J I H A D
Jalan Thaifah Manshurah
(Bagian 2)
Oleh:
Syaikh Abu Mush’ab Az-Zarqawi
Nabi shallallahu
alaihi wa sallam yang
datang dengan dan menyeru kepada Kitabullah dan Sunnah, ia jugalah yang datang
dengan pedang dan mencontohkannya secara langsung baik dengan kata-kata maupun
aksinya. Nabi shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “AKU DIUTUS
DENGAN PEDANG MENJELANG HARI KIAMAT HINGGA HANYA ALLAH SEMATA LAH YANG
DISEMBAH, TIDAK ADA SEKUTU BAGI-NYA; DIJADIKAN RIZKIKU DI BAWAH BAYANGAN
TOMBAKKU; DAN DIJADIKAN KEHINAAN DAN KERENDAHAN BAGI SIAPA SAJA YANG
MENYELISIHI PERKARAKU. BARANGSIAPA MENYERUPAI SUATU KAUM, MAKA IA TERMASUK
GOLONGAN MEREKA.”
Nabi
shallallahu’alaihi wasallam juga bersabda, “Sesungguhnya Allah
memerintahkanku untuk membakar kafir Quraisy. Aku berkata, ‘Wahai Rabb, kalau
begitu mereka akan membelah kepalaku dan meninggalkannya begitu saja seperti
sekerat roti.’ Allah menjawab, ‘Usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu;
perangilah mereka niscaya Kami akan membelamu; berinfaklah, niscaya Kami akan
memberimu; kerahkanlah pasukan, niscaya Kami akan mengerahkan lima kali lipat
dari itu; dan perangilah orang-orang yang mendurhakaimu dengan bantuan
orang-orang yang menaatimu.” Dialah shallallahu’alaihi wasallam yang
bersabda, “Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh aku berharap
berperang di jalan Allah lalu terbunuh, kemudian aku berperang lagi lalu terbunuh
lagi, dan kemudian berperang lagi lalu terbunuh lagi.”
Kehidupan
beliau shallallahu’alaihi wasallam adalah kombinasi tak terpisahkan antara
taklim, dakwah, dan berperang di jalan Allah. Beliau memimpin sendiri dua puluh
tujuh ghazwah selama sepuluh tahun tinggal di Madinah, yang berarti tiga kali
ghazwah selama satu tahun. Belum ditambah dengan sariyyah-sariyyah yang
diutusnya. Ini jelas berarti bahwa berperang di jalan Allah adalah poros utama
kehidupan generasi Islam pertama.
Di antara nama
yang dengannya Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam disebut ialah ad-dhahuk
al-qattal (Panglima Perang yang murah senyum). Ibnu Abbas radhiallahu’anh
berkata, “Namanya yang tersebut di Taurat adalah Ahmad, ad-dhahuk al-qattal;
mengenakan mantel, cukup dengan yang sedikit, dan pedangnya terhunus di
pundaknya.”
Al-Mawardi
berkata membicarakan keutamaannya shallallahu’alaihi wasallam, “Di antaranya;
beliau mendeklarasikan jihad fi sabilillah padahal terkepung oleh
musuh-musuhnya, terisolasi dan terembargo, di tempat terpencil, dan
pendukungnya sedikit. Maka karenanya yang sedikit menjadi banyak dan yang hina
menjadi mulia. Dengan jihadnya itu ia menjadi mulia dan ditolong dengan rasa
takut. Ia menyatukan antara berjuang menegakkan syariat Allah hingga tampak dan
tersebar, dan mendelarasikan jihad hingga menang dan mengalahkan
musuh-musuhnya. Kedua hal itu sulit dilaksanakan sekaligus kecuali oleh orang
yang Allah berkenan membantunya dan melingkupinya dengan kelembutan-Nya.”
Kombinasi yang
tak terpisahkan antara Kitabullah dan pedang sebagaimana kehidupan Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam, adalah demikian jugalah yang dipahami oleh para
sahabat radhiyallahu ‘anhum sebagai tabiat agama ini. Allah telah berfirman, “Dan
berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari
pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang
menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada
musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146).
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Pedang-pedang kaum musliminlah yang
menolong syariat ini; yakni Kitabullah dan Sunnah, sebagaimana ucapan Jabir bin
Abdullah radhiallahu’anh, ‘Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam memerintahkan
kita untuk menebas dengan ini – yakni pedang – orang yang menentang ini – yakni
mushaf’.”
Karena itulah,
yang menulis lembar demi lembar kemuliaan dan kejayaan Islam adalah ahli ilmu
yang berjihad. Para sahabat mulia radhiyallahu ‘anhum yang merekalah yang menorehkan
kemuliaan generasi pertama ummat sebagai ulama, juru dakwah, dan mujahid, ilmu
mereka tidak membuat mereka diam tak berdakwah dan berjihad. Ilmu dan jihad
mereka itu saling melebur dalam suatu kombinasi yang teramat apik sehingga
kemuliaan selalu mengiringi derap kaki mereka. Ilmu mereka adalah hujjah bagi
mereka, bukan atas mereka.
Demikianlah
peran para sahabat Nabi shallallahu’alaihi wasallam. Cita-cita mereka adalah
menunjukkan seluruh makhluk pada kebenaran sekaligus meluruskan yang menentang
dan menyimpang. Sejatinya hanya itulah aktivitas mereka. Ketika Rasulullah
shallallahu’alaihi wasallam wafat, para sahabat berbondong-bondong keluar untuk
memerangi orang-orang Arab yang murtad. Kemudian setelah itu mereka menyebar ke
berbagai penjuru dunia sebagai juru dakwah dan mujahidin untuk mendakwahkan
Islam dengan pedang dan keterangan.
Lebih dari
seratus ribu sahabat radhiallahua’anhum hadir menyertai Nabi pada saat Haji
Wada’. Sementara yang dikubur di Baqi’ jumlahnya tak melampaui seratus lima
puluh sahabat. Mayoritasnya menemui ajalnya di negeri-negeri yang jauh dalam
rangka berjihad membela agama ini dan mengokohkan kekuasaanya di bumi.
Imam Al-Auza’i
rahimahullah berkata, “Disebutkan bahwa ada lima hal yang menjadi ciri khas
para sahabat Muhammad dan tabi’in; berkomitmen dengan jama’ah, mengikuti
sunnah, memakmurkan masjid, membaca Al-Quran, dan berjihad fi sabilillah.”
Aksi para
sahabat itu, yang memadukan antara ilmu, dakwah, dan jihad, kemudian diteladani
oleh imam-imam thaifah manshurah dari kalangan tabi’in. Hal itu membuktikan
keagungan Din ini lewat aksi para kesatria, keagungan yang melampaui masa dan
waktu. Betapa indahnya ketika seorang alim menorehkan kemuliaan Islam melalui
cucuran darahnya. Contohnya teramat banyak. Tak mungkin disebutkan satu per
satu.
Inilah imam
penghulu para tabi’in; Sa’id bin Musayyib rahimahullah salah satu dari tujuh
ahli fikih Madinah. Ia pergi berperang padahal telah kehilangan salah satu
matanya. Dikatakan padanya, “Engkau cacat.” Maka jawabnya, “Allah telah
memerintahkan keluar semua orang yang ringan maupun berat. Jika aku tidak mampu
bertempur maka aku akan memperbanyak jumlah atau menjaga perbekalan.”
Al-Izzi
menceritakan biografi seorang ahli hadits agung Abu Ishak Al-Fazari
rahimahullah, “Ia adalah seorang yang terpercaya lagi selalu mengikuti sunnah.
Seorang yang shalih. Dialah yang mendidik ahli tsughur dan mengajari
mereka sunnah. Ia selalu beramar makruf nahi munkar. Jika ada ahli bid’ah yang
pergi ke tsughur maka akan diusirnya.”
Adz-Dzahabi
menceritakan biografi Abdullah bin Mubarak, “Imam al-hafizh (hafal
100.000 hadits) ‘allamah (yang amat dalam ilmunya) syaikhul Islam,
kebanggaan mujahidin dan teladan orang-orang zuhud. Abu Abdurrahman Al-Hanzhali
Al-Marwazi. Demi Allah, sungguh aku mencintainya karena Allah. Aku berharap
kebaikan juga mencintainya karena apa yang dianugerahkan Allah padanya berupa
ketakwaan, ibadah, keikhlasan, jihad, ilmu yang luas, tenggang rasa, dan
berbagai sifat terpuji lainnya.”
Dari Muhammad
bin Fudhail, ia berkata, “Aku bertemu Abdullah bin Mubarak di mimpi. Aku
bertanya, ‘Amalan apa yang engkau dapati paling utama? Jawabnya, ‘Amalan yang
biasa aku lakukan.’ Aku bertanya, ‘Ribat dan jihad? Ia menjawab, ‘Betul’.”
Adz-Dzahabi
menceritakan biografi Asad bin Al-Furat rahimahullah, “Imam ‘allamah,
hakim dan komandan terdepan mujahidin. Ia berilmu luas sekaligus kesatria dan
pahlawan pemberani. Penguasa Sisilia bergerak menghadangnya dengan pasukan
berkekuatan 150.000 prajurit. Seorang lelaki berkata, ‘Aku melihat Asad
mengangkat panji sambil membaca surah Yasin. Lalu ia menyerbu hingga musuh
terpukul mundur. Aku melihat darah mengalir di gagang panji itu dan di kedua
lengannya. Ia jatuh sakit ketika memblokade Siracusa.”
Adz-Dzahabi
menceritakan biografi Abu Al- ’Arab, “Muhammad bin Ahmad bin Tamim. Mufti
‘allamah. Menguasai berbagai disiplin ilmu. Dia ikut serta memberontak atas
Bani Ubaid dalam pemberontakan Abu Yazid. Ketika mereka mengepung Mahdiyah, Abu
Al-’Arab membacakan dua surat dari Muhammad bin Sahnun di depan orang-orang.
Lalu katanya, ‘Aku telah menulis 3500 kitab dengan tanganku ini. Demi Allah,
membaca dua surat ini bagiku lebih utama daripada seluruh apa yang telah aku
tulis.”
Al-Qadhi Iyadh
rahimahullah menyebutkan bahwa tak ada satupun fuqoha terkenal yang tidak
bergabung dalam pemberontakan atas Daulah Ubaidiyyah ini kecuali Abu Maisarah
karena ia buta. Namun ia ikut berjaga di Qairuwan bersama orang-orang karena
seluruh masyaikh sepakat keluar memberontak.
Adz-Dzahabi
menyebutkan bahwa dalam satu pertempuran melawan orang-orang Ubaidi saja, ada
delapan puluh lima ulama dan ahli zuhud yang gugur syahid. Demikianlah, ketika
ummat bangkit untuk berjihad melawan salibis demi menegakkan kalimat Allah,
membebaskan tanahnya yang terjajah, dan merebut hak-haknya yang terampas, para
ulama amilin berada di garda terdepan barisan jihad hingga banyak yang tertawan
dan terbunuh.
Ibnu Khallikan
berkata, “Pada permulaan Jumadal Ula tahun 73 H, Sultan menyerahkan Ramlah yang
padat penduduk pada Perancis. Ketika kaum muslimin kalah, tidak ada benteng
terdekat untuk berlindung. Maka mereka berbondong-bondong pergi ke Mesir.
Banyak kaum muslimin yang tersesat dan meninggal di perjalanan. Sekelompok lain
tertangkap, termasuk faqih Isa Al-Hakari. Suatu musibah besar yang kemudian
Allah mengangkatnya dengan Perang Hittin.”
Ibnu Katsir
menceritakan musibah ini, “Dua bersaudara faqih, Dhiyauddin Isa dan Zhahiruddin
tertangkap. Sultan lalu menebus keduanya dua tahun kemudian dengan 9000 dinar.”
Ketika kaum
muslimin bergerak untuk membebaskan Baitul Maqdis, para ulama amat bersemangat
untuk ikut serta, sampai-sampai disebutkan bahwa tidak ada ahli ilmu pun yang
tidak ikut serta dalam pembebasan itu. Ibnu Katsir berkata, “Tersira kabar
bahwa Sultan telah memutuskan untuk membebaskan Baitul Maqdis. Maka para ulama
dan orang-orang shalih datang berduyun-duyun secara sukarela. Di antara para
ulama mujahid yang ikut serta membebaskan Baitul Maqdis dan dalam perang-perang
suci setelahnya adalah para ulama Hambali khususnya para tetuanya seperti
Syaikh Al-Alim Al-’Amil Az-Zahid Abu Umar Al-Maqdisi dan saudaranya Imam
Muwaffaq penulis Al-Mughni, serta putra Bibi mereka Al-Hafizh ‘Abdul Ghani dan
saudaranya Al-’Imad.”
Adapun aksi
jihad Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah melawan Tartar itu laksana lampu yang
terang benderang. Ibnu Katsir rahimahullah menceritakan serbuan Tartar atas
Damaskus, “Syaikh Taqiyuddin Ibnu Taimiyyah setiap malam selalu berkeliling di
tembok kota menyemangati orang-orang untuk bersabar dan terus bertempur dan membacakan
ayat-ayat jihad dan ribat.”
Adz-Dzahabi
memujinya, “Ia menolong sunnah dengan argumentasi-argumentasi paling jelas dan
keterangan yang paling cemerlang. Karena Allah, ia banyak didiskreditkan oleh
orang-orang yang menyelisihinya. Ia sering diteror hanya karena menolong
sunnah. Hingga akhirnya Allah mengangkat kedudukannya, menjadikan hati
orang-orang bertakwa mencintainya dan selalu mendoakannya. Allah membungkam
musuh-musuhnya. Dengannya, Allah memberi hidayah banyak pengikut sekte-sekte
sesat. Ditundukkan-Nya raja-raja dan penguasa untuk menaati dan patuh padanya.
Dengannya, Allah menghidupkan kembali Syam, dan bahkan Islam setelah hampir
padam, khususnya dalam masa-masa invasi Tartar. Bukti terbesar yang dengannya
orang tak perlu diingatkan mengenai biografinya yang mulia. Jikalau aku
bersumpah di antara rukun dan maqam, maka niscaya aku bersumpah bahwa tidak ada
seorangpun sepertinya yang aku lihat, dan ia tidak bisa dibandingkan dengan
siapapun.”
Memisahkan
antara ilmu dan jihad, dakwah dengan lisan dan dakwah dengan pedang, sama
sekali bukan manhaj thaifah manshurah. Karena itu adalah pemisahan yang buruk,
musibah besar, bid’ah keji, dan penyimpangan dalam agama, yang hanya mewariskan
kepedihan hati, cucuran air mata, dan keputusasaan yang memenuhi jiwa.
Siapapun yang
memperhatikan sejarah Nabi shallallahu’alaihi wasallam niscaya akan mendapati
bahwa beliau sejak terbitnya fajar dakwah ini telah berusaha memperoleh
faktor-faktor kekuatan. Terlihat jelas ketika beliau shallallahu’alaihi wasallam
menemui kabilah-kabilah pada musim haji barangkali ada yang bersedia membelanya
dan mengangkat senjata agar perintah Rabbnya terus diserukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar