Pembatal Keislaman Keempat:
Meyakini Ada
Petunjuk yang Lebih
Sempurna daripada Petunjuk Nabi , atau
Sempurna daripada Petunjuk Nabi , atau
Meyakini ada Hukum
yang Lebìh Baik
daripada Hukum
Beliau
Syaikh
-Rahimahullah- mengatakan: “Barang siapa meyakini bahwa selain petunjuk1] (teladan) Nabi itu Iebih sempurna daripada petunjuk beliau,
atau meyakini bahwa hukum manusia lain lebih baik daripada hukum beliau;
seperti orang yang lebih mengutamakan hukum thaghut atas hukum beliau; maka ía
telah kafir”.
Dalam hal ini terdapat
dua masalah:
Masalah
Pertama:
Orang yang meyakini bahwa selain petunjuk nabi itu lebih baik dari pada
petunjuk beliau.
ini merupakan masalah besar dan berbahaya yang dapat menyeret orang yang meyakininya ke neraka jahim. Sebab hal itu bertabrakan dengan manqul (nash) maupun ma’qul (rasio).
Adalah Nabi shallallahu
‘alihi wasallam dalam khutbah Jurn’at mengatakan:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ
الْحَدِثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيَ هَدْيُ مُحَمَّدٍ (رواه مسلم)
“Amma ba’du! Sesungguhnya
Sebaik-Baik Perkataan Adalah Kitabullah, Dan Sebaik-Baik Petunjuk Adalah
Petunjuk Muhammad!”
Riwayat ini dikeluarkan
oleh Muslim dan lainnya melalui jalur Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir
Radhiyallahu‘anhum.
Tidak dapat diragukan
lagi bahwa petunjuk Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam adalah petunjuk yang
paling sempurna, karena petunjuk beliau merupakan wahyu yang diwahyukan kepada
beliau, sebagai mana disebutkan oleh Allah
dalam firmanNya:
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“la tidak lain
adalah wahyu yang benar-benar diwahyukan!” (An-Najm : 4).
Oleh karena itu, para
ulama’ yang diakui keijmakan mereka telah mengambil kata sepakat (ber-ijmak)
bahwa sunnah merupakan dasar kedua dari dasar-dasar perundang-undangan Islam,
dan bahwa sunnah itu dapat berdiri sendiri dalam mensyari’atkan berbagai hukum;
seperti Al-Qur’an dalam soal menghalalkan dan mengharamkan.
Oleh karena itu, Nabi
shallallahu ‘alihi wasallam, pernah berkata kepada Umar tatkala melihatnya
sedang membawa sebuah kitab yang didapatkannya dari seorang Ahlul Kitab: “Apakah kamu masih bingung mengenai sunnah, wahai putera
Al-Khattab? Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku telah datang
kepada kalian dengan membawa sunnah yang putih nan cemerlang".
Hadits ini diriwayatkan
oleb Ahmad dan lainnya. Di dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama
Mujalid bin Sa’id yang dikomentari oleh Mimad sebagai tidak ada apa-apanya” dan
didhaifkan oleh Yahya Ibnu Sa’i.d, Ibnu Mahdi dan lainnya.
Syari’at Muhammad shallallahu
‘alihi wasallam menjadi “Penghapus” (nasikh) bagi seluruh syari’at yang
ada. Syari’at beliau merupakan syariat yang paling mudah dan paling ringan.
Beliau sendiri bersabda: “Agama yang
paling disukai oleh Allah adalah agama yang lurus dan toleran (Islam).”
Hadits ini dikeluarkan
oleh Al-Bukhari dalam “Al-Adab Al-Mufrad” dan di-ta’liq olehnya dalam shahihnya
dengan shiqhat jazam Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “Fathul Bari” (I : 94)
menghasankannya, hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Kalau demikiam, bagaimana
mungkin bahwa selain petunjuk beliau itu ada petunjuk lain yang Iebih sempurna
daripada petunjuk beliau. Dalam hadits diriwayatkan bahwa beliau shallallahu
‘alihi wasallam telah bersabda:
وَالَّذِي نَفِسِي بِيَدِهِ لَوْكَانَ
مُوسَى بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ ثُمَّ اتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُونِي لَظَلَلْتُمْ
ضَلَالًا بَعِيدًا
“DEMI ALLAH YANG
JIWAKU ADA DI TANGANNYA, SEANDAINYA MUSA BERADA DI TENGAH-TENGAH KALIAN,
KEMUDIAN KALIAN MENGIKUTINYA DAN MENINGGALKANKU, MAKA PASTILAH KALIAN TELAH
TERSESAT DENGAN KESESATAN YANG JAUH!”
(HR. Ahmad)
Allah Jalla wa ‘Ala telah
memberikan anugerah kepada Ummat ini dengan menyempurnakan agama Islam untuk
ummat ini serta telah pula mencukupkan nikmat untuknya. Itu semua dengan
perantaraan Muhammad ..
Allah Ta’ala berfirman :
“PADA HARI INI TELAH
KUSEMPURNAKAN UNTUK KAMU AGAMA-MU DAN TELAH KU-CUKUPKAN KEPADAMU NIKMAT-KU, DAN
TELAH KU-RIDHAI ISLAM ITU JADI AGAMAMU”
(Al-Maidah : 3)
Apa saja yang diridhai
oleh Allah untuk kita, maka kita meridhainya. Sebab hal itu merupakan agama
yang dicintai dan diridhaìNya, serta dengan agama itu diutuslah seorang Rasul
yang paling utama,.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الْإِسْلَامُ
“SESUNGGUHNYA AGAMA
DISISI ALLAH ADALAH ISLAM.”
(Ali Imran : 19)
Allah Ta’ala juga
berfirman:
وَمِنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامَ
دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى الْأَخِرَةِ مِنَ الْخَسِرِينَ
“Barangsiapa
mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidalah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang RUGI
(Ali Imron : 85)
Setiap orang yang mencari
agama lain selain agama Islam ini, maka ia termasuk orang-orang kafir.
Masalah
kedua : Orang yang meyakini bahwa hukum buatan manusia lebih baik dari pada
hukum beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti orang yang lebih
mengutamakan hukum thaghut atas hukum beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.
Orang seperti ini adalah
kafir berdasarkan kesepakatan (ijmak) ulama. Di antara orang-orang kafir itu
adalah orang-orang yang lebih mengutamakan hukum-hukum positif buatan thaghut
di atas hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Mereka itu kafir disebabkan
karena mereka Iebih mengutamakan hukum-hukum buatan manusia seperti mereka
-bahkan boleh jadi lebih rendah dari mereka- diatas hukum Rasul Rabbul ‘Alamin
yang telah diutus oleh Allah untuk memberi hidayah kepada alam semesta dan agar
mengeluarkan manusia dari kegelapan (kekafiran) menuju cahaya (iman).
Allah Ta’ala berfirman:
الٓرۚ كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ
إِلَيۡكَ لِتُخۡرِجَ ٱلنَّاسَ مِنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذۡنِ
رَبِّهِمۡ إِلَىٰ صِرَٰطِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَمِيدِ
“Alif, laam raa.
(ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia
dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka,
(yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa Lagi Maha Terpuji”. (Ibrahim :
1)
Harusnya setiap muslim
dan muslimah mengetahui bahwa hukum Allah dan RasulNya itu wajib didahulukan
atas hukum lainnya. Tiada satu persoalan pun yang terjadi di antara sesama
manusia, melainkan harus dikembalikan kepada hukum Allah dan RasulNya.
Barangsiapa yang berhukum kepada selain hukum Allah dan Rasul-Nya, maka ia
kafir. Hal ini seperti yang disebutkan oleh Allah dalam surat An-Nisa’:
“Apakah kamu tidak
memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang
diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak
berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut
itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang
sejauh-jauhnya.” dan seterusnya, hingga firmanNya: “Maka demi Rabbmu, mereka
(pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam
perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam
hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (An-Nisa, 60-65).
Allah
Jalla wa ‘Ala sampai bersumpah dengan diri-Nya bahwa mereka itu Tidak
Beriman sehingga mereka memenuhi Tiga Perkara dengan sempurna:
1 .
Mereka harus menjadikan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Hakim
dalam segala urusan,
2.
Mereka tìdak merasa keberatan dalam hati mereka atas apa yang diputuskan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan:
3 .
Mereka harus pasrah menerima secara penuh terhadap hukum Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam.
Bagaimana seorang mukmin
yang berakal dapat menerima dan rela jika yang diberlakukan atas dirìnya adalah
hukum-hukum buatan manusia yang merupakan hasil rekayasa pemikiran dan “sampah”
dan akal pikiran, sebagai ganti dari hukum Allah yang telah Dia turunkan kepada
RasuNya agar Rasul Rasul itu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya
terang?”.
Perhatikanlah akibat yang
telah menimpa sekian banyak negara tatkala bangsanya keluar dari hukum Allah
dan RasulNya serta rela dengan hukum-hukum buatan manusia. Kezhaliman adalah
pratek yang sudah biasa mereka lakukan, sementara kebatilan maupun kecurangan
telah menjadi budaya diantara mereka. Semuanya dilakùkan secara bebas baik oleh
kalangan muda ataupun tua sehingga fithrah mereka telah berubah sedemikian
rupa.
Mereka menjalani hidup seperti kehidupan binatang. Dan, demikianlah kehidupan setiap orang yang keluar dari hukum Allah dan hukum Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.
Allah
Ta’ala berfirman:
وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ
أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ
“BARANG
SIAPA YANG TIDAK MEMUTUSKAN MENURUT APA YANG DITURUNKAN ALLAH, MAKA MEREKA ITU
ADALAH ORANG-ORANG YANG KAFIR”
(Al-Maìdah
: 44)1)
Berhukum dengan hukum
yang diturunkan oleh Allah serta meyakini bahwa hukum Rasul itu lebih baik dari
pada hukum selainnya merupakan bagian dan tuntutan-tuntutan syahadat La illaha
Illallah. Barangsiapa beranggapan bahwa selain hukum Rasul itu lebih baik
daripada hukum Rasul, maka orang inì berarti tidak mengerti makna La illaha
Illallah, bahkan melakukan sesuatu yang menggugurkannya. Sebab, tunduk kepada
Allah dan hukumnya merupakan salah satu syarat dari sekian syarat kalimat yang
agung ini. Dengan kalimat ini tegaklah langit dan bumi, dalam rangka kalimat
ini diutuslah para rasul dan
diturunkanlah kitab-kitab suci, demi kalimat ini diyari’atkan jihad, dan
karena kalimat ini pula manusia terbagi menjadi manusia celaka dan manusia
bahagia. Barang siapa yang mengetahui (memahami) kalimat ini, lalu
mengamalkannya dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya, maka ìa
berarti telah bersih dari selain hukum Allah dan RasulNya.
Keadaan telah berubah,
lebih-lebih pada zaman ini yang kondisinya telah serupa dengan kondisi zaman
fatrah (zaman kekosongan Rasul) dimana ummat manusia telah meninggalkan
firman-firman Allah dan sabda-sabda RasulNya, begitu juga hukum Allah dan
RasulNya dan menggantikannya dengan pemikiran-pemikiran kaum Yahudi dan Nasrani
-yang watak dasar mereka itu tidak mau memelihara hubungan kekerabatan terhadap
orang-orang mukmin dan tidak pula mengindahkan perjanjian.
Alangkah bagusnya
Al-Allamah Ibnul-Qoyyim ketika mengatakan dalam sya’irnya:
Demi
Allah, kekhawatiranku bukan terhadap dosa—dosa
Karena
ada jalan maaf dan ampunan dan Yang Maha Kuasa
Namun
yang aku takutkan adalah lepasnya hati dari berhukum kepada wahyu Al-Qur’an
ini.
rela
dengan pikiran dan kedustaan ummat insani
yang
tidak bersumber kepada Kalam Ilahi
Kepada
Allah-lah tempat mengadu
dan
hanya kepadaNya kita bertawakkal, kepadaNya kita berlindung.
Termasuk dalam kategori
kekufuran dan kedzaliman di atas adalah orang yang mengatakan: “Sesungguhnya
memberlakukan hukum Allah dalam masalah zina muhshan dan memotong tangan
pencuri tidak lagi sesuai dengan zaman sekarang ini, karena zaman kita ini
telah mengalami perubahan dibanding dengan zaman Rasul, sementara negara-negara
Barat mencela (mengejek) kami dalam masalah ini!” Orang yang sesat ini telah
menganggap bahwa hukum orang zaman sekarang
ini lebih baik dari pada hukum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan lebih
terarah (lurus) jalannya.
ini lebih baik dari pada hukum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan lebih
terarah (lurus) jalannya.
Demikian
juga termasuk dalam kategori ini adalah orang yang mengatakan:
“Sesungguhnya
untuk zaman sekarang ini di bolehkan untuk berhukum kepada selain hukum yang
telah diturunkan oleh Allah”.
Kalau
ini yang diucapkan berarti la telah menghalalkan sesuatu yang diharamkan, dan
telah disepakati keharamannya.
Note:
1.]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al-lqtidha’ mengatakan :
“Nabi membedakan maksud antara al-kufr yang berbentuk isim ma’rifah
dengan tambahan al (alif dan lam), seperti dalam sabda beliau shallallahu
‘alaihi wasallam :
لَيْسَ بَيْنَ
الْعَبْدِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ وَالشِّرْكِ إِلَّا تَرْكُ الصَّلَاةَ
“Tiada batas antara
seorang hamba dengan al-kufr (kekufuran) atau kesyirikan kecuali meninggalkan
shalat”, dengan kufr yang berbentuk isim nakirah, dalam
menetapkan tentang kekufuran itu.”
Pada galibnya, kata kufur
yang berbentuk ma’rifah dengan tambahan alif dan lam hanya mengandung arti
kufur akbar, seperti dalam firman Allah
:
فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَفِرُونَ
“(maka mereka itu
adalah orang-orang yang kafir)” tentang orang-orang yang berhukum kepada
selain hukum yang telah diturunkan oleh Allah. Sementara itu riwayat yang
dituturkan dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengenai perkataannya “kufr duna
kufr” (kekufuran yang bukan kekufuran, kufur di bawah kufur) adalah tidak
dapat dipastikan kebenarannya dari Ibnu Abbas. Al-Hakim yang meriwayatkannya
dalam kitab “Mustadrak”—nya (Il : 313) melalui jalur Hisyam bin Hujair, dari
Thawus, dari Ibnu Abbas, sedang rawi yang bernama Hisyam ini didhaifkan oleh
Yahya dan Ahmad. Bahkan terdapat riwayat lain yang menyelisihinya yang
diriwayatkan oleh Abdur-Razzaq dari Ma’mar, dari Thawus, dari ayahnya yang
berkata: Ibnu Abbas pernah di tanya mengenai firman Allah Ta’ala :
وَمَن
لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak
berhukum dengan hukum yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir. “,
dan ia menjawab: “Maksudnya
adalah kufur!”. lnilah riwayat yang terjamin kebenarannya dari lbnu Abbas,
yaitu mendudukkan ayat tersebut sebagaimana kemutlakannya. Kemutlakan ayat itu
menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan kufur di situ adalah kufur akbar.
Sebab, bagaimana dapat dikatakan Islam, orang yang membabat syari’at dan
menggantinya dengan pendapat-pendapat kaum Yahudi dan Nasrani serta orang-orang
yang semisal dengan mereka. ini, disamping keberadaannya mengganti agama yang
diturunkan oleh Allah, juga berarti berpaling dan syari’at yang suci yang juga
merupakan bentuk kekufuran tersendiri.
Tentang riwayat yang
dibawakan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsirnya dari Ibnu Abbas bahwa ia (Ibnu Abbas)
mengatakan : “Bukan seperti orang yang kufur kepada Allah , dan hari akhir ...
dst”, maka bukan berarti bahwa berhukum kepada hukum selain yang telah
diturunkan oleh Allah itu kufr duna kufr. Barangsiapa yang memahami seperti
ini, maka ia harus mengemukakan dalil dan alasan yang jelas mengenai
anggapannya itu. Yang jelas dan perkataan lbnu Abbas itu adalah bahwa beliau
mengartikan, kufur akbar itu memiliki sekian banyak tingkatan yang sebagiannya
lebih parah dari yang lainnya. Kekufuran orang yang kufur kepada Allah, para
malaikatNya dan hari akhìr itu jelas lebih parah dari kekufuran orang yang
berhukum dengan selain hukum yañg diturunkan oleh Allah. Kami perlu katakan
lagi bahwa meskipun kekufuran orang yang berhukum dengan selain hukum yang
telah diturunkan oieh Allah itu lebih ringan daripada kekufuran orang yang
kufur kepada Allah dan malaikat—Nya, namun bukan berarti bahwa yang berhukum
dengan hukum selain yang diturunkan oleh Allah itu seorang muslim dan
kekufurannya adalah kufur ashghar. Tidak! Bahkan ja tetap keluar dari agama
disebabkan karena ia telah menyingkirkan syari’at. Ibnu Katsir telah mengutip
adanya ijmak ulama mengenai persoalan ini. Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, XIII
: 119.
Wallahu a‘lam
Source:
Judul Ash : At-Tibyan, Syarh Nawaqidh Al Islam li Al-Imam
Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab -Rahimahullah
Penyusun : Sulaiman bin Nashir bin Abdullah Al Ulwan
Penerbit : Darul Muslim, Riyadh
Cetakan : tahun 1417 H. / 1996 M.
Edisi Indon : Penjelasan Tentang Pembatal Keislanan
Penerjemah : Abu Sayyid Sayyaf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar