7/21/2019

MEYAKINI ADA PETUNJUK YANG LEBIH SEMPURNA DARIPADA PETUNJUK NABI


Pembatal Keislaman Keempat:
Meyakini Ada Petunjuk yang Lebih
Sempurna daripada Petunjuk Nabi , atau
Meyakini ada Hukum yang Lebìh Baik
daripada Hukum Beliau


Syaikh -Rahimahullah- mengatakan: “Barang siapa meyakini bahwa selain petunjuk1] (teladan) Nabi  itu Iebih sempurna daripada petunjuk beliau, atau meyakini bahwa hukum manusia lain lebih baik daripada hukum beliau; seperti orang yang lebih mengutamakan hukum thaghut atas hukum beliau; maka ía telah kafir”.

Dalam hal ini terdapat dua masalah:
Masalah Pertama: Orang yang meyakini bahwa selain petunjuk nabi itu lebih baik dari pada petunjuk beliau.

ini merupakan masalah besar dan berbahaya yang dapat menyeret orang yang meyakininya ke neraka jahim. Sebab hal itu bertabrakan dengan manqul (nash) maupun ma’qul (rasio).

Adalah Nabi shallallahu ‘alihi wasallam dalam khutbah Jurn’at mengatakan:

أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهَدْيَ هَدْيُ مُحَمَّدٍ (رواه مسلم)

“Amma ba’du! Sesungguhnya Sebaik-Baik Perkataan Adalah Kitabullah, Dan Sebaik-Baik Petunjuk Adalah Petunjuk Muhammad!”

Riwayat ini dikeluarkan oleh Muslim dan lainnya melalui jalur Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya, dari Jabir Radhiyallahu‘anhum.

Tidak dapat diragukan lagi bahwa petunjuk Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam adalah petunjuk yang paling sempurna, karena petunjuk beliau merupakan wahyu yang diwahyukan kepada beliau, sebagai mana disebutkan oleh Allah  dalam firmanNya:

إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

la tidak lain adalah wahyu yang benar-benar diwahyukan!” (An-Najm : 4).

Oleh karena itu, para ulama’ yang diakui keijmakan mereka telah mengambil kata sepakat (ber-ijmak) bahwa sunnah merupakan dasar kedua dari dasar-dasar perundang-undangan Islam, dan bahwa sunnah itu dapat berdiri sendiri dalam mensyari’atkan berbagai hukum; seperti Al-Qur’an dalam soal menghalalkan dan mengharamkan.

Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alihi wasallam, pernah berkata kepada Umar tatkala melihatnya sedang membawa sebuah kitab yang didapatkannya dari seorang Ahlul Kitab: Apakah kamu masih bingung mengenai sunnah, wahai putera Al-Khattab? Demi Allah yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa sunnah yang putih nan cemerlang".

Hadits ini diriwayatkan oleb Ahmad dan lainnya. Di dalam sanad hadits ini terdapat rawi yang bernama Mujalid bin Sa’id yang dikomentari oleh Mimad sebagai tidak ada apa-apanya” dan didhaifkan oleh Yahya Ibnu Sa’i.d, Ibnu Mahdi dan lainnya.

Syari’at Muhammad shallallahu ‘alihi wasallam menjadi “Penghapus” (nasikh) bagi seluruh syari’at yang ada. Syari’at beliau merupakan syariat yang paling mudah dan paling ringan. Beliau  sendiri bersabda: “Agama yang paling disukai oleh Allah adalah agama yang lurus dan toleran (Islam).”

Hadits ini dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam “Al-Adab Al-Mufrad” dan di-ta’liq olehnya dalam shahihnya dengan shiqhat jazam Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “Fathul Bari” (I : 94) menghasankannya, hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas.

Kalau demikiam, bagaimana mungkin bahwa selain petunjuk beliau itu ada petunjuk lain yang Iebih sempurna daripada petunjuk beliau. Dalam hadits diriwayatkan bahwa beliau shallallahu ‘alihi wasallam telah bersabda:

وَالَّذِي نَفِسِي بِيَدِهِ لَوْكَانَ مُوسَى بَيْنَ أَظْهُرِكُمْ ثُمَّ اتَّبَعْتُمُوهُ وَتَرَكْتُمُونِي لَظَلَلْتُمْ ضَلَالًا بَعِيدًا

DEMI ALLAH YANG JIWAKU ADA DI TANGANNYA, SEANDAINYA MUSA BERADA DI TENGAH-TENGAH KALIAN, KEMUDIAN KALIAN MENGIKUTINYA DAN MENINGGALKANKU, MAKA PASTILAH KALIAN TELAH TERSESAT DENGAN KESESATAN YANG JAUH!”
(HR. Ahmad)

Allah Jalla wa ‘Ala telah memberikan anugerah kepada Ummat ini dengan menyempurnakan agama Islam untuk ummat ini serta telah pula mencukupkan nikmat untuknya. Itu semua dengan perantaraan Muhammad ..


Allah Ta’ala berfirman :
PADA HARI INI TELAH KUSEMPURNAKAN UNTUK KAMU AGAMA-MU DAN TELAH KU-CUKUPKAN KEPADAMU NIKMAT-KU, DAN TELAH KU-RIDHAI ISLAM ITU JADI AGAMAMU
(Al-Maidah : 3)

Apa saja yang diridhai oleh Allah untuk kita, maka kita meridhainya. Sebab hal itu merupakan agama yang dicintai dan diridhaìNya, serta dengan agama itu diutuslah seorang Rasul yang paling utama,.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الْإِسْلَامُ
SESUNGGUHNYA AGAMA DISISI ALLAH ADALAH ISLAM.”
(Ali Imran : 19)

Allah Ta’ala juga berfirman:

وَمِنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامَ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِى الْأَخِرَةِ مِنَ الْخَسِرِينَ

Barangsiapa mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidalah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang RUGI
(Ali Imron : 85)

Setiap orang yang mencari agama lain selain agama Islam ini, maka ia termasuk orang-orang kafir.

Masalah kedua : Orang yang meyakini bahwa hukum buatan manusia lebih baik dari pada hukum beliau shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti orang yang lebih mengutamakan hukum thaghut atas hukum beliau shallallahu ‘alaihi wasallam.

Orang seperti ini adalah kafir berdasarkan kesepakatan (ijmak) ulama. Di antara orang-orang kafir itu adalah orang-orang yang lebih mengutamakan hukum-hukum positif buatan thaghut di atas hukum Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Mereka itu kafir disebabkan karena mereka Iebih mengutamakan hukum-hukum buatan manusia seperti mereka -bahkan boleh jadi lebih rendah dari mereka- diatas hukum Rasul Rabbul ‘Alamin yang telah diutus oleh Allah untuk memberi hidayah kepada alam semesta dan agar mengeluarkan manusia dari kegelapan (kekafiran) menuju cahaya (iman).

Allah Ta’ala berfirman:

الٓرۚ كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ لِتُخۡرِجَ ٱلنَّاسَ مِنَ ٱلظُّلُمَٰتِ إِلَى ٱلنُّورِ بِإِذۡنِ رَبِّهِمۡ إِلَىٰ صِرَٰطِ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡحَمِيدِ

Alif, laam raa. (ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Perkasa Lagi Maha Terpuji”. (Ibrahim : 1)

Harusnya setiap muslim dan muslimah mengetahui bahwa hukum Allah dan RasulNya itu wajib didahulukan atas hukum lainnya. Tiada satu persoalan pun yang terjadi di antara sesama manusia, melainkan harus dikembalikan kepada hukum Allah dan RasulNya. Barangsiapa yang berhukum kepada selain hukum Allah dan Rasul-Nya, maka ia kafir. Hal ini seperti yang disebutkan oleh Allah dalam surat An-Nisa’:

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu. Dan syaitan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) penyesatan yang sejauh-jauhnya.” dan seterusnya, hingga firmanNya: “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa, 60-65).

Allah Jalla wa ‘Ala sampai bersumpah dengan diri-Nya bahwa mereka itu Tidak Beriman sehingga mereka memenuhi Tiga Perkara dengan sempurna:

1 . Mereka harus menjadikan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Hakim dalam segala urusan,

2. Mereka tìdak merasa keberatan dalam hati mereka atas apa yang diputuskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, dan:

3 . Mereka harus pasrah menerima secara penuh terhadap hukum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Bagaimana seorang mukmin yang berakal dapat menerima dan rela jika yang diberlakukan atas dirìnya adalah hukum-hukum buatan manusia yang merupakan hasil rekayasa pemikiran dan “sampah” dan akal pikiran, sebagai ganti dari hukum Allah yang telah Dia turunkan kepada RasuNya agar Rasul Rasul itu mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya terang?”.

Perhatikanlah akibat yang telah menimpa sekian banyak negara tatkala bangsanya keluar dari hukum Allah dan RasulNya serta rela dengan hukum-hukum buatan manusia. Kezhaliman adalah pratek yang sudah biasa mereka lakukan, sementara kebatilan maupun kecurangan telah menjadi budaya diantara mereka. Semuanya dilakùkan secara bebas baik oleh kalangan muda ataupun tua sehingga fithrah mereka telah berubah sedemikian rupa.

Mereka menjalani hidup seperti kehidupan binatang. Dan, demikianlah kehidupan setiap orang yang keluar dari hukum Allah dan hukum Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ
“BARANG SIAPA YANG TIDAK MEMUTUSKAN MENURUT APA YANG DITURUNKAN ALLAH, MAKA MEREKA ITU ADALAH ORANG-ORANG YANG KAFIR”
(Al-Maìdah : 44)1)

Berhukum dengan hukum yang diturunkan oleh Allah serta meyakini bahwa hukum Rasul itu lebih baik dari pada hukum selainnya merupakan bagian dan tuntutan-tuntutan syahadat La illaha Illallah. Barangsiapa beranggapan bahwa selain hukum Rasul itu lebih baik daripada hukum Rasul, maka orang inì berarti tidak mengerti makna La illaha Illallah, bahkan melakukan sesuatu yang menggugurkannya. Sebab, tunduk kepada Allah dan hukumnya merupakan salah satu syarat dari sekian syarat kalimat yang agung ini. Dengan kalimat ini tegaklah langit dan bumi, dalam rangka kalimat ini diutuslah para rasul dan  diturunkanlah kitab-kitab suci, demi kalimat ini diyari’atkan jihad, dan karena kalimat ini pula manusia terbagi menjadi manusia celaka dan manusia bahagia. Barang siapa yang mengetahui (memahami) kalimat ini, lalu mengamalkannya dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukunnya, maka ìa berarti telah bersih dari selain hukum Allah dan RasulNya.

Keadaan telah berubah, lebih-lebih pada zaman ini yang kondisinya telah serupa dengan kondisi zaman fatrah (zaman kekosongan Rasul) dimana ummat manusia telah meninggalkan firman-firman Allah dan sabda-sabda RasulNya, begitu juga hukum Allah dan RasulNya dan menggantikannya dengan pemikiran-pemikiran kaum Yahudi dan Nasrani -yang watak dasar mereka itu tidak mau memelihara hubungan kekerabatan terhadap orang-orang mukmin dan tidak pula mengindahkan perjanjian.

Alangkah bagusnya Al-Allamah Ibnul-Qoyyim ketika mengatakan dalam sya’irnya:

Demi Allah, kekhawatiranku bukan terhadap dosa—dosa

Karena ada jalan maaf dan ampunan dan Yang Maha Kuasa

Namun yang aku takutkan adalah lepasnya hati dari berhukum kepada wahyu Al-Qur’an ini.

rela dengan pikiran dan kedustaan ummat insani

yang tidak bersumber kepada Kalam Ilahi

Kepada Allah-lah tempat mengadu

dan hanya kepadaNya kita bertawakkal, kepadaNya kita berlindung.

Termasuk dalam kategori kekufuran dan kedzaliman di atas adalah orang yang mengatakan: “Sesungguhnya memberlakukan hukum Allah dalam masalah zina muhshan dan memotong tangan pencuri tidak lagi sesuai dengan zaman sekarang ini, karena zaman kita ini telah mengalami perubahan dibanding dengan zaman Rasul, sementara negara-negara Barat mencela (mengejek) kami dalam masalah ini!” Orang yang sesat ini telah menganggap bahwa hukum orang zaman sekarang
ini lebih baik dari pada hukum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam  dan lebih
terarah (lurus) jalannya.

Demikian juga termasuk dalam kategori ini adalah orang yang mengatakan:
Sesungguhnya untuk zaman sekarang ini di bolehkan untuk berhukum kepada selain hukum yang telah diturunkan oleh Allah”.
Kalau ini yang diucapkan berarti la telah menghalalkan sesuatu yang diharamkan, dan telah disepakati keharamannya.

Note:
1.] Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al-lqtidha’ mengatakan : “Nabi membedakan maksud antara al-kufr yang berbentuk isim ma’rifah dengan tambahan al (alif dan lam), seperti dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam :

لَيْسَ بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ الْكُفْرِ وَالشِّرْكِ إِلَّا تَرْكُ الصَّلَاةَ

“Tiada batas antara seorang hamba dengan al-kufr (kekufuran) atau kesyirikan kecuali meninggalkan shalat”, dengan kufr yang berbentuk isim nakirah, dalam menetapkan tentang kekufuran itu.”

Pada galibnya, kata kufur yang berbentuk ma’rifah dengan tambahan alif dan lam hanya mengandung arti kufur akbar, seperti dalam firman Allah  :

فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَفِرُونَ

“(maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir)” tentang orang-orang yang berhukum kepada selain hukum yang telah diturunkan oleh Allah. Sementara itu riwayat yang dituturkan dari Ibnu Abbas radhiallahu’anhu mengenai perkataannya “kufr duna kufr” (kekufuran yang bukan kekufuran, kufur di bawah kufur) adalah tidak dapat dipastikan kebenarannya dari Ibnu Abbas. Al-Hakim yang meriwayatkannya dalam kitab “Mustadrak”—nya (Il : 313) melalui jalur Hisyam bin Hujair, dari Thawus, dari Ibnu Abbas, sedang rawi yang bernama Hisyam ini didhaifkan oleh Yahya dan Ahmad. Bahkan terdapat riwayat lain yang menyelisihinya yang diriwayatkan oleh Abdur-Razzaq dari Ma’mar, dari Thawus, dari ayahnya yang berkata: Ibnu Abbas pernah di tanya mengenai firman Allah Ta’ala :

وَمَن لَّمۡ يَحۡكُم بِمَآ أَنزَلَ ٱللَّهُ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡكَٰفِرُونَ

“Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. “,
dan ia menjawab: “Maksudnya adalah kufur!”. lnilah riwayat yang terjamin kebenarannya dari lbnu Abbas, yaitu mendudukkan ayat tersebut sebagaimana kemutlakannya. Kemutlakan ayat itu menunjukkan bahwa yang dimaksudkan dengan kufur di situ adalah kufur akbar. Sebab, bagaimana dapat dikatakan Islam, orang yang membabat syari’at dan menggantinya dengan pendapat-pendapat kaum Yahudi dan Nasrani serta orang-orang yang semisal dengan mereka. ini, disamping keberadaannya mengganti agama yang diturunkan oleh Allah, juga berarti berpaling dan syari’at yang suci yang juga merupakan bentuk kekufuran tersendiri.

Tentang riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Jarir dalam Tafsirnya dari Ibnu Abbas bahwa ia (Ibnu Abbas) mengatakan : “Bukan seperti orang yang kufur kepada Allah , dan hari akhir ... dst”, maka bukan berarti bahwa berhukum kepada hukum selain yang telah diturunkan oleh Allah itu kufr duna kufr. Barangsiapa yang memahami seperti ini, maka ia harus mengemukakan dalil dan alasan yang jelas mengenai anggapannya itu. Yang jelas dan perkataan lbnu Abbas itu adalah bahwa beliau mengartikan, kufur akbar itu memiliki sekian banyak tingkatan yang sebagiannya lebih parah dari yang lainnya. Kekufuran orang yang kufur kepada Allah, para malaikatNya dan hari akhìr itu jelas lebih parah dari kekufuran orang yang berhukum dengan selain hukum yañg diturunkan oleh Allah. Kami perlu katakan lagi bahwa meskipun kekufuran orang yang berhukum dengan selain hukum yang telah diturunkan oieh Allah itu lebih ringan daripada kekufuran orang yang kufur kepada Allah dan malaikat—Nya, namun bukan berarti bahwa yang berhukum dengan hukum selain yang diturunkan oleh Allah itu seorang muslim dan kekufurannya adalah kufur ashghar. Tidak! Bahkan ja tetap keluar dari agama disebabkan karena ia telah menyingkirkan syari’at. Ibnu Katsir telah mengutip adanya ijmak ulama mengenai persoalan ini. Lihat Al-Bidayah wa An-Nihayah, XIII : 119.


Wallahu a‘lam






Source:
Judul Ash   : At-Tibyan, Syarh Nawaqidh Al Islam li Al-Imam Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab -Rahimahullah

Penyusun    : Sulaiman bin Nashir bin Abdullah Al Ulwan

Penerbit    : Darul Muslim, Riyadh

Cetakan     : tahun 1417 H. / 1996 M.

Edisi Indon : Penjelasan Tentang Pembatal Keislanan

Penerjemah : Abu Sayyid Sayyaf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...