Pembatal Keislaman Pertama:
SYIRIK DALAM BERIBADAH KEPADA ALLAH
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
-Rahimahullah berkata :
“PEMBATAL PERTAMA ADALAH SYIRIK DALAM
MENYEMBAH ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA."
Allah berfirman:
إِنَّ
ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن
يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan
mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dan (syirik)
itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya”
(An-Nisaa’ : 48).
إِنَّهُۥ
مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ
وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٖ
"Sesungguhnya orang yang
mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya
jannah, dan tempatnya ialah naar, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu
seorang penolongpun."
(Al-Maidah : 72).
Di
antara kemusyrikan itu adalah menyembelih (kurban) untuk selain Allah, seperti
menyembelih untuk jin atau kuburan.”
Syaikh
-Rahimahullah- mengawali kesepuluh pembatal keislaman ini dengan menempatkan “syirik
kepada Allah” sebagai pembatal pertama.
Sebab,
syirik merupakan dosa paling besar yang diperbuat untuk mendurhakai Allah.
Syirik berarti merampas rububiyah dan mengurangi uluhiyah, karena syirik itu
adalah: Menyamakan selain Allah dengan Allah, dalam hal yang merupakan bagian
dan sifat Allah.
Bagaimana
syirik itu bukan dosa terbesar dalam mendurhakai Allah, sedangkan syirik
berarti menjadikan sekutu bagi Allah dalam menyembah (beribadah) kepadaNya;
padahal Dia telah menjadikan segalanya ada dari yang semula tidak ada, serta
telah memberikan segala kenikmatan? !!.
SYIRIK itu terbagi menjadi Tiga Macam:
1. Syirik Akbar,
2. Syirik Ashghar, dan
3. Syirik Khafi.
Namun
Ibnul Qoyyim berpendapat hanya ada dua macam: Syirik Akbar dan Syirik Ashghar.
)) PERTAMA :
SYIRIK AKBAR
Dosa
syirik akbar itu tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan jalan bertaubat.
Pelakunya jika meninggal dunia dalam keadaan syirik, maka ia akan kekal di
dalam nar (neraka) selama-Iamanya.
Allah
Jalla wa ‘Ala berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa
syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi
siapa yang dikehendak-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh
ia telah berbuat dosa yang besar” (An-Nisaa’ : 48).
Allah
Ta’ala juga berfirman:
حُنَفَآءَ لِلَّهِ غَيۡرَ مُشۡرِكِينَ بِهِۦۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَتَخۡطَفُهُ ٱلطَّيۡرُ أَوۡ تَهۡوِي بِهِ ٱلرِّيحُ فِي مَكَانٖ سَحِيقٖ
“Barangsiapa
mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari
langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh”
(A1-Hajj : 31).
Oleh
karena itu kaum musyrikin, dari kalangan penyembah kubur dan lainnya,
mengatakan kepada ilah-ilah mereka ketika mereka berada di dalam nar (neraka):
“demi Allah: sungguh kità dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena
kita mempersamakan kamu dengan Rabb semesta alam”. (As-Syu’ara’ : 97-98).
Mereka
memang tìdak menyamakan ilah-ilah itu dengan Allah dalam hal mencipta, memberi
rizki, menghidupkan ataupun mematikan, hanyasanya kaum musyrikin itu menyamakan
ilah-ilah mereka dengan Allah dalam masalah mahabbah (kecintaan) yang merupakan
inti ibadah. Demikian juga dalam masalah ta’zhim (pengagungan) yang merupakan
salah satu bentuk qurbah (kedekatan) yang paling besar dan ibadah yang paling
agung. Karena itulah Allah mencela orang-orang yang tidak mengagungkan-Nya
dengan berfirman:
مَّا
لَكُمۡ لَا تَرۡجُونَ لِلَّهِ وَقَارٗا
“Mengapa
kamu tidak percaya akan kebesaran Allah ?” (Nuh : 13)
Karena
Itulah Kami Berani Mengatakan Bahwa Semua Kejahatan (Keburukan) Secara
Keseluruhan Berpangkal Kepada SYIRIK KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA.
Syirik
akbar itu sendiri bentuknya bermacam-macam, namun sebenarnya sumbernya kembali pada
empat macam syìrik yang akan kami sebutkan secara global dengan sedikit
keterangan agar tidak terlalu berkepanjangan meskipun sebenarnya berpanjang
lebar dalam masalah ini tentu lebih baik dan lebih pas. Namun mengingat masih
kurangnya minat dalam menelaah buku tebal, maka kami cukupkan untuk menulis
secara ringkas, asalkan dapat membawa manfaat.
1.
Syirik
Doa
2.
Syirik Niat, Kehendak dan Tujuan
3.
Syirik Ketaatan
4.
Syirik Cinta
Penjelasan
Keempat Macam Syirik >>
1. Syirkud-Da’wah
(Syirik Doa)
Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala : “Maka apabila mereka naik kapal mereka mendo’a
kepada Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan
mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah),” (Al-Ankabut
; 65)
Syaikh
–Rahimahullah- mengatakan dalam kitab “Al-Qawa’id al Arba’ah”: “Kaedah yang
empat: Bahwasanya kaum musyrikin di zaman kita sekarang ini lebih parah kemusyrikannya
dari pada kaum musyrikin zaman dahulu. Sebab, kaum musyrikin zaman dahulu itu
berbuat syirik dalam keadaan lapang dan berbuat ikhlas (memurnikan tauhid)
dalam keadaan terjepit. Sedangkan kaum musyrikin zaman kita sekarang ini tetap
saja selalu berbuat kemusyrikan dalam keadaan lapang maupun susah.”
Dalam
bagian mukadimah kitab tersebut, syaikh juga mengatakan syirik-syirik itu
merasuk ke dalam ibadah, maka ibadah tersebut jadi rusak (batal), seperti
batalnya keadaan suci (thaharah) bila seseorang kemudian berhadats. Jika anda
sudah mengerti bahwa syirik itu apabila mencampuri ibadah pasti merusakkan
ibadah tersebut, menggugurkan amalan dan pelakunya akan menjadi bagian dari
orang-orang yang kekal di dalam nar, maka tentunya andapun mengerti bahwa masalah
paling penting yang harus anda ketahui adalah masalah itu. Mudah-mudahan Allah
berkenan menyelamatkan anda dari “perangkap” ini yaitu syirik kepada Allah.”
2. Syirkun-Niyyat
wal-Iradah wal-Qashd (Syirik Niat, Kehendak dan Tujuan)
Dalilnya
adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Barangsiapa menghendaki kehidupan
dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan
mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan.
Itulah orang-orang yang tidak memperoleh akhira, kecuali neraka dan lenyaplah
di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang
telah mereka kerjakan” (Hud : 15-16).
Al-Allamah
Ibnul Qoyyim –Rohimahullah- berkata: “Tentang syirik dalam hal iradah
(kehendak, keinginan) dan niat, maka itu merupakan lautan yang tak bertepi dan
jarang orang yang dapat selamat darinya. Barangsiapa dalam melakukan amal
perbuatan berkehendak atau berkeinginan untuk ditujukan kepada selain Allah,
dan meniatkan perbuatan itu selain mendekatkan diri kepada-Nya serta menuntut
ganjaran dari amal perbuatan itu, maka ia berarti telah berbuat syirik dalam
hal niat dan kehendaknya.”
Syirik
niat ini dikategorikan sebagai syirik akbar manakala amalan seseorang itu
seluruhnya diniatkan untuk selain Allah. Berbeda dengan riya’ yang
merupakan syirik asghar.
3. syirkut-Tha’ah
(Syirik Ketaatan)
Yaitu
Mentaati Para Pendeta dan Rahib dalam Bermaksiat (Durhaka) kepada Allah Ta’ala.
Allah
ta’ala berfirman: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib
mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb)
Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha
Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa
yang mereka persekutukan” (At-Taubah : 31).
Di antara riwayat hadits yang menafsirkan
dan menjelaskan
ayat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan perawi Iainnya,
dan Adiy bin Hatim bahwa ia pernah mendengarkan Nabi membaca ayat ini: “Mereka
menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain
Allah .... dst.” maka aku (Adiy bin Hatim) berkata kepada beliau: “Sesungguhnya
kami tidak menyembah mereka!”
Beliau
kemudian bersabda:
“Bukankah
mereka itu mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah, lalu kalian ikut
pula mengharamkannya, dan mereka juga menghalalkan apa yang telah diharamkan
oleh Allah, lalu kalian ikut pula menghalalkannya”
Saya
jawab: “Ya” Beliau bersabda “Demikian itulah penyembahan mereka”.
sanad
hadits ini dha’if, akan tetapi memiliki syahid (bukti penguat) berupa hadits
yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir [Jami’uI Bayan, X 114] secara mauquf melalui
jalur Habib bin Abi Tsabit, dari Abu Al Bukhturi, dari Hudzaifah. mengenai
keshahihannya memang masih diperselisihkan, akan tetapi penafsiran ayat
sebagaimana tersebut, cukup terkenal di kalangan ahli tafsir dan tak ada yang
menolaknya.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata : Orang-orang yang menjadikan orang
orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan itu -dengan cara mentaati
mereka dalam menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan dalam mengharamkan
apa yang di halalkan oleh Allah- terklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu :
Pertama :
Mereka mengetahui bahwa para alim dan rahib-rahib itu mengganti agama Allah,
lalu mereka mengikutìnya, sehingga mereka berkeyakinan bahwa penghalalan
terhadap apa yang diharamkan oleh Allah serta pengharaman apa yang dihalalkan
olehNya itu dalam rangka mengikuti pemimpin-pemimpin mereka, dengan menyadari
dan mengetahui bahwa mereka itu telah menyelisishi agama para rasul. ini
merupakan KEKUFURAN. Bahkan Allah dan RasulNya menyatakannya sebagai
bentuk syirik, mereka itu tidak melakukan shalat dan sujud kepada para alim dan
rahib-rahib itu. Dengan demikian, siapa saja yang mengikuti orang lain dalam
menyelisihi agama -padahal ia tahu bahwa hal itu bertentangan dengan agama,
serta meyakini bahwa apa yang dikatakan oleh orang lain itu bukan perkataan
Allah dan RasulNya, maka ia menjadi seorang musyrik seperti mereka (yang
dikisahkan oleh Allah dalam ayat di atas).
Kedua
: Jika keyakinan dan kepercayaan mereka terhadap pengharaman yang haram dan
penghalalan yang halal itu tidak berubah, akan tetapi mereka mentaatì para alim
dan rahib-rahib mereka dalam mendurhakai Allah, sebagaimana seorang muslim yang
melakukan suatu kemaksiatan yang tetap ia yakini sebagai suatu kemaksiatan,
maka mereka itu dihukumi sebagai pelaku dosa” [Majmu’aI-Fatawa, VII : 70]
4. Syirkul-Mahabah
(Syirik Cinta)
Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala : “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah
tandingan-tandingan selain Allah; mereka menecintainya sebagaimana mereka
mencintai Allah” (AI-Baqarah :165).
Orang
musyrik itu karena kejahilannya mengenai Rabbnya akan anda dapati mencintai ilah-ilah
yang berupa berhala dan selainnya sebagaimana ia mencintai Allah, dan bahkan
lebih dari itu. Jika ilah-ilah itu disakiti, maka ia akan marah demi ilah-ilah itu dengan kemarahan yang lebìh
besar daripada kemarahannya karena Allah.
la
pun akan bergembira demi ilah-ilah itu dengan kegembiraan yang tidak
sebagaimana kegembiraannya karena Allah. Allah Ta’ala berfirman: “Dan
apabila nama Allah saja yang disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak
beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain
Allah yang disebut. tiba-tiba mereka bergirang hati” (Az-Zûmar : 45)
Al-Allamah
Ibnul-Qoyyim –Rahimahullah- berkata: “Ada empat macam bentuk mahabbah yang
harus dibedakan antara satu sama lain, karena orang yang tidak dapat
membedakannya pasti tersesat.
Keempat Macam Mahabbah itu adalah
:
Pertama : Mahabatullah
(Mencintai Allah)
Mahabbatullah
saja tidak mencukupi untuk dapat selamat dari adzab Allah dan beruntung meraih
pahalaNya. Sebab, kaum musyrikin, para penyembah salib (kaum Nasrani), kaum
Yahudi dan selain merekapun mencintai Allah juga.
Kedua : Mahabbatu ma
yuhibbullah (mencintai apa saja yang dicintái oleh Allah)
Mahabbah
inilah yang memasukkan seseorang ke dalam Islam serta mengeluarkannya dari
kekufuran. Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah orang-orang yang
paling hebat dalam ber“mahabbatu ma yuhibbullah”.
Ketiga : AI-Hubb
Lillah (cinta demi/untuk Allah) dan AI-Hubb Fillah (cinta karena Allah)
Ini
merupakan bagian dan konsekuensi-konsekuensi “mahabbatu ma yuhibbullah”.
‘Mahabbatu ma yuhibbullah” itu tidak akan tegak kecuali harus dengan al-hubb
Fillah dan al-hubb Lillah ini.
Keempat : Al-Mahabbah
Ma’allah (Mencintai sesuatu dan mensejajarkannya dengan kecintaannya kepada
Allah)
Ini
merupakan “al-mahabbahas-syirkiyah” (kecintaan bercabang, kecintaan partnerisme
atau kecintaan yang bersifat syirik. Barangsiapa yang ber-“mahabbah maa’allah”
terhadap sesuatu (bukannya “lillah” dan “fillah”) maka ia berarti telah menjadikan sesuatu yang
ia cintai selain Allah itu sebagai “tandingan” (nidd) terhadap Allah. ini adalah
mahabbahnya kaum musyrikin.
Keempat
macam syirik akbar diatas dapat menyebabkan keluarnya seseorang dari Islam. Sebab,
kesemuanya itu merupakan bentuk ibadah, sedangkan memalingkan ibadah kepada
selain Allah itu adalah syirik. Allah Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa
menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun
baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya dì sisi Rabbnya. Sesungguhnya
orang-orang yang kafir itu tiada beruntung” (Al-Mukminun: 117).
Allah
menamakan mereka sebagai orang-orang kafir karena mereka berdoa kepada ilah
lain disamping berdoa kepada Allah Ta’ala.
Diantara
bentuk syirik akbar lainnya adalah penyembelihan (kurban) untuk selain Allah.
Sebab, penyembelihan untuk Allah merupakan salah satu bentuk qurban (pendekatan
diri), kepada Allah, bahkan termasuk bentuk qurban yang paling tinggi.
Allah
Ta’ala berfirman:
فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
“Maka
dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah” (Al-Kautsar : 2).
Juga
firmanNya :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ
“Katakanlah
sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurban), hidupku dan matiku hanya untuk
Allah, Rabb semesta alam”. (A1-An’am : 162).
Siapa
saja yang menyembelih untuk para wali, atau untuk berhala, atau untuk jin
-seperti yang dilakukan oleb kebanyakan orang jahil yang tinggal di negeri-negeri Selatan dan di sebagian dari
pìnggiran kota Mekah ketika menempati rumah, maka berarti telah keluar dari
Islam dan beralih memasuki wilayah kekufuran dan kesesatan disebabkan karena ia
telah memalingkan ibadah -yang termasuk ibadah yang paling agung- kepada selain
Allah.
Contoh syirik akbar lainnya adalah bernadzar untuk selain Allah. Ini merupakan syirik akbar, karena nadzar itu adalah ibadah, sebagaimana dikatakan oleh Allah: “Mereka menunaikan nadzar ...”(Al-Insan : 7), dan juga firmanNya: “Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (Al-Baqarah : 270)
Maka,
barangsiapa yang bernadzar untuk seorang wali dengan menyalakan lilin atau
mempersembahkan sembelihan dan barang apapun, maka ia berarti telah menanggalkan
ikatan Islam dari lehernya, karena nadzar itu hanya dibolehkan untuk Allah.
Memalingkan nadzar untuk selain Allah berarti menjadi pembatal ke-Islaman yang
diwahyukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala
kepada Muhammad Nadzar yang
dilakukan oleh para penyembah kubur untuk seseorang yang mereka yakini dapat
menimpakan madharat dan dapat pula memberikan manfaat (keuntungan), maka itu
merupakan syirik akbar yang dapat menyebabkan pelakunya keluar dari Islam.
Orang yang menyatakan bahwa hal itu hanyalah syirik ashghar, maka jelas keliru,
dan menyatakan sesuatu yang tidak ada dasarnya yang benar. Allah-lah tempat
memohon pertolongan, dan padaNya tempat bersandar. Tiada daya dan kekuatan
kecuali dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.
Contoh
lainnya adalah ber-isti’anah dan “istighotsah” kepada selain Allah. ini adalah
syirik.
(( Kedua
: Syirik Ashghar
Pelakunya
jika kelak menghadap Allah dengan membawa syirik ashghar itu, maka –berdasarkan
pendapat yang benar- tergantung pada kehendak Allah, jika Allah menghendaki,
maka Dia dapat mengampuninya dan memasukkannya ke dalam jannah, dan bisa jadi
pula jika Dia berkehendak dapat mengadzabnya. Akan tetapi kembalinya tetap akan
ke jannah. Sebab, syirik ashghar itu tidak menjadikan pelakunya kekal di dalam
neraka. Akan tetapi ia menyeret kepada ancaman Allah (nar) sehingga wajib
diwaspadai.
Di
antara jenis syirik ashghar adalah bersumpah dengan selain Allah jika tidak
bermaksud mengagungkan sesuatu selain Allah itu. Namun jika ia bertujuan mengagungkannya,
maka hal itu berubah menjadi syirik akbar.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda :
مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ
كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ
“Barangsiapa
bersumpah dengan selain Allah, maka ia telah kafir atau telah syirik”
(HR.
Ahmad).
Hadits
ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim yang
sekaligus menshahihkannya dan mengatakan: “Berdasarkan syarat As-Syaikhani
(Al-Bukhari dan Muslim).”, sementara Adz-Dzahabi mendiamkannya. Hadits ini
berasal dari Ibnu Umar.
Contoh
lainnya adalah mempermudah riya’ dan pura-pura melakukan sesuatu agar
diperhatikan orang lain.
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Sesuatu yang paling
sangat aku takutkan menimpa kalian
adalah syirik ashghar” Beliau ditanya mengenai syirik ashghar itu, lalu
beliau menjawab: “la adalah riya” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan
lainnya dengan hasan yang berasal dari hadits Mahmud bin Labid.
Jika
syirik ashghar itu dikhawatirkan oleh beliau kalau-kalau menimpa para sahabat
yang hidup bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mendapati turunnya wahyu, maka tentunya terhadap selain
mereka pun lebih dikhawatirkan oleh beliau, yaitu terhadap orang yang sedikit
ilmunya dan lemah imannya.
Ketika
Al-Allamah Ibnul-Qoyyim -Rahimahullah- mengutarakan tentang syiriknya para
penyembah matahari dan bulan, para penýembah api dan lain-lainnya, beliau
menyatakan syirik dalam hal ibadah, maka ia lebih mudah (gampang terjadi) dan
lebih ringan dibanding dengan syirik diatas. Syirik ini datang dari orang yang
meyakini bahwa tiada ilah selain Allah, dan meyakini pula bahwa tidak ada yang
dapat menimpakan madharat, dan tidak ada yang memberi manfaat, tidak ada yang
dapat memberi serta tidak ada yang dapat menghalangi kecuali hanya Allah. la
juga meyakini bahwa tiada ilah dan tiada rabb
selainNya. Akan tetapi dalam melakukan muamalah maupun ubudiyahnya, ia tidak
mengkususkannya hanya untuk Allah, tetapi terkadang ia berbuat ditujukan untuk
kepentingan dirinya, terkadang untuk menuntut dunia; terkadang untuk meraih
ketinggian, kedudukan dan kehormatan di mata manusia lain; sehingga sebagian
dari amal maupun usahanya itu ada yang di tujukan untuk Allah, ada yang
ditujukan buat diri dan hawa nafsunya, ada yang ditujukan untuk setan dan ada
pula yang diperuntukkan buat manusia lainnýa. Ini merupakan keadaan kebanyakan
manusia.
Kesyirikan
semacam inilah yang pernah disinyalir oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya:
الشِّرْكُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ أَخْفَى مِنْ دَيْبِ النَّمْلَةِ, قَالُوا: كَيْفَ نَنْجُ مِنْهُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: قُلْ أَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُبِكَ أَنْ أُشْرِكَ وَ أَنَا أَعْلَمُ, وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ
“Syirik
yang terjadi pada ummat ini lebih tersembunyi dari pada seekor semut yang
merayap. Para sahabat bertanya: “Bagaimana kami dapat selamat darinya, ya Rasulullah?”
Beliau menjawab: “Katakanlah: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu
dari perbuatan mensekutukanMu, yang aku tidak tahu; dan aku mohon ampun
kepadamu mengenai apa yang aku tidak tahu!”(HR. Ibnu Hibban).
Jadi,
segala jenis riya’ itu termasuk perbuatan syirik.
Allah
Ta’ala berfirman :
قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۖ فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا
“Katakanlah:
“Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan
kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa”. Barangsiapa
mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang
shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada
Rabb-nya”. (Al-Kahfi : 110)
Maksudnya
sebagaimana Ia adalah Ilah yang Esa, tiada ilah lain selainNya, maka demikian pulalah
seharusnya peribadahan itu hanya untukNya saja. Sebagaimana ia sendiri saja
yang berhak menyandang hak ilahiyah, maka wajib pulalah hak ubudiyah
hanya diperuntukkan bagiNya saja. Yang
namanya amal saleh itu adalah amalan yang “kosong” (terbebas) dari riya’ dan
terikat dengan sunnah.
Di
antara doa yang pernah dipanjatkan oleh Umar bin Al-Khatthab radhiallahu ‘anhu
adalah: “Ya Allah, jadikanlah amalku seluruhnya saleh, dan jadikanlah ia ikhlash
(murni) untukMu, dan jangan Engkau jadikan amalanku itu untuk seseorang,
sedikitpun!” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Az-Zuhd, dari riwayat Al Hasan dari
Umar, sementara ia tidak mendengar langsung dari Umar.]
Syirik
dalam ibadah ini dapat membatalkan (menggugurkan) pahala amal, dan bahkan
kadang dapat dijatuhi hukuman jika amal itu amal yang wajib. Orang yang
melakukan amalan dengan riya’ itu disamakan kedudukannya dengan orang yang belum
mengerjakan amalan, sehingga ia dapat dijatuhi hukuman atas tindakan
meninggalkan perintah. Sesungguhnya Allah Ta’ala hanya memerintahkan untuk
beribadah kepadaNya dengan ibadah yang murni (khalis /ikhlas).
Allah
Ta’ala berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah
Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang
lurus...”. (Al-Bayyinah : 5).
Barangsiapa
yang tidak memurnikan ibadahnya kepada Allah saja, maka ía berarti belum
mengerjakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadanya. Bahkan yang ia
lakukan itu merupakan sesuatu yang tidak diperintahkan kepadanya, sehingga amalan
itu jelas tidak sah dan tidak akan diterima.
Allah
Ta’ala mengatakan -yang disebutkan dalam hadits qudsi-:
“Aku
adalah Sekutu Yang Maha Cukup (Kaya), sangat menolak perbuatan syirik.
Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan dengan dicampuri tindakan
mensekutukan-Ku dengan selainKu, maka amalannya itu buat yang ia persekutukan
itu, dan Aku berlepas diri darinya.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah).
Syirik
dalam bentuk seperti ini ada yang terampuni dan ada juga yang tidak terampuni.
(Sampai di sini penjelasan dan Ibnu-Qoyyim).
Amalan
yang dikerjakan demi selain Allah itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama
: Memang
semata-mata (murni) riya’,
sehingga
pelakunya itu hanya menginginkan hal duniawi, atau agar dilihat (dinilai) oleh
orang lain. Riya’ jenis ini adalah seperti riya’nya kaum munafik yang
disinyalir oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya:
إِنَّ
ٱلۡمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمۡ وَإِذَا قَامُوٓاْ إِلَى
ٱلصَّلَوٰةِ قَامُواْ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ
إِلَّا قَلِيلٗا
“Dan
apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka
bermaksud ríya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut
nama Allah kecuali sedikit sekali’ (An-Nisaa’ : 142).
Amalan
seperti ini sudah tak diragukan lagí pasti sia-sia, dan pelakunya berhak
mendapatkan kemurkaan dan Allah Jalla wa “Ala.
Kedua:
Amalan itu dikerjakan untuk Allah, namun dicampuri oleh riya’.
Dan
ini terbagi nenjadi dua kategori :
a.
Memang dari pangkalnya dicampuri oleh riya’, dan
b.
Secara tiba—tiba muncul unsur riya’nya.
Untuk jenis yang pertama (a), maka amalanya jelas sia-sia dan tak akan diterima.
Dalilnya
adalah hadits yang dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab “Shahih”nya dari sahabat
Abu Hurairah radhiallahu’anhu: bahwa ia berkata: Rasulullah shallalllahu
‘alaihi wasallam bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Aku adalah Sekutu Yang
Paling (Maha) Cukup, sangat menolak perbuatan syirik (penyekutuan). Barangsiapa
mengerjakan suatu amalan dengan dicampuri tindakan mempersekutukanKu dengan
selainKu, maka Aku tinggalkan ia dan Aku tinggalkan pula (tidak Aku terima) amalan
syiriknya itu.”
Adapun
jika riya’ itu muncul dengan tiba-tiba (yang sebelumnya tiada niat riya’) dan
terurai bersamanya, maka sebagian ulama menyatakan bahwa hal itu dapat menggugurkan
amalan itu seluruhnya. Namun Ulama Iainnya menyatakan: Jika amalan itu terurai
bersama riya’ itu, maka pelakunya tetap memperoleh pahala atas keikhlasannya
dan sekaligus mendapatkan pula tanggungan (dosa) atas riya’nya. Dan jika ia berusaha
keras memerangi dan menolaknya, maka ia mendapatkan bagian dan firman Allah
Ta’ala: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya jannah adalah
tempat tinggalnya.“ (An-Naziat: 40-41).
Mengenai
seorang yang berjihad fi sabilillah dan ia punya niat untuk mendapatkan
ghanimah, maka dalam menilai masalah ini para ulama berbeda pendapat.
Ibnul-Qoyyim
-rahimahullah dalam kitab “I’Iamul-Muwaqi’in” (II : 163) mengatakan: “ini adalah
seperti seorang yang menunaikan shalat karena upah. Dia, seandainya tidak
mengambil upah, iapun tetap shalat, akan tetapi ia menunaikannya untuk Allah
dan juga demi upah. Juga seperti orang yang menunaikan haji agar gugur kewajiban
haji itu atas dirinya dan agar dikatakan bahwa si Fulan telah haji, atau telah
menunaikan zakat dan sebagainya. Yang semacam ini amalnya tidak diterima.”
Sementara
itu lbnu Rajjab –Rahimahullah- mengatakan: “Hal itu menyebabkan pahala jihadnya
berkurang, dan tidak menyebabkan gugurnya pahala itu seluruhnya.”
Beliau
-Rahimahullah- juga mengatakan: “Telah kami sebutkan pada bagian yang lalu beberapa
hadits yang menunjukkan bahwa orang yang dalam jihadnya menginginkan
nilai-nilai duniawi, maka ia tidak memperoleh pahala, selama ia tidak memiliki
tujuan lain dalam jihadnya itu melainkan duniawi.”
Bertolak
dari sini, maka di sana terdapat perbedaan antara orang yang berjihad demi
gelar dan pahala dengan orang yang berjihad demi ghanimah dan pahala.
Untuk
model yang pertama, telab disebutkan dalam hadits Abu Umamah yang diriwayatkan
oleh An-Nasa’i [An-Nasai (VI : 52) melaluì
jalur Mu’awiyah bin sallam, dari Ikrimah bin Ammar, dari Saddad Abu Ammar, dari
Abu Umamah] dengan sanad hasan; bahwa seorang lelaki datang menghadap Nabi lalu bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana
pendapat engkau mengenai seseorang yang berperang demi mencari pahala dan pujian
(manusia)?”, Nabi menjawab: “la tidak
memperoleh apa-apa!” orang itu mengulang pertanyaannya sampai tiga kali, dan
Rasulullah pun tetap menjawab: “Tiada pahala apapun untuknya, selanjutnya
beliau bersabda:
“SESUNGGUHNYA ALLAH
TIDAK AKAN MENERIMA AMALAN
KECUALI JIKA AMALAN
ITU IKHLAS
DAN YANG DICARI DENGAN
AMALAN ITU
ADALAH “WAJAH”
(KERIDHAAN) ALLAH.”
Wallahu
‘a lam.
Source:
Judul Ash : At-Tibyan, Syarh Nawaqidh Al Islam li Al-Imam
Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab -Rahimahullah
Penyusun : Sulaiman bin Nashir bin Abdullah Al Ulwan
Penerbit : Darul Muslim, Riyadh
Cetakan : tahun 1417 H. / 1996 M.
Edisi Indon : Penjelasan Tentang Pembatal Keislanan
Penerjemah : Abu Sayyid Sayyaf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar