7/29/2019

SIKAP PERTENGAHAN AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH - Oleh Ibnu Taimiyah


SIKAP PERTENGAHAN
AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
SIKAP PERTENGAHAN AHLUS SUNNAH DIANTARA
FIRQAH SESAT DALAM MASALAH SIFAT ALLAH
Oleh : Ibnu Taimiyah

Umat Islam adalah umat yang wasath, berada di tengah-tengah dìbandingkan dengan berbagai agama lain. Sebagaimana firman Allah:

وَكَذَالِكَ جَعَلْنَكُمْ أُمَّةً وَسَطًا

“Demikianlah, Kami telah menjadikan kamu sekalian sebagai umat yang wasath.”
(Al-Baqarah: 143).

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kelompok pertengahan dìbandingkan dengan kelompok-kelompok yang menisbahkan dirinya kepada Islam. Mereka adalah orang-orang yang pertengahan antara orang-orang Jahmiyah yang menafikan sifat-sifat dan nama-nama Allah, yang melucuti Allah dari sifat-sifat-Nya, yang karena itu mereka disebut sebagal Ahli Ta’thil dengan Ahli Tamtsil, yaitu kelompok yang berseberangan dengan Jahmìyah, yang meyakini sifat-sifat Allah, akan tetapi mereka menjadikan sifat-sifat tersebut sebagaimana sifat-sifat makhluk, maka mereka mengatakan : Tangan Allah sebagaimana tangan makhluk dan pendengaran Allah sebagai mana pendengaran makhluk. Maha Suci Allah dari perkataan orang-orang zhalim itu. Adapun Ahlu Sunnah wal Jama’ah, menetapkan sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya. Mereka me-Mahasucikan Allah dari keserupaan dengan para makhluk, tanpa meniadakannya. Mereka memadukan antara Tanzih (pemahasucian), dan Itsbat (penetapan).

Allah telah membantah kedua kelompok yang menyimpang di atas dengan firman-Nya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan
Dia-lah Yang Maha Mendengar Lagi Maha Melihat.”

Firman-Nya:

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ

“Tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”

Adalah bantahan terhadap kaum musyabbihah (yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya), sedangkan firman Allah:


وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Dan Dia Maha Mendengar Lagi Maha Melihat”,

Adalah bantahan terhadap kaum Mu’athilah (yang menafikan sifat-sifat Allah)


SIKAP PERTENGAHAN AHLUS SUNNAH
ANTARA JABRIYAH DAN QADARIYAH DALAM
MASALAH PERBUATAN HAMBA


Ahlus Sunnah memiliki sikap yang pertengahan antara penganut paham Jabriyah dan Qadariyah, serta yang lainnya.

Kaum Jabriyah, yang juga merupakan penganut paham Jahmiyah dan pengikut Jahm bin Shafwan, mengatakan: Sesungguhnya, para hamba itu dipaksa atas perbuatan dan gerakan-gerakannya, serta dalam seluruh perilakunya, sebagaimana halnya gerakan-gerakan orang yang gemetar dan urat-urat yang berdenyut, kesemuanya merupakan perbuatan Allah.

Adapun kaum Qadariyah, yaitu orang-orang Mu’tazilah pengikut Ma’bad Al-Juhaniy beserta orang-orang yang sepaham dengan mereka, mengatakan : Sesungguhnya, hambalah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya, tanpa campur tangan kehendak dan kekuasaan Allah. Jadi, mereka mengingkari bahwa Allah adalah pencipta perbuatan-perbuatan para hamba. Mereka mengatakan : Allah tidak menghendakinya dan tidak menginginkannya.

Allah telah memberikan petunjuk kepada Ahlus Sunnah wal Jama'ah untuk menjadi kaum yang pertengahan di antara kedua kelompok ini. Mereka mengatakan : Sesungguhnya Allah Ta'ala adalah yang menciptakan para hamba berikut perbuatan-perbuatan mereka, akan tetapi para hamba tersebut benar-benar melakukannya dan memiliki kemampuan untuk melakukannya, sedangkan Allah adalah yang menciptakan mereka dan segala kemampuan mereka. Allah Ta'ala berfirman :


وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ

"Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu buat."
(Ash-Shafat : 96).

Ahlus Sunnah juga meyakini bahwa seorang hamba memiliki kehendak dan ikhtiar yang mengikuti kehendak Allah Ta'ala. Allah Ta'ala berfirman:

لِمَنْ شَآءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمُ, وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَسَآءَ اللهُ رَبُّ الْعَلَمِينَ

“Bagi siapa antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki oleh Allah, Rabb semesta alam."
(At-Takwir : 28-29).


SIKAP PERTENGAHAN AHLUS SUNNAH ANTARA
KAUM MURJIA'H DAN KAUM WA'IDIYAH DARI
GOLONGAN QADARIYAH DALAM MASALAH
ANCAMAN ALLAH


Murji'ah : Berasal dari kata irja', yang artinya menangguhkan. Mereka dinamakan demikian dikarenakan mereka menunda amal dari iman. Mereka mengatakan; Suatu dosa tidak memberikan mudharat dengan adanya iman, sebagaimana suatu ketaatan tidak berguna dengan adanya kekafiran. Jadi, menurut mereka, amal tidaklah termasuk dalam sebutan iman, iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang, dan seorang pelaku dosa besar itu memiliki keimanan yang sempurna dan tidak terkena ancaman siksa. Pendapat mereka ini batil berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah.

Adapun Wa'idiyah adalah golongan yang mengatakan: “Berdasarkan rasio, Allah haruslah menyiksa orang yang bermaksiat sebagaimana harus memberi pahala orang yang berbuat ketaatan. Maka, barang siapa yang meninggal dalam keadaan berbuat dosa besar dan belum bertaubat, maka ia kekal di naar selama-lamanya. Ini merupakan salah satu prinsip kaum Mu'tazilah yang juga diyakini oleh kaum Khawarij. Mereka berkata : Karena Allah tidak menyelisihi janji. Pendapat mereka ini batil dan bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah Ta'ala berfirman :

إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَسَآءَ

"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya."
                                                                 (An-Nisa' : 48).                               

Adapun Ahlus sunnah wal Jama'ah, memiliki sikap yang pertengahan dalam masalah ancaman Allah ini, antara kedua kelompok ini. Mereka mangatakan; Sesungguhnya seorang pelaku dosa besar itu beriman dengan keimanannya tetapi juga fasik karena perbuatan dosa besarnya, atau seorang mukmin yang kurang sempurna imannya. Apabila ia mati sebelum bertaubat, maka ia berada di bawah kehendak Allah. Bila Dia menghendaki, Dia mengampuninya dengan kasih sayang dan karunia-Nya serta memasukkannya ke jannah sejak awal. Dan bila Dia menghendaki, Dia akan menyiksanya dengan keadilan-Nya, sesuai dengan kadar dosa-dosa-Nya, di dalam naar, akan tetapi ia tidak kekal di dalamnya, melainkan akan keluar setelah disucikan dan dibersihkan dari dosa-dosa dan kemaksiatan, dan akhirnya ia akan masuk ke jannah berkat syafaat atau karunia dan rahmat Allah, dan kesemua itu merupakan karunia dari Allah Ta'ala.

Ahlus Sunnah mengatakan : Menyelisihi ancaman merupakan kemurahan, berbeda dengan menyelisihi janji kebaikan. Menyelisihi ancaman merupakan perbuatan terpuji, tidak sebagaimana menyelisihi janji kebaikan.

Seorang penyair berkata :
“Sungguh, bila aku mengancamnya atau menjanjikan kebaikan untuknya
Kuselisihi ancamanku, dan kupenuhi janji baikku.”


SIKAP WASATH PERTENGAHAN AHLUS SUNNAH
DALAM MASALAH ASMA'UL IMAN WADDIEN
(NAMA-NAMA IMAN DAN DIN),
ANTARA KAUM HARURIYAH DAN MUTAZILAH
DENGAN KAUM MURJI'AH DAN JAHMIYAH


Yang dimaksud Asma' (nama-nama) di sini adalah Asma'ud Dien (sebutan-sebutan dalam agama), seperti : Mukmin, muslim, kafir, dan fasik. Adapun yang dimaksud dengan hukum-hukum adalah hukum-hukum bagi orang-orang yang menyandang sebutan tersebut, baik di dunia maupun akhirat.

1. Haruriyah
adalah sekelompok dari golongan Khawarij, yang dikaitkan dengan nama Harura', yaitu nama suatu tempat dekat Kufah. Mereka berkumpul di tempat ini ketika membelot dan memberontak terhadap Ali radhiallahu ‘anhu. Mereka berpendapat bahwa seseorang itu tidak disebut mukmin kecuali apabila ia telah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar. Mereka mengatakan: Din dan Iman adalah perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Akan tetapi ia tidak bertambah dan tidak berkurang. Maka barangsiapa melakukan dosa besar, ia kafir di dunia, sedangkan di akhirat kekal di naar selama-lamanya, bila ia belum bertaubat sebelum mati.

2. Mu'tazilah
adalah para pengikut Washil bin 'Atho' dan Amru bin 'Ubaid. Mereka disebut Mu'tazilah, karena mereka I'tizal (menyendiri); memisahkan diri dari majlis Hasan Al-Bashri, dan ada pula yang menyebutkan sebab lain.  Menurut mereka, seseorang tidak disebut mukmin kecuali apabila ia telah melaksanakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar. Mereka mengatakan : Din dan Iman itu perkataan, perbuatan, dan keyakinan, akan tetapi tidak bertambah dan tidak berkurang. Maka, barangsiapa yang melaksanakan dosa besar, ia berada di suatu tempat antara dua tempat -ia telah keluar dari iman akan tetapi belum masuk ke dalam kekafiran-. Inilah hukumnya di dunia menurut mereka, adapun hukumnya di akhirat, ia kekal dalam naar selama-lamanya. Jadi, ada dua tempat perbedaan antara Khawarij dan Mu' tazilah dan dua tempat pula yang mereka sepakati.

Terjadi Persamaan di antara mereka pada :
a. Menolak keimanan bagi orang yang melaksanakan dosa besar.
b. Kekekalan orang tersebut di naar bersama orang-orang kafir.

Adapun Perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah :
a. Orang-orang Khawarij menyebutnya sebagai orang kafir, sedangkan orang-orang Mu'tazilah mengatakan bahwa orang tersebut berada di suatu tempat di antara dua tempat.
b. Khawarij menghalalkan darah dan hartanya, sedangkan Mu'tazilah tidak melakukan hal itu.

3. Murji'ah
mengatakan: Suatu dosa tidak mendatangkan mudharat terhadap keimanan sebagaimana suatu ketaatan tidak berguna dengan adanya kekafiran. Mereka mengatakan bahwa iman hanyalah pembenaran di dalam hati. Seorang yang melakukan dosa besar menurut mereka memiliki keimanan yang sempurna dan tidak berhak dimasukkan ke naar. Dengan demikian, keimanan orang yang paling fasik sama dengan keimanan orang yang paling sempurna imannya.

4. Demikian halnya pendapat orang-orang Jahmiyah.
Jadi, orang Jahmiyah telah melakukan bid'ah at-ta'thil, al-jabar, dan al-irja', sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah. Orang yang melaksanakan dosa besar menurut mereka memiliki keimanan yang sempurna dan tidak berhak dimasukkan ke dalam naar.

5. Adapun Ahlus Sunnah wal Jama'ah,
telah mendapatkan petunjuk dari Allah untuk memahami kebenaran. Mereka mengatakan: Sesungguhnya, iman adalah ucapan dengan lisan, perbuatan dengan anggota badan, dan keyakinan dengan hati. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Seorang pelaku dosa besar menurut mereka adalah seorang mukmin yang kurang keimanannya. Berkurangnya iman dia itu sebanding dengan kadar maksiat yang dilakukannya. Maka, mereka sama sekali tidak menafikan keimanan dari pelaku dosa besar tersebut seperti pemahaman kaum Khawarij dan kaum Mu'tazilah. Mereka juga tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu seorang yang memiliki iman sempurna seperti pemahaman kaum Murji'ah dan kaum Jahmiyah. Adapun hukum orang tersebut di akhirat, di bawah kehendak Allah. Jika Dia berkehendak, Dia akan memasukkannya ke jannah sejak pertama kali sebagai kasih sayang dan karunia dari Allah, dan jika Dia menghendaki, Dia akan menyiksanya sesuai dengan kadar kemaksiatannya. Ini apabila ia tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal keislaman, tidak menghalal-kan apa yang diharamkan oleh Allah, dan tidak mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Hukum yang diyakini oleh Ahlus Sunnah bahwa seorang mukmin tidak kekal di naar, juga merupakan hukum yang pertengahan antara yang diyakini oleh kaum Khawarij dan kaum Mu'tazilah yang mengatakan bahwa manusia kekal di naar, begitu juga dengan Murji'ah dan Jahmiyah yang mengatakan bahwa manusia tidak berhak untuk mendapatkan hukuman sekalipun melakukan kemaksiatan.


SIKAP PERTENGAHAN AHLUS SUNNAH
DALAM MASALAH SHAHABAT RASULULLAH SHALLALLAHU’ALAIHI WASALLAM
ANTARA RAFIDHAH DENGAN KHAWARIJ DAN NAWASHIB


Rafidhah adalah segolongan dari Syi'ah yang mengkultuskan Ali Radhiallahu 'anhu dan Ahlul Bait secara berlebihan, bersikap memusuhi dan mengkafirkan mayoritas sahabat, termasuk tiga sahabat utama (Abu Bakar, Umar dan Utsman), serta orang-orang yang mengikuti mereka, kaum Rafidhah juga mengkafirkan siapa saja yang memerangi Ali Radhiallahu 'anhu . Mereka berkata : Ali adalah seorang Imam yang ma'shum. Sebab mereka disebut Rafidhah adalah, karena mereka meninggalkan Zaid bin Ali bin Husain, ketika mereka bertanya, "Apakah engkau berlepas diri dari Syaikhain, yaitu : Abu Bakar dan Umar ? " , maka Zaid menjawab, "Ma'adzallah (aku berlindung kepada Allah), keduanya adalah wazir (pembantu) kakekku." Maka mereka menolak Zaid, sehingga dinamakan dengan Rafidhah [Rafidhah berakar dari kata kerja rafadha, yang salah satu artinya adalah meninggalkan (menolak)].

Adapun golongan Zaidiyah mengatakan : Kami berwala' kepada keduanya dan berlepas diri dari siapa saja yang berlepas diri dari keduanya. Mereka mengikuti pendapat Zaid, sehingga mereka disebut sebagai Zaidiyah.

Sedangkan Khawarij adalah kebalikan dari Rafidhah. Mereka mengkafirkan Ali, Mu'awiyah, dan sahabat-sahabat yang bersama keduanya, sekaligus memerangi mereka serta menghalalkan darah dan harta mereka. Sedangkan Nawashib adalah golongan yang menampakkan permusuhan dan mencela Ahlul Bait.

Adapun Ahlus Sunnah wal Jama'ah, telah mendapatkan petunjuk kebenaran dari Allah. Mereka tidak mengkultuskan Ali dan Ahlul Bait, tidak menampakkan permusuhan terhadap para sahabat Radhiyallahu'anhum, tidak mengkafirkan mereka, serta tidak berbuat sebagaimana golongan Nawashib yang memusuhi Ahlul Bait. Sebaliknya, mereka mengakui hak dan keutamaan semuanya, berwala' kepada mereka, meyakini peringkat keutamaan mereka sebagai berikut : Abu Bakar, Umar, Utsman, kemudian Ali rahiallahu’anhu, menahan diri dari pembicaraan yang bertele-tele mengenai mereka, dan mendoakan seluruh shahabat agar mendapatkan limpahan rahmat Allah.

Jadi, mereka bersikap pertengahan antara pengkultusan yang dilakukan oleh orang-orang Rafidhah dan kebencian orang-orang Khawarij. [Lihat "Al-Kawasyif Al-Jaliyah", hal. 505.]



Source:
Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Oleh: Sa’id bin Ali bin Wahfi AI-Qahthaniy

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...