J I H A D
Jalan Thaifah Manshurah
(Bagian 1)
Oleh:
Syaikh Abu Mush’ab Az-Zarqawi
“PERANGILAH ORANG-ORANG YANG TIDAK BERIMAN KEPADA ALLAH DAN TIDAK
(PULA) KEPADA HARI KEMUDIAN, DAN MEREKA TIDAK MENGHARAMKAN APA YANG DIHARAMKAN
OLEH ALLAH DAN RASUL-NYA DAN TIDAK BERAGAMA DENGAN AGAMA YANG BENAR (AGAMA
ALLAH), (YAITU ORANG-ORANG) YANG DIBERIKAN AL-KITAB KEPADA MEREKA, SAMPAI
MEREKA MEMBAYAR JIZYAH DENGAN PATUH SEDANG MEREKA DALAM KEADAAN TUNDUK.”
(At-Taubah:
29)
Segala puji bagi Allah yang memuliakan Islam dengan pertolongan-Nya dan
yang menghinakan kesyirikan dengan kuasa-Nya. Dia mengatur segala perkara
dengan perintah-Nya. Dia pelan-pelan menghancurkan orang-orang kafir dengan
makar-Nya. Dialah yang mempergilirkan hari-hari dengan keadilan-Nya, dan dengan
keutamaan-Nya, kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertakwa. Shalawat dan
salam atas Nabi yang dengan pedangnya Allah menjulangkan menara Islam. Amma ba’du.
Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menciptakan
makhluk itu untuk mengibadahi-Nya dan mengikuti syariat-Nya. Dia tidak
mengabaikan mereka begitu saja. Diutus-Nya para rasul untuk menyeru dan
menunjuki mereka pada-Nya. Maka hamba-hamba-Nya terbelah menjadi dua. Allah
memberi petunjuk pada sebagian mereka dengan keutamaan dan rahmat-Nya, dan
sebagian yang lain disesatkan-Nya dengan ilmu dan keadilan-Nya. Berdasarkan
ketentuan dan sunnah-Nya, dua kelompok ini; kebenaran dan penolongnya serta
kebatilan dan kroninya, akan saling bertikai, selama masa berganti dan zaman berlalu,
hingga Allah mewarisi bumi dan seisinya, “Sebagai
sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah terdahulu sebelum(mu),
dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati perubahan pada sunnah Allah.”
(Al-Ahzab: 62).
Hal itu karena kebenaran dan kebatilan
adalah dua hal berlawanan yang tak akan bersatu selamanya. Kemunculan salah
satu pihak di dunia ini, maka, tidak bisa tidak, pihak lain harus lenyap, atau
lemah karena kehilangan pondasi tempat berdirinya atau prinsip-prinsip yang
menopang kewujudannya. Tak terbayangkan di dunia nyata ini kebenaran dan
kebatilan hidup bersama dalam satu tempat tanpa berusaha saling mengalahkan dan
menguasai. Taruhlah jika pada suatu waktu kebenaran itu mengistirahatkan posisi
bertahannya sebentar saja, maka ketika itu juga kebatilan akan memanfaatkan
kesempatan itu dengan serbuan yang membuat kewalahan kebenaran dan
pengusungnya. Bisa jadi serbuan itu akan mengalahkan, atau bahkan menghabisi
mereka. Atau paling tidak melucuti mereka dari ciri khas utama yang membedakannya
dengan kebatilan, melalui kompromi demi kompromi yang akhirnya tidak ada
kebenaran yang tersisa kecuali nama atau tulisannya saja. Hingga pada akhirnya
meleburlah ia menjadi bagian dari kekuasaan kebatilan dan kroni-kroninya.
Betapa akhir yang teramat buruk.
Al-Quran penuh dengan ayat-ayat yang
mengakui dan menetapkan hakikat ini. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Orang-orang
kafir berkata kepada Rasul-rasul mereka, “Kami sungguh-sungguh akan mengusir
kamu dari negeri kami atau kamu kembali kepada agama kami”. (Ibrahim:
13).
Inilah hakikat
pertempuran antara kebenaran dan kebatilan. Suatu hakikat yang tetap lagi
kokoh, tak berubah dengan berubahnya masa dan tak berganti dengan bergantinya
tempat. Bagi seluruh millah kafir, pengusung keimanan dari para rasul dan
pengikutnya itu hanya mempunyai dua pilihan; dibunuh, dihabisi, diusir, dan
diasingkan hingga tak bersisa agar mereka leluasa dengan kekafiran dan
perusakannya, atau melepaskan kebenaran yang diusung lalu menyerah dan melebur
dalam masyarakat kebatilan dan pengusungnya, namun tabiat Din ini tak
membiarkan hal itu dilakukan pengikutnya.
Allah berfirman, “Hal
itu (terjadi) karena mereka selalu mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh
para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian itu (terjadi) karena mereka
selalu berbuat durhaka dan melampaui batas.” (Al-Baqarah:
61).
Allah berfirman, “Mereka
berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar
hendak bertindak”.” (Al-Anbiyaa: 68).
Allah berfirman, “Maka
tidak adalah jawaban kaum Ibrahim, selain mengatakan: “Bunuhlah atau bakarlah
dia”.” (Al-Ankabut: 24).
Allah berfirman, “Dan
(ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu
untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka
memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah
sebaik-baik Pembalas tipu daya.” (Al-Anfal: 30).
Sayyid Quthub rahimahullah berkata, “Ketetapan pasti dari Yang Maha Mengetahui ini mengungkap
kegigihan busuk atas keburukan dan memfitnah kaum muslimin dari Dinnya.
Ketetapan ini menggambarkan suatu target tetap yang dicanangkan musuh-musuh
mereka. Target tak berubah musuh-musuh jama’ah muslimin di setiap tempat dan
pada tiap generasi. Eksistensi Islam itu saja adalah kebencian dan kegentaran
musuh-musuh agama ini. Metode dan sarana mereka untuk memerangi kaum muslimin
bisa bermacam-macam, namun targetnya tetap satu; menghalangi kaum muslimin yang
jujur dari agamanya sebisa mungkin. Tiap kali satu senjata patah, maka mereka
segera menghunus lainnya. Kabar pasti dari Yang Maha Mengetahui ini masih terus
memperingatkan jama’ah muslimin agar tidak menyerah, mengingatkan mereka dari
bahaya yang membayangi, dan menyeru mereka untuk bersabar menghadapi perang dan
tipu daya. Karena jika tidak, maka berarti kerugian dunia akhirat dan azab yang
tak bisa dihalangi dengan uzur maupun justifikasi.”
Perhatikanlah kalam Allah subhanahu wa
ta’ala , “Mereka berkata, “Hai Syu’aib, kami
tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu dan sesungguhnya kami
benar-benar melihat kamu seorang yang lemah di antara kami; kalau tidaklah
karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu, sedang kamupun bukanlah
seorang yang berwibawa di sisi kami”.” (Hud:
91).
Sekalipun kebatilan mengakui bahwa
pengusung kebenaran itu lemah secara materi dan tidak memiliki faktor-faktor
kekuatan, namun yang ada hanyalah kekuatan brutal yang tak mengenal belas kasih
dan tak mengakui hubungan apapun, “Kalau tidaklah
karena keluargamu tentulah kami telah merajam kamu.”
(Hud: 91). Bahkan ketika Nabi mereka, Syu’aib
alaihissalam, meminta mereka untuk membiarkannya dan orang-orang yang beriman
padanya bersabar hingga Allah sendirilah yang menentukan keputusan antara dua
kelompok ini melalui takdir di sisi-Nya, mereka tetap menolak. Mereka
menyodorkan pilihan yang juga disodorkan oleh tiap thaghut pada tiap waktu dan
tempat kepada pengusung kebenaran; diusir, diasingkan, disiksa, dihabisi, dan
dibunuh, atau difitnah dari agamanya.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman mengisahkan Syu’aib
alaihissalam, “Jika ada segolongan daripada kamu
beriman kepada apa yang aku diutus untuk menyampaikannya dan ada (pula)
segolongan yang tidak beriman, maka bersabarlah, hingga Allah menetapkan
hukumnya di antara kita; dan Dia adalah Hakim yang sebaik-baiknya.
Pemuka-pemuka dan kaum Syu’aib yang menyombongkan berkata ‘Sesungguhnya kami
akan mengusir kamu hai Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota
kami, atau kamu kembali kepada agama kami.’ Berkata Syu’aib, ‘Dan apakah (kamu
akan mengusir kami), kendatipun kami tidak menyukainya?” (Al-A’raf:
87-88). Kebatilan tak
akan menoleransi eksistensi kelompok yang beriman kepada Allah dan risalah-Nya
di negerinya. Meskipun hanya kelompok lemah yang tak memiliki faktor-faktor kekuatan materi sedikitpun, dan meskipun
kelompok ini menyeru kebatilan untuk bersabar hingga Allah sendirilah yang
menetapkan putusan di antara mereka dengan takdir-Nya.
Hikmah Allah menetapkan bahwa
kebatilan dan pengusungnya menjajah kebenaran dan pengusungnya sesuai
takdir-Nya itu untuk menguji dan menyaring hamba-hamba-Nya. Allah berfirman, “Dan demikianlah Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh,
yaitu syaitan-syaitan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebahagian
mereka membisikkan kepada sebahagian yang lain perkataan-perkataan yang
indah-indah untuk menipu (manusia). Jikalau Rabbmu menghendaki, niscaya mereka
tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.”
(Al-An’am: 112).
Ini adalah sebuah putusan
kewujudan yang pasti terjadi tak bisa dihindari dan dihalangi. Tiap orang yang
berpegang teguh pada perintah dan larangan agama ini dan memikul tanggung jawab
penerapan hukumnya di dunia nyata maka pasti akan merasakan bagian dari
penjajahan ini dan permusuhan itu. Tergambar jelas dalam ucapan Waraqah bin Naufal
kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam,
“Tak ada seorangpun yang membawa seperti yang engkau bawa itu kecuali pasti
akan dimusuhi.”
Setiap orang yang menapaki
dan menyeru untuk menapaki jejak Nabi dan para sahabatnya radhiallahu’anhum maka pasti akan mendapatkan permusuhan dan gangguan dari
kebatilan sesuai dengan kondisi dan komitmennya. Faktor penyebab permusuhan ini
adalah bahwa ketika pengusung kebatilan melihat kebenaran, meskipun kebenaran
sedang dalam kondisi terlemahnya, mereka segera teringat dengan kebatilannya.
Terputuslah seluruh kesenangannya. Terganggulah kenikmatan mereka
memperturutkan syahwatnya. Tersingkaplah jati diri jiwa mereka di depan mereka.
Jiwa yang hina dina lagi palsu kekuatannya karena telah menjadi hamba hina yang
tunduk patuh pada syahwat dan hawa nafsunya.
Allah berfirman, “Katakanlah, ‘Hai Ahli Kitab, apakah kamu memandang kami salah,
hanya lantaran kami beriman kepada Allah, kepada apa yang diturunkan kepada
kami dan kepada apa yang diturunkan sebelumnya, sedang kebanyakan di antara
kamu benar-benar orang-orang yang fasik? (Al-Maidah: 59). Satu-satunya faktor permusuhan mereka pada orang-orang
beriman, sebagaimana teks jelas ayat tersebut, karena orang-orang beriman
berpegang teguh dan menegakkan agamanya, namun mereka tidak mampu melakukan hal
yang sama lantaran terhalangi kefasikan mereka sendiri. Inilah yang membuat
hati mereka penuh bara dengki dan permusuhan. Martabat tinggi yang tak mampu
mereka raih itu membuktikan keterpurukan dan kehinaan mereka. Maka mereka
berharap kalau saja pengusung kebenaran terfitnah dari kebenaran yang mereka
usung dan ikut serta bersama mereka dalam kebatilan, sebagaimana kalam Yang
Maha Mengetahui relung hati mereka, “Mereka
ingin supaya kamu menjadi KAFIR
sebagaimana mereka telah
menjadi KAFIR, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).” (An-Nisaa: 89). Oleh karena itu, pengusung
kebatilan tak bisa lari dari perangkap itu kecuali dengan semakin melampaui
batas dalam menekan, menghabis, mencerai-beraikan, dan mengusir pengusung
kebenaran tanpa mempedulikan kehormatan, janji, dan perlindungan agar bisa
terlepas dari kebenaran dan pengusungnya dan demi memuaskan jiwanya yang kalah.
Allah telah menentukan bahwa
kebatilan dan pengusungnya akan terus memusuhi dan menjajah kebenaran dan
pengusungnya dengan segala bentuk gangguan dan siksaan. Maka Allah
memerintahkan para wali-Nya untuk menghunuskan pedang permusuhan dan kebencian
di hadapan kebatilan dan pengusungnya, dan mengibarkan bendera anti loyalitas
dari kekafiran dan sekutunya.
Allah berfirman, “Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada
Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada
kaum mereka, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa
yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata
antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu
beriman kepada Allah saja’.” (Al-Mumtahanah:
4).
Syaikh Hamd bin ‘Atiq berkata,
“Ada poin menarik pada kalam-Nya ta’ala, ‘Sesungguhnya kami berlepas diri
daripada kamu dari daripada apa yang kamu sembah selain Allah.’ Di sini Allah
mendahulukan berlepas diri dari orang-orang musyrik penyembah selain Allah
sebelum berlepas diri dari berhala-berhala yang disembah selain Allah. Hal itu
karena yang pertama itu lebih penting daripada yang kedua. Mungkin saja
seseorang itu berlepas diri dari berhala-berhala namun tidak berlepas diri dari
penyembahnya, yang berarti ia tidak melaksanakan sesuatu yang wajib atasnya.
Adapun jika berlepas diri dari orang-orang musyrik maka hal itu berarti telah
berlepas diri dari sesembahan mereka.”
Beliau melanjutkan, “Hendaknya
anda garis bawahi poin ini, karena merupakan pintu gerbang berlepas diri dari
musuh-musuh Allah. Betapa banyak orang yang tidak terjerumus dalam kesyirikan
namun tidak memusuhi pelakunya. Karena itu ia tidaklah dianggap menjadi muslim,
karena telah meninggalkan keyakinan yang diyakini seluruh kaum muslimin.
Kemudian Allah berfirman, ‘Kami
ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan
kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.’ Kalam-Nya بَدَا , bermakna tampak dan jelas.
Perhatikanlah bagaimana
permusuhan disebutkan lebih dahulu daripada kebencian. Hal itu karena yang
pertama (permusuhan) itu lebih penting daripada yang kedua (kebencian).
Seseorang mungkin saja membenci orang-orang musyrik namun tidak memusuhi
mereka. Maka ia tidaklah dianggap melaksanakan sesuatu yang dibebankan
kepadanya hingga ia membenci sekaligus memusuhi, dan keduanya (kebencian dan
permusuhan) itu haruslah tampak, jelas, dan terang.”
Jihad para pengusung
kebenaran melawan kebatilan bentuknya bisa bermacam-macam. Terkadang dengan
pena dan lisan, dan ini adalah jihad pengusung kebenaran melawan orang-orang
munafik, sesat, dan ahli bid’ah dengan membongkar rahasia mereka, menerangkan
kebatilan mereka, dan menyingkap kepalsuan madzhab mereka. Allah berfirman, “MAKA JANGANLAH KAMU MENGIKUTI
ORANG-ORANG KAFIR, DAN BERJIHADLAH TERHADAP MEREKA DENGAN AL QURAN DENGAN JIHAD
YANG BESAR.” (Al-Furqan: 52). Juga terkadang dengan pedang dan kekuatan, yaitu jihad
pengusung kebenaran melawan orang-orang kafir dan murtad hingga masuk Islam
atau tunduk dengan hukum Islam.
Allah berfirman, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
tidak (pula) kepada hari kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang
diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar
(agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
(At-Taubah: 29).
Kalam-Nya, “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya
agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka
sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.” (Al-Anfal: 39).
Para pengusung kebenaran
melaksanakan kedua jenis jihad itu; jihad dengan kekuatan dan jihad melalui
penjelasan. Mereka yakin bahwa kebenaran yang mereka usung itu harus dilindungi
dan dibantu dengan kekuatan. Karena jika tidak maka kebenaran tak akan mampu
tetap bercokol di akal dan hilang pengaruhnya dalam hati betapapun kuat
argumentasinya dan terang benderang bukti-buktinya. Oleh karena itu, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan pengusung
kebenaran untuk mempersiapkan kekuatan agar mampu meneror pengusung kebatilan
dan mencegah mereka memusuhi pengusung kebenaran. Allah berfirman, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang
kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang
selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.” (Al-Anfal: 60).
Oleh karena itu, agama Allah
yang haq ini ditegakkan di atas Kitabullah dan pedang. Islam adalah agama yang
benar yang tidak bisa berdiri kecuali di atas dua tiang; ilmu dan jihad. Jika
salah satu tiang itu rubuh maka seluruh sistemnya akan tergoncang dan
musuh-musuhnya akan mampu berbuat sekehendaknya. Tegaknya agama adalah dengan
Kitabullah yang memberi petunjuk dan besi yang menolong sebagaiman kalam Allah subhanahu wa ta’ala, “Sesungguhnya
Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan
telah Kami turunkan bersama mereka Al Kitab dan neraca (keadilan) supaya
manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka
mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong
(agama)Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya
Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Al-Hadid:
25). Bagus
sekali syair yang berkata,
Tak ada kecuali wahyu atau kilatan pedang
Yang tajamnya menebas urat leher penyimpang
Inilah obat penyakit setiap orang bodoh
dan itulah obat penyakit setiap pengomel
Orang berakal yang fitrahnya
bagus itu penjelasan akan bermanfaat baginya dan ia akan bersedia mengikuti
kebenaran beserta dalilnya. Namun orang zalim yang memperturutkan hawa nafsunya
maka tidak akan bisa jera kecuali dengan pedang. Kebenaran yang tak memiliki
kekuatan untuk membumikannya dalam kehidupan nyata adalah kebenaran sia-sia
betapapun kuat argumentasinya dan terang benderang bukti-buktinya, dan meskipun
argumentasinya tak bisa dipatahkan sama sekali. Kebenaran sia-sia itu tak
bermakna dan tak berharga sama sekali, karena ia terpenjara dan terkerangkeng
tak mampu mempengaruhi manusia, dan tak terdengar suaranya kecuali gumaman
samar yang tertutupi teriakan keras kebatilan.
Kapan saja anda memiliki hati suci
dan fanatisme, kekuatan, serta keteguhan
Niscaya orang-orang zalim menjauhimu
Al-Faruq yang diberi ilham radhiallahu’anh
berkata, “Kalimat kebenaran yang tak berkuasa itu tak bermanfaat sama sekali.”
Orang-orang yang paling berhak atas ilmu adalah ahli jihad, dan orang-orang
yang paling berhak untuk berjihad adalah ahli ilmu. Inilah yang dibawa oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Disebutkan dalam hadits, “Dua golongan
dari ummatku yang jika mereka baik maka orang-orang ikut baik; para ulama dan
pemimpin.”
Betapa dalam ungkapan
Al-Ghazali rahimahullah, “Dunia ini adalah ladang akhirat. Agama tidak akan
sempurna tanpa dunia. Kekuasaan dan agama itu saling melengkapi. Agama adalah
pondasi dan kekuasaan penjaganya. Sesuatu yang tak berpondasi maka akan hancur,
dan sesuatu yang tak berpenjaga maka akan tercerai berai.”
DI MAKKAH, SANG TERPILIH TELAH MENYERU-SERU NAMUN
TAK ADA JAWABAN
IA TELAH BERSUSAH PAYAH DAN BERLEMAH LEMBUT
NAMUN KETIKA PEDANG TERHUNUS DI TANGANNYA
MEREKA SEGERA MENYERAH, BERTAUBAT, DAN MASUK
ISLAM
Source: AL FATIHIN 06
Tidak ada komentar:
Posting Komentar