Syirik di Dalam Rububiyyah
( A L H U K M U )
Oleh: Abu Sulaiman Aman Abdurrahman
Segala puji hanya milik
Allah Tuhan semesta alam, Dia-lah Yang Maha Esa dengan hukum-Nya, dan tidak
seorang pun berhak menentukan hukum selain-Nya, shalawat dan salam semoga tetap
dicurahkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya hingga hari kiamat.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“KEPUTUSAN
INI HANYALAH KEPUNYAAN ALLAH”
(Yusuf:
40)
Dan firman-Nya juga:
أَفَحُكْمُ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ
“APAKAH
HUKUM JAHILIYAH YANG MEREKA KEHENDAKI”
(Al
Maidah: 50)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ اللهَ هُوَ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ الْحُكْمُ
“SESUNGGUHNYA
ALLAH-LAH SANG PEMUTUS ITU, D
AN HANYA
KEPADA-NYALAH HUKUM ITU DIKEMBALIKAN”
(Hadits
Shahih riwayat Abu Dawud dan An Nasai’iy)
Para pembaca sekalian, di
antara masalah yang sangat memerlukan penjelasan para ulama adalah masalah tahkim, dan
memang para ulama kita telah menjelaskan masalah ini secara detail, namun kita
yang kurang perhatian akan tulisan mereka, terkadang sebagian kita hanya cukup
dengan komentar si Fulan dan ta’liq si Alan.
Ini
adalah masalah serius yang perlu kejelasan ungkapan dan lontaran bukan kalimat
yang samar atau justru menyesatkan dan mengkaburkan.
Al-Hukmu (PENENTUAN
HUKUM) adalah termasuk hak khusus Rububiyyah Allah Subhanahu
Wa Ta’ala sebagaimana do’a adalah termasuk hak khusus Uluhiyyah-Nya, maka
barangsiapa merampas hak-hak khusus itu berarti dia telah memposisikan dirinya
sebagai rabb (tuhan) selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
sebagaimana orang yang memalingkan hak khusus Allah Subhanahu
Wa Ta’ala itu kepada selain-Nya berarti dia telah menyekutukan-Nya.
Khawarij adalah
firqah sesat yang menyimpang karena sikap ifrath (ekstrim)nya
sedangkan Murji’ah adalah firqah sesat yang menyimpang karena sikap tafrith-nya, dan
bahkan Murji’ah ini lebih berbahaya dari yang lainnya, Ibrahim
An Nakha’iy rahimahullah berkata: “Sungguh fitnah mereka
–maksudnya Murji’ah– lebih ditakutkan atas umat ini daripada fitnah Azariqah
(khawarij)” [Majmu Al Fatawa 7/394]
Ini tidak mengherankan karena Murji’ah merupakan
pendorong pembabatan syari’at, Az-Zuhriy rahimahullah
berkata: “Di dalam Islam ini tidak pernah
didatangkan bid’ah yang lebih berbahaya atas pemeluknya daripada
Irja’ “ [Majmu Al Fatawa 7/395]
Al
Auzai’ rahimahullah berkata: Yahya Ibnu Abi Katsir dan Qatadah rahimahumallah
pernah berkata: “Tidak ada satupun ahwaa (bid’ah)
yang lebih mereka khawatirkan atas umat ini daripada Irja’”[ Majmu
Al Fatawa 7/395]
Karena sangat besarnya
bahaya mereka sehingga Syuraik Al Qadliy rahimahullah: “Mereka
itu (Murji’ah) adalah kaum yang paling busuk, cukuplah kebusukan Rafidlah
bagimu, namun Murji’ah ini berdusta atas Nama Allah.” [Majmu Al
Fatawa 7/395]
Namun, Allah memberi
petunjuk Ahlus Sunnah kepada jalan yang lurus. Masalah al-hukmu
ini adalah termasuk dalam kancah perang pemikiran dan perkataan antara
kedua kelompok sesat tersebut dengan Ahlus Sunnah. Tentunya mana ada orang yang
mengaku dirinya Khawarij, bisa saja ada orang Khawarij yang mengklaim dirinya
paling sunnah dan mengecam pemikiran Khawarij, dan juga mana ada orang yang
mengaku dirinya dari golongan Murji’ah, bahkan tidak mustahil ada orang
Murji’ah yang mengecam dan menyesatkan pemikiran Murji’ah dan berlepas diri
darinya, padahal dia itu adalah orang Murji’ah, semuanya mengaku paling sunnah
sedangkan selain mereka bukan di atas sunnah.
Bahkan orang Murji’ah
pada masa sekarang mengaku dirinya adalah yang paling sunnah dan orang yang
bertentangan dengan mereka dalam masalah tahkim ini,
mereka vonis sebagai Khawarij padahal orang yang mereka vonis Khawarij itu
adalah Ahlus Sunnah.
Ada masalah-masalah yang
perlu kita ketahui bersama, karena masalah-masalah itu sangat penting sekali,
namun saya hanya menyebutkan sebagian nukilan-nukilan para Ulama Ahlus Sunnah
saja, karena terlalu banyak kalau dimuat seluruhnya, dan para pembaca bisa
merujuk kepada kitab-kitab yang telah saya sebutkan dalam catatan kaki9 tadi.
Oleh Karena
Itu, Mengenai Tahkim Ini Perlu Diketengahkan Karena Sangat Penting, Yakni:
►
Bila suatu negara
menegakan hukum Islam secara keseluruhan tanpa kecuali dan diperintah oleh
orang-orang muslim serta pengaruh di tangan mereka, maka ini adalah negara
Islam meskipun mayoritas penduduknya orang-orang kafir. Dan bila
pemerintahnya itu adalah menegakkan dengan benar tanpa pandang bulu maka
pemerintah itu adalah pemerintah muslim yang adil.
►
Bila syari’at Islam masih
menjadi acuan dan landasan hukum negara secara utuh, namun dia (hakim)
menyimpang dari keketentuan yang berlaku dalam kasus tertentu sedangkan
hukum syari’at masih menjadi landasan dan hukum negeri itu dan dia juga
mengetahui bahwa dirinya menyimpang dan berdosa karena penyimpangan ini serta
dia masih meyakini hukum Islam itu adalah yang paling sempurna maka dia itu
adalah muslim yang dhalim atau muslim yang fasiq atau kufrun
duna kufrin menurut Ahlus Sunnah sedangkan menurut firqah Khawarij yang sesat dia
itu adalah kafir. Namun, apabila dalam kasus di atas
ini si hakim meyakini bahwa hukum itu lebih baik dari hukum Allah atau menganggap
halal berhukum dengannya maka dia itu kafir menurut Ahlus Sunnah dan Murji’ah
sekalipun, apalagi Khawarij.
►
Bila suatu negara
membabat hukum Islam dan menyingkirkannya kemudian mereka menerapkan (qawaniin
wadl’iyyah/undang-undang buatan manusia) baik dari mereka sendiri atau mengambil
dari hukum-hukum lain baik dari Belanda, Amerika, Portugal, Inggris atau yang
lainnya, maka pemerintahan itu adalah pemerintahan kafir dan negaranya adalah
negara kafir meskipun mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin. Shalat, shaum,
zakat, haji dan ibadah dhahir lainnya yang masih dilakukan
oleh para penguasa tersebut ataupun nama Islam yang mereka sandang itu tidak
ada manfaatnya jika mereka tetap bersikukuh di atas prinsip itu, karena mereka
adalah kafir lagi murtad dan negaranya adalah negara kafir.
Syaikh
Abdul Aziz Ibnu Baz –semoga Allah memaafkannya– mengatakan:
“Setiap
negara yang tidak berhukum dengan syari’at Allah dan tidak tunduk kepada hukum
Allah, serta tidak ridla dengannya, maka itu adalah negara Jahiliyah, Kafirah, Dhalimah, Fasiqah dengan
penegasan ayat-ayat muhkamat ini. Wajib atas pemeluk Islam
untuk membenci dan memusuhinya karena Allah dan haram atas mereka mencintainya
dan loyal kepadanya sampai beriman kepada Allah saja dan menjadikan syari’atnya
sebagai rujukan hukum dan ridla dengannya.”
Syaikh
Shalih Al Fauzan berkata:
“Yang dimaksud dengan negeri-negeri Islam
adalah negeri yang dipimpin oleh pemerintahan yang menerapkan syari’at
Islamiyah... bukan negeri yang di dalamnya banyak kaum muslimin dan dipimpin
oleh pemerintahan yang menerapkan bukan syari’at Islamiyah, negeri seperti ini
bukanlah negeri Islam.”
Hal serupa dikatakan oleh
Syaikh Muhammad Rasyid Ridla rahimahullah bahwa
negeri seperti itu bukanlah negeri Islam. [Tafsir Al
Manar 6/416.]
Para ulama yang tergabung
dalam Al Lajnah Ad Daimah ketika ditanya tentang negara yang dihuni
banyak kaum muslimin dan pemeluk agama lain dan tidak berhukum dengan hukum
Islam, mereka mengatakan:
“Bila
pemerintahan itu berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah,
maka
pemerintahan itu bukan Islamiyah”
Bahkan Pemerintahan atau hukum itu adalah Hukum
Thaghut, Syaikh Shalih Al Fauzan berkata:
“Dan apa yang tidak
disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya dalam masalah politik dan hukum di antara
manusia, maka itu adalah hukum thaghut dan hukum jahiliyah “Apakah
hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin,”
Pernyataan ini adalah
perkataan Ahlus Sunnah, di mana mereka memvonis para penguasa yang menerapkan (qawaniin
wadl’iyyah) undang-undang bukan Islam sebagai orang-orang kuffar
murtaddun meskipun mereka itu masih melaksanakan shalat, shaum, haji dan
lain-lain serta masih meyakini bahwa dirinya muslim,
Syaikh
Muhammad Hamid Al Faqiy rahimahullah berkata:
“Siapa yang menjadikan perkataan orang-orang
barat sebagai undang-undang yang dijadikan rujukan hukum dalam masalah darah,
kemaluan, dan harta, dan dia mendahulukannya terhadap apa yang sudah diketahui
dan jelas baginya dari apa yang terdapat dalam Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya
shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dia itu tanpa diragukan
lagi adalah kafir murtad bila terus bersikeras di atasnya dan tidak
kembali berhukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan tidak bermanfaat
baginya nama apapun yang dengannya dia menamai dirinya (klaim muslim) dan
(tidak bermanfaat juga baginya) amalan apa saja dari amalan-amalan dhahir, baik
shalat, shaum, haji, dan yang lainnya.”
Bahkan vonis kafir murtad
berlaku bagi hakim (pemerintah) yang menerapkan mayoritas hukum Islam namun
dalam masalah tertentu (umpamanya dalam masalah zina) dibuat
undang-undangan buatan yang bertentangan dengan Islam, sehingga
setiap yang berzina tidak dikenakan hukum Islam tapi terkena undang-undang itu,
maka sesuai aqidah Ahlus Sunnah si hakim itu adalah kafir murtad juga,22 bahkan
meskipun si hakim (pemerintahan) tersebut mengatakan bahwa Islam yang paling
adil dan kami salah,
Syaikh
Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asy Syaikh berkata:
“Adapun hukum yang dijadikan undang-undang
dengan begitu tertib dan rapi, maka itu adalah kekufuran, meskipun mereka
mengatakan: “Kami mengaku salah dan hukum syari’at itu lebih adil.”
Camkanlah! ini adalah
yang disebut dengan talaazum dhahir dengan bathin menurut Ahlus Sunnah,
berbeda dengan Murji’ah.
Ini disebabkan karena
berhukum dengan undang-undang yang bertentangan dengan Islam merupakan
kekufuran yang mengeluarkan dari Islam dengan sendirinya (al kufru
bi ‘ainihi), bahkan merupakan bentuk (wala) loyal
terbesar kepada orang-orang kafir, sebagaimana yang dikatakan oleh Asy
Syaikh Abdurrahman Nashir Al Barrak hafidhahullah bahwa
berhukum dengan selain hukum Allah merupakan kekufuran dengan sendirinya dan
merupakan di antara bentuk loyal terbesar kepada orang-orang kafir.
Sehingga pernyataan dia
(hakim/ pemerintah): “Kami tahu ini salah, ini sesat sedangkan Islam
yang adil,” tidak ada artinya, layaknya orang yang sujud meminta-minta ke kuburan
sedang dia mengatakan kami tahu ini syirik, namun dia tetap melakukannnya, maka
orang seperti ini adalah kafir,
oleh sebab itu Syaikh
Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asy Syaikh rahimahullah berkata
lagi:
“Seandainya orang yang menjadikan
undang-undang itu sebagai hukum dia berkata: “Saya meyakini
sesungguhnya ini adalah bathil,” maka (perkataan) ini tidak ada
pengaruhnya, bahkan tindakannya itu merupakan pembabatan akan syari’at,
sebagaimana halnya bila seseorang berkata: “Saya menyembah berhala dan saya
meyakini bahwa ini adalah bathil.”
Orang (penguasa) yang
berpaling dari syari’at Allah dan justru dia membuat hukum (undang-undang)
sendiri atau mengambil dari hukum orang-orang kafir, sudah dipastikan dia itu
berkeyakinan bahwa undang-undang buatan itu lebih layak dan lebih bermanfaat
dari hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena orang tidak
mungkin berpaling dari sesuatu kepada yang lain kecuali dia itu berkeyakinan
bahwa itu lebih baik, Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin –semoga
Allah memaafkannya– berkata tentang macam-macam orang yang berhukum
dengan selain hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Siapa orangnya yang tidak berhukum dengan hukum
yang diturunkan Allah karena menyepelekannya, atau menganggapnya hina, atau
karena dia berkeyakinan bahwa hukum yang lain lebih maslahat darinya dan lebih
manfaat bagi makhluk, maka orang itu adalah kafir dengan kekafiran yang
mengeluarkan dari agama ini, dan di antara mereka itu adalah orang-orang yang
meletakan bagi manusia hukum-hukum (tasyri’at) yang bertentangan dengan Tasyri’at
Islamiyah agar menjadi aturan yang di mana manusia berjalan di atasnya, maka
sesungguhnya mereka itu tidaklah meletakan tasyri’at yang
bertentangan dengan Syari’at Islamiyah kecuali karena mereka itu
meyakini bahwa tasyri’at buatan tersebut lebih maslahat dan lebih manfaat bagi
makhluk, sebab sudah termasuk sesuatu yang diketahui secara spontan oleh akal
pikiran dan tabi’at fithrah bahwa manusia itu tidak
berpaling dari satu jalan hidup (minhaaj) kepada
minhaaj yang bertentangan dengannya kecuali dia itu
meyakini keutamaan minhaaj yang dia tuju dan (meyakini)
kekurangan minhaaj yang dia berpaling darinya.”
Beliau menjelaskan bahwa
seseorang yang berpaling dari hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan
malah membuat hukum (undang-undang) sendiri atau mengambil hukum dari rujukan
yang lain, ini sudah dengan sepontan orang itu berkeyakinan bahwa undang-
undang buatan itu lebih baik, meskipun dia mengingkari dengan lisannya, namun lisanul
haal mengatakan sebaliknya, inilah yang dinamakan dalam manhaj Ahlus Sunnah
dengan isthilah At Talaazum Bainadh Dhahir Wal Bathin, berbeda
dengan Murji’ah.
Beliau juga mengatakan
ketika menjelaskan bahwa ada perbedaan antara qadliyyah mu’ayyanah (kasus
tertentu) yang harus dilihat keyakinan hati (sehingga ada kafir mukhrij
minal millah dan kafir kufrun duna kufrin) dengan tasyri’
‘aam (yang sifatnya undang-undang) yang tidak dilihat keyakinan hatinya,
namun itu adalah (kafir muthlaq), ini juga adalah talaazum, beliau
berkata:
“Ya, di sana ada perbedaan, karena sesungguhnya
masalah-masalah yang sifatnya berupa tasyri’ ‘aam (undang-undang)
tidak berlaku di dalamnya rincian tadi, namun itu termasuk dalam bagian pertama
saja, karena si pembuat syari’at (hukum) yang bertentangan dengan Islam ini
dia membuat hukum ini karena berdasarkan keyakinan bahwa itu lebih baik
daripada Islam dan lebih manfaat bagi hamba-hamba Allah, sebagaimana yang telah
diisyaratkan terhadapnya”
KALAU
SUDAH BERUPA UNDANG-UNDANG MASALAHNYA SANGAT JELAS SEJELAS MATAHARI DI SIANG
BOLONG
SEMUA
ORANG BISA MELIHATNYA KECUALI ORANG BUTA.
Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah
berkata:
“Sesungguhnya vonis bagi undang-undang buatan
manusia (qawaaniin wadl’iyyah) ini adalah sangat jelas seterangnya
matahari, yaitu kufrun bawwah (kekafiran yang membuat
pelakunya murtad dengan jelas), tidak ada kesamaran, tidak perlu debat, dan
tidak ada (udzur) alasan bagi orang yang menisbatkan dirinya ke dalam Islam ini, siapa
saja orangnya, dalam mengamalkannya, tunduk kepadanya, atau mengakuinya.
Hendaklah setiap orang hati-hati akan dirinya, karena setiap orang bertanggung
jawab atas dirinya.”
Perkataan yang sangat
jelas yang bersumber dari ulama Ahlus Sunnah, setiap orang memahaminya,
hendaklah orang yang men-ta’liq perkataan beliau ini khawatir
akan dirinya dan para pengikutnya.
Syaikh
Abdul Aziz Ibnu Baz –semoga Allah memaafkannya– berkata:
“Tidak Ada Iman Bagi
Orang Yang:
§ Meyakini bahwa hukum-hukum manusia dan pendapat-pendapatnya lebih baik
daripada hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.
§ Atau (meyakini) bahwa hukum-hukum (manusia dan pendapatnya) itu menyamainya
(hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya) dan sejajar dengannya.
§ Atau meninggalkan (hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya) dan justru
dia menempatkan hukum-hukum buatan dan peraturan-peraturan manusia di tempatnya
(yang semestinya hukum-hukum Allah dan
Rasul-Nya berada), meskipun dia meyakini bahwa hukum-hukum Allah lebih baik,
lebih sempurna dan lebih adil.”
Ini semua adalah ijma’ para
ulama, dan siapa yang tidak seperti itu, maka dia itu bukan Ahlus Sunnah
meskipun mereka paling mengklaim akan nama ini dan hendaklah mereka bertaubat, Ibnu
Katsir rahimahullah berkata:
“Siapa
orangnya meninggalkan syari’at yang muhkam yang
diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah khatamul Anbiyaa dan
justru dia berhukum (merujuk) kepada selainnya berupa syari’at-syari’at yang
sudah di-nasakh (dihapus), maka dia itu kafir. Maka apa gerangan
dengan orang yang bertahakum kepada Ilyaasaa dan mendahulukannya
atas (syari’at Rasulullah).
Siapa
yang melakukan hal itu maka dia itu KAFIR dengan
ijma kaum muslimin”
Bila orang yang masih
memakai hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang
sudah dihapus saja divonis kafir murtad, apa gerangan dengan yang membuat
sendiri, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
menjelaskan bahwa bila satu kaum, satu kelompok, satu negara
(pemerintahan) yang mengaku muslim orang-orangnya dan mereka itu melaksanakan
sebagian syari’at Islam dan bahkan mengakui seluruh syari’at Islam, namun
mereka menolak melaksanakan salah satu kewajiban yang jelas atau menolak
meninggalkan salah satu yang diharamkan yang jelas, maka kelompok yang menolak
tersebut wajib diperangi oleh Imam kaum muslimin sampai tunduk kepada aturan
secara keseluruhan, dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat di antara
Ahlus Sunnah, dengan dalil bahwa para shahabat semua ijma’ untuk memerangi kaum
yang menolak membayar zakat, dan para sahabat radliyallahu ‘anhum tidak
pernah bertanya apakah mereka itu mengingkari kewajibannya atau tidak, dan
justru mereka menggolongkan kaum yang menolak membayar zakat itu sebagai kaum murtaddun, ini
dikarenakan mereka (yaitu orang-orang yang menolak membayar zakat) tidak
melakukan hal itu kecuali setelah ada kesepakatan sebelumnya, sehingga para
ulama muhaqqiqin menyatakan bahwa mereka bukan orang-orang Islam,
berbeda bila sifatnya individu, maka ini tidak dianggap murtad selama dia
meyakini wajibnya zakat.34 Maka apa gerangan dengan
pemerintahan yang menolak banyak syari’at Islam, seperti negeri-negeri yang
banyak dihuni mayoritas kaum muslimin???
Al Imam
Ishaq Ibnu Rahwiyah rahimahullah:
”Kaum muslimin telah berijma’
bahwa siapa orangnya yang mencaci Allah atau Rasul-Nya, atau menolak sesuatu
yang telah diturunkan Allah, maka sesungguhnya dia itu adalah kafir dengan
hal itu meskipun dia itu mengakui semua yang telah diturunkan
Allah.”
Ini adalah keyakinan Ahlus Sunnah akan masalah
ini yang sangat jelas, sejelas matahari di siang bolong, dan biar lebih jelas
lagi perhatikanlah perkataan Al Imam Muhammad Al Amin Asy
Syinqithiy rahimahullah:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti qawaaniin
wadl’iyyah (undang-undang buatan) yang disyari’atkan oleh Syetan lewat lisan-lisan
wali-walinya yang bertentangan dengan apa yang telah disyari’atkan Allah Subhanahu
Wa Ta’ala lewat lisan-lisan para Rasul-Nya –semoga shalawat dan salam tercurah
kepada mereka–, sesungguhnya tidak ada yang meragukan akan kekafiran dan
kemusyrikan mereka kecuali orang yang bashirah-nya
telah dihapus oleh Allah dan dia itu dibutakan dari cahaya wahyu-Nya seperti
mereka.”
Kita
berlindung dari dibutakan oleh-Nya dari cahaya wahyu,
karena
banyak orang yang telah dibutakan pada masa sekarang ini
karena
hanya taqlid kepada Syaikhnya.
Namun, menurut Murji’ah
atau orang-orang yang terpengaruh olehnya bahwa pemerintah semacam itu adalah
terkena hukum kufrun duna kufrin selama masih meyakini Islam adalah yang
paling benar dan tidak menghalalkan berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu
Wa Ta’ala atau tidak mengingkari hukum-Nya.
Orang-orang Murji’ah
sekarang ini dengan mengklaim dirinya paling sunnah, mereka
mengomentari perkataan para ulama Sunnah yang sudah jelas-jelas menvonis kafir
para penguasa yang membabat syari’at Islam, mereka mengomentarinya,
menta’liqnya, menafsirkannya sesuai hawa nafsunya, kemudian setelah itu
mengatakan dan meneriakan: ”Ini (maksudnya penafsiran mereka
atas perkataan para imam) adalah madzhab salaf,” terus
mereka menghukumi orang yang berseberangan dengannya sebagai orang-orang
Khawarij, pengikut paham inipun semakin merebak dan meluas tanpa mereka sadari.
Hal ini dikarenakan para
pengekor itu telah terkena penyakit orang awam yaitu mengangkat sosok seseorang
sebagai acuan dalam segala hal selain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, mereka menganggap bahwa si Fulan itu mana mungkin sesat...
Dan yang lebih
mengenaskan lagi dan sangat memalukan dan mengerikan, mereka menisbatkan tidak
kafir dan tidak murtadnya para penguasa yang membabat syari’at itu kepada Ibnu
‘Abbas radliyallahu ‘anhuma dan Abu Mijlaz As Saduusiy karena keduanya
mengatakan kufrun duna kufrin, perumpamaan mereka ini tak jauh dengan
tokoh paling terdepan dalam Islam liberal yang pernah mengatakan bahwa orang
Yahudi dan Nashrani yang sekarang juga mungkin masuk surga dengan berdalih
dengan surat Al Baqarah ayat 62, sepintas seolah betul jika tidak dikembalikan
kepada sebab nuzul-nya, padahal ayat ini adalah berkenaan dengan
status orang-orang Yahudi dan Nasrani sebelum datang Islam, jadi perkataan kufrun
duna kufrin kalau tidak dikembalikan kepada sebab wurud-nya
tentu hasilnya seperti itu, padahal perkataan ini diucapkan oleh Ibnu ‘Abbas
dikala datang orang Khawarij yang mengkafirkan penguasa daulah Bani Umayyah,
Ibnu ‘Abbas mengetahui permasalahan dan situasi yang ada pada waktu itu di mana
Bani Umayyah tetap menerapkan syari’at Islam dan mereka tetap berjihad untuk
menegakan kalimat Allah Subhanahu Wa Ta’ala namun
sebagian mereka dhalim/ menyimpang dalam (qadliyyah mu’ayyanah) kasus
tertentu dari hukum semestinya, sedangkan dalam kamus orang Khawarij bahwa
penguasa yang dhalim/ menyimpang adalah kafir makanya Ibnu ‘Abbas mengatakan
pernyataan seperti itu, begitu juga halnya Abu Mijlaz. Jadi masalahnya bukanlah
atsar ini shahih, tapi apakah penempatan pernyataan ini
tepat atau tidak? dan sebenarnya perkataan mereka ini tidak aneh bagi orang
yang mengetahui manhaj mereka, karena dalam kamus mereka tidak ada yang namanya
kekufuran ‘amaliyy, mereka hanya kembali kepada masalah juhuud (pengingkaran)
dan istihlaal (menghalalkan yang haram), dalam kamus mereka
juga tidak ada yang namanya talaazum antara dhahir dengan bathin,
sehingga menurut orang Murji’ah bila
orang meyakini tauhid dengan hatinya dan mengucapkannya dengan lisan meskipun
meninggalkan seluruh syari’at dan melaksanakan seluruh keharaman, maka orang
itu tetap mu’min sempurna imannya menurut Murji’ah dahulu (karena mereka
mengeluarkan amal dari definisi iman) dan mukmin kurang imannya menurut
Murji’ah sekarang (karena mereka memasukan amal dalam definisi iman), namun
dalam realita penjelasan dan penjabarannya mereka mengatakan bahwa amal itu
adalah syarat kesempurnaan iman bukan syarat sah iman, sehingga orang yang
jahil terpedaya dengan definisi itu dan membelanya secara membabi buta, padahal
kalau kenyataannya seperti itu mana ada syarat kesempurnaan dimasukan dalam
definisi !!
Sungguh orang Murji’ah
dahulu lebih pandai dalam definisi dan komitmen dengannya, lain halnya dengan
yang sekarang yang tidak karuan, tapi ini tidak heran, karena kalau menyalahi
Ahlus Sunnah secara frontal dalam definisi tentu terlalu ketahuan dan tidak
bisa mengaku bahwa dirinya pengikut sunnah, makanya mereka lakukan secara talbis.
Janganlah anda terkecoh
dengan luar mereka yang intisab kepada sunnah atau salaf, Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
”Dan banyak dari kalangan mutakhkhirin
tidak (bisa) membedakan antara
perkataan-perkataan salaf dengan perkataan Murji’ah dan Jahmiyah, karena
berbaurnya (perkataan) ini dengan yang itu dalam perkataan banyak mereka, dari
kalangan orang-orang yang di batinnya berpendapat seperti pendapat Jahmiyah dan
Murji’ah dalam masalah iman, sedangkan dia itu mengagungkan salaf dan Ashhabul
Hadits, sehingga dia mengira bahwa dia mampu menggabungkan antara keduanya atau
menggabungkan antara perkataan orang-orang yang seperti dia dengan perkataan
salaf”
Jadi tidak heran kalau
mereka mengatakan bahwa para penguasa yang membabat syari’at Islam dan membuat
undang-undang yang bertentangan dengan Islam itu tidak kafir selama tidak juhuud dan istihlaal.
Padahal orang yang hanya yakin akan tauhid dengan hati dan mengucap
dengan lisan saja tanpa mengamalkan sedikitpun syari’at Islam sedang
dia mungkin untuk melakukannya maka dia itu adalah murtad menurut
ijma’ Ahlus Sunnah wal Jama’ah,
Al Imam Muhammad Ibnu
Idris Asy Syafi’iy rahimahullah berkata:
“Adalah ijma dari para sahabat dan para
tabi’in sesudahnya serta orang-orang yang kami dapatkan, semua mengatakan: Iman
itu adalah ucapan, amal, dan niat, salah satu dari yang tiga itu tidak
mencukupi (sah) kecuali dengan yang lainnya”
Syaikhul Islam rahimahullah
berkata:
“Hanbal berkata: Al Humaidiy telah memberitahu
kami, beliau berkata: Dan saya diberitahu bahwa ada segolongan orang mengatakan: (“Siapa
yang mengakui shalat, zakat, shaum, dan haji, dan dia tidak melakukan
sedikitpun dari amalan-amalan itu hingga mati, dan dia itu shalat dengan
membelakangi kiblat hingga mati, maka dia itu adalah orang mukmin selama dia
tidak mengingkari (itu), bila dia mengetahui bahwa meskipun meninggalkan itu
semua dia tetap memiliki iman apabila dia itu mengakui akan hal-hal yang
difardlukan dan (mengakui keharusan) menghadap kiblat,”) Maka saya berkata: Ini
adalah kekafiran yang sangat jelas dan menyalahi Kitab Allah dan
sunnah Rasul-Nya serta ulama kaum muslimin, Allah Subhanahu
Wa Ta’ala berfirman,”padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya
menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadanya dalam (menjalankan) agama
dengan lurus”. Dan Hanbal berkata: saya mendengar Abu Abdillah Ahmad Ibnu Hanbal
berkata: “Siapa orangnya mengatakan hal ini, maka dia itu telah kafir kepada
Allah dan menolak perintah-Nya dan menolak apa yang dibawa oleh Rasul dari
Allah.”
Hendaklah takut orang
yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan seluruh syari’at Islam itu adalah
tidak kafir bila dia bertauhid yang murni, sebab apa ada tauhid dari orang
semacam itu, lihat hukum dari para ulama atas orang yang berpendapat seperti itu.
Al Imam Muhammad Ubnu Nashr Al Marwaziy rahimahullah
berkata:
“Siapa orang yang pada dhahirnya adalah
(melakukan) amalan-amalan Islam dan (amalan-amalan) itu tidak kembali kepada
keyakinan iman terhadap yang ghaib, maka dia itu adalah munafiq dengan
kemunafikan yang mengeluarkan dari agama ini, dan siapa orang yang tali
keyakinannya itu adalah iman kepada yang ghaib sedang dia itu sama sekali tidak
mengamalkan hukum-hukum keimanan dan syari’at-syari’at Islam, maka dia itu adalah kafir dengan
kekafiran yang tidak ada tauhid bersamanya”
Al Imam Al Aaajuriy rahimahullah
berkata:
“Amal-amal jawaarih (amalan-amalan
dhahir) merupakan tashdiq (pembenaran)
dari keimanan dengan hati dan lisan, siapa orangnya yang tidak membenarkan
keimanan itu dengan amalannya, seperti thaharah, shalat, zakat, shaum, haji,
jihad dan yang lainnya, dan dia justru ridla bagi dirinya dengan hanya ma’rifah
dan ucapan tanpa adanya amalan, maka dia itu tidaklah beriman, dan ma’rifah
berikut ucapannya itu tidak bermanfaat baginya, serta peninggalan (seluruh)
amalannya itu merupakan takdzib (pendustaan) darinya terhadap
imannya itu. Jadi amalan sesuai yang kami jelaskan itu adalah tashdiq (pembenaran)
darinya atas imannya, camkanlah ini. Ini adalah madzhab ulama-ulama kaum
muslimin baik dahulu maupun sekarang, siapa orangnya yang mengatakan selain ini
maka dia itu adalah orang Murji’ah yang busuk,
jagalah agamamu darinya, dan dalil yang menunjukan hal ini adalah firman Allah Subhanahu
Wa Ta’ala: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan
memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan
supaya mereka mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah
agama yang lurus,”
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa orang
yang hanya mencukupkan dengan keyakinan dan mengucapkan dua kalimah syahadat
namun dia meninggalkan seluruh amalan adalah orang kafir, beliau berkata:
“Karena sesungguhnya Allah tatkala mengutus
Muhammad sebagai Rasul kepada makhluk, maka kewajiban atas makhluk adalah
membenarkan apa yang dia beritakan, dan mentaatinya dalam apa yang
diperintahkannya, dan saat itu beliau belum memerintahkan mereka untuk shalat
yang lima waktu, shaum Ramadlan, dan haji ke Baitullah, dan beliau tidak
mengharamkan khamar, riba dan lain sebagainya atas mereka, serta mayoritas Al
Qur’an pun belum turun. Siapa yang membenarkannya saat itu terhadap apa yang
turun dari Al Qur’an serta mengakui apa yang diperintahkan atas mereka berupa
dua kalimah syahadat dan hal-hal yang mengikutinya, maka orang itu adalah orang
mukmin yang sempurna imannya yang wajib atas dia, dan bila
dia itu membawa keimanan semacam itu (maksudnya iman di hati dan pengakuan
dengan lisan) setelah hijrah tentu tidak diterima darinya, dan bila dia hanya
membatasi diri atas (iman semacam) itu maka dia itu adalah kafir”
Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah
berkata:
“Tidak ada perbedaan bahwa tauhid itu harus
dengan hati, lisan, dan amal, bila salah satu dari yang tiga ini tidak ada maka
orang itu bukanlah orang muslim. Dan bila dia mengetahui tauhid namun tidak
mengamalkannya maka dia itu adalah kafir mu’aanid (yang
membangkang) seperti Fira’un, Iblis dan sebangsanya”
Syaikh
Shalih Al Fauzan hafidhahullah berkata:
“Dan adapun bila dia tidak beramal sesuai dengan
tuntutan Laa illaaha Illallah dan justru dia merasa cukup dengan sekedar
mengucapkannya atau melakukan hal yang bertentangan dengannya, maka
sesungguhnya dia itu dihukumi murtad dan diperlakukan layaknya orang-orang
murtad”
Dan masih banyak
pernyataan ulama sunnah yang senada dengan pernyataan-pernyataan itu.
Setelah kita mengetahui
status penguasa yang ada pada umumnya, maka bukan maksudnya kita harus langsung
khuruj terhadap mereka, karena khuruj itu ada
syaratnya yaitu (istitha’ah) kemampuan dan pertimbangan mashlahat, tapi anehnya
adalah orang-orang yang sudah mengetahui bahwa para penguasa/pemerintahan yang
membabat syari’at dan menerapkan quwaniin wadl’iyyah itu
adalah kuffar murtaddun, namun mereka justru ikut andil di dalamnya dan
senang duduk berdampingan dengan mereka dengan dalih ishlah dan
perbaikan, serta merta mereka meneriakan demokrasi, sehingga mereka itu
dikhawatirkan terjatuh menjadi bagian dari thaghut.
Syaikh
Muhammad Abdul Hadiy Al Mishriy berkata:
“Dan thaghut macam ini (syirik tha’at dan ittiba) bisa
berupa penguasa, hakim, dukun atau bisa juga berupa lembaga tasyri’iyyah
(Legislatif), undang-undang, adat kebiasaan, taqaaliid, ‘urf, Majlis
(Dewan) Perwakilan, parlemen, qawaaniin, dasaatiir, hawa
nafsu….”
Apakah mungkin
memperjuangkan Islam dengan atau lewat sistem syirik dan kafir, bukankah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah suri tauladan, beliau
ditawari untuk menjadi raja oleh orang-orang musyrikun dengan syarat ikut
sistem mereka, namun beliau menolaknya, padahal yang namanya raja memiliki wewenang
yang luas, bisa saja beliau memanfaatkan jabatannya untuk menyebarkan Islam,
namun beliau menolak dikarenakan mengetahui bahwa itu bertentangan dengan
tauhid dan itu adalah pertanda ridla akan kekufuran, sedangkan ridla akan
kekufuran adalah kekufuran, hendaklah mereka bertaubat kepada Allah Subhanahu
Wa Ta’ala dengan cara meninggalkannya dan jauh darinya, karena merasa bersalah
dalam perbuatan syirik tidak ada artinya kalau masih melakukannya dan bermukim
di dalam kemusyrikan itu, apa artinya orang yang mengatakan bahwa meminta
kepada orang yang sudah mati itu adalah syirik, namun dia ikut melakukannya,
takutlah akan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentang
orang-orang seperti mereka :
وَقَدۡ
نَزَّلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أَنۡ إِذَا سَمِعۡتُمۡ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ
يُكۡفَرُ بِهَا وَيُسۡتَهۡزَأُ بِهَا فَلَا تَقۡعُدُواْ مَعَهُمۡ حَتَّىٰ
يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيۡرِهِۦٓ إِنَّكُمۡ إِذٗا مِّثۡلُهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ
جَامِعُ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡكَٰفِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
“Dan sungguh Allah
telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar
ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokan (oleh orang-orang kafir), maka
janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang
lain. Karena sesungguhnya kamu (kalau berbuat demikian), tentulah kamu serupa
dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafiq
dan orang-orang kafir di dalam Jahannam”(An Nisaa: 140)
Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata ketika menafsirkan “Karena sesungguhnya kamu (kalau
berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” :
“Sesungguhnya kalian bila melanggar larangan
setelah sampai kepada kalian, dan kalian ridla duduk (misalnya di parlemen)
bersama mereka di tempat yang di mana di dalamnya ayat-ayat Allah
diperolok-olokan dan dilecehkan dan kalian mengakuinya atas hal itu, maka berarti
kalian telah berstatus sama dalam apa yang mereka ada di dalamnya (kekafiran)”.
Terus ketika menafsirkan, “Sesungguhnya
Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafiq dan orang-orang kafir di
dalam Jahannam,” beliau berkata: “Sebagaimana mereka (orang-orang
munafiq) andil bersama mereka (orang-orang kafir) di dalam kekufurannya, maka
begitu juga Allah menyamakan mereka semuanya dalam kekekalan di Jahannam
selama-lamanya”.
Bukankah sistem yang
menyerahkan segala hukum dan keputusan dalam segala hal kepada rakyat adalah
syirik dalam rububiyyah yaitu dalam hukum-Nya, bukankah ikut andil di
dalam kemusyrikan itu adalah syirik juga meskipun hati tidak suka akan hal itu,
bukankah sistem demokrasi sekuler dan yang lainnya itu adalah syirik,
Syaikh
Muhammad Abdul Hadiy Al Mishriy berkata:
“Sesungguhnya
Sekuler ringkasnya adalah: Sistem Thaghut, Jahiliyah, Kafir, bertentangan dan berseberangan
dengan syahadat Laa ilaaha illallaah dari dua
sisi:
1. Pertama: Sisi karena Berhukum Dengan Selain Apa Yang
Telah Diturunkan Allah.
2. Kedua: Sisi karena Syirik Dalam Ibadah Kepada Allah.
Bukankah duduk di sana
merupakan duduk-duduk di majelis di mana Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan
ayat-ayat-Nya diingkari dan diperolok-olokan? Bisakah walaa dan baraa itu akan
diterapkan bila dia masuk kepada sistem syirik? Adakah yang berani dari orang
yang katanya memperjuangkan Islam lewat sistem itu berkata kepada anggota
Majelis di depan sidang “Sesungguhnya sistem ini kafir jahiliyyah, kalian
semua harus bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan cepat tegakkan
syari’at Islam secara menyeluruh!”
Katakan kepada kami:
Bagaimana pendapat anda bila ada penguasa yang berkata kepada anda “Saya
jamin negara ini menerapkan hukum Islam, dan saya konsisten dengan janji saya
ini, namun dengan syarat anda kafir terlebih dahulu!” Bagaimana
sikap anda, seandainya anda orang muslim muwahhid tentu
akan menolak tawaran itu meskipun jaminannya sangat besar, maka apa gerangan
dengan orang yang rela masuk kepada sistem syirik kafir untuk meraih sesuatu
yang tidak mungkin tercapai dan tidak ada jaminan. Bila anda berkilah: “Kalau
kami tidak ikut duduk dengan mereka tentu kursi penuh oleh orang-orang kafir
dan umat Islam tidak dapat kursi!” Sungguh mengherankan kenapa umat
Islam berselera dengan kursi kekufuran, apakah anda yakin ketika anda duduk di
sana, anda masih bisa berstatus sebagai orang Islam? Islam tidak mungkin tegak
dengan jalan kekufuran dan kemusyrikan. Ingatlah perkataan para ulama tadi:
Bahwa nama Islam yang dia sandang, shalat, shaum, haji yang dia lakukan tidak
ada manfaatnya, ini isyarat bahwa kaum murtaddin itu merasa dirinya masih Islam
sehingga dia masih aktif shalat dan amalan yang lainnya, padahal dia itu sudah
bukan Islam lagi, namun dia tidak merasa dirinya sudah murtad, sebab kalau
merasa dirinya sudah murtad dan dia mengetahui bahwa amalannya tidak ada
artinya tentu dia tidak akan shalat lagi,
oleh sebab itu Abul
Wafaa Ibnu ‘Uqail rahimahullah berkata:
“Bila anda ingin mengetahui posisi Islam di
tengah-tengah manusia zaman sekarang ini, janganlah anda melihat pada
berjubelnya mereka di pintu-pintu mesjid dan jangan pula melihat gemuruhnya
mereka dengan ucapan labbaik (ibadah haji), tapi lihatlah
pada kebersamaan (keserasian) mereka dengan musuh-musuh syari’at.”
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata:
“Berintima (bergabung) kepada aliran-aliran Ilhaadiyah
seperti Komunisme, Sekulerisme, Kapitalisme, dan aliran-aliran
kekafiran lainnya adalah kemurtadan dari agama Islam, terus jika ternyata orang
yang berintima kepada aliran-aliran itu mengaku Islam, maka ini adalah bagian
dari kemunafikan akbar.”
Masa sekarang ini
orang-orang lebih mengetahui dan lebih hati-hati akan maksiat daripada
perbuatan syirik, sehingga bila melihat perbuatan maksiat dilakukan langsung ghirah keislamannya
naik, ini baik, tapi kenapa bila mereka melihat perbuatan syirik dilakukan tak
ada rasa ghirah sedikitpun, bahkan banyak sekali orang yang
berteriak-teriak akan penegakan syari’at, namun justru banyak dari mereka itu
bergelimang dalam kemusyrikan, tentunya bila Islam tegak merekalah yang akan
dahulu terkena hukuman,
Syaikh
Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahumullah
berkata:
“Dan di antara yang sudah maklum adalah bahwa
sesungguhnya orang yang berkasih sayang dengan seseorang tentu dia ridla
dengannya, dan bila dia ridla dengannya tentu dia ridla dengan agamanya,
sehingga dia tergolong pemeluk agamanya tanpa dia sadari, karena mayoritas
manusia lebih hati-hati akan maksiat dan segala jalan-jalannya namun tidak hati-hati
akan syirik dan jalan-jalannya”
Biarlah
tempat kekufuran itu dipenuhi orang-orang kafir asli,
agar permusuhan
Islam dan kafir tampak jelas tidak samar,
sehingga
Wala’ dan Bara’ itu bisa
ditegakkan, dan Islam diperhitungkan.
Islam apa yang akan
ditegakan bila para peneriak suara Islam itu justru orang-orang yang suka
meminta kekuburan, percaya kepada azimat, kultus kepada tokoh, nasionalis,
sekuler dan lain sebagainya. Contoh yang jelas adalah pernyataan sebagian orang
yang katanya mengaku dirinya muslim namun mengatakan kepada orang-orang Nasrani
mereka adalah saudara kita atau ucapannya:
“Saudara-saudara kita
dari agama Nasrani,” atau ucapannya, “Supaya pemilu ini
berjalan secara Demokratis,” mungkinkah ucapan itu bersumber dari seorang
yang paham akan makna Laa ilaaha illallaah?
Syaikh
Muhammad Syakir Asy Syarif berkata:
“Dan di antara bentuk syirik modern dalam tha’at (taat)
atau inqiyad (ketundukan) atau tasyri’ (pembuatan
hukum) yang terkadang banyak manusia tidak begitu peduli (tahu) terhadapnya
adalah apa yang dinamakan pada masa sekarang dengan istilah Demokrasi atau sistem
Demokrasi”
Padahal mengetahui dan
benci akan syirik tidaklah berfaidah bila dia bermukim di dalamnya, Syaikh
Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahumullah
berkata: “Seseorang itu tidak berstatus sebagai muwahhid kecuali
dengan menafikan syirik, berlepas (baraa)
darinya, dan meninggalkan orang yang melakukannya.”
Pelajarilah
makna Laa ilaaha illallaah dengan benar, karena itu
adalah inti dakwah para Rasul, penuhilah syarat-syaratnya yang tujuh
itu, karena tanpa memenuhi syarat yang tujuh itu pengucapan laa
ilaaha illallaah itu tidak ada manfaatnya di akhirat. Bila orang
yang telah mengucapkan laa ilaaha illallaah terus
dia melakukan syirik besar, maka tidak keluar dari dua keadaan, yaitu bila dia
tidak mengetahui bahwa yang dilakukannya itu syirik, berarti sebenarnya dia itu
selama ini belum Islam atau dia itu kafir asli, Syaikh
Abdurrahman Ibnu Hasan rahimahullah berkata:
“Dan ketidaktahuan akan syirik (menunjukan) tidak
tercapainya sedikitpun dari apa yang dituntut oleh Laa
ilaaha illallaah. Dan orang yang tidak merealisasikan makna
kalimat ini dan kandungannya, maka sama sekali dia itu bukan bagian dari Islam
ini, karena dia tidak mendatangkan (mengucapkan) kalimat ini dan kandungannya
dari dasar ilmu, keyakinan, kejujuran, keikhlasan, mahabbah, penerimaan dan
ketundukan.”
Al Imam
Ash Shan’aniy rahimahullah berkata tentang orang
yang melakukan syirik karena kejahilan:
“Bila anda berkata: Mereka itu
tidak mengetahui bahwa mereka itu musyrik dengan apa yang mereka lakukan. Maka
saya katakan: Para Fuqaha telah menetapkan dalam kitab-kitab fiqih dalam Bab Riddah
(Murtad) bahwa orang yang mengucapkan kalimat kekufuran maka dia itu kafir meskipun
tidak ada maksud akan maknanya. Dan (yang mereka lakukan) ini menunjukan bahwa
mereka itu tidak mengetahui hakikat Islam dan makna tauhid, sehingga mereka itu
saat itu pula menjadi orang-orang kafir asli”
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata:
“Seandainya dia mengucapkannya (laa
ilaaha illallaah) sedangkan dia tidak mengetahui maknanya, maka
itu tidak bermanfaat baginya karena dia tidak meyakini makna yang dikandungnya”
KEJAHILAN
TIDAK BISA DIJADIKAN UDZUR/ ALASAN DALAM SYIRIK BESAR.
Adapun bila yang
melakukan syirik itu mengetahui bahwa itu syirik tapi dia melakukannya maka dia
itu disebut musyrik kafir murtad.
Ingatlah dakwah itu perlu
ilmu, dan tauhid adalah yang paling utama. Setiap dakwah yang tidak
mengutamakan tauhid adalah dakwah yang palsu meskipun mengaku itu dakwah atau
aktifis dakwah, Syaikh Shalih Al Fauzan berkata:
“Sesungguhnya orang yang tidak mempelajari
hukum-hukum aqidah, tidak memperhatikannya dan tidak mengajak (dakwah)
kepadanya, maka dia itu pada hakikatnya bukanlah termasuk pengikut Rasulullah,
meskipun secara intisab dan klaim dia
tergolong dari pengikutnya”
Orang yang memulai
dakwahnya bukan dari tauhid berarti bukanlah sebagai aktifis dakwah, meskipun
dia merasa paling aktif dalam berdakwah. Orang yang melandaskan persatuan
bukan pada kesatuan di atas tauhid yang benar, maka kesatuannya adalah sekedar
fatamorgana. Tidak ada persatuan (wahdah)
kecuali di atas tauhid yang benar. Ada sebagian yang merekrut massa
sebanyak banyaknya namun tidak di atas tauhid, maka usahanya ini adalah bukan
karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, meskipun dia mengaku karena Allah Subhanahu
Wa Ta’ala, sebab Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak
meridlai hal seperti itu, dan ini pasti ada tujuan lain selain Allah Subhanahu
Wa Ta’ala.
Ada orang berdakwah hanya
berlandaskan pada baiknya muamalah bersama manusia, dia mengira itulah dakwah
yang benar dan paling baik, namun dia melupakan yang paling utama yaitu lurusnya
muamalah dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, atau dengan kata lain
tauhid. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.
Hendaklah masing-masing
takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam
hak-Nya yang mereka lalaikan. Ini adalah nasihat dari seorang muslim, dan
nasihat ini insya Allah Subhanahu Wa Ta’ala bermanfaat
bagi orang-orang yang beriman.
Wallahu a’lam
www.millahibrahim.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar