, dan Allah menitis ke dalam tubuh hewan! Atau juga teori bahwa
agama adalah candu masyarakat, masih banyak lagi pemikiran-pemikiran sampah dan
apa-apa yang dimuntahkan para filsuf atheis sepanjang masa.
Termasuk juga: apa yang dilontarkan para penyair,
serta tulisan-tulisan dan rilisan-rilisan yang mencela Allah dan para rasul-Nya
atas nama “sastra”. Semoga Allah menghinakan mereka. Di antara celaan dan olok-olok
kontemporer adalah gambar mengandung ejekan, yaitu karikatur yang mencela
syariat dan Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam, serta bersebaran di
berbagai koran dan majalah, baik berbahasa Arab maupun asing. Contoh hal ini
sangatlah banyak.
Di antaranya lagi: apa yang dilakukan para artis dan
seniman berupa gerakan-gerakan berisi celaan terhadap agama dan pemeluknya, di
banyak teater, sinetron, dan film-film komedi. Fenomena ini sangatlah popular
dan tidak perlu disebutkan contohnya.
Yang lainnya lagi: isi dari banyak lagu berisi celaan
dan olok-olok. Contohnya adalah olok-olok terhadap takdir dari salah seorang
penyanyi yang telah tewas, ketika dia bersenandung, “Takdir adalah kesalahan
terbesar.”
Yang lainnya: ada dalam film-film kartun yang mengandung
olok-olok, misalnya menggambarkan seorang pemuda berjenggot sebagai tokoh
bajingan (penjahat), dan lain sebagainya.
Di antaranya lagi: perkataan para zindik dalam banyak
kuliah, ceramah, konferensi, forum, buku, dan penelitian mereka. Misalnya, mereka
menyebut tahkim (berhukum) dengan syariat Allah sebagai hal kolot (kuno), lalu
menyebut penerapan hudud sebagai tindakan brutal, hijab sebagai kezaliman,
jenggot identik dengan kotor, poligami disebut perzinaan, dan jihad sebagai
ekstremisme. Tak hanya itu, mereka menyebut kaum muwahid-mujahid sebagai
kelompok ekstremis, takfiri, dan kelompok dari abad kegelapan, dan lain
sebagainya.
Semua itu hanyalah secuil dari sekian banyak contoh
celaan dan olok-olok yang tersusun dan terproteksi para thaghut. Akhi pembaca,
seandainya ada tempat, niscaya kami akan menyebutkan untuk Anda seluruh contoh
yang membuat badan menggigil dan meresap menyusup ke relung hati.
Namun yang ingin kami garisbawahi, engkau mengetahui
–semoga Allah merahmatimu— bahwa siapa saja yang menulis, berbicara dengan
kata-kata seperti ini dan yang semaknanya, atau melakoni perbuatan
mengolok-olok, maka dia telah kafir dengan kekafiran akbar.
Hukum ini merupakan salah satu dari sekian banyak
hukum tetap di dalam syariat Islam, bahkan termasuk yang disepakati para ulama.
Syaikhul Islam berkata, “Mengolok-olok Allah, ayat-ayatNya, dan Rasul-Nya
adalah KEKAFIRAN. Si pelakunya dikafirkan setelah
dia beriman.” Dia berkata juga, “Olok-olok dengan hati dan ejekan menafikan
keimanan di dalam hati karena lawan bertentangan dengan lawannya. Demikian
pula, mengolok-olok dengan lisan juga menafikan keimanan yang ditampakkan
dengan lisan. (Majmu’
Al-Fatawa)
Ishaq bin Rahawaih berkata, “Kaum muslimin telah
bersepakat bahwa siapa saja yang menghina Allah atau Rasul-Nya atau menolak
sesuatu dari apa yang Allah turunkan atau membunuh seorang nabi Allah, maka dia
kafir dengan perbuatan tersebut, sekalipun dia mengakui seluruh apa yang Allah
turunkan.” Al-Khattabi berkata, “Aku tidak mengetahui seorang pun dari kaum
muslimin yang berselisih mengenai kewajiban membunuhnya.” (Ash- Sharim Al-Maslul)
Al-Qadhi ‘Iyadh menyatakan, Muhammad bin Sahnun
berkata, “Para ulama telah berijmak bahwa pencaci Nabi shallallahu’alaihi wa
sallam ataupun yang mencelanya maka dia kafir, dan ancaman baginya adalah azab
Allah, serta hukumnya di kalangan umat adalah dibunuh. Dan barangsiapa yang
ragu akan kekafiran dan azab baginya, maka dia pun kafir.” (Asy-Syifaa`)
Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, “Di antaranya –yaitu
seluruh hal yang menyebabkan kafir— adalah jika ada sekelompok orang hadir,
kemudian satu orang duduk di atas tempat tinggi, untuk menyerupai orang-orang
berzikir, lalu mereka bertanya aneka pertanyaan sambil tertawa dan memukulinya
dengan sekop. Atau dia duduk seakan menyerupai seorang guru, lalu dia mengambil
papan kayu, sedang orang-orang di sekililingnya seperti sekumpulan anak kecil,
lalu mereka tertawa dan mengolok-olok. Atau misalnya orang yang berkata,
“Sesuap bubur tsarid lebih baik daripada ilmu”, maka dia telah kafir.” (Al-I’lam bi Qawathi’ Al-Islam)
Imam
Muhammad bin Abdul Wahhab membuat sebuah bab di dalam “Kitab At-Tauhid”
berjudul “Bab Barangsiapa Bercanda dengan Sesuatu yang di Dalamnya Terdapat
Zikir kepada Allah atau Al-Quran atau Rasul”. Setelah mengemukakan berbagai
dalil, Syaikh berkata, “Di dalamnya terdapat beberapa masalah, pertama: Dan ini
adalah yang paling berat, barangsiapa yang bercanda dengan hal ini maka dia
telah kafir.”
Syaikh Abdurrahman bin Hasan
Ali mengomentari hal tersebut seraya berkata, “Dan termasuk pembahasan ini
adalah mengolok-olok ilmu dan ulama, tidak menghormati mereka, atau merendahkan
mereka karenanya.” (Qurrat
‘Uyun Al-Muwahhidin)
Syeikh
Hamad bin ‘Atiq berkata, “Ketahuilah, para ulama telah bersepakat bahwa
barangsiapa mengolok-olok Allah, RasulNya, Kitab-Nya, atau agama-Nya, maka dia
kafir. Demikian pula, jika dia mengeluarkan perkataan atau tindakan yang
merupakan olok-olok secara jelas.” (Ad-Durar As-Saniyyah)
Terkadang,
suatu perkataan atau perbuatan mengindikasikan olok-olok secara eksplisit
(jelas/tegas) namun kadang tidaklah seperti itu. Olok-olok yang jelas, nyata,
dan gamblang adalah sebuah kekafiran. Orang yang mengatakan atau melakukannya
divonis kafir. Adapun perkataan atau perbuatan tidak eksplisit yang ambigu
(mengandung banyak arti), maka status hukum pelaku tergantung maksud dan
niatannya. Jika niat dan tujuan dari ucapan atau perbuatan ambigunya adalah
kekafiran, maka dia kafir. Tetapi apabila niatannya tidak seperti itu, maka
tidak dikafirkan.
Ketika
Imam Muhammad bin Abdul Wahhab menggolongkan sikap mengolok-olok sebagai salah
satu Pembatal Keislaman eksplisit yang berjumlah sepuluh, dia berkata, “Pembatal keenam,
barangsiapa mengolok-olok sesuatu dari agama Rasul shallallahu’alaihi wa sallam atau
mengolok-olok tentang pahala dan siksa, maka dia kafir”, lalu dia menyatakan di akhir risalah tentang
pembatal-pembatal Islam, “Dan tidak ada perbedaan terkait semua pembatal ini antara
orang yang bercanda atau sungguh-sungguh atau yang takut, kecuali orang yang
dipaksa.”
Pun
demikian, tidak ada perbedaan status hukum kafirnya orang yang mencela dan
mengolok-olok (yang tegas dan gamblang), baik yang memang bermaksud kekafiran
dan yang tidak, karena terkadang sebagian orang yang mencela dan mengolok-olok
itu beralasan dirinya tidak bermaksud mencela atau mengolok-olok.
Dalilnya,
sesungguhnya Allah Ta’ala memvonis kafir orang yang mengolok-olok para sahabat radhiallahu’anhum
dalam Perang Tabuk, dan Allah tidak menerima alasan bahwa mereka tidak
bermaksud kekafiran melalui apa yang mereka ucapkan.
Syaikhul
Islam berkata, “Secara global, barangsiapa mengatakan atau melakukan sesuatu
kekafiran maka dia kafir karena hal itu, meskipun dia tidak bermaksud kafir,
karena tidak ada orang yang bermaksud kekafiran kecuali apa yang dikehendaki
Allah.” (Ash- Sharim
Al-Maslul)
Syaikh
Sulaiman bin Alu Syaikh berkata, “Orang-orang yang mengatakan, ‘Tidak pernah
kami melihat seperti qurra (penghapal Al- Quran) kami, mereka orang yang
paling rakus, paling dusta lisannya, dan paling pengecut ketika bertemu musuh.”
Maksud mereka adalah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan sahabat-sahabat para penghapal
Al-Quran. Mereka memang tidak mengatakannya untuk berniat kafir, atau memilih
kafir (ketika mengatakan hal itu). Tapi mereka hanya bercanda dan bermain-main
ketika mengucapkannya. Kemudian hal tersebut dilaporkan kepada Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam yang berjalan pergi dan mengendarai
untanya. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami hanya bercanda,
bermain-main, berbincang-bincang untuk menghilangkan rasa penat dalam
perjalanan.” Maka beliau bersabda, “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan
dengan RasulNya kalian berolok-olok ?” (Ad-Durar As-Saniyyah)
Ketika
mensyarahkan (mengurai) “Kitab At- Tauhid” –menjelaskan maksud penulis
tentang bab “Bab Barangsiapa Bercanda dengan Sesuatu yang di Dalamnya Terdapat
Zikir kepada Allah atau Al-Quran atau Rasul”, Syaikh berkata, “Para ulama
berijmak atas kafirnya orang yang melakukan sesuatu dari hal itu. Maka
barangsiapa mengolok-olok Allah atau Kitab-Nya atau Rasul-Nya atau agama-Nya,
maka dia kafir. Meskipun dia hanya bercanda dan tidak bermaksud mengetahui
hakikat olok-olok, demikian menurut ijmak.” (Taisir Al-‘Aziz Al-Hamid)
Jadi,
selagi persoalan mencela dan mengolok-olok adalah urusan berat dan berbahaya,
lantas apa yang harus dilakukan seorang muslim terhadap para pencela dan
pengolok-olok di negeri kafir?
Yang
wajib untuk dilakukannya, pertama: dia harus marah demi membela kehormatan
Allah, mengingkari perbuatan mereka, mencegah mereka darinya, mengkafirkan
mereka, dan berlepas diri dari mereka. Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa di
antara kalian melihat suatu kemungkaran, maka hendaklah dia mengubahnya dengan
tangannya. Apabila dia tidak mampu, maka dengan lisannya. Dan jika tidak mampu,
maka dengan hatinya. Dan hal itu adalah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim)
Di
antara bentuk pengingkaran yang wajib adalah dengan membunuh si pengolok-olok
atau si pencela, jika dia tidak bertaubat dari kemurtadannya. Terlebih lagi
apabila kekafirannya termasuk kekafiran yang tidak bisa diterima taubatnya
menurut hukum dunia, seperti pencela Rasul shallallahu’alaihi wa sallam. Beliau shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengganti agamanya (murtad)
maka bunuhlah dia.” (HR. Al-Bukhari). Dan
membunuh mereka termasuk jihad di jalan Allah.
Apabila tidak mampu melakukan hal itu,
maka dia harus segera meninggalkan tempat, sebagai bentuk mematuhi firman Allah
Ta’ala: “Dan
apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka
tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan
jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk
bersama orang-orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Al-An’am: 68)
Apabila dia tidak
mengingkari, tidak mengubah, dan tidak meninggalkan tempat, maka hukumnya sama
dengan hukum orang yang mengolok-olok dan mencela tersebut. Demikianlah,
berdasarkan teks firman Allah Ta’ala: “Dan sungguh Allah telah menurunkan kekuatan
kepada kamu di dalam Al Quran bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah
diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), Maka janganlah kamu
duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena
sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.
Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang
kafir di dalam Jahanam.” (An-Nisaa`: 140)
Ibnu Katsir berkata di dalam
tafsirnya, “Maksudnya, jika kalian melakoni larangan, setelah hal itu sampai
kepada kalian, dan kalian rela duduk bersama mereka di tempat di mana ayat-ayat
Allah diingkari serta dilecehkan di sana, dan kalian mengakui hal itu, berarti
kalian telah berpartisipasi bersama dalam hal yang mereka lakukan… Hingga dia
berkata: firman Allah “Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang
munafik dan orang-orang kafir di dalam Jahannam,” artinya sebagaimana mereka turut
serta dalam kekafiran, maka begitu juga Allah mengikutsertakan mereka dalam hal
kekal di neraka Jahanam.”
Demikianlah, dan di penghujung
pembahasan, kami tujukan kepada mereka yang terjerumus dalam persoalan mencela
dan mengolok-olok ini. Maka kami katakan kepada mereka:
Bertaubatlah kalian kepada Allah dari
kemurtadan kalian, perbaruilah Islam kalian, agungkanlah syiar-syiar Allah, dan
janganlah kalian melecehkan segenap kesucian-Nya. Karena hal demikian itu
adalah lebih baik bagi kalian di dunia dan akhirat.
Ketahuilah, tertawaan, candaan, dan
senda gurau –menjadi faktor utama yang mendorong kalian untuk mengolok-olok—
sama sekali tidak bermanfaat bagi kalian selain menyenangkan setan, memanjakan
hawa nafsu, dan teman-teman yang buruk. Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah
bersabda, “Celakalah
bagi orang yang berbicara kepada suatu kaum kemudian dia berbohong agar mereka
tertawa. Celakalah dia, celakalah dia.” (Hadits hasan, diriwayatkan Ahmad dan yang lainnya). Ini adalah terkait
kebohongan yang merupakan kemaksiatan, lantas bagaimana dengan mengolok-olok
yang notabene adalah kekafiran?!
Terakhir kami menyeru, segala puji
bagi Allah Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Nabi
Muhammad shallallahu alaihi wa sallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau
semua.