SIKAP PERTENGAHAN
AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH
SIKAP PERTENGAHAN AHLUS SUNNAH
DIANTARA
FIRQAH SESAT DALAM MASALAH SIFAT
ALLAH
Oleh : Ibnu Taimiyah
Umat Islam adalah umat yang wasath, berada di tengah-tengah
dìbandingkan dengan berbagai agama lain. Sebagaimana firman Allah:
وَكَذَالِكَ جَعَلْنَكُمْ أُمَّةً
وَسَطًا
“Demikianlah, Kami telah
menjadikan kamu sekalian sebagai umat yang wasath.”
(Al-Baqarah: 143).
Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah kelompok pertengahan dìbandingkan
dengan kelompok-kelompok yang menisbahkan dirinya kepada Islam. Mereka adalah
orang-orang yang pertengahan antara orang-orang Jahmiyah yang menafikan
sifat-sifat dan nama-nama Allah, yang melucuti Allah dari sifat-sifat-Nya, yang
karena itu mereka disebut sebagal Ahli Ta’thil dengan Ahli Tamtsil, yaitu kelompok
yang berseberangan dengan Jahmìyah, yang meyakini sifat-sifat Allah, akan
tetapi mereka menjadikan sifat-sifat tersebut sebagaimana sifat-sifat makhluk,
maka mereka mengatakan : Tangan Allah sebagaimana tangan makhluk dan
pendengaran Allah sebagai mana pendengaran makhluk. Maha Suci Allah dari
perkataan orang-orang zhalim itu. Adapun Ahlu Sunnah wal Jama’ah, menetapkan
sifat-sifat Allah tanpa menyerupakannya. Mereka me-Mahasucikan Allah dari
keserupaan dengan para makhluk, tanpa meniadakannya. Mereka memadukan antara
Tanzih (pemahasucian), dan Itsbat (penetapan).
Allah telah membantah kedua kelompok yang menyimpang di atas
dengan firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa
dengan Dia dan
Dia-lah Yang Maha Mendengar Lagi
Maha Melihat.”
Firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatupun yang
menyerupai-Nya”
Adalah bantahan terhadap kaum musyabbihah (yang menyerupakan sifat
Allah dengan sifat makhluk-Nya), sedangkan firman Allah:
وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Dan Dia Maha Mendengar Lagi Maha
Melihat”,
Adalah bantahan terhadap kaum Mu’athilah (yang menafikan
sifat-sifat Allah)
SIKAP PERTENGAHAN AHLUS SUNNAH
ANTARA JABRIYAH DAN QADARIYAH
DALAM
MASALAH PERBUATAN HAMBA
Ahlus Sunnah memiliki sikap yang pertengahan antara penganut paham
Jabriyah dan Qadariyah, serta yang lainnya.
Kaum Jabriyah, yang juga merupakan penganut paham
Jahmiyah dan pengikut Jahm bin Shafwan, mengatakan: Sesungguhnya, para hamba
itu dipaksa atas perbuatan dan gerakan-gerakannya, serta dalam seluruh
perilakunya, sebagaimana halnya gerakan-gerakan orang yang gemetar dan
urat-urat yang berdenyut, kesemuanya merupakan perbuatan Allah.
Adapun kaum Qadariyah, yaitu orang-orang Mu’tazilah
pengikut Ma’bad Al-Juhaniy beserta orang-orang yang sepaham dengan mereka,
mengatakan : Sesungguhnya, hambalah yang menciptakan perbuatan-perbuatannya,
tanpa campur tangan kehendak dan kekuasaan Allah. Jadi, mereka mengingkari
bahwa Allah adalah pencipta perbuatan-perbuatan para hamba.
Mereka mengatakan : Allah tidak menghendakinya dan tidak menginginkannya.
Allah telah memberikan
petunjuk kepada Ahlus Sunnah wal Jama'ah untuk menjadi kaum yang pertengahan di
antara kedua kelompok ini. Mereka mengatakan : Sesungguhnya Allah Ta'ala
adalah yang menciptakan para hamba berikut
perbuatan-perbuatan mereka, akan tetapi para hamba tersebut benar-benar
melakukannya dan memiliki kemampuan untuk melakukannya, sedangkan Allah adalah
yang menciptakan mereka dan segala kemampuan mereka. Allah Ta'ala
berfirman :
وَاللهُ خَلَقَكُمْ وَمَا تَعْمَلُونَ
"Padahal
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu buat."
(Ash-Shafat
: 96).
Ahlus Sunnah juga
meyakini bahwa seorang hamba memiliki kehendak dan ikhtiar yang mengikuti
kehendak Allah Ta'ala. Allah Ta'ala
berfirman:
لِمَنْ شَآءَ مِنْكُمْ أَنْ
يَسْتَقِيمُ, وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَسَآءَ
اللهُ رَبُّ الْعَلَمِينَ
“Bagi
siapa antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan
kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki
oleh Allah, Rabb semesta alam."
(At-Takwir
: 28-29).
SIKAP
PERTENGAHAN AHLUS SUNNAH ANTARA
KAUM
MURJIA'H DAN KAUM WA'IDIYAH DARI
GOLONGAN
QADARIYAH DALAM MASALAH
ANCAMAN
ALLAH
Murji'ah
:
Berasal dari kata irja', yang artinya menangguhkan.
Mereka dinamakan demikian dikarenakan mereka menunda
amal dari iman. Mereka mengatakan; Suatu dosa tidak memberikan mudharat dengan
adanya iman, sebagaimana suatu ketaatan tidak berguna dengan adanya kekafiran.
Jadi, menurut mereka, amal tidaklah termasuk dalam sebutan iman,
iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang, dan
seorang pelaku dosa besar itu memiliki keimanan yang sempurna dan tidak terkena
ancaman siksa. Pendapat mereka ini batil berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Adapun Wa'idiyah
adalah golongan yang mengatakan: “Berdasarkan rasio,
Allah haruslah menyiksa orang yang bermaksiat sebagaimana harus memberi pahala
orang yang berbuat ketaatan. Maka, barang siapa yang meninggal dalam keadaan
berbuat dosa besar dan belum bertaubat, maka ia kekal di naar selama-lamanya.
Ini merupakan salah satu prinsip kaum Mu'tazilah yang juga diyakini oleh kaum
Khawarij. Mereka berkata : Karena Allah tidak menyelisihi janji. Pendapat
mereka ini batil dan bertentangan dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Allah Ta'ala
berfirman :
إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ
يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَسَآءَ
"Sesungguhnya
Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang
selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya."
(An-Nisa'
: 48).
Adapun Ahlus sunnah
wal Jama'ah, memiliki sikap yang pertengahan dalam masalah ancaman Allah ini,
antara kedua kelompok ini. Mereka mangatakan; Sesungguhnya seorang pelaku dosa
besar itu beriman dengan keimanannya tetapi juga fasik karena perbuatan dosa
besarnya, atau seorang mukmin yang kurang sempurna imannya. Apabila ia mati
sebelum bertaubat, maka ia berada di bawah kehendak Allah. Bila Dia
menghendaki, Dia mengampuninya dengan kasih sayang dan karunia-Nya serta
memasukkannya ke jannah sejak awal. Dan bila Dia menghendaki, Dia akan
menyiksanya dengan keadilan-Nya, sesuai dengan kadar dosa-dosa-Nya, di dalam
naar, akan tetapi ia tidak kekal di dalamnya, melainkan akan keluar setelah
disucikan dan dibersihkan dari dosa-dosa dan kemaksiatan, dan akhirnya ia akan
masuk ke jannah berkat syafaat atau karunia dan rahmat Allah, dan kesemua itu
merupakan karunia dari Allah Ta'ala.
Ahlus Sunnah
mengatakan : Menyelisihi ancaman merupakan kemurahan, berbeda dengan
menyelisihi janji kebaikan. Menyelisihi ancaman merupakan perbuatan terpuji,
tidak sebagaimana menyelisihi janji kebaikan.
Seorang penyair
berkata :
“Sungguh,
bila aku mengancamnya atau menjanjikan kebaikan untuknya
Kuselisihi
ancamanku, dan kupenuhi janji baikku.”
SIKAP
WASATH PERTENGAHAN
AHLUS SUNNAH
DALAM
MASALAH ASMA'UL IMAN WADDIEN
(NAMA-NAMA
IMAN DAN DIN),
ANTARA
KAUM HARURIYAH DAN MUTAZILAH
DENGAN
KAUM MURJI'AH DAN JAHMIYAH
Yang dimaksud Asma'
(nama-nama) di sini
adalah Asma'ud Dien (sebutan-sebutan dalam
agama), seperti : Mukmin, muslim, kafir, dan fasik. Adapun yang dimaksud dengan
hukum-hukum adalah hukum-hukum bagi orang-orang yang menyandang sebutan tersebut,
baik di dunia maupun akhirat.
1. Haruriyah
adalah
sekelompok dari golongan Khawarij, yang dikaitkan dengan nama Harura', yaitu
nama suatu tempat dekat Kufah. Mereka berkumpul di tempat ini ketika membelot
dan memberontak terhadap Ali radhiallahu ‘anhu. Mereka berpendapat bahwa
seseorang itu tidak disebut mukmin kecuali apabila ia telah melaksanakan
kewajiban-kewajiban dan menjauhi dosa-dosa besar. Mereka mengatakan: Din dan
Iman adalah perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Akan tetapi ia tidak bertambah
dan tidak berkurang. Maka barangsiapa melakukan dosa besar, ia kafir di dunia,
sedangkan di akhirat kekal di naar selama-lamanya, bila ia belum bertaubat
sebelum mati.
2. Mu'tazilah
adalah
para pengikut Washil bin 'Atho' dan Amru bin 'Ubaid. Mereka disebut Mu'tazilah,
karena mereka I'tizal (menyendiri);
memisahkan diri dari majlis Hasan Al-Bashri, dan ada pula yang menyebutkan
sebab lain. Menurut mereka, seseorang
tidak disebut mukmin kecuali apabila ia telah melaksanakan kewajiban-kewajiban
dan menjauhi dosa-dosa besar. Mereka mengatakan : Din dan Iman itu perkataan,
perbuatan, dan keyakinan, akan tetapi tidak bertambah dan tidak berkurang.
Maka, barangsiapa yang melaksanakan dosa besar, ia berada di suatu tempat
antara dua tempat -ia telah keluar dari iman akan tetapi belum masuk ke dalam
kekafiran-. Inilah hukumnya di dunia menurut mereka, adapun hukumnya di
akhirat, ia kekal dalam naar selama-lamanya. Jadi, ada dua tempat perbedaan antara
Khawarij dan Mu' tazilah dan dua tempat pula yang mereka sepakati.
Terjadi
Persamaan di antara mereka pada :
a.
Menolak keimanan bagi orang yang melaksanakan dosa besar.
b.
Kekekalan orang tersebut di naar bersama orang-orang kafir.
Adapun
Perbedaan yang terjadi di antara mereka adalah :
a. Orang-orang Khawarij menyebutnya sebagai orang
kafir, sedangkan orang-orang Mu'tazilah mengatakan bahwa orang tersebut berada
di suatu tempat di antara dua tempat.
b. Khawarij menghalalkan darah dan hartanya, sedangkan
Mu'tazilah tidak melakukan hal itu.
3. Murji'ah
mengatakan:
Suatu dosa tidak mendatangkan mudharat terhadap keimanan sebagaimana suatu
ketaatan tidak berguna dengan adanya kekafiran. Mereka mengatakan bahwa iman
hanyalah pembenaran di dalam hati. Seorang yang melakukan dosa besar menurut mereka
memiliki keimanan yang sempurna dan tidak berhak dimasukkan ke naar. Dengan
demikian, keimanan orang yang paling fasik sama dengan keimanan orang yang
paling sempurna imannya.
4. Demikian halnya
pendapat orang-orang Jahmiyah.
Jadi,
orang Jahmiyah telah melakukan bid'ah at-ta'thil, al-jabar,
dan al-irja', sebagaimana
dikatakan oleh Ibnul Qayyim Rahimahullah.
Orang
yang melaksanakan dosa besar menurut mereka memiliki keimanan yang sempurna dan
tidak berhak dimasukkan ke dalam naar.
5. Adapun Ahlus
Sunnah wal Jama'ah,
telah
mendapatkan petunjuk dari Allah untuk memahami kebenaran. Mereka mengatakan:
Sesungguhnya, iman adalah ucapan dengan lisan, perbuatan dengan anggota badan,
dan keyakinan dengan hati. Iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan
kemaksiatan.
Seorang pelaku dosa
besar menurut mereka adalah seorang mukmin yang kurang keimanannya.
Berkurangnya iman dia itu sebanding dengan kadar maksiat yang dilakukannya.
Maka, mereka sama sekali tidak menafikan keimanan dari pelaku dosa besar
tersebut seperti pemahaman kaum Khawarij dan kaum Mu'tazilah. Mereka juga tidak
mengatakan bahwa pelaku dosa besar itu seorang yang memiliki iman sempurna
seperti pemahaman kaum Murji'ah dan kaum Jahmiyah. Adapun hukum orang tersebut
di akhirat, di bawah kehendak Allah. Jika Dia berkehendak, Dia akan
memasukkannya ke jannah sejak pertama kali sebagai kasih sayang dan karunia
dari Allah, dan jika Dia menghendaki, Dia akan menyiksanya sesuai dengan kadar
kemaksiatannya. Ini apabila ia tidak melakukan salah satu dari
pembatal-pembatal keislaman, tidak menghalal-kan apa yang diharamkan oleh
Allah, dan tidak mengharamkan apa yang dihalalkan oleh Allah. Hukum yang
diyakini oleh Ahlus Sunnah bahwa seorang mukmin tidak kekal di naar, juga
merupakan hukum yang pertengahan antara yang diyakini oleh kaum Khawarij dan
kaum Mu'tazilah yang mengatakan bahwa manusia kekal di naar, begitu juga dengan
Murji'ah dan Jahmiyah yang mengatakan bahwa manusia tidak berhak untuk
mendapatkan hukuman sekalipun melakukan kemaksiatan.
SIKAP
PERTENGAHAN AHLUS SUNNAH
DALAM
MASALAH SHAHABAT RASULULLAH SHALLALLAHU’ALAIHI
WASALLAM
ANTARA
RAFIDHAH DENGAN KHAWARIJ DAN NAWASHIB
Rafidhah adalah
segolongan dari Syi'ah yang mengkultuskan Ali Radhiallahu
'anhu dan Ahlul Bait secara berlebihan, bersikap memusuhi dan
mengkafirkan mayoritas sahabat, termasuk tiga sahabat utama (Abu Bakar, Umar
dan Utsman), serta orang-orang yang mengikuti mereka, kaum Rafidhah
juga mengkafirkan siapa saja yang memerangi Ali Radhiallahu
'anhu . Mereka berkata : Ali adalah seorang Imam yang
ma'shum. Sebab mereka disebut Rafidhah adalah, karena mereka meninggalkan Zaid
bin Ali bin Husain, ketika mereka bertanya, "Apakah engkau berlepas diri
dari Syaikhain, yaitu : Abu Bakar dan Umar ? " , maka Zaid menjawab, "Ma'adzallah
(aku berlindung kepada Allah), keduanya adalah wazir
(pembantu) kakekku." Maka mereka menolak Zaid, sehingga dinamakan dengan
Rafidhah [Rafidhah berakar dari kata
kerja rafadha, yang salah satu artinya adalah meninggalkan
(menolak)].
Adapun golongan Zaidiyah
mengatakan : Kami berwala' kepada keduanya dan berlepas diri dari siapa saja
yang berlepas diri dari keduanya. Mereka mengikuti pendapat Zaid, sehingga
mereka disebut sebagai Zaidiyah.
Sedangkan Khawarij adalah
kebalikan dari Rafidhah. Mereka mengkafirkan Ali, Mu'awiyah, dan
sahabat-sahabat yang bersama keduanya, sekaligus memerangi mereka serta
menghalalkan darah dan harta mereka. Sedangkan Nawashib adalah golongan yang
menampakkan permusuhan dan mencela Ahlul Bait.
Adapun Ahlus Sunnah
wal Jama'ah, telah mendapatkan petunjuk kebenaran dari Allah. Mereka tidak
mengkultuskan Ali dan Ahlul Bait, tidak menampakkan permusuhan terhadap para
sahabat Radhiyallahu'anhum, tidak
mengkafirkan mereka, serta tidak berbuat sebagaimana golongan Nawashib yang
memusuhi Ahlul Bait. Sebaliknya, mereka mengakui hak dan keutamaan semuanya,
berwala' kepada mereka, meyakini peringkat keutamaan mereka sebagai berikut :
Abu Bakar, Umar, Utsman, kemudian Ali rahiallahu’anhu, menahan diri dari
pembicaraan yang bertele-tele mengenai mereka, dan mendoakan seluruh shahabat
agar mendapatkan limpahan rahmat Allah.
Jadi, mereka bersikap
pertengahan antara pengkultusan yang dilakukan oleh orang-orang Rafidhah dan
kebencian orang-orang Khawarij. [Lihat "Al-Kawasyif
Al-Jaliyah", hal. 505.]
Source:
Syarh Al-Aqidah
Al-Wasithiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Oleh:
Sa’id bin Ali bin Wahfi AI-Qahthaniy
Tidak ada komentar:
Posting Komentar