7/20/2019

SYIRIK DALAM BERIBADAH KEPADA ALLAH

Pembatal Keislaman Pertama:
SYIRIK DALAM BERIBADAH KEPADA ALLAH


Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab -Rahimahullah berkata :
PEMBATAL PERTAMA ADALAH SYIRIK DALAM MENYEMBAH ALLAH SUBHANAHU WA TA'ALA."

Allah  berfirman:

 إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَغۡفِرُ أَن يُشۡرَكَ بِهِۦ وَيَغۡفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَآءُۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱفۡتَرَىٰٓ إِثۡمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dan (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya
(An-Nisaa’ : 48).

إِنَّهُۥ مَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَقَدۡ حَرَّمَ ٱللَّهُ عَلَيۡهِ ٱلۡجَنَّةَ وَمَأۡوَىٰهُ ٱلنَّارُۖ وَمَا لِلظَّٰلِمِينَ مِنۡ أَنصَارٖ
"Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya jannah, dan tempatnya ialah naar, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun."
(Al-Maidah : 72).

Di antara kemusyrikan itu adalah menyembelih (kurban) untuk selain Allah, seperti menyembelih untuk jin atau kuburan.”

Syaikh -Rahimahullah- mengawali kesepuluh pembatal keislaman ini dengan menempatkan “syirik kepada Allah” sebagai pembatal pertama.

Sebab, syirik merupakan dosa paling besar yang diperbuat untuk mendurhakai Allah. Syirik berarti merampas rububiyah dan mengurangi uluhiyah, karena syirik itu adalah: Menyamakan selain Allah dengan Allah, dalam hal yang merupakan bagian dan sifat Allah.

Bagaimana syirik itu bukan dosa terbesar dalam mendurhakai Allah, sedangkan syirik berarti menjadikan sekutu bagi Allah dalam menyembah (beribadah) kepadaNya; padahal Dia telah menjadikan segalanya ada dari yang semula tidak ada, serta telah memberikan segala kenikmatan? !!.

SYIRIK  itu terbagi menjadi  Tiga Macam:
1. Syirik Akbar,
2. Syirik Ashghar, dan
3. Syirik Khafi.

Namun Ibnul Qoyyim berpendapat hanya ada dua macam: Syirik Akbar dan Syirik Ashghar.

  )) PERTAMA : SYIRIK AKBAR

Dosa syirik akbar itu tidak akan diampuni oleh Allah kecuali dengan jalan bertaubat. Pelakunya jika meninggal dunia dalam keadaan syirik, maka ia akan kekal di dalam nar (neraka) selama-Iamanya.

Allah Jalla wa ‘Ala berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendak-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” (An-Nisaa’ : 48).

Allah Ta’ala juga berfirman:

حُنَفَآءَ لِلَّهِ غَيۡرَ مُشۡرِكِينَ بِهِۦۚ وَمَن يُشۡرِكۡ بِٱللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ ٱلسَّمَآءِ فَتَخۡطَفُهُ ٱلطَّيۡرُ أَوۡ تَهۡوِي بِهِ ٱلرِّيحُ فِي مَكَانٖ سَحِيقٖ

Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh” (A1-Hajj : 31).

Oleh karena itu kaum musyrikin, dari kalangan penyembah kubur dan lainnya, mengatakan kepada ilah-ilah mereka ketika mereka berada di dalam nar (neraka): “demi Allah: sungguh kità dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Rabb semesta alam”. (As-Syu’ara’ : 97-98).

Mereka memang tìdak menyamakan ilah-ilah itu dengan Allah dalam hal mencipta, memberi rizki, menghidupkan ataupun mematikan, hanyasanya kaum musyrikin itu menyamakan ilah-ilah mereka dengan Allah dalam masalah mahabbah (kecintaan) yang merupakan inti ibadah. Demikian juga dalam masalah ta’zhim (pengagungan) yang merupakan salah satu bentuk qurbah (kedekatan) yang paling besar dan ibadah yang paling agung. Karena itulah Allah mencela orang-orang yang tidak mengagungkan-Nya dengan berfirman:

مَّا لَكُمۡ لَا تَرۡجُونَ لِلَّهِ وَقَارٗا
Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allah ?” (Nuh : 13)

Karena Itulah Kami Berani Mengatakan Bahwa Semua Kejahatan (Keburukan) Secara Keseluruhan Berpangkal Kepada SYIRIK KEPADA ALLAH AZZA WA JALLA.

Syirik akbar itu sendiri bentuknya bermacam-macam, namun sebenarnya sumbernya kembali pada empat macam syìrik yang akan kami sebutkan secara global dengan sedikit keterangan agar tidak terlalu berkepanjangan meskipun sebenarnya berpanjang lebar dalam masalah ini tentu lebih baik dan lebih pas. Namun mengingat masih kurangnya minat dalam menelaah buku tebal, maka kami cukupkan untuk menulis secara ringkas, asalkan dapat membawa manfaat.
1. Syirik Doa
2. Syirik Niat, Kehendak dan Tujuan
3. Syirik Ketaatan
4. Syirik Cinta

Penjelasan Keempat Macam Syirik >>

1. Syirkud-Da’wah (Syirik Doa)

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala : “Maka apabila mereka naik kapal mereka mendo’a kepada Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya; maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke darat, tiba-tiba mereka (kembali) mempersekutukan (Allah),” (Al-Ankabut ; 65)

Syaikh –Rahimahullah- mengatakan dalam kitab “Al-Qawa’id al Arba’ah”: “Kaedah yang empat: Bahwasanya kaum musyrikin di zaman kita sekarang ini lebih parah kemusyrikannya dari pada kaum musyrikin zaman dahulu. Sebab, kaum musyrikin zaman dahulu itu berbuat syirik dalam keadaan lapang dan berbuat ikhlas (memurnikan tauhid) dalam keadaan terjepit. Sedangkan kaum musyrikin zaman kita sekarang ini tetap saja selalu berbuat kemusyrikan dalam keadaan lapang maupun susah.”

Dalam bagian mukadimah kitab tersebut, syaikh juga mengatakan syirik-syirik itu merasuk ke dalam ibadah, maka ibadah tersebut jadi rusak (batal), seperti batalnya keadaan suci (thaharah) bila seseorang kemudian berhadats. Jika anda sudah mengerti bahwa syirik itu apabila mencampuri ibadah pasti merusakkan ibadah tersebut, menggugurkan amalan dan pelakunya akan menjadi bagian dari orang-orang yang kekal di dalam nar, maka tentunya andapun mengerti bahwa masalah paling penting yang harus anda ketahui adalah masalah itu. Mudah-mudahan Allah berkenan menyelamatkan anda dari “perangkap” ini yaitu syirik kepada Allah.”

2. Syirkun-Niyyat wal-Iradah wal-Qashd (Syirik Niat, Kehendak dan Tujuan)

Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala: “Barangsiapa menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh akhira, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” (Hud : 15-16).

Al-Allamah Ibnul Qoyyim –Rohimahullah- berkata: “Tentang syirik dalam hal iradah (kehendak, keinginan) dan niat, maka itu merupakan lautan yang tak bertepi dan jarang orang yang dapat selamat darinya. Barangsiapa dalam melakukan amal perbuatan berkehendak atau berkeinginan untuk ditujukan kepada selain Allah, dan meniatkan perbuatan itu selain mendekatkan diri kepada-Nya serta menuntut ganjaran dari amal perbuatan itu, maka ia berarti telah berbuat syirik dalam hal niat dan kehendaknya.”

Syirik niat ini dikategorikan sebagai syirik akbar manakala amalan seseorang itu seluruhnya diniatkan untuk selain Allah. Berbeda dengan riya’ yang merupakan syirik asghar.

3. syirkut-Tha’ah (Syirik Ketaatan)

Yaitu Mentaati Para Pendeta dan Rahib dalam Bermaksiat (Durhaka) kepada Allah Ta’ala.

Allah ta’ala berfirman: “Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan” (At-Taubah : 31).

Di antara riwayat hadits yang menafsirkan dan menjelaskan ayat ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan perawi Iainnya, dan Adiy bin Hatim bahwa ia pernah mendengarkan Nabi membaca ayat ini: “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah .... dst.” maka aku (Adiy bin Hatim) berkata kepada beliau: “Sesungguhnya kami tidak menyembah mereka!”
Beliau kemudian bersabda:
Bukankah mereka itu mengharamkan apa yang telah dihalalkan oleh Allah, lalu kalian ikut pula mengharamkannya, dan mereka juga menghalalkan apa yang telah diharamkan oleh Allah, lalu kalian ikut pula menghalalkannya
Saya jawab: “Ya” Beliau bersabda “Demikian itulah penyembahan mereka”.

sanad hadits ini dha’if, akan tetapi memiliki syahid (bukti penguat) berupa hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir [Jami’uI Bayan, X 114] secara mauquf melalui jalur Habib bin Abi Tsabit, dari Abu Al Bukhturi, dari Hudzaifah. mengenai keshahihannya memang masih diperselisihkan, akan tetapi penafsiran ayat sebagaimana tersebut, cukup terkenal di kalangan ahli tafsir dan tak ada yang menolaknya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah berkata : Orang-orang yang menjadikan orang orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan itu -dengan cara mentaati mereka dalam menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah dan dalam mengharamkan apa yang di halalkan oleh Allah- terklasifikasikan menjadi dua golongan yaitu :

Pertama : Mereka mengetahui bahwa para alim dan rahib-rahib itu mengganti agama Allah, lalu mereka mengikutìnya, sehingga mereka berkeyakinan bahwa penghalalan terhadap apa yang diharamkan oleh Allah serta pengharaman apa yang dihalalkan olehNya itu dalam rangka mengikuti pemimpin-pemimpin mereka, dengan menyadari dan mengetahui bahwa mereka itu telah menyelisishi agama para rasul. ini merupakan KEKUFURAN. Bahkan Allah dan RasulNya menyatakannya sebagai bentuk syirik, mereka itu tidak melakukan shalat dan sujud kepada para alim dan rahib-rahib itu. Dengan demikian, siapa saja yang mengikuti orang lain dalam menyelisihi agama -padahal ia tahu bahwa hal itu bertentangan dengan agama, serta meyakini bahwa apa yang dikatakan oleh orang lain itu bukan perkataan Allah dan RasulNya, maka ia menjadi seorang musyrik seperti mereka (yang dikisahkan oleh Allah dalam ayat di atas).

Kedua : Jika keyakinan dan kepercayaan mereka terhadap pengharaman yang haram dan penghalalan yang halal itu tidak berubah, akan tetapi mereka mentaatì para alim dan rahib-rahib mereka dalam mendurhakai Allah, sebagaimana seorang muslim yang melakukan suatu kemaksiatan yang tetap ia yakini sebagai suatu kemaksiatan, maka mereka itu dihukumi sebagai pelaku dosa” [Majmu’aI-Fatawa, VII : 70]

4. Syirkul-Mahabah (Syirik Cinta)

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala : “Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka menecintainya sebagaimana mereka mencintai Allah” (AI-Baqarah :165).

Orang musyrik itu karena kejahilannya mengenai Rabbnya akan anda dapati mencintai ilah-ilah yang berupa berhala dan selainnya sebagaimana ia mencintai Allah, dan bahkan lebih dari itu. Jika ilah-ilah itu disakiti, maka ia akan marah demi  ilah-ilah itu dengan kemarahan yang lebìh besar daripada kemarahannya karena Allah.

la pun akan bergembira demi ilah-ilah itu dengan kegembiraan yang tidak sebagaimana kegembiraannya karena Allah. Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila nama Allah saja yang disebut, kesallah hati orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat; dan apabila nama sembahan-sembahan selain Allah yang disebut. tiba-tiba mereka bergirang hati” (Az-Zûmar : 45)

Al-Allamah Ibnul-Qoyyim –Rahimahullah- berkata: “Ada empat macam bentuk mahabbah yang harus dibedakan antara satu sama lain, karena orang yang tidak dapat membedakannya pasti tersesat.

Keempat Macam Mahabbah itu adalah :

Pertama : Mahabatullah (Mencintai Allah)
Mahabbatullah saja tidak mencukupi untuk dapat selamat dari adzab Allah dan beruntung meraih pahalaNya. Sebab, kaum musyrikin, para penyembah salib (kaum Nasrani), kaum Yahudi dan selain merekapun mencintai Allah juga.

Kedua : Mahabbatu ma yuhibbullah (mencintai apa saja yang dicintái oleh Allah)
Mahabbah inilah yang memasukkan seseorang ke dalam Islam serta mengeluarkannya dari kekufuran. Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah orang-orang yang paling hebat dalam ber“mahabbatu ma yuhibbullah”.

Ketiga : AI-Hubb Lillah (cinta demi/untuk Allah) dan AI-Hubb Fillah (cinta karena Allah)
Ini merupakan bagian dan konsekuensi-konsekuensi “mahabbatu ma yuhibbullah”. ‘Mahabbatu ma yuhibbullah” itu tidak akan tegak kecuali harus dengan al-hubb Fillah dan al-hubb Lillah ini.

Keempat : Al-Mahabbah Ma’allah (Mencintai sesuatu dan mensejajarkannya dengan kecintaannya kepada Allah)
Ini merupakan “al-mahabbahas-syirkiyah” (kecintaan bercabang, kecintaan partnerisme atau kecintaan yang bersifat syirik. Barangsiapa yang ber-“mahabbah maa’allah” terhadap sesuatu (bukannya “lillah” dan “fillah”)  maka ia berarti telah menjadikan sesuatu yang ia cintai selain Allah itu sebagai “tandingan” (nidd) terhadap Allah. ini adalah mahabbahnya kaum musyrikin.

Keempat macam syirik akbar diatas dapat menyebabkan keluarnya seseorang dari Islam. Sebab, kesemuanya itu merupakan bentuk ibadah, sedangkan memalingkan ibadah kepada selain Allah itu adalah syirik. Allah Ta’ala berfirman: “Dan barangsiapa menyembah ilah yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka sesungguhnya perhitungannya dì sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung” (Al-Mukminun: 117).

Allah menamakan mereka sebagai orang-orang kafir karena mereka berdoa kepada ilah lain disamping berdoa kepada Allah Ta’ala.

Diantara bentuk syirik akbar lainnya adalah penyembelihan (kurban) untuk selain Allah. Sebab, penyembelihan untuk Allah merupakan salah satu bentuk qurban (pendekatan diri), kepada Allah, bahkan termasuk bentuk qurban yang paling tinggi.

Allah Ta’ala berfirman:

فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ
Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu; dan berkorbanlah” (Al-Kautsar : 2).

Juga firmanNya :

قُلْ إِنَّ صَلَاتِى وَنُسُكِى وَمَحْيَاىَ وَمَمَاتِى لِلَّهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ

Katakanlah sesungguhnya shalatku, sembelihanku (kurban), hidupku dan matiku hanya untuk Allah, Rabb semesta alam”. (A1-An’am : 162).

Siapa saja yang menyembelih untuk para wali, atau untuk berhala, atau untuk jin -seperti yang dilakukan oleb kebanyakan orang jahil yang tinggal di   negeri-negeri Selatan dan di sebagian dari pìnggiran kota Mekah ketika menempati rumah, maka berarti telah keluar dari Islam dan beralih memasuki wilayah kekufuran dan kesesatan disebabkan karena ia telah memalingkan ibadah -yang termasuk ibadah yang paling agung- kepada selain Allah.

Contoh syirik akbar lainnya adalah bernadzar untuk selain Allah. Ini merupakan syirik akbar, karena nadzar itu adalah ibadah, sebagaimana dikatakan oleh Allah: “Mereka menunaikan nadzar ...”(Al-Insan : 7), dan juga firmanNya: “Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nadzarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya (Al-Baqarah : 270)

Maka, barangsiapa yang bernadzar untuk seorang wali dengan menyalakan lilin atau mempersembahkan sembelihan dan barang apapun, maka ia berarti telah menanggalkan ikatan Islam dari lehernya, karena nadzar itu hanya dibolehkan untuk Allah. Memalingkan nadzar untuk selain Allah berarti menjadi pembatal ke-Islaman yang diwahyukan oleh Allah subhanahu wa ta’ala  kepada Muhammad  Nadzar yang dilakukan oleh para penyembah kubur untuk seseorang yang mereka yakini dapat menimpakan madharat dan dapat pula memberikan manfaat (keuntungan), maka itu merupakan syirik akbar yang dapat menyebabkan pelakunya keluar dari Islam. Orang yang menyatakan bahwa hal itu hanyalah syirik ashghar, maka jelas keliru, dan menyatakan sesuatu yang tidak ada dasarnya yang benar. Allah-lah tempat memohon pertolongan, dan padaNya tempat bersandar. Tiada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.

Contoh lainnya adalah ber-isti’anah dan “istighotsah” kepada selain Allah. ini adalah syirik.


 ((  Kedua : Syirik Ashghar

Pelakunya jika kelak menghadap Allah dengan membawa syirik ashghar itu, maka –berdasarkan pendapat yang benar- tergantung pada kehendak Allah, jika Allah menghendaki, maka Dia dapat mengampuninya dan memasukkannya ke dalam jannah, dan bisa jadi pula jika Dia berkehendak dapat mengadzabnya. Akan tetapi kembalinya tetap akan ke jannah. Sebab, syirik ashghar itu tidak menjadikan pelakunya kekal di dalam neraka. Akan tetapi ia menyeret kepada ancaman Allah (nar) sehingga wajib diwaspadai.

Di antara jenis syirik ashghar adalah bersumpah dengan selain Allah jika tidak bermaksud mengagungkan sesuatu selain Allah itu. Namun jika ia bertujuan mengagungkannya, maka hal itu berubah menjadi syirik akbar.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  telah bersabda :

مَنْ حَلَفَ بِغَيْرِ اللهِ فَقَدْ كَفَرَ أَوْ أَشْرَكَ

Barangsiapa bersumpah dengan selain Allah, maka ia telah kafir atau telah syirik
(HR. Ahmad).

Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Al-Hakim yang sekaligus menshahihkannya dan mengatakan: “Berdasarkan syarat As-Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim).”, sementara Adz-Dzahabi mendiamkannya. Hadits ini berasal dari Ibnu Umar.

Contoh lainnya adalah mempermudah riya’ dan pura-pura melakukan sesuatu agar diperhatikan orang lain.

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: “Sesuatu yang paling sangat  aku takutkan menimpa kalian adalah syirik ashghar” Beliau ditanya mengenai syirik ashghar itu, lalu beliau menjawab: “la adalah riya” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya dengan hasan yang berasal dari hadits Mahmud bin Labid.

Jika syirik ashghar itu dikhawatirkan oleh beliau kalau-kalau menimpa para sahabat yang hidup bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan mendapati  turunnya wahyu, maka tentunya terhadap selain mereka pun lebih dikhawatirkan oleh beliau, yaitu terhadap orang yang sedikit ilmunya dan lemah imannya.

Ketika Al-Allamah Ibnul-Qoyyim -Rahimahullah- mengutarakan tentang syiriknya para penyembah matahari dan bulan, para penýembah api dan lain-lainnya, beliau menyatakan syirik dalam hal ibadah, maka ia lebih mudah (gampang terjadi) dan lebih ringan dibanding dengan syirik diatas. Syirik ini datang dari orang yang meyakini bahwa tiada ilah selain Allah, dan meyakini pula bahwa tidak ada yang dapat menimpakan madharat, dan tidak ada yang memberi manfaat, tidak ada yang dapat memberi serta tidak ada yang dapat menghalangi kecuali hanya Allah. la juga meyakini bahwa tiada ilah dan tiada rabb  selainNya. Akan tetapi dalam melakukan muamalah maupun ubudiyahnya, ia tidak mengkususkannya hanya untuk Allah, tetapi terkadang ia berbuat ditujukan untuk kepentingan dirinya, terkadang untuk menuntut dunia; terkadang untuk meraih ketinggian, kedudukan dan kehormatan di mata manusia lain; sehingga sebagian dari amal maupun usahanya itu ada yang di tujukan untuk Allah, ada yang ditujukan buat diri dan hawa nafsunya, ada yang ditujukan untuk setan dan ada pula yang diperuntukkan buat manusia lainnýa. Ini merupakan keadaan kebanyakan manusia.

Kesyirikan semacam inilah yang pernah disinyalir oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya:

الشِّرْكُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ أَخْفَى مِنْ دَيْبِ النَّمْلَةِ, قَالُوا: كَيْفَ نَنْجُ مِنْهُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: قُلْ أَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُبِكَ أَنْ أُشْرِكَ وَ أَنَا أَعْلَمُ, وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا أَعْلَمُ

“Syirik yang terjadi pada ummat ini lebih tersembunyi dari pada seekor semut yang merayap. Para sahabat bertanya: “Bagaimana kami dapat selamat darinya, ya Rasulullah?” Beliau menjawab: “Katakanlah: Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari perbuatan mensekutukanMu, yang aku tidak tahu; dan aku mohon ampun kepadamu mengenai apa yang aku tidak tahu!”(HR. Ibnu Hibban).

Jadi, segala jenis riya’ itu termasuk perbuatan syirik.

Allah Ta’ala berfirman :

قُلۡ إِنَّمَآ أَنَا۠ بَشَرٞ مِّثۡلُكُمۡ يُوحَىٰٓ إِلَيَّ أَنَّمَآ إِلَٰهُكُمۡ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۖ فَمَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ رَبِّهِۦ فَلۡيَعۡمَلۡ عَمَلٗا صَٰلِحٗا وَلَا يُشۡرِكۡ بِعِبَادَةِ رَبِّهِۦٓ أَحَدَۢا

Katakanlah: “Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: “Bahwa sesungguhnya Ilah kamu itu adalah Ilah Yang Esa”. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Rabbnya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Rabb-nya”. (Al-Kahfi : 110)

Maksudnya sebagaimana Ia adalah Ilah yang Esa, tiada ilah lain selainNya, maka demikian pulalah seharusnya peribadahan itu hanya untukNya saja. Sebagaimana ia sendiri saja yang berhak menyandang hak ilahiyah, maka wajib pulalah hak ubudiyah hanya diperuntukkan bagiNya  saja. Yang namanya amal saleh itu adalah amalan yang “kosong” (terbebas) dari riya’ dan terikat dengan sunnah.

Di antara doa yang pernah dipanjatkan oleh Umar bin Al-Khatthab radhiallahu ‘anhu adalah: “Ya Allah, jadikanlah amalku seluruhnya saleh, dan jadikanlah ia ikhlash (murni) untukMu, dan jangan Engkau jadikan amalanku itu untuk seseorang, sedikitpun!” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Az-Zuhd, dari riwayat Al Hasan dari Umar, sementara ia tidak mendengar langsung dari Umar.]

Syirik dalam ibadah ini dapat membatalkan (menggugurkan) pahala amal, dan bahkan kadang dapat dijatuhi hukuman jika amal itu amal yang wajib. Orang yang melakukan amalan dengan riya’ itu disamakan kedudukannya dengan orang yang belum mengerjakan amalan, sehingga ia dapat dijatuhi hukuman atas tindakan meninggalkan perintah. Sesungguhnya Allah Ta’ala hanya memerintahkan untuk beribadah kepadaNya dengan ibadah yang murni (khalis /ikhlas).

Allah Ta’ala berfirman: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus...”. (Al-Bayyinah : 5).

Barangsiapa yang tidak memurnikan ibadahnya kepada Allah saja, maka ía berarti belum mengerjakan apa yang telah diperintahkan oleh Allah kepadanya. Bahkan yang ia lakukan itu merupakan sesuatu yang tidak diperintahkan kepadanya, sehingga amalan itu jelas tidak sah dan tidak akan diterima.

Allah Ta’ala mengatakan -yang disebutkan dalam hadits qudsi-:

Aku adalah Sekutu Yang Maha Cukup (Kaya), sangat menolak perbuatan syirik. Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan dengan dicampuri tindakan mensekutukan-Ku dengan selainKu, maka amalannya itu buat yang ia persekutukan itu, dan Aku berlepas diri darinya.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah).

Syirik dalam bentuk seperti ini ada yang terampuni dan ada juga yang tidak terampuni. (Sampai di sini penjelasan dan Ibnu-Qoyyim).

Amalan yang dikerjakan demi selain Allah itu terbagi menjadi dua macam:

Pertama : Memang semata-mata (murni) riya’,
sehingga pelakunya itu hanya menginginkan hal duniawi, atau agar dilihat (dinilai) oleh orang lain. Riya’ jenis ini adalah seperti riya’nya kaum munafik yang disinyalir oleh Allah Ta’ala dengan firmanNya:

إِنَّ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ يُخَٰدِعُونَ ٱللَّهَ وَهُوَ خَٰدِعُهُمۡ وَإِذَا قَامُوٓاْ إِلَى ٱلصَّلَوٰةِ قَامُواْ كُسَالَىٰ يُرَآءُونَ ٱلنَّاسَ وَلَا يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ إِلَّا قَلِيلٗا
Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud ríya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut nama Allah kecuali sedikit sekali’ (An-Nisaa’ : 142).

Amalan seperti ini sudah tak diragukan lagí pasti sia-sia, dan pelakunya berhak mendapatkan kemurkaan dan Allah Jalla wa “Ala.

Kedua: Amalan itu dikerjakan untuk Allah, namun dicampuri oleh riya’.
Dan ini terbagi nenjadi dua kategori :

a. Memang dari pangkalnya dicampuri oleh riya’, dan
b. Secara tiba—tiba muncul unsur riya’nya.

Untuk jenis yang pertama (a), maka amalanya jelas sia-sia dan tak akan diterima. 
Dalilnya adalah hadits yang dikeluarkan oleh Muslim dalam kitab “Shahih”nya dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu’anhu: bahwa ia berkata: Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wasallam bersabda: Allah Ta’ala berfirman: “Aku adalah Sekutu Yang Paling (Maha) Cukup, sangat menolak perbuatan syirik (penyekutuan). Barangsiapa mengerjakan suatu amalan dengan dicampuri tindakan mempersekutukanKu dengan selainKu, maka Aku tinggalkan ia dan Aku tinggalkan pula (tidak Aku terima) amalan syiriknya itu.”
 
Adapun jika riya’ itu muncul dengan tiba-tiba (yang sebelumnya tiada niat riya’) dan terurai bersamanya, maka sebagian ulama menyatakan bahwa hal itu dapat menggugurkan amalan itu seluruhnya. Namun Ulama Iainnya menyatakan: Jika amalan itu terurai bersama riya’ itu, maka pelakunya tetap memperoleh pahala atas keikhlasannya dan sekaligus mendapatkan pula tanggungan (dosa) atas riya’nya. Dan jika ia berusaha keras memerangi dan menolaknya, maka ia mendapatkan bagian dan firman Allah Ta’ala: “Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya jannah adalah tempat tinggalnya.“ (An-Naziat: 40-41).

Mengenai seorang yang berjihad fi sabilillah dan ia punya niat untuk mendapatkan ghanimah, maka dalam menilai masalah ini para ulama berbeda pendapat.

Ibnul-Qoyyim -rahimahullah dalam kitab “I’Iamul-Muwaqi’in” (II : 163) mengatakan: “ini adalah seperti seorang yang menunaikan shalat karena upah. Dia, seandainya tidak mengambil upah, iapun tetap shalat, akan tetapi ia menunaikannya untuk Allah dan juga demi upah. Juga seperti orang yang menunaikan haji agar gugur kewajiban haji itu atas dirinya dan agar dikatakan bahwa si Fulan telah haji, atau telah menunaikan zakat dan sebagainya. Yang semacam ini amalnya tidak diterima.”

Sementara itu lbnu Rajjab –Rahimahullah- mengatakan: “Hal itu menyebabkan pahala jihadnya berkurang, dan tidak menyebabkan gugurnya pahala itu seluruhnya.”

Beliau -Rahimahullah- juga mengatakan: “Telah kami sebutkan pada bagian yang lalu beberapa hadits yang menunjukkan bahwa orang yang dalam jihadnya menginginkan nilai-nilai duniawi, maka ia tidak memperoleh pahala, selama ia tidak memiliki tujuan lain dalam jihadnya itu melainkan duniawi.”

Bertolak dari sini, maka di sana terdapat perbedaan antara orang yang berjihad demi gelar dan pahala dengan orang yang berjihad demi ghanimah dan pahala.

Untuk model yang pertama, telab disebutkan dalam hadits Abu Umamah yang diriwayatkan oleh An-Nasa’i  [An-Nasai (VI : 52) melaluì jalur Mu’awiyah bin sallam, dari Ikrimah bin Ammar, dari Saddad Abu Ammar, dari Abu Umamah] dengan sanad hasan; bahwa seorang lelaki datang menghadap Nabi  lalu bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana pendapat engkau mengenai seseorang yang berperang demi mencari pahala dan pujian (manusia)?”, Nabi  menjawab: “la tidak memperoleh apa-apa!” orang itu mengulang pertanyaannya sampai tiga kali, dan Rasulullah pun tetap menjawab: “Tiada pahala apapun untuknya, selanjutnya beliau bersabda:

“SESUNGGUHNYA ALLAH TIDAK AKAN MENERIMA AMALAN
KECUALI JIKA AMALAN ITU IKHLAS
DAN YANG DICARI DENGAN AMALAN ITU
ADALAH “WAJAH” (KERIDHAAN) ALLAH.”

Wallahu ‘a lam.



Source:
Judul Ash   : At-Tibyan, Syarh Nawaqidh Al Islam li Al-Imam Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab -Rahimahullah

Penyusun    : Sulaiman bin Nashir bin Abdullah Al Ulwan

Penerbit    : Darul Muslim, Riyadh

Cetakan     : tahun 1417 H. / 1996 M.

Edisi Indon : Penjelasan Tentang Pembatal Keislanan

Penerjemah : Abu Sayyid Sayyaf


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...