ORANG-ORANG YANG TERLIBAT DALAM JIHAD
ADALAH KAUM YANG BERUNTUNG
Oleh: Syaikh
Abû Mush'ab Al-Zarqawi
Wahai mujahidin…
Demi
Alloh, kalian dalam kondisi yang sangat beruntung sehingga banyak orang yang
patut iri kepada kalian. Bukan seperti dikatakan para mukhodzil dan pelemah
semangat yang hanya melihat pada ukuran materi saja, yang merasa ngeri dengan
berita-berita yang disebar luaskan media-media informasi di seluruh dunia dan
arab, yaitu kemenangan pasukan sekutu dan mundurnya para mujahidin. Sungguh,
perang tidak diukur dengan jumlah dan persenjataan, bukan dengan kemenangan dan
keunggulan. Sebab itu kemungkinan-kemungkinan yang pasti terjadi. Tetapi, di
suatu hari nanti kemenangan dan kekuasaan di muka bumi akan datang jua,
walaupun setelah waktu yang lama.
Ketika
menceritakan kondisi persekutuan pasukan Tartar, orang-orang munafik, dan lain
sebagainya, untuk menyerang kaum muslimin di zamannya, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah Rahimahulloh berkata, ―Fitnah
ini telah memecah manusia kepada tiga kelompok:
1. Thô‟ifah
Manshûroh (kelompok
yang ditolong Alloh);
mereka adalah para
mujahidin yang berjihad melawan bangsa perusak itu.
2. Thô‟ifah
Mukhôlifah (kelompok
yang menyelisihi);
mereka adalah orang-orang
berpikiran kacau yang bergabung dengan pasukan Tartar tapi masih mengaku
muslim.
3. Thô‟ifah
Mukhôdzilah (kelompok
pelemah semangat dan tidak mau membantu mujahidin);
mereka adalah orang-orang
yang duduk dari jihad melawan Tartar, walaupun keislaman mereka benar.
Maka
hendaknya setiap muslim melihat di mana posisi dirinya, apakah termasuk
Thô‟ifah Manshûroh, Thô‟ifah Mukhôdzilah, ataukah Thô‟ifah Mukhôlifah; karena
tidak ada kelompok yang keempat. Dan ketahuilah, dalam jihad ada kebaikan di
dunia dan akhirat. Sedangkan meninggalkannya adalah kerugian dunia akhirat.
Alloh Ta’ala berfirman: “Katakanlah (Hai Muhammad): Kalian tidak menunggu dari
kami selain dua kebaikan,” ) QS. At-Taubah: 52(. dua kebaikan itu adalah kemenangan atau kesyahidan dan
surga.
Maka
siapa saja yang hidup bersama mujahidin, ia adalah orang mulia dan berhak
mendapatkan pahala di dunia serta kebaikan pahala akhirat. Bagi yang meninggal
atau terbunuh, ia akan menuju surga.
Nabi
Shollallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
يُعْطَى
الشَّهِيدُ سِتَّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ بِأَوَّلِ قَطْرَةٍ دَمٍ مِنْ دَمِهِ,
وَيَرَى مَقْعَدَهُ فِيْ الْجَنَّةِ, وَيُكْسَى حَلَّةً مِنَ الْإِيْمَانِ, وَيُزَوِّجُ
بِثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ, وَيُوقَى فِتْنَةَ
الْقَبْرِ, وَيُؤْمَنُ مِنَ الْفَزَعِ الْأَكْبَرِ
“Orang
yang mati syahid diberi enam perkara: Dosanya di ampuni ketika pertama kali
darahnya menetes, diperlihatkan tempatnya di surga, diberi pakaian keimanan,
dinikahkan dengan 72 bidadari bermata jeli (huurun ‘in), dilindungi dari fitnah
kubur, dan diamankan dari kegoncangan hari kebangkitan.”
Rosululloh
Shollallohu Alaihi wa Sallam juga bersabda,
إِنَّ
فِي الْجَنَّةِ لِمِائَةَ دَرَجَةٍ مَا بَيْنَ الدَّرَجَةِ وَالدَّرَجَةِ كَمَا
بَيْنَ السَّمَاءِ وَالْأَرِضِ أَعَدَّهَا اللهُ تَعَالَى لَلْمُجَاهِدِيْنَ فِيْ
سَبِيْلِهِ
"Sesungguhnya di surga
ada 100 derajat, jarak satu derajat dengan derajat lainnya sama dengan jarak
langit dan bumi, yang Alloh Ta’ala sediakan bagi para mujahidin di jalan-Nya.” (
HR. Bukhori)
Inilah
ketinggian derajat di surga sejauh 50.000 tahun perjalanan, bagi orang-orang
yang berjihad…‖
Hingga
Syaikhul Islam mengatakan,
―Para
ulama juga telah sepakat –sejauh yang kuketahui— tidak ada amalan sunnah yang
lebih baik daripada jihad; jihad lebih baik daripada ibadah hajji, puasa, dan
sholat, yang sunnah. Berjaga di perbatasan (ribath) lebih baik daripada tinggal
di Mekkah, Madinah, atau Baitul Maqdis. Sampai-sampai Abu Huroiroh ra
mengatakan: Sungguh berjaga-jaga (ribath) di jalan Alloh satu malam saja lebih
aku sukai daripada aku berada di samping Hajar Aswad ketika Lailatul Qodar.
Dalam
sebuah hadits riwayat Abu Dawud disebutkan bahwa Rosululloh Shollallohu Alaihi
wa Sallam menyatakan, jarak antara satu langit ke langit berikutnya adalah
perjalanan 500 tahun, pent. (Lihat Kitabut Tauhid, Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab, hal. terakhir)
Di
sini, beliau lebih memilih ribath satu malam daripada beribadah di malam terbaik
dan di jengkal tanah terbaik.
Beliau
berkata, ―Ketahuilah, semoga Alloh memperbaiki Anda semua, bahwa kemenangan itu
milik orang-orang beriman, hasil akhir milik orang-orang bertakwa, dan Alloh
bersama orang-orang bertakwa lagi berbuat baik. Musuh itu pada dasarnya
tertundukkan dan tertindas, Alloh Ta’ala adalah Dzat yang meme-nangkan kita
atas mereka, membalaskan dendam kita kepada mereka, dan tidak ada daya dan
kekuatan selain dengan Alloh Yang Mahatinggi lagi Mahaagung. Maka terimalah
kabar gembira berupa pertolongan Alloh Ta’ala dan hasil akhir yang baik, “Dan
janganlah kalian merasa hina dan sedih, padahal kalian adalah lebih tinggi jika
kalian beriman.” (QS. Ali Imron: 139).
Selanjutnya
beliau berkata lagi, ―Ketahuilah –semoga Alloh senantiasa memperbaiki diri
kalian—, nikmat terbesar bagi orang yang Alloh ‘Azza Wa Jallaehendaki kebaikan
pada dirinya adalah ketika Alloh menghidupkannya sekarang ini, di zaman ketika
Alloh tengah memperbaharui agama-Nya, menghidupkan kembali syiar kaum
muslimin, menghidupkan ihwal kaum mukminin dan para mujahidin; sehingga
keadaannya mirip dengan As-Sabiqunal Awwalin dari kalangan Muhajirin dan
Anshor. Maka siapa saja yang melaksanakan semua ini di zaman sekarang, berarti
ia termasuk orang-orang yang mengikuti jejak mereka dalam kebaikan. Maka sudah
selayaknya kaum mukminin bersyukur kepada Alloh atas ujian yang pada hakikatnya
adalah anugerah mulia dari Alloh Ta‗ala ini, seharusnya mereka mensyukuri
terjadinya fitnah yang di dalamnya mengandung nikmat besar ini. Hingga
seandainya para shahabat As-Sabiqûnal Awwalûn dari kalangan Muhajirin dan
Anshor, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, dan yang lainnya, mereka hadir di
tempat ini, tentu amalan paling utama yang mereka lakukan adalah berjihad
melawan orang-orang jahat itu. Dan tidak ada yang ketinggalan dari peperangan
seperti ini selain orang yang merugi perdagangannya, dungu jiwanya, dan
diharamkan untuk mendapatkan bagian besar dari dunia dan akhirat; kecuali orang
yang mendapatkan udzur dari Alloh, seperti orang sakit, fakir, buta, dan lain
sebagainya.‖
Syaikhul Islam juga mengatakan,
Puncak Islam adalah jihad di jalan Alloh, sesungguhnya jihad adalah perkara dicintai Alloh dan
rosul-Nya yang paling tinggi. Dan orang-orang yang mencela jihad ini banyak
jumlahnya. Sebab kebanyakan orang yang di dalam hatinya ada iman sekalipun,
mereka membenci jihad. Kemungkinannya, kalau bukan sebagai mukhodzil yang
melemahkan semangat dan keinginan untuk berjihad, atau menjadi pembuat
kekacauan dan pelemah kekuatan dan kemampuan untuk melaksanakannya. Walaupun,
perbuatan tersebut termasuk kemunafikan.‖
Source:
Judul Asli: Washôya li `l-Mujâhidîn
Oleh: Syaikh Abû Mush‗ab Al-Zarqawi
Edisi Indonesia: Kumpulan Nasehat Untuk Mujahidin
Penerjemah: Ahmad Ilham Al-Kandari
Editor Ulang: AKM PUSTAKA
Publikasi I: AL-QAEDOON GROUP
Publikasi II: AKM PUSTAKA
9 Rabiul Awal 1440 H - 17
November 2018,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar