7/11/2019

JIHAD, Jalan Thaifah Manshurah (Bagian 2)


J I H A D
Jalan Thaifah Manshurah
(Bagian 2)
Oleh: Syaikh Abu Mush’ab Az-Zarqawi

Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang datang dengan dan menyeru kepada Kitabullah dan Sunnah, ia jugalah yang datang dengan pedang dan mencontohkannya secara langsung baik dengan kata-kata maupun aksinya. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, AKU DIUTUS DENGAN PEDANG MENJELANG HARI KIAMAT HINGGA HANYA ALLAH SEMATA LAH YANG DISEMBAH, TIDAK ADA SEKUTU BAGI-NYA; DIJADIKAN RIZKIKU DI BAWAH BAYANGAN TOMBAKKU; DAN DIJADIKAN KEHINAAN DAN KERENDAHAN BAGI SIAPA SAJA YANG MENYELISIHI PERKARAKU. BARANGSIAPA MENYERUPAI SUATU KAUM, MAKA IA TERMASUK GOLONGAN MEREKA.”
Nabi shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda, “Sesungguhnya Allah memerintahkanku untuk membakar kafir Quraisy. Aku berkata, ‘Wahai Rabb, kalau begitu mereka akan membelah kepalaku dan meninggalkannya begitu saja seperti sekerat roti.’ Allah menjawab, ‘Usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu; perangilah mereka niscaya Kami akan membelamu; berinfaklah, niscaya Kami akan memberimu; kerahkanlah pasukan, niscaya Kami akan mengerahkan lima kali lipat dari itu; dan perangilah orang-orang yang mendurhakaimu dengan bantuan orang-orang yang menaatimu.” Dialah shallallahu’alaihi wasallam yang bersabda, “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku berharap berperang di jalan Allah lalu terbunuh, kemudian aku berperang lagi lalu terbunuh lagi, dan kemudian berperang lagi lalu terbunuh lagi.”
Kehidupan beliau shallallahu’alaihi wasallam adalah kombinasi tak terpisahkan antara taklim, dakwah, dan berperang di jalan Allah. Beliau memimpin sendiri dua puluh tujuh ghazwah selama sepuluh tahun tinggal di Madinah, yang berarti tiga kali ghazwah selama satu tahun. Belum ditambah dengan sariyyah-sariyyah yang diutusnya. Ini jelas berarti bahwa berperang di jalan Allah adalah poros utama kehidupan generasi Islam pertama.
Di antara nama yang dengannya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam disebut ialah ad-dhahuk al-qattal (Panglima Perang yang murah senyum). Ibnu Abbas radhiallahu’anh berkata, “Namanya yang tersebut di Taurat adalah Ahmad, ad-dhahuk al-qattal; mengenakan mantel, cukup dengan yang sedikit, dan pedangnya terhunus di pundaknya.”
Al-Mawardi berkata membicarakan keutamaannya shallallahu’alaihi wasallam, “Di antaranya; beliau mendeklarasikan jihad fi sabilillah padahal terkepung oleh musuh-musuhnya, terisolasi dan terembargo, di tempat terpencil, dan pendukungnya sedikit. Maka karenanya yang sedikit menjadi banyak dan yang hina menjadi mulia. Dengan jihadnya itu ia menjadi mulia dan ditolong dengan rasa takut. Ia menyatukan antara berjuang menegakkan syariat Allah hingga tampak dan tersebar, dan mendelarasikan jihad hingga menang dan mengalahkan musuh-musuhnya. Kedua hal itu sulit dilaksanakan sekaligus kecuali oleh orang yang Allah berkenan membantunya dan melingkupinya dengan kelembutan-Nya.”
Kombinasi yang tak terpisahkan antara Kitabullah dan pedang sebagaimana kehidupan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, adalah demikian jugalah yang dipahami oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum sebagai tabiat agama ini. Allah telah berfirman, “Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Pedang-pedang kaum musliminlah yang menolong syariat ini; yakni Kitabullah dan Sunnah, sebagaimana ucapan Jabir bin Abdullah radhiallahu’anh, ‘Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan kita untuk menebas dengan ini – yakni pedang – orang yang menentang ini – yakni mushaf’.”
Karena itulah, yang menulis lembar demi lembar kemuliaan dan kejayaan Islam adalah ahli ilmu yang berjihad. Para sahabat mulia radhiyallahu ‘anhum yang merekalah yang menorehkan kemuliaan generasi pertama ummat sebagai ulama, juru dakwah, dan mujahid, ilmu mereka tidak membuat mereka diam tak berdakwah dan berjihad. Ilmu dan jihad mereka itu saling melebur dalam suatu kombinasi yang teramat apik sehingga kemuliaan selalu mengiringi derap kaki mereka. Ilmu mereka adalah hujjah bagi mereka, bukan atas mereka.
Demikianlah peran para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Cita-cita mereka adalah menunjukkan seluruh makhluk pada kebenaran sekaligus meluruskan yang menentang dan menyimpang. Sejatinya hanya itulah aktivitas mereka. Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam wafat, para sahabat berbondong-bondong keluar untuk memerangi orang-orang Arab yang murtad. Kemudian setelah itu mereka menyebar ke berbagai penjuru dunia sebagai juru dakwah dan mujahidin untuk mendakwahkan Islam dengan pedang dan keterangan.
Lebih dari seratus ribu sahabat radhiallahua’anhum hadir menyertai Nabi pada saat Haji Wada’. Sementara yang dikubur di Baqi’ jumlahnya tak melampaui seratus lima puluh sahabat. Mayoritasnya menemui ajalnya di negeri-negeri yang jauh dalam rangka berjihad membela agama ini dan mengokohkan kekuasaanya di bumi. 
Imam Al-Auza’i rahimahullah berkata, “Disebutkan bahwa ada lima hal yang menjadi ciri khas para sahabat Muhammad dan tabi’in; berkomitmen dengan jama’ah, mengikuti sunnah, memakmurkan masjid, membaca Al-Quran, dan berjihad fi sabilillah.”
Aksi para sahabat itu, yang memadukan antara ilmu, dakwah, dan jihad, kemudian diteladani oleh imam-imam thaifah manshurah dari kalangan tabi’in. Hal itu membuktikan keagungan Din ini lewat aksi para kesatria, keagungan yang melampaui masa dan waktu. Betapa indahnya ketika seorang alim menorehkan kemuliaan Islam melalui cucuran darahnya. Contohnya teramat banyak. Tak mungkin disebutkan satu per satu.
Inilah imam penghulu para tabi’in; Sa’id bin Musayyib rahimahullah salah satu dari tujuh ahli fikih Madinah. Ia pergi berperang padahal telah kehilangan salah satu matanya. Dikatakan padanya, “Engkau cacat.” Maka jawabnya, “Allah telah memerintahkan keluar semua orang yang ringan maupun berat. Jika aku tidak mampu bertempur maka aku akan memperbanyak jumlah atau menjaga perbekalan.”
Al-Izzi menceritakan biografi seorang ahli hadits agung Abu Ishak Al-Fazari rahimahullah, “Ia adalah seorang yang terpercaya lagi selalu mengikuti sunnah. Seorang yang shalih. Dialah yang mendidik ahli tsughur dan mengajari mereka sunnah. Ia selalu beramar makruf nahi munkar. Jika ada ahli bid’ah yang pergi ke tsughur maka akan diusirnya.”
Adz-Dzahabi menceritakan biografi Abdullah bin Mubarak, “Imam al-hafizh (hafal 100.000 hadits) ‘allamah (yang amat dalam ilmunya) syaikhul Islam, kebanggaan mujahidin dan teladan orang-orang zuhud. Abu Abdurrahman Al-Hanzhali Al-Marwazi. Demi Allah, sungguh aku mencintainya karena Allah. Aku berharap kebaikan juga mencintainya karena apa yang dianugerahkan Allah padanya berupa ketakwaan, ibadah, keikhlasan, jihad, ilmu yang luas, tenggang rasa, dan berbagai sifat terpuji lainnya.”
Dari Muhammad bin Fudhail, ia berkata, “Aku bertemu Abdullah bin Mubarak di mimpi. Aku bertanya, ‘Amalan apa yang engkau dapati paling utama? Jawabnya, ‘Amalan yang biasa aku lakukan.’ Aku bertanya, ‘Ribat dan jihad? Ia menjawab, ‘Betul’.”
Adz-Dzahabi menceritakan biografi Asad bin Al-Furat rahimahullah, “Imam ‘allamah, hakim dan komandan terdepan mujahidin. Ia berilmu luas sekaligus kesatria dan pahlawan pemberani. Penguasa Sisilia bergerak menghadangnya dengan pasukan berkekuatan 150.000 prajurit. Seorang lelaki berkata, ‘Aku melihat Asad mengangkat panji sambil membaca surah Yasin. Lalu ia menyerbu hingga musuh terpukul mundur. Aku melihat darah mengalir di gagang panji itu dan di kedua lengannya. Ia jatuh sakit ketika memblokade Siracusa.”
Adz-Dzahabi menceritakan biografi Abu Al- ’Arab, “Muhammad bin Ahmad bin Tamim. Mufti ‘allamah. Menguasai berbagai disiplin ilmu. Dia ikut serta memberontak atas Bani Ubaid dalam pemberontakan Abu Yazid. Ketika mereka mengepung Mahdiyah, Abu Al-’Arab membacakan dua surat dari Muhammad bin Sahnun di depan orang-orang. Lalu katanya, ‘Aku telah menulis 3500 kitab dengan tanganku ini. Demi Allah, membaca dua surat ini bagiku lebih utama daripada seluruh apa yang telah aku tulis.”
Al-Qadhi Iyadh rahimahullah menyebutkan bahwa tak ada satupun fuqoha terkenal yang tidak bergabung dalam pemberontakan atas Daulah Ubaidiyyah ini kecuali Abu Maisarah karena ia buta. Namun ia ikut berjaga di Qairuwan bersama orang-orang karena seluruh masyaikh sepakat keluar memberontak.
Adz-Dzahabi menyebutkan bahwa dalam satu pertempuran melawan orang-orang Ubaidi saja, ada delapan puluh lima ulama dan ahli zuhud yang gugur syahid. Demikianlah, ketika ummat bangkit untuk berjihad melawan salibis demi menegakkan kalimat Allah, membebaskan tanahnya yang terjajah, dan merebut hak-haknya yang terampas, para ulama amilin berada di garda terdepan barisan jihad hingga banyak yang tertawan dan terbunuh.
Ibnu Khallikan berkata, “Pada permulaan Jumadal Ula tahun 73 H, Sultan menyerahkan Ramlah yang padat penduduk pada Perancis. Ketika kaum muslimin kalah, tidak ada benteng terdekat untuk berlindung. Maka mereka berbondong-bondong pergi ke Mesir. Banyak kaum muslimin yang tersesat dan meninggal di perjalanan. Sekelompok lain tertangkap, termasuk faqih Isa Al-Hakari. Suatu musibah besar yang kemudian Allah mengangkatnya dengan Perang Hittin.”
Ibnu Katsir menceritakan musibah ini, “Dua bersaudara faqih, Dhiyauddin Isa dan Zhahiruddin tertangkap. Sultan lalu menebus keduanya dua tahun kemudian dengan 9000 dinar.”
Ketika kaum muslimin bergerak untuk membebaskan Baitul Maqdis, para ulama amat bersemangat untuk ikut serta, sampai-sampai disebutkan bahwa tidak ada ahli ilmu pun yang tidak ikut serta dalam pembebasan itu. Ibnu Katsir berkata, “Tersira kabar bahwa Sultan telah memutuskan untuk membebaskan Baitul Maqdis. Maka para ulama dan orang-orang shalih datang berduyun-duyun secara sukarela. Di antara para ulama mujahid yang ikut serta membebaskan Baitul Maqdis dan dalam perang-perang suci setelahnya adalah para ulama Hambali khususnya para tetuanya seperti Syaikh Al-Alim Al-’Amil Az-Zahid Abu Umar Al-Maqdisi dan saudaranya Imam Muwaffaq penulis Al-Mughni, serta putra Bibi mereka Al-Hafizh ‘Abdul Ghani dan saudaranya Al-’Imad.”
Adapun aksi jihad Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah melawan Tartar itu laksana lampu yang terang benderang. Ibnu Katsir rahimahullah menceritakan serbuan Tartar atas Damaskus, “Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah setiap malam selalu berkeliling di tembok kota menyemangati orang-orang untuk bersabar dan terus bertempur dan membacakan ayat-ayat jihad dan ribat.”
Adz-Dzahabi memujinya, “Ia menolong sunnah dengan argumentasi-argumentasi paling jelas dan keterangan yang paling cemerlang. Karena Allah, ia banyak didiskreditkan oleh orang-orang yang menyelisihinya. Ia sering diteror hanya karena menolong sunnah. Hingga akhirnya Allah mengangkat kedudukannya, menjadikan hati orang-orang bertakwa mencintainya dan selalu mendoakannya. Allah membungkam musuh-musuhnya. Dengannya, Allah memberi hidayah banyak pengikut sekte-sekte sesat. Ditundukkan-Nya raja-raja dan penguasa untuk menaati dan patuh padanya. Dengannya, Allah menghidupkan kembali Syam, dan bahkan Islam setelah hampir padam, khususnya dalam masa-masa invasi Tartar. Bukti terbesar yang dengannya orang tak perlu diingatkan mengenai biografinya yang mulia. Jikalau aku bersumpah di antara rukun dan maqam, maka niscaya aku bersumpah bahwa tidak ada seorangpun sepertinya yang aku lihat, dan ia tidak bisa dibandingkan dengan siapapun.”
Memisahkan antara ilmu dan jihad, dakwah dengan lisan dan dakwah dengan pedang, sama sekali bukan manhaj thaifah manshurah. Karena itu adalah pemisahan yang buruk, musibah besar, bid’ah keji, dan penyimpangan dalam agama, yang hanya mewariskan kepedihan hati, cucuran air mata, dan keputusasaan yang memenuhi jiwa.
Siapapun yang memperhatikan sejarah Nabi shallallahu’alaihi wasallam niscaya akan mendapati bahwa beliau sejak terbitnya fajar dakwah ini telah berusaha memperoleh faktor-faktor kekuatan. Terlihat jelas ketika beliau shallallahu’alaihi wasallam menemui kabilah-kabilah pada musim haji barangkali ada yang bersedia membelanya dan mengangkat senjata agar perintah Rabbnya terus diserukan.

Source: AL FATIHIN 07

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...