7/23/2019

SYIRIK DALAM RUBUBIYAH


Syirik di Dalam Rububiyyah
( A L H U K M U )
Oleh: Abu Sulaiman Aman Abdurrahman

Segala puji hanya milik Allah Tuhan semesta alam, Dia-lah Yang Maha Esa dengan hukum-Nya, dan tidak seorang pun berhak menentukan hukum selain-Nya, shalawat dan salam semoga tetap dicurahkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya, dan para pengikutnya hingga hari kiamat.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ

KEPUTUSAN INI HANYALAH KEPUNYAAN ALLAH
(Yusuf: 40)

Dan firman-Nya juga:

أَفَحُكْمُ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ

APAKAH HUKUM JAHILIYAH YANG MEREKA KEHENDAKI
(Al Maidah: 50)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ هُوَ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ الْحُكْمُ

SESUNGGUHNYA ALLAH-LAH SANG PEMUTUS ITU, D
AN HANYA KEPADA-NYALAH HUKUM ITU DIKEMBALIKAN
(Hadits Shahih riwayat Abu Dawud dan An Nasai’iy)

Para pembaca sekalian, di antara masalah yang sangat memerlukan penjelasan para ulama adalah masalah tahkim, dan memang para ulama kita telah menjelaskan masalah ini secara detail, namun kita yang kurang perhatian akan tulisan mereka, terkadang sebagian kita hanya cukup dengan komentar si Fulan dan ta’liq si Alan.
Ini adalah masalah serius yang perlu kejelasan ungkapan dan lontaran bukan kalimat yang samar atau justru menyesatkan dan mengkaburkan.

Al-Hukmu (PENENTUAN HUKUM) adalah termasuk hak khusus Rububiyyah Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagaimana do’a adalah termasuk hak khusus Uluhiyyah-Nya, maka barangsiapa merampas hak-hak khusus itu berarti dia telah memposisikan dirinya sebagai rabb (tuhan) selain Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sebagaimana orang yang memalingkan hak khusus Allah Subhanahu Wa Ta’ala itu kepada selain-Nya berarti dia telah menyekutukan-Nya.

Khawarij adalah firqah sesat yang menyimpang karena sikap ifrath (ekstrim)nya sedangkan Murji’ah adalah firqah sesat yang menyimpang karena sikap tafrith-nya, dan bahkan Murji’ah ini lebih berbahaya dari yang lainnya, Ibrahim An Nakha’iy rahimahullah berkata: “Sungguh fitnah mereka –maksudnya Murji’ah– lebih ditakutkan atas umat ini daripada fitnah Azariqah (khawarij)” [Majmu Al Fatawa 7/394]

Ini tidak mengherankan karena Murji’ah merupakan pendorong pembabatan syari’at, Az-Zuhriy rahimahullah berkata: “Di dalam Islam ini tidak pernah didatangkan bid’ah yang lebih berbahaya atas pemeluknya daripada Irja’ “ [Majmu Al Fatawa 7/395]

Al Auzai’ rahimahullah berkata: Yahya Ibnu Abi Katsir dan Qatadah rahimahumallah pernah berkata: “Tidak ada satupun ahwaa (bid’ah) yang lebih mereka khawatirkan atas umat ini daripada Irja’”[ Majmu Al Fatawa 7/395]

Karena sangat besarnya bahaya mereka sehingga Syuraik Al Qadliy rahimahullah: “Mereka itu (Murji’ah) adalah kaum yang paling busuk, cukuplah kebusukan Rafidlah bagimu, namun Murji’ah ini berdusta atas Nama Allah.” [Majmu Al Fatawa 7/395]

Namun, Allah memberi petunjuk Ahlus Sunnah kepada jalan yang lurus. Masalah al-hukmu ini adalah termasuk dalam kancah perang pemikiran dan perkataan antara kedua kelompok sesat tersebut dengan Ahlus Sunnah. Tentunya mana ada orang yang mengaku dirinya Khawarij, bisa saja ada orang Khawarij yang mengklaim dirinya paling sunnah dan mengecam pemikiran Khawarij, dan juga mana ada orang yang mengaku dirinya dari golongan Murji’ah, bahkan tidak mustahil ada orang Murji’ah yang mengecam dan menyesatkan pemikiran Murji’ah dan berlepas diri darinya, padahal dia itu adalah orang Murji’ah, semuanya mengaku paling sunnah sedangkan selain mereka bukan di atas sunnah.

Bahkan orang Murji’ah pada masa sekarang mengaku dirinya adalah yang paling sunnah dan orang yang bertentangan dengan mereka dalam masalah tahkim ini, mereka vonis sebagai Khawarij padahal orang yang mereka vonis Khawarij itu adalah Ahlus Sunnah.

Ada masalah-masalah yang perlu kita ketahui bersama, karena masalah-masalah itu sangat penting sekali, namun saya hanya menyebutkan sebagian nukilan-nukilan para Ulama Ahlus Sunnah saja, karena terlalu banyak kalau dimuat seluruhnya, dan para pembaca bisa merujuk kepada kitab-kitab yang telah saya sebutkan dalam catatan kaki9 tadi.

Oleh Karena Itu, Mengenai Tahkim Ini Perlu Diketengahkan Karena Sangat Penting, Yakni:

   Bila suatu negara menegakan hukum Islam secara keseluruhan tanpa kecuali dan diperintah oleh orang-orang muslim serta pengaruh di tangan mereka, maka ini adalah negara Islam meskipun mayoritas penduduknya orang-orang kafir. Dan bila pemerintahnya itu adalah menegakkan dengan benar tanpa pandang bulu maka pemerintah itu adalah pemerintah muslim yang adil.

   Bila syari’at Islam masih menjadi acuan dan landasan hukum negara secara utuh, namun dia (hakim) menyimpang dari keketentuan yang berlaku dalam kasus tertentu sedangkan hukum syari’at masih menjadi landasan dan hukum negeri itu dan dia juga mengetahui bahwa dirinya menyimpang dan berdosa karena penyimpangan ini serta dia masih meyakini hukum Islam itu adalah yang paling sempurna maka dia itu adalah muslim yang dhalim atau muslim yang fasiq atau kufrun duna kufrin menurut Ahlus Sunnah sedangkan menurut firqah Khawarij yang sesat dia itu adalah kafir. Namun, apabila dalam kasus di atas ini si hakim meyakini bahwa hukum itu lebih baik dari hukum Allah atau menganggap halal berhukum dengannya maka dia itu kafir menurut Ahlus Sunnah dan Murji’ah sekalipun, apalagi Khawarij.

   Bila suatu negara membabat hukum Islam dan menyingkirkannya kemudian mereka menerapkan (qawaniin wadl’iyyah/undang-undang buatan manusia) baik dari mereka sendiri atau mengambil dari hukum-hukum lain baik dari Belanda, Amerika, Portugal, Inggris atau yang lainnya, maka pemerintahan itu adalah pemerintahan kafir dan negaranya adalah negara kafir meskipun mayoritas penduduknya adalah kaum muslimin. Shalat, shaum, zakat, haji dan ibadah dhahir lainnya yang masih dilakukan oleh para penguasa tersebut ataupun nama Islam yang mereka sandang itu tidak ada manfaatnya jika mereka tetap bersikukuh di atas prinsip itu, karena mereka adalah kafir lagi murtad dan negaranya adalah negara kafir.

Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz semoga Allah memaafkannya– mengatakan:
 “Setiap negara yang tidak berhukum dengan syari’at Allah dan tidak tunduk kepada hukum Allah, serta tidak ridla dengannya, maka itu adalah negara Jahiliyah, Kafirah, Dhalimah, Fasiqah dengan penegasan ayat-ayat muhkamat ini. Wajib atas pemeluk Islam untuk membenci dan memusuhinya karena Allah dan haram atas mereka mencintainya dan loyal kepadanya sampai beriman kepada Allah saja dan menjadikan syari’atnya sebagai rujukan hukum dan ridla dengannya.”

Syaikh Shalih Al Fauzan berkata:
Yang dimaksud dengan negeri-negeri Islam adalah negeri yang dipimpin oleh pemerintahan yang menerapkan syari’at Islamiyah... bukan negeri yang di dalamnya banyak kaum muslimin dan dipimpin oleh pemerintahan yang menerapkan bukan syari’at Islamiyah, negeri seperti ini bukanlah negeri Islam.”

Hal serupa dikatakan oleh Syaikh Muhammad Rasyid Ridla rahimahullah bahwa negeri seperti itu bukanlah negeri Islam. [Tafsir Al Manar 6/416.]

Para ulama yang tergabung dalam Al Lajnah Ad Daimah ketika ditanya tentang negara yang dihuni banyak kaum muslimin dan pemeluk agama lain dan tidak berhukum dengan hukum Islam, mereka mengatakan:
“Bila pemerintahan itu berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah,
maka pemerintahan itu bukan Islamiyah”

Bahkan Pemerintahan atau hukum itu adalah Hukum Thaghut, Syaikh Shalih Al Fauzan berkata:
“Dan apa yang tidak disyari’atkan Allah dan Rasul-Nya dalam masalah politik dan hukum di antara manusia, maka itu adalah hukum thaghut dan hukum jahiliyah “Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin,”

Pernyataan ini adalah perkataan Ahlus Sunnah, di mana mereka memvonis para penguasa yang menerapkan (qawaniin wadl’iyyah) undang-undang bukan Islam sebagai orang-orang kuffar murtaddun meskipun mereka itu masih melaksanakan shalat, shaum, haji dan lain-lain serta masih meyakini bahwa dirinya muslim,

Syaikh Muhammad Hamid Al Faqiy rahimahullah berkata:
Siapa yang menjadikan perkataan orang-orang barat sebagai undang-undang yang dijadikan rujukan hukum dalam masalah darah, kemaluan, dan harta, dan dia mendahulukannya terhadap apa yang sudah diketahui dan jelas baginya dari apa yang terdapat dalam Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka dia itu tanpa diragukan lagi adalah kafir murtad bila terus bersikeras di atasnya dan tidak kembali berhukum dengan apa yang telah diturunkan Allah, dan tidak bermanfaat baginya nama apapun yang dengannya dia menamai dirinya (klaim muslim) dan (tidak bermanfaat juga baginya) amalan apa saja dari amalan-amalan dhahir, baik shalat, shaum, haji, dan yang lainnya.”

Bahkan vonis kafir murtad berlaku bagi hakim (pemerintah) yang menerapkan mayoritas hukum Islam namun dalam masalah tertentu (umpamanya dalam masalah zina) dibuat undang-undangan buatan yang bertentangan dengan Islam, sehingga setiap yang berzina tidak dikenakan hukum Islam tapi terkena undang-undang itu, maka sesuai aqidah Ahlus Sunnah si hakim itu adalah kafir murtad juga,22 bahkan meskipun si hakim (pemerintahan) tersebut mengatakan bahwa Islam yang paling adil dan kami salah,

Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asy Syaikh berkata:
Adapun hukum yang dijadikan undang-undang dengan begitu tertib dan rapi, maka itu adalah kekufuran, meskipun mereka mengatakan: “Kami mengaku salah dan hukum syari’at itu lebih adil.”

Camkanlah! ini adalah yang disebut dengan talaazum dhahir dengan bathin menurut Ahlus Sunnah, berbeda dengan Murji’ah.

Ini disebabkan karena berhukum dengan undang-undang yang bertentangan dengan Islam merupakan kekufuran yang mengeluarkan dari Islam dengan sendirinya (al kufru bi ‘ainihi), bahkan merupakan bentuk (wala) loyal terbesar kepada orang-orang kafir, sebagaimana yang dikatakan oleh Asy Syaikh Abdurrahman Nashir Al Barrak hafidhahullah bahwa berhukum dengan selain hukum Allah merupakan kekufuran dengan sendirinya dan merupakan di antara bentuk loyal terbesar kepada orang-orang kafir.

Sehingga pernyataan dia (hakim/ pemerintah): “Kami tahu ini salah, ini sesat sedangkan Islam yang adil,” tidak ada artinya, layaknya orang yang sujud meminta-minta ke kuburan sedang dia mengatakan kami tahu ini syirik, namun dia tetap melakukannnya, maka orang seperti ini adalah kafir,

oleh sebab itu Syaikh Muhammad Ibnu Ibrahim Al Asy Syaikh rahimahullah berkata lagi:
Seandainya orang yang menjadikan undang-undang itu sebagai hukum dia berkata: “Saya meyakini sesungguhnya ini adalah bathil,” maka (perkataan) ini tidak ada pengaruhnya, bahkan tindakannya itu merupakan pembabatan akan syari’at, sebagaimana halnya bila seseorang berkata: “Saya menyembah berhala dan saya meyakini bahwa ini adalah bathil.”

Orang (penguasa) yang berpaling dari syari’at Allah dan justru dia membuat hukum (undang-undang) sendiri atau mengambil dari hukum orang-orang kafir, sudah dipastikan dia itu berkeyakinan bahwa undang-undang buatan itu lebih layak dan lebih bermanfaat dari hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena orang tidak mungkin berpaling dari sesuatu kepada yang lain kecuali dia itu berkeyakinan bahwa itu lebih baik, Syaikh Muhammad Shalih Al Utsaimin semoga Allah memaafkannya– berkata tentang macam-macam orang yang berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
“Siapa orangnya yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah karena menyepelekannya, atau menganggapnya hina, atau karena dia berkeyakinan bahwa hukum yang lain lebih maslahat darinya dan lebih manfaat bagi makhluk, maka orang itu adalah kafir dengan kekafiran yang mengeluarkan dari agama ini, dan di antara mereka itu adalah orang-orang yang meletakan bagi manusia hukum-hukum (tasyri’at) yang bertentangan dengan Tasyri’at Islamiyah agar menjadi aturan yang di mana manusia berjalan di atasnya, maka sesungguhnya mereka itu tidaklah meletakan tasyri’at yang bertentangan dengan Syari’at Islamiyah kecuali karena mereka itu meyakini bahwa tasyri’at buatan tersebut lebih maslahat dan lebih manfaat bagi makhluk, sebab sudah termasuk sesuatu yang diketahui secara spontan oleh akal pikiran dan tabi’at fithrah bahwa manusia itu tidak berpaling dari satu jalan hidup (minhaaj) kepada minhaaj yang bertentangan dengannya kecuali dia itu meyakini keutamaan minhaaj yang dia tuju dan (meyakini) kekurangan minhaaj yang dia berpaling darinya.”

Beliau menjelaskan bahwa seseorang yang berpaling dari hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan malah membuat hukum (undang-undang) sendiri atau mengambil hukum dari rujukan yang lain, ini sudah dengan sepontan orang itu berkeyakinan bahwa undang- undang buatan itu lebih baik, meskipun dia mengingkari dengan lisannya, namun lisanul haal mengatakan sebaliknya, inilah yang dinamakan dalam manhaj Ahlus Sunnah dengan isthilah At Talaazum Bainadh Dhahir Wal Bathin, berbeda dengan Murji’ah.

Beliau juga mengatakan ketika menjelaskan bahwa ada perbedaan antara qadliyyah mu’ayyanah (kasus tertentu) yang harus dilihat keyakinan hati (sehingga ada kafir mukhrij minal millah dan kafir kufrun duna kufrin) dengan tasyri’ ‘aam (yang sifatnya undang-undang) yang tidak dilihat keyakinan hatinya, namun itu adalah (kafir muthlaq), ini juga adalah talaazum, beliau berkata:
“Ya, di sana ada perbedaan, karena sesungguhnya masalah-masalah yang sifatnya berupa tasyri’ ‘aam (undang-undang) tidak berlaku di dalamnya rincian tadi, namun itu termasuk dalam bagian pertama saja, karena si pembuat syari’at (hukum) yang bertentangan dengan Islam ini dia membuat hukum ini karena berdasarkan keyakinan bahwa itu lebih baik daripada Islam dan lebih manfaat bagi hamba-hamba Allah, sebagaimana yang telah diisyaratkan terhadapnya”

KALAU SUDAH BERUPA UNDANG-UNDANG MASALAHNYA SANGAT JELAS SEJELAS MATAHARI DI SIANG BOLONG
SEMUA ORANG BISA MELIHATNYA KECUALI ORANG BUTA.

Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah berkata:



“Sesungguhnya vonis bagi undang-undang buatan manusia (qawaaniin wadl’iyyah) ini adalah sangat jelas seterangnya matahari, yaitu kufrun bawwah (kekafiran yang membuat pelakunya murtad dengan jelas), tidak ada kesamaran, tidak perlu debat, dan tidak ada (udzur) alasan bagi orang yang menisbatkan dirinya ke dalam Islam ini, siapa saja orangnya, dalam mengamalkannya, tunduk kepadanya, atau mengakuinya. Hendaklah setiap orang hati-hati akan dirinya, karena setiap orang bertanggung jawab atas dirinya.”

Perkataan yang sangat jelas yang bersumber dari ulama Ahlus Sunnah, setiap orang memahaminya, hendaklah orang yang men-ta’liq perkataan beliau ini khawatir akan dirinya dan para pengikutnya.

Syaikh Abdul Aziz Ibnu Baz semoga Allah memaafkannya– berkata:
Tidak Ada Iman Bagi Orang Yang:
§  Meyakini bahwa hukum-hukum manusia dan pendapat-pendapatnya lebih baik daripada hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya.

§  Atau (meyakini) bahwa hukum-hukum (manusia dan pendapatnya) itu menyamainya (hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya) dan sejajar dengannya.

§  Atau meninggalkan (hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya) dan justru dia menempatkan hukum-hukum buatan dan peraturan-peraturan manusia di tempatnya (yang semestinya  hukum-hukum Allah dan Rasul-Nya berada), meskipun dia meyakini bahwa hukum-hukum Allah lebih baik, lebih sempurna dan lebih adil.”

Ini semua adalah ijma’ para ulama, dan siapa yang tidak seperti itu, maka dia itu bukan Ahlus Sunnah meskipun mereka paling mengklaim akan nama ini dan hendaklah mereka bertaubat, Ibnu Katsir rahimahullah berkata:
“Siapa orangnya meninggalkan syari’at yang muhkam yang diturunkan kepada Muhammad Ibnu Abdillah khatamul Anbiyaa dan justru dia berhukum (merujuk) kepada selainnya berupa syari’at-syari’at yang sudah di-nasakh (dihapus), maka dia itu kafir. Maka apa gerangan dengan orang yang bertahakum kepada Ilyaasaa dan mendahulukannya atas (syari’at Rasulullah).
Siapa yang melakukan hal itu maka dia itu KAFIR dengan ijma kaum muslimin

Bila orang yang masih memakai hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang sudah dihapus saja divonis kafir murtad, apa gerangan dengan yang membuat sendiri, bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan bahwa bila satu kaum, satu kelompok, satu negara (pemerintahan) yang mengaku muslim orang-orangnya dan mereka itu melaksanakan sebagian syari’at Islam dan bahkan mengakui seluruh syari’at Islam, namun mereka menolak melaksanakan salah satu kewajiban yang jelas atau menolak meninggalkan salah satu yang diharamkan yang jelas, maka kelompok yang menolak tersebut wajib diperangi oleh Imam kaum muslimin sampai tunduk kepada aturan secara keseluruhan, dalam masalah ini tidak ada perbedaan pendapat di antara Ahlus Sunnah, dengan dalil bahwa para shahabat semua ijma’ untuk memerangi kaum yang menolak membayar zakat, dan para sahabat radliyallahu ‘anhum tidak pernah bertanya apakah mereka itu mengingkari kewajibannya atau tidak, dan justru mereka menggolongkan kaum yang menolak membayar zakat itu sebagai kaum murtaddun, ini dikarenakan mereka (yaitu orang-orang yang menolak membayar zakat) tidak melakukan hal itu kecuali setelah ada kesepakatan sebelumnya, sehingga para ulama muhaqqiqin menyatakan bahwa mereka bukan orang-orang Islam, berbeda bila sifatnya individu, maka ini tidak dianggap murtad selama dia meyakini wajibnya zakat.34 Maka apa gerangan dengan pemerintahan yang menolak banyak syari’at Islam, seperti negeri-negeri yang banyak dihuni mayoritas kaum muslimin???

Al Imam Ishaq Ibnu Rahwiyah rahimahullah:
Kaum muslimin telah berijma’ bahwa siapa orangnya yang mencaci Allah atau Rasul-Nya, atau menolak sesuatu yang telah diturunkan Allah, maka sesungguhnya dia itu adalah kafir dengan hal itu meskipun dia itu mengakui semua yang telah diturunkan Allah.”

Ini adalah keyakinan Ahlus Sunnah akan masalah ini yang sangat jelas, sejelas matahari di siang bolong, dan biar lebih jelas lagi perhatikanlah perkataan Al Imam Muhammad Al Amin Asy Syinqithiy rahimahullah:
“Sesungguhnya orang-orang yang mengikuti qawaaniin wadl’iyyah (undang-undang buatan) yang disyari’atkan oleh Syetan lewat lisan-lisan wali-walinya yang bertentangan dengan apa yang telah disyari’atkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala lewat lisan-lisan para Rasul-Nya –semoga shalawat dan salam tercurah kepada mereka–, sesungguhnya tidak ada yang meragukan akan kekafiran dan kemusyrikan mereka kecuali orang yang bashirah-nya telah dihapus oleh Allah dan dia itu dibutakan dari cahaya wahyu-Nya seperti mereka.”

Kita berlindung dari dibutakan oleh-Nya dari cahaya wahyu,
karena banyak orang yang telah dibutakan pada masa sekarang ini
karena hanya taqlid kepada Syaikhnya.

Namun, menurut Murji’ah atau orang-orang yang terpengaruh olehnya bahwa pemerintah semacam itu adalah terkena hukum kufrun duna kufrin selama masih meyakini Islam adalah yang paling benar dan tidak menghalalkan berhukum dengan selain hukum Allah Subhanahu Wa Ta’ala atau tidak mengingkari hukum-Nya.

Orang-orang Murji’ah sekarang ini dengan mengklaim dirinya paling sunnah, mereka mengomentari perkataan para ulama Sunnah yang sudah jelas-jelas menvonis kafir para penguasa yang membabat syari’at Islam, mereka mengomentarinya, menta’liqnya, menafsirkannya sesuai hawa nafsunya, kemudian setelah itu mengatakan dan meneriakan: ”Ini (maksudnya penafsiran mereka atas perkataan para imam) adalah madzhab salaf,” terus mereka menghukumi orang yang berseberangan dengannya sebagai orang-orang Khawarij, pengikut paham inipun semakin merebak dan meluas tanpa mereka sadari.

Hal ini dikarenakan para pengekor itu telah terkena penyakit orang awam yaitu mengangkat sosok seseorang sebagai acuan dalam segala hal selain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, mereka menganggap bahwa si Fulan itu mana mungkin sesat...

Dan yang lebih mengenaskan lagi dan sangat memalukan dan mengerikan, mereka menisbatkan tidak kafir dan tidak murtadnya para penguasa yang membabat syari’at itu kepada Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhuma dan Abu Mijlaz As Saduusiy karena keduanya mengatakan kufrun duna kufrin, perumpamaan mereka ini tak jauh dengan tokoh paling terdepan dalam Islam liberal yang pernah mengatakan bahwa orang Yahudi dan Nashrani yang sekarang juga mungkin masuk surga dengan berdalih dengan surat Al Baqarah ayat 62, sepintas seolah betul jika tidak dikembalikan kepada sebab nuzul-nya, padahal ayat ini adalah berkenaan dengan status orang-orang Yahudi dan Nasrani sebelum datang Islam, jadi perkataan kufrun duna kufrin kalau tidak dikembalikan kepada sebab wurud-nya tentu hasilnya seperti itu, padahal perkataan ini diucapkan oleh Ibnu ‘Abbas dikala datang orang Khawarij yang mengkafirkan penguasa daulah Bani Umayyah, Ibnu ‘Abbas mengetahui permasalahan dan situasi yang ada pada waktu itu di mana Bani Umayyah tetap menerapkan syari’at Islam dan mereka tetap berjihad untuk menegakan kalimat Allah Subhanahu Wa Ta’ala namun sebagian mereka dhalim/ menyimpang dalam (qadliyyah mu’ayyanah) kasus tertentu dari hukum semestinya, sedangkan dalam kamus orang Khawarij bahwa penguasa yang dhalim/ menyimpang adalah kafir makanya Ibnu ‘Abbas mengatakan pernyataan seperti itu, begitu juga halnya Abu Mijlaz. Jadi masalahnya bukanlah atsar ini shahih, tapi apakah penempatan pernyataan ini tepat atau tidak? dan sebenarnya perkataan mereka ini tidak aneh bagi orang yang mengetahui manhaj mereka, karena dalam kamus mereka tidak ada yang namanya kekufuran ‘amaliyy, mereka hanya kembali kepada masalah juhuud (pengingkaran) dan istihlaal (menghalalkan yang haram), dalam kamus mereka juga tidak ada yang namanya talaazum antara dhahir dengan bathin, sehingga menurut orang  Murji’ah bila orang meyakini tauhid dengan hatinya dan mengucapkannya dengan lisan meskipun meninggalkan seluruh syari’at dan melaksanakan seluruh keharaman, maka orang itu tetap mu’min sempurna imannya menurut Murji’ah dahulu (karena mereka mengeluarkan amal dari definisi iman) dan mukmin kurang imannya menurut Murji’ah sekarang (karena mereka memasukan amal dalam definisi iman), namun dalam realita penjelasan dan penjabarannya mereka mengatakan bahwa amal itu adalah syarat kesempurnaan iman bukan syarat sah iman, sehingga orang yang jahil terpedaya dengan definisi itu dan membelanya secara membabi buta, padahal kalau kenyataannya seperti itu mana ada syarat kesempurnaan dimasukan dalam definisi !!

Sungguh orang Murji’ah dahulu lebih pandai dalam definisi dan komitmen dengannya, lain halnya dengan yang sekarang yang tidak karuan, tapi ini tidak heran, karena kalau menyalahi Ahlus Sunnah secara frontal dalam definisi tentu terlalu ketahuan dan tidak bisa mengaku bahwa dirinya pengikut sunnah, makanya mereka lakukan secara talbis.

Janganlah anda terkecoh dengan luar mereka yang intisab kepada sunnah atau salaf, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
”Dan banyak dari kalangan mutakhkhirin tidak (bisa) membedakan antara  perkataan-perkataan salaf dengan perkataan Murji’ah dan Jahmiyah, karena berbaurnya (perkataan) ini dengan yang itu dalam perkataan banyak mereka, dari kalangan orang-orang yang di batinnya berpendapat seperti pendapat Jahmiyah dan Murji’ah dalam masalah iman, sedangkan dia itu mengagungkan salaf dan Ashhabul Hadits, sehingga dia mengira bahwa dia mampu menggabungkan antara keduanya atau menggabungkan antara perkataan orang-orang yang seperti dia dengan perkataan salaf”

Jadi tidak heran kalau mereka mengatakan bahwa para penguasa yang membabat syari’at Islam dan membuat undang-undang yang bertentangan dengan Islam itu tidak kafir selama tidak juhuud dan istihlaal. Padahal orang yang hanya yakin akan tauhid dengan hati dan mengucap dengan lisan saja tanpa mengamalkan sedikitpun syari’at Islam sedang dia mungkin untuk melakukannya maka dia itu adalah murtad menurut ijma’ Ahlus Sunnah wal Jama’ah,

Al Imam Muhammad Ibnu Idris Asy Syafi’iy rahimahullah berkata:
Adalah ijma dari para sahabat dan para tabi’in sesudahnya serta orang-orang yang kami dapatkan, semua mengatakan: Iman itu adalah ucapan, amal, dan niat, salah satu dari yang tiga itu tidak mencukupi (sah) kecuali dengan yang lainnya

Syaikhul Islam rahimahullah berkata:
“Hanbal berkata: Al Humaidiy telah memberitahu kami, beliau berkata: Dan saya diberitahu bahwa ada segolongan orang mengatakan: (“Siapa yang mengakui shalat, zakat, shaum, dan haji, dan dia tidak melakukan sedikitpun dari amalan-amalan itu hingga mati, dan dia itu shalat dengan membelakangi kiblat hingga mati, maka dia itu adalah orang mukmin selama dia tidak mengingkari (itu), bila dia mengetahui bahwa meskipun meninggalkan itu semua dia tetap memiliki iman apabila dia itu mengakui akan hal-hal yang difardlukan dan (mengakui keharusan) menghadap kiblat,”) Maka saya berkata: Ini adalah kekafiran yang sangat jelas dan menyalahi Kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya serta ulama kaum muslimin, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman,”padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadanya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”. Dan Hanbal berkata: saya mendengar Abu Abdillah Ahmad Ibnu Hanbal berkata: “Siapa orangnya mengatakan hal ini, maka dia itu telah kafir kepada Allah dan menolak perintah-Nya dan menolak apa yang dibawa oleh Rasul dari Allah.”

Hendaklah takut orang yang mengatakan bahwa orang yang meninggalkan seluruh syari’at Islam itu adalah tidak kafir bila dia bertauhid yang murni, sebab apa ada tauhid dari orang semacam itu, lihat hukum dari para ulama atas orang yang berpendapat seperti itu.

Al Imam Muhammad Ubnu Nashr Al Marwaziy rahimahullah berkata:
“Siapa orang yang pada dhahirnya adalah (melakukan) amalan-amalan Islam dan (amalan-amalan) itu tidak kembali kepada keyakinan iman terhadap yang ghaib, maka dia itu adalah munafiq dengan kemunafikan yang mengeluarkan dari agama ini, dan siapa orang yang tali keyakinannya itu adalah iman kepada yang ghaib sedang dia itu sama sekali tidak mengamalkan hukum-hukum keimanan dan syari’at-syari’at Islam, maka dia itu adalah kafir dengan kekafiran yang tidak ada tauhid bersamanya”

Al Imam Al Aaajuriy rahimahullah berkata:
“Amal-amal jawaarih (amalan-amalan dhahir) merupakan tashdiq (pembenaran) dari keimanan dengan hati dan lisan, siapa orangnya yang tidak membenarkan keimanan itu dengan amalannya, seperti thaharah, shalat, zakat, shaum, haji, jihad dan yang lainnya, dan dia justru ridla bagi dirinya dengan hanya ma’rifah dan ucapan tanpa adanya amalan, maka dia itu tidaklah beriman, dan ma’rifah berikut ucapannya itu tidak bermanfaat baginya, serta peninggalan (seluruh) amalannya itu merupakan takdzib (pendustaan) darinya terhadap imannya itu. Jadi amalan sesuai yang kami jelaskan itu adalah tashdiq (pembenaran) darinya atas imannya, camkanlah ini. Ini adalah madzhab ulama-ulama kaum muslimin baik dahulu maupun sekarang, siapa orangnya yang mengatakan selain ini maka dia itu adalah orang Murji’ah yang busuk, jagalah agamamu darinya, dan dalil yang menunjukan hal ini adalah firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala: “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus,”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang hanya mencukupkan dengan keyakinan dan mengucapkan dua kalimah syahadat namun dia meninggalkan seluruh amalan adalah orang kafir, beliau berkata:
“Karena sesungguhnya Allah tatkala mengutus Muhammad sebagai Rasul kepada makhluk, maka kewajiban atas makhluk adalah membenarkan apa yang dia beritakan, dan mentaatinya dalam apa yang diperintahkannya, dan saat itu beliau belum memerintahkan mereka untuk shalat yang lima waktu, shaum Ramadlan, dan haji ke Baitullah, dan beliau tidak mengharamkan khamar, riba dan lain sebagainya atas mereka, serta mayoritas Al Qur’an pun belum turun. Siapa yang membenarkannya saat itu terhadap apa yang turun dari Al Qur’an serta mengakui apa yang diperintahkan atas mereka berupa dua kalimah syahadat dan hal-hal yang mengikutinya, maka orang itu adalah orang mukmin yang sempurna imannya yang wajib atas dia, dan bila dia itu membawa keimanan semacam itu (maksudnya iman di hati dan pengakuan dengan lisan) setelah hijrah tentu tidak diterima darinya, dan bila dia hanya membatasi diri atas (iman semacam) itu maka dia itu adalah kafir”

Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahullah berkata:
“Tidak ada perbedaan bahwa tauhid itu harus dengan hati, lisan, dan amal, bila salah satu dari yang tiga ini tidak ada maka orang itu bukanlah orang muslim. Dan bila dia mengetahui tauhid namun tidak mengamalkannya maka dia itu adalah kafir mu’aanid (yang membangkang) seperti Fira’un, Iblis dan sebangsanya”

Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullah berkata:
“Dan adapun bila dia tidak beramal sesuai dengan tuntutan Laa illaaha Illallah dan justru dia merasa cukup dengan sekedar mengucapkannya atau melakukan hal yang bertentangan dengannya, maka sesungguhnya dia itu dihukumi murtad dan diperlakukan layaknya orang-orang murtad”

Dan masih banyak pernyataan ulama sunnah yang senada dengan pernyataan-pernyataan itu.

Setelah kita mengetahui status penguasa yang ada pada umumnya, maka bukan maksudnya kita harus langsung khuruj terhadap mereka, karena khuruj itu ada syaratnya yaitu (istitha’ah) kemampuan dan pertimbangan mashlahat, tapi anehnya adalah orang-orang yang sudah mengetahui bahwa para penguasa/pemerintahan yang membabat syari’at dan menerapkan quwaniin wadl’iyyah itu adalah kuffar murtaddun, namun mereka justru ikut andil di dalamnya dan senang duduk berdampingan dengan mereka dengan dalih ishlah dan perbaikan, serta merta mereka meneriakan demokrasi, sehingga mereka itu dikhawatirkan terjatuh menjadi bagian dari thaghut.

Syaikh Muhammad Abdul Hadiy Al Mishriy berkata:
“Dan thaghut macam ini (syirik tha’at dan ittiba) bisa berupa penguasa, hakim, dukun atau bisa juga berupa lembaga tasyri’iyyah (Legislatif), undang-undang, adat kebiasaan, taqaaliid, ‘urf, Majlis (Dewan) Perwakilan, parlemen, qawaaniin, dasaatiir, hawa nafsu….”

Apakah mungkin memperjuangkan Islam dengan atau lewat sistem syirik dan kafir, bukankah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah suri tauladan, beliau ditawari untuk menjadi raja oleh orang-orang musyrikun dengan syarat ikut sistem mereka, namun beliau menolaknya, padahal yang namanya raja memiliki wewenang yang luas, bisa saja beliau memanfaatkan jabatannya untuk menyebarkan Islam, namun beliau menolak dikarenakan mengetahui bahwa itu bertentangan dengan tauhid dan itu adalah pertanda ridla akan kekufuran, sedangkan ridla akan kekufuran adalah kekufuran, hendaklah mereka bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan cara meninggalkannya dan jauh darinya, karena merasa bersalah dalam perbuatan syirik tidak ada artinya kalau masih melakukannya dan bermukim di dalam kemusyrikan itu, apa artinya orang yang mengatakan bahwa meminta kepada orang yang sudah mati itu adalah syirik, namun dia ikut melakukannya, takutlah akan firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala tentang orang-orang seperti mereka :

وَقَدۡ نَزَّلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أَنۡ إِذَا سَمِعۡتُمۡ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ يُكۡفَرُ بِهَا وَيُسۡتَهۡزَأُ بِهَا فَلَا تَقۡعُدُواْ مَعَهُمۡ حَتَّىٰ يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيۡرِهِۦٓ إِنَّكُمۡ إِذٗا مِّثۡلُهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ جَامِعُ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡكَٰفِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya kamu (kalau berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafiq dan orang-orang kafir di dalam Jahannam”(An Nisaa: 140)

Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata ketika menafsirkan “Karena sesungguhnya kamu (kalau berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka.” :
“Sesungguhnya kalian bila melanggar larangan setelah sampai kepada kalian, dan kalian ridla duduk (misalnya di parlemen) bersama mereka di tempat yang di mana di dalamnya ayat-ayat Allah diperolok-olokan dan dilecehkan dan kalian mengakuinya atas hal itu, maka berarti kalian telah berstatus sama dalam apa yang mereka ada di dalamnya (kekafiran)”.
Terus ketika menafsirkan, “Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafiq dan orang-orang kafir di dalam Jahannam,” beliau berkata: “Sebagaimana mereka (orang-orang munafiq) andil bersama mereka (orang-orang kafir) di dalam kekufurannya, maka begitu juga Allah menyamakan mereka semuanya dalam kekekalan di Jahannam selama-lamanya”.

Bukankah sistem yang menyerahkan segala hukum dan keputusan dalam segala hal kepada rakyat adalah syirik dalam rububiyyah yaitu dalam hukum-Nya, bukankah ikut andil di dalam kemusyrikan itu adalah syirik juga meskipun hati tidak suka akan hal itu, bukankah sistem demokrasi sekuler dan yang lainnya itu adalah syirik,

Syaikh Muhammad Abdul Hadiy Al Mishriy berkata:
 “Sesungguhnya Sekuler ringkasnya adalah: Sistem Thaghut, Jahiliyah, Kafir, bertentangan dan berseberangan dengan syahadat Laa ilaaha illallaah dari dua sisi:

1.   Pertama: Sisi karena Berhukum Dengan Selain Apa Yang Telah Diturunkan Allah.
2.   Kedua: Sisi karena Syirik Dalam Ibadah Kepada Allah.

Bukankah duduk di sana merupakan duduk-duduk di majelis di mana Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan ayat-ayat-Nya diingkari dan diperolok-olokan? Bisakah walaa dan baraa itu akan diterapkan bila dia masuk kepada sistem syirik? Adakah yang berani dari orang yang katanya memperjuangkan Islam lewat sistem itu berkata kepada anggota Majelis di depan sidang “Sesungguhnya sistem ini kafir jahiliyyah, kalian semua harus bertaubat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dan cepat tegakkan syari’at Islam secara menyeluruh!”

Katakan kepada kami: Bagaimana pendapat anda bila ada penguasa yang berkata kepada anda “Saya jamin negara ini menerapkan hukum Islam, dan saya konsisten dengan janji saya ini, namun dengan syarat anda kafir terlebih dahulu!” Bagaimana sikap anda, seandainya anda orang muslim muwahhid tentu akan menolak tawaran itu meskipun jaminannya sangat besar, maka apa gerangan dengan orang yang rela masuk kepada sistem syirik kafir untuk meraih sesuatu yang tidak mungkin tercapai dan tidak ada jaminan. Bila anda berkilah: “Kalau kami tidak ikut duduk dengan mereka tentu kursi penuh oleh orang-orang kafir dan umat Islam tidak dapat kursi!” Sungguh mengherankan kenapa umat Islam berselera dengan kursi kekufuran, apakah anda yakin ketika anda duduk di sana, anda masih bisa berstatus sebagai orang Islam? Islam tidak mungkin tegak dengan jalan kekufuran dan kemusyrikan. Ingatlah perkataan para ulama tadi: Bahwa nama Islam yang dia sandang, shalat, shaum, haji yang dia lakukan tidak ada manfaatnya, ini isyarat bahwa kaum murtaddin itu merasa dirinya masih Islam sehingga dia masih aktif shalat dan amalan yang lainnya, padahal dia itu sudah bukan Islam lagi, namun dia tidak merasa dirinya sudah murtad, sebab kalau merasa dirinya sudah murtad dan dia mengetahui bahwa amalannya tidak ada artinya tentu dia tidak akan shalat lagi,
oleh sebab itu Abul Wafaa Ibnu ‘Uqail rahimahullah berkata:
“Bila anda ingin mengetahui posisi Islam di tengah-tengah manusia zaman sekarang ini, janganlah anda melihat pada berjubelnya mereka di pintu-pintu mesjid dan jangan pula melihat gemuruhnya mereka dengan ucapan labbaik (ibadah haji), tapi lihatlah pada kebersamaan (keserasian) mereka dengan musuh-musuh syari’at.”

Syaikh Shalih Al Fauzan berkata:
“Berintima (bergabung) kepada aliran-aliran Ilhaadiyah seperti Komunisme, Sekulerisme, Kapitalisme, dan aliran-aliran kekafiran lainnya adalah kemurtadan dari agama Islam, terus jika ternyata orang yang berintima kepada aliran-aliran itu mengaku Islam, maka ini adalah bagian dari kemunafikan akbar.”

Masa sekarang ini orang-orang lebih mengetahui dan lebih hati-hati akan maksiat daripada perbuatan syirik, sehingga bila melihat perbuatan maksiat dilakukan langsung ghirah keislamannya naik, ini baik, tapi kenapa bila mereka melihat perbuatan syirik dilakukan tak ada rasa ghirah sedikitpun, bahkan banyak sekali orang yang berteriak-teriak akan penegakan syari’at, namun justru banyak dari mereka itu bergelimang dalam kemusyrikan, tentunya bila Islam tegak merekalah yang akan dahulu terkena hukuman,

Syaikh Ishaq Ibnu Abdirrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahumullah berkata:
“Dan di antara yang sudah maklum adalah bahwa sesungguhnya orang yang berkasih sayang dengan seseorang tentu dia ridla dengannya, dan bila dia ridla dengannya tentu dia ridla dengan agamanya, sehingga dia tergolong pemeluk agamanya tanpa dia sadari, karena mayoritas manusia lebih hati-hati akan maksiat dan segala jalan-jalannya namun tidak hati-hati akan syirik dan jalan-jalannya”

Biarlah tempat kekufuran itu dipenuhi orang-orang kafir asli,
agar permusuhan Islam dan kafir tampak jelas tidak samar,
sehingga Wala’ dan Bara’ itu bisa ditegakkan, dan Islam diperhitungkan.

Islam apa yang akan ditegakan bila para peneriak suara Islam itu justru orang-orang yang suka meminta kekuburan, percaya kepada azimat, kultus kepada tokoh, nasionalis, sekuler dan lain sebagainya. Contoh yang jelas adalah pernyataan sebagian orang yang katanya mengaku dirinya muslim namun mengatakan kepada orang-orang Nasrani mereka adalah saudara kita atau ucapannya:

“Saudara-saudara kita dari agama Nasrani,” atau ucapannya, “Supaya pemilu ini berjalan secara Demokratis,” mungkinkah ucapan itu bersumber dari seorang yang paham akan makna Laa ilaaha illallaah?

Syaikh Muhammad Syakir Asy Syarif berkata:
“Dan di antara bentuk syirik modern dalam tha’at (taat) atau inqiyad (ketundukan) atau tasyri’ (pembuatan hukum) yang terkadang banyak manusia tidak begitu peduli (tahu) terhadapnya adalah apa yang dinamakan pada masa sekarang dengan istilah Demokrasi atau sistem Demokrasi”

Padahal mengetahui dan benci akan syirik tidaklah berfaidah bila dia bermukim di dalamnya, Syaikh Abdurrahman Ibnu Hasan Ibnu Muhammad Ibnu Abdil Wahhab rahimahumullah berkata: “Seseorang itu tidak berstatus sebagai muwahhid kecuali dengan menafikan syirik, berlepas (baraa) darinya, dan meninggalkan orang yang melakukannya.”

Pelajarilah makna Laa ilaaha illallaah dengan benar, karena itu adalah inti dakwah para Rasul, penuhilah syarat-syaratnya yang tujuh itu, karena tanpa memenuhi syarat yang tujuh itu pengucapan laa ilaaha illallaah itu tidak ada manfaatnya di akhirat. Bila orang yang telah mengucapkan laa ilaaha illallaah terus dia melakukan syirik besar, maka tidak keluar dari dua keadaan, yaitu bila dia tidak mengetahui bahwa yang dilakukannya itu syirik, berarti sebenarnya dia itu selama ini belum Islam atau dia itu kafir asli, Syaikh Abdurrahman  Ibnu Hasan rahimahullah berkata:
“Dan ketidaktahuan akan syirik (menunjukan) tidak tercapainya sedikitpun dari apa yang dituntut oleh Laa ilaaha illallaah. Dan orang yang tidak merealisasikan makna kalimat ini dan kandungannya, maka sama sekali dia itu bukan bagian dari Islam ini, karena dia tidak mendatangkan (mengucapkan) kalimat ini dan kandungannya dari dasar ilmu, keyakinan, kejujuran, keikhlasan, mahabbah, penerimaan dan ketundukan.”

Al Imam Ash Shan’aniy rahimahullah berkata tentang orang yang melakukan syirik karena kejahilan:
“Bila anda berkata: Mereka itu tidak mengetahui bahwa mereka itu musyrik dengan apa yang mereka lakukan. Maka saya katakan: Para Fuqaha telah menetapkan dalam kitab-kitab fiqih dalam Bab Riddah (Murtad) bahwa orang yang mengucapkan kalimat kekufuran maka dia itu kafir meskipun tidak ada maksud akan maknanya. Dan (yang mereka lakukan) ini menunjukan bahwa mereka itu tidak mengetahui hakikat Islam dan makna tauhid, sehingga mereka itu saat itu pula menjadi orang-orang kafir asli

Syaikh Shalih Al Fauzan berkata:
“Seandainya dia mengucapkannya (laa ilaaha illallaah) sedangkan dia tidak mengetahui maknanya, maka itu tidak bermanfaat baginya karena dia tidak meyakini makna yang dikandungnya”

KEJAHILAN TIDAK BISA DIJADIKAN UDZUR/ ALASAN DALAM SYIRIK BESAR.


Adapun bila yang melakukan syirik itu mengetahui bahwa itu syirik tapi dia melakukannya maka dia itu disebut musyrik kafir murtad.

Ingatlah dakwah itu perlu ilmu, dan tauhid adalah yang paling utama. Setiap dakwah yang tidak mengutamakan tauhid adalah dakwah yang palsu meskipun mengaku itu dakwah atau aktifis dakwah, Syaikh Shalih Al Fauzan berkata:
“Sesungguhnya orang yang tidak mempelajari hukum-hukum aqidah, tidak memperhatikannya dan tidak mengajak (dakwah) kepadanya, maka dia itu pada hakikatnya bukanlah termasuk pengikut Rasulullah, meskipun secara intisab dan klaim dia tergolong dari pengikutnya”

Orang yang memulai dakwahnya bukan dari tauhid berarti bukanlah sebagai aktifis dakwah, meskipun dia merasa paling aktif dalam berdakwah. Orang yang melandaskan persatuan bukan pada kesatuan di atas tauhid yang benar, maka kesatuannya adalah sekedar fatamorgana. Tidak ada persatuan (wahdah) kecuali di atas tauhid yang benar. Ada sebagian yang merekrut massa sebanyak banyaknya namun tidak di atas tauhid, maka usahanya ini adalah bukan karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, meskipun dia mengaku karena Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sebab Allah Subhanahu Wa Ta’ala tidak meridlai hal seperti itu, dan ini pasti ada tujuan lain selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Ada orang berdakwah hanya berlandaskan pada baiknya muamalah bersama manusia, dia mengira itulah dakwah yang benar dan paling baik, namun dia melupakan yang paling utama yaitu lurusnya muamalah dengan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, atau dengan kata lain tauhid. Laa haula walaa quwwata illaa billaah.

Hendaklah masing-masing takut kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam hak-Nya yang mereka lalaikan. Ini adalah nasihat dari seorang muslim, dan nasihat ini insya Allah Subhanahu Wa Ta’ala bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.

Wallahu a’lam

www.millahibrahim.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...