7/14/2019

HUKUM DARAH


Orang Kafir Halal Darah dan Hartanya

Kebanyakan muslim yang tidak memahami akidah Islam secara benar meyakini bahwa orang-orang kafir dan musyrik yang tidak tergabung ke dalam barisan militer, maka mereka dikategorikan sebagai “masyarakat sipil”. Tak ayal, bagi mereka, orang-orang kafir “masyarakat sipil” tersebut tidak boleh ditarget untuk diperangi atau dilawan.
Padahal, penamaan dan pembagian tersebut –serta berbagai konsekuensi hukumnya yang batil— tidak pernah disebutkan dan tidak pernah ada keterangannya di dalam syariat Allah, baik secara tekstual maupun kontekstual. Ini mengingat, neraca klasifikasi manusia di dalam Islam tidak mengenal istilah “sipil” dan “militer”. Pembagian manusia di dalam Islam sesungguhnya hanya mengenal dua kelompok saja; beriman atau kafir.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, Dialah yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin.” (At-Taghabun: 2)
Maknanya, orang-orang yang mau mengimani Allah dan Rasulullah, kafir kepada thaghut, mengerjakan segala perintah Allah, menjauhi segala larangan-Nya, serta menghindari hal-hal yang membatalkan keimanannya, maka mereka adalah orang-orang beriman. Dan orang-orang yang tidak mau mengimani Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, tidak mau masuk ke dalamnya secara menyeluruh, atau melakukan satu dari sepuluh pembatal keislaman, maka mereka adalah orang-orang kafir. Allah mengingatkan:Dan katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Rabb kalian; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah dia kafir.” (Al-Kahfi: 29)
Ibnu Hazm menguatkan hal ini, “Tak ada agama selain Islam atau kekafiran. Barangsiapa yang meninggalkan salah satunya, akan memasuki yang lain, sebab tidak ada lagi sesuatu di antara keduanya.” Jadi, barangsiapa yang terjatuh ke dalam kekafiran, maka dia telah meninggalkan Islam. Islam dan kekafiran adalah dua hal kontradiktif secara diametral.
Selanjutnya, dari pembagian ini, Islam menetapkan sejumlah konsekuensi bagi masing-masing kelompok, baik konsekuensi di dunia maupun yang bersifat eskatologis (akhirat). Orang Islam mendapatkan konsekuensi dari keimanannya, sebagaimana orang kafir pun akan mendapatkan konsekuensi dari kekafirannya.
Di antara konsekuensi terpenting di dunia; orang beriman akan terjaga darah dan hartanya, apa pun pekerjaan dan posisinya. Adapun orang kafir, jika dia tidak mau beriman dan tidak terlibat dalam perjanjian keamanan –semisal akad ahlu dzimmah, gencatan senjata, atau ‘ahdun musta`man (perlindungan keamanan)— maka darah dan hartanya tidak terjaga, alias darahnya boleh ditumpahkan dan hartanya halal diambil alih, apa pun pekerjaan dan posisinya. Dan membunuhnya adalah sebuah kewajiban berpahala.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam  bersabda,Barangsiapa yang mengucapkan ‘la ilaha illallah’ (tiada ilah yang berhak disembah selain Allah) dan kafir kepada segala sesuatu yang disembah selain Allah, maka telah haram harta dan darahnya, dan perhitungannya ada pada Allah.” (HR. Muslim)
Tentunya, kalimat “la ilaha illallah” tidak boleh hanya diucapkan atau diikrarkan lisan tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan berbagai konsekuensinya. Kaum munafik mengikrarkan kalimat tauhid, namun sejatinya mereka berada dalam kekufuran dan menempati kerak neraka, kendati mereka shalat, puasa, dan mengeluarkan zakat. (Lihat: Kalimat La Ilaha Illallah, infografik buletin An- Nabaa`, Rajab 1437 H)
Dikatakan kepada Hasan Al-Bashri, “Sebagian manusia berkata bahwa siapa saja yang mengikrarkan “La Ilaha Illallah” akan masuk surga.”
Dia menjawab,
“BARANGSIAPA MENGUCAPKAN “LA ILAHA ILLALLAH”
LALU MEMENUHI SYARAT-SYARAT DAN MENGAMALKAN KEWAJIBANNYA,
MAKA DIA MASUK SURGA.”

DUA RUKUN KALIMAT TAUHID

Wajib dipahami oleh kita; “La ilaha illallah” mempunyai dua rukun utama; (1) Menafikan semua ibadah yang diperuntukkan selain Allah dan (2) menetapkan semua ibadah hanya untuk Allah semata tanpa menyekutukannya. Dan ketujuh syaratnya adalah ilmu yang meniadakan kebodohan, cinta meniadakan benci, yakin meniadakan keraguan, patuh meniadakan pengabaian, jujur meniadakan dusta, menerima yang meniadakan penolakan, dan ikhlas yang meniadakan syirik.
Dalam sabda yang lain, Rasulullah menegaskan bahwa keterjagaan darah dan harta seseorang tergantung pada penunaiannya terhadap kalimat tauhid dan pelaksanaan hal-hal yang wajib secara pasti diketahui di dalam agama (baca: penegakan shalat, dan pembayaran zakat).
Rasul menegaskan:Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan yang demikian, maka mereka telah memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah.” (HR. Al-Bukhari)  

Dari dua hadits di atas dapat diambil kesimpulan hukum, sesungguhnya orang beriman yang mengucapkan, meyakini, dan mengamalkan segenap konsekuensi kalimat tauhid, maka darah dan hartanya terjaga. Haram bagi siapapun untuk menumpahkan darah dan mengambil alih harta seorang muslim. Dan sebaliknya, orang kafir dan musyrik tidaklah terjaga darah dan hartanya, disebabkan mereka menafikan kalimat “la ilaha illallah”.

Terlebih lagi di negara-negara Salibis yang berkomplot untuk memerangi Daulah Islam, maka darah orang-orang kafir di sana tidaklah terjaga. Juru Bicara Daulah Islam Syaikh Abu Muhammad Al-Adnani –semoga Allah menjaganya—memaparkan di dalam pidato berjudul Wa Yahya Man Hayya ‘An Bayyinah, “Maka ketahuilah, sesungguhnya di tanah air Salibis yang memerangi (Daulah Islam) tidak ada perlindungan darah, dan tidak ada yang disebut “masyarakat tidak berdosa”.”

KEKAFIRAN DAN KESYIRIKAN
ADALAH SEBAB PEPERANGAN

 Selain itu, hadits-hadits di atas juga menyatakan secara tegas, bahwa sebab dari diwajibkan peperangan dan pembunuhan terhadap orang kafir adalah kekafiran, kesyirikan, dan penafian kalimat tauhid. Rasul diperintahkan untuk memerangi manusia, sampai mereka mau beriman dan bertaubat dari kekafiran mereka. Maknanya, Rasulullah diutus dan diperintahkan Allah untuk memerangi manusia, sampai mereka mau menyembah dan mengibadahi Allah semata serta berlepas diri dan memerangi setiap berhala dan thaghut yang disembah dan ditaati selain Allah.
Artinya, alasan dan sebab diperangi dan dibunuhnya orang-orang kafir adalah murni karena kekafiran dan kesyirikan mereka, bukan karena mereka memerangi kita terlebih dulu, atau hal-hal lainnya. Dalam hadits tadi, Rasulullah menjadikan tujuan akhir dari peperangan adalah Islam. Bermakna bahwa jika seluruh manusia sudah masuk Islam, maka tidak ada lagi perang. Di sisi lain, banyak sekali hadits yang menunjukkan bahwa tidak mungkin seluruh manusia akan menjadi Islam. Pun demikian dengan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa kekufuran senantiasa ada hingga Hari Kiamat. Jika demikian, berarti perang akan senantiasa eksis bersamaan dengan adanya kekufuran.
Konsepsi demikian sudah lebih dulu ditegaskan Allah di dalam Al-Quran. Allah berfirman,
DAN PERANGILAH MEREKA, SUPAYA JANGAN ADA FITNAH (SYIRIK) DAN SUPAYA AGAMA ITU SEMATA-MATA MILIK ALLAH.”
(Al-Anfal: 39)
Dijelaskan oleh para ulama, “fitnah” dalam ayat tersebut maknanya adalah “kekafiran”. Artinya, perangilah orang-orang kafir sehingga tidak ada lagi kekafiran. Karena dalam ayat lainnya diterangkan bahwa “fitnah” (kesyirikan atau kekufuran) lebih dahsyat bahayanya daripada pembunuhan. Allah berfirman: Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.” (Al-Baqarah: 191) Dalam ayat lainnya:Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya) daripada membunuh.” (Al-Baqarah: 217)
Dikuatkan lagi oleh Ibnul Arabi Al-Maliki rahimahullah ketika menjelaskan surat Al-Anfal ayat 39: “Dengan ayat ini, sebab pembunuhan adalah adanya kekafiran. Karena Allah berfirman, ‘Supaya jangan ada fitnah.’ Allah menetapkan tujuan yaitu tidak adanya kekafiran secara tekstual. Dan menerangkan bahwa sebab pembunuhan yang dibolehkan dalam al-qital (peperangan) adalah karena adanya kekafiran.” (Lihat: Ahkam Al-Quran, Ibnul Arabi)
Di dalam tafsirnya, Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Ibnu Jarir (Ath-Thabari) melansir ijma’ (konsensus) bahwa orang musyrik boleh dibunuh apabila dia tidak memiliki perlindungan keamanan, meskipun dia menjadi imam di Baitul Haram atau di Baitul Maqdis.” (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir). Imam Asy-Syaukani menyebutkan bahwasanya orang musyrik, baik dia memerangi atau tidak memerangi (kaum muslimin), maka darahnya halal selama dia masih musyrik.
Pasalnya, orang kafir musyrik adalah najis, bukan najis tubuh mereka, melainkan disebabkan kesyirikan yang mereka anut. Allah berfirman, Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (At-Taubah: 28)
Sebagaimana halnya najis yang bersifat konkret, najis kesyirikan yang abstrak pun sesuatu yang dibenci serta harus dilenyapkan. Orang kafir dan musyrik harus hidup tunduk terhina di bawah supremasi aturan Islam dan superioritas kaum muslimin. Mereka tidak boleh dibiarkan hidup secara nyaman. Sampai-sampai di dalam hadits hasan-shahih, Rasulullah mengajarkan:Janganlah kalian memulai memberi salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian berjumpa dengan salah seorang dari mereka di jalan, maka desaklah mereka ke jalan paling sempit.” (HR. At-Tirmidzi, 1528)
Para ulama menerangkan, maksud dari pelarangan itu adalah karena memulai memberi salam kepada orang-orang kafir merupakan bagian dari penghormatan kepada mereka, padahal kaum muslimin diperintahkan untuk menghinakan mereka. Hal ini juga berlaku saat bertemu salah seorang dari mereka di jalan, maka dianjurkan untuk tidak memberi jalan kepada mereka, sebab itu bagian dari pengagungan kepada mereka.
Kaum muslimin adalah umat superior. Sehingga Allah pun hanya memberi – misalnya— ampunan kepada orang-orang beriman, tidak kepada orang-orang kafir. Allah meminta kita agar tidak bersikap lemah dan berdamai kepada orang kafir, karena kita berada di atas mereka. Allah berfirman:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala) amal-amalmu. Sesungguhnya orang-orang kafir dan (yang) menghalangi manusia dari jalan Allah kemudian mereka mati dalam keadaan kafir, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampun kepada mereka. Janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi pahala amal-amalmu.” (Muhammad: 33-35)
Orang-orang beriman mestilah menerapkan perlakuan keras kepada orang-orang kafir, sebagai realisasi firman Allah:Wahai orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaknya mereka mendapatkan sikap keras dari kalian.” (At- Taubah: 123)
Maksudnya, supaya orang-orang kafir itu mendapatkan kekerasan dari kalian dalam peperangan kalian melawan mereka. Karena mukmin sempurna adalah orang yang berlemah-lembut kepada saudara seiman dan keras terhadap orang kafir. Allah berfirman, Keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih-sayang kepada sesama mereka.” (Al-Fath: 29)
Sehingga Nabi Muhammad pun diperintahkan untuk menjihadi orang-orang kafir dan munafik, serta bersikap keras kepada mereka. Allah menegaskan, Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang mnunafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah Jahanam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (At-Taubah: 73, At-Tahrim: 9)


Pembagian Manusia Menurut Islam

Terkait hal demikian, Syaikh Abu Mush’ab Az- Zarqawi membeberkan di dalam ceramah berjudul Qul A`antum A’lamu Am Allah, bahwa Islam hanya mengklasifikasikan seluruh manusia di muka bumi ke dalam tiga kelompok:
Pertama, ahlul (pemeluk) Islam yang benar-benar berafiliasi kepada akidah Islam. Kedua, orang kafir yang mengadakan perdamaian dengan Islam. Dia berdamai dengan kaum muslimin, baik dengan akad dzimmah (perjanjian keamanan hidup di bawah naungan Daulah Islam), perjanjian gencatan senjata dengan mujahidin Daulah Islam, atau perjanjian keamanan yang diberikan oleh Khalifah (‘ahd musta`man).
Dua golongan di atas meniscayakan terjaganya darah dan harta mereka, kecuali apabila salah seorang di antara mereka melakukan pelanggaran yang menghalalkan darah mereka untuk ditumpahkan atau harta mereka untuk dirampas, berdasarkan ketentuan-ketentuan syariat Islam.
Di antara salah satu akad perjanjian yang menjaga darah dan harta orang kafir, dan dijelaskan di dalam Al-Quran, adalah akad dzimmah dan pembayaran jizyah. Allah berfirman di dalam surat At-Taubah ayat 29, Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada Hari Akhir, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
Perhatikanlah, Allah memerintahkan kita memerangi orang-orang yang tidak beriman, orang-orang yang menghalalkan apa-apa yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya, serta tidak beragama yang benar. Jika mereka tidak mau diperangi, maka mereka harus patuh di bawah ketentuan Daulah Islam, dengan membayar jizyah, sedang mereka dalam keadaan tunduk terhina di bawah kaum muslimin. Dari sini juga kita dapatkan sekali lagi, alasan di balik pembunuhan dan peperangan adalah adanya “ketidakberimanan” atau “ketidakbertauhidan” (baca: kekafiran atau kesyirikan).
Ketiga, yaitu orang-orang yang berada di selain dua kelompok di atas; setiap orang kafir di muka bumi yang tidak mau masuk Islam dan juga enggan untuk mengadakan perdamaian dengan Islam dan dengan kaum muslimin, baik melalui akad ahlu dzimmah, gencatan senjata, dan ‘ahd musta`man. Jika demikian, mereka adalah orang-orang kafir yang muharib (wajib diperangi). Mereka tidak memiliki ‘ishmah (keterjagaan) secara absolut. Namun dengan syarat; mereka bukanlah pihak-pihak yang tidak boleh dibunuh pertama kali, semisal anak-anak dan kaum wanita.
Dalam risalah terbitan Pustaka Al-Himmah Daulah Islam berjudul Al-Masaa`il Al-Jiyad fi Fiqh Al-Jihad, didapat keterangan terkait siapa orang-orang kafir yang boleh dibunuh. Di risalah tersebut dijelaskan, seluruh ahli fikih sepakat bahwa boleh untuk membunuh siapa saja orang kafir yang ahlul-qital (mampu berperang), yang mana dakwah Islam secara umum telah sampai kepada mereka, yaitu dari kalangan laki-laki kafir baligh yang mampu berperang. Baik apakah mereka berpartisipasi dalam peperangan ataupun tidak ikut berperang. Oleh karena itu, fuqaha mendefinisikan “kafir harbi” sebagai: orang kafir yang tidak memiliki perjanjian damai dengan kaum muslimin, tidak terlibat akad ahlu dzimmah, dan tidak memiliki surat perjanjian perlindungan dari Khalifah.
Dari sini dapat diambil pengertian, sesungguhnya pada asalnya setiap orang kafir adalah harbi (wajib diperangi) hanya disebabkan kekafirannya, baik dia memerangi kita ataupun tidak. Artinya, jika kita mendapati orang kafir yang tidak mengangkat senjata kepada kita, namun di saat bersamaan dia tidak menjalin perjanjian damai dengan kaum muslimin –baik akad dzimmah, gencatan senjata, atau perlindungan keamanan— maka kita menganggapnya sebagai kafir harbi yang mana darahnya halal ditumpahkan dan hartanya halal dirampas.
Hal tersebut berdasarkan pemahaman umum dari firman Allah:
APABILA SUDAH HABIS BULAN-BULAN HARAM, MAKA BUNUHLAH ORANG-ORANG MUSYRIKIN ITU DI MANA SAJA KAMU MENJUMPAI MEREKA, DAN TANGKAPLAH MEREKA. KEPUNGLAH MEREKA DAN INTAILAH DI TEMPAT PENGINTAIAN.”
(At-Taubah: 5)
Mayoritas ulama fiqih berpendapat bahwa pada awalnya berperang di asyhur al-haram (bulan-bulan haram: Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab)) adalah diharamkan di dalam Islam, kecuali dalam kondisi membalas serangan musuh. Namun kemudian pemberlakuan hukum ini dihapuskan, dan digantikan oleh syariat jihad secara total, yaitu memerangi orang-orang kafir di setiap waktu meliputi bulan-bulan haram. (Lihat: Al-Asyhur Al-Hurum, Buletin An-Naba`, edisi 29, Rajab 1437 H)
Beberapa kelompok orang kafir di atas tidaklah dibunuh, dengan syarat mereka benar-benar tidak memiliki andil dan kontribusi (baik pikiran atau tenaga) serta tidak berpartisipasi dalam memerangi kaum muslimin. Karena apabila mereka mempunyai andil dan turut berperang, maka mereka pun boleh dibunuh, berdasarkan ijma’ ulama.
Dan yang mesti diperhatikan, orang-orang kafir yang dikecualikan untuk dibunuh tersebut adalah berasal dari golongan kafir asli. Kafir asli adalah kafir yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam, seperti kaum Yahudi, Kristen, Hindu, dan lain sebagainya. Adapun kafir murtad adalah kafir yang sebelumnya pernah menjadi muslim, lalu dia memeluk agama lainnya atau melakukan satu dari sepuluh pembatal keislaman. Demikian juga kafir yang mencampuradukkan Islam dengan kekafiran dan syirik, semisal Syiah Rafidhah, para thaghut, dan Nushairiyah, mereka adalah murtaddin.
Kaum murtaddin mesti diperlakukan dengan pedang terhadap kemurtadan, yang berbeda dengan pedang terhadap kaum kafir asli. Perbedaan antara dua pedang tersebut adalah sebagai berikut: 1) Orang murtad dapat dibunuh setelah dia ditawan, meskipun jika dia menyatakan pertaubatan. 2) Orang murtad tidak bisa membayar jizyah untuk berubah menjadi kafir dzimmi. 3) Tidak ada perjanjian keamanan dengan pihak murtaddin. 4) Pria murtad tidak dapat dijadikan budak. 5) Orang murtad tidak dapat dibebaskan dengan uang tebusan. 6) Orang murtad tidak dapat dibebaskan dengan pemberian ampunan. 7) Orang murtad dapat dipaksa kembali kepada Islam. Dan lain sebagainya, yang mana rincian tentang hal ini bisa ditemukan dalam berbagai literature fikih Islam. (Lihat: Rafidhah: Dari Ibnu Saba` Hingga Sang Dajjal, Majalah Dabiq, vol. 13, Rabi’ul Akhir 1437 H)
Dengan demikian, orang-orang kafir murtad, maka semuanya wajib untuk dibunuh –kecuali anak-anak dan orang gila—berdasarkan keumuman sabda Nabi Muhammad: “Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka bunuhlah dia.” (HR. Al-Bukhari)
Memerangi orang-orang murtad lebih didahulukan daripada memerangi orang-orang musyrik dan kafir asli dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Disebutkan pula menurut ijma’, bahwa kafir murtad lebih buruk daripada kafir asli. Oleh karenanya, memerangi kaum murtaddin lebih didahulukan ketimbang memerangi orang kafir asli. (Lihat: Majalah Dabiq, vol. 14, Rajab 1437 H)
Karena seburuk-buruknya orang kafir adalah orang kafir murtad, orang kafir terburuk berikutnya adalah orang kafir paganis penyembah berhala, dan orang kafir terburuk berikutnya adalah Yahudi dan Nasrani.
Demikianlah, di dalam agama dan syariat Islam, kekafiran serta penghalalan darah dan harta tak ubahnya dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Artinya, siapa saja orang kafir dan orang yang mempunyai atribut kekafiran di dalam dirinya karena melakukan pembatal-pembatal keislaman, maka darahnya halal ditumpahkan dan harta-bendanya halal diakuisisi. Tidak ada sesuatu yang bisa menjaga darah dan hartanya, selain beriman atau terlibat dalam akad ahlu dzimmah, perjanjian gencatan senjata, dan akad perlindungan keamanan.
Membunuh orang kafir murtad dan kafir asli adalah sebuah kewajiban agama yang berbuah pahala dan ganjaran baik. Betapa tidak, setiap muslim muwahhid yang bisa membunuh orang kafir, maka Allah akan menjauhkannya dari api neraka. Rasulullah memberi kabar gembira:
“Orang kafir tidak akan berkumpul dengan pembunuhnya (mukmin) di dalam neraka selamanya.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anh dia berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, “Tidak akan berkumpul di dalam neraka, yang salah satunya dapat membahayakan yang lain.” Beliau ditanya, “Siapa mereka wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Seorang mukmin yang membunuh orang kafir, lalu dia konsisten dalam tindakannya yang benar itu.” (HR. Muslim) 

Bunuhlah Para Pemimpin KEKAFIRAN

Jika orang kafir yang dibunuh oleh seorang muslim berada di neraka, dan orang muslim tidak akan berkumpul bersamanya, artinya si muslim tadi jelas berada di surga. Dan apabila membunuh seorang kafir saja bisa dijauhkan dari neraka, lalu apa gerangan dengan seorang muslim atau mujahid yang membunuh puluhan atau ratusan Salibis, orang kafir, dan murtaddin? Alangkah besarnya ganjaran yang akan diterimanya bukan? Maka sewajibnya setiap muslim beribadah dan mendekatkan diri dengan menumpahkan darah orang-orang kafir. Terlebih lagi jika mereka adalah para pentolan thaghut, para ulama suu` yang melecehkan agama, dan para pemimpin kekafiran.
Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.” (At-Taubah: 12)
Sungguh ‘para ulama’ penyeru ke pintu Jahanam itu telah merusak sumpah mereka kepada Allah dan kaum muslimin, karena mereka telah membuat kedustaan di dalam agama serta memfitnah para pengemban jihad dan kaum shalihin. Mereka merupakan target serangan yang syar’i. Mereka tidak memiliki perjanjian atau keselamatan, dan harus diperangi. Rasulullah memerintahkan untuk membunuh siapa saja datang untuk mematahkan kekuatan atau memecah-belah persatuan kaum muslimin, di saat urusan umat berada di bawah komando satu orang (imam). Demikianlah hukuman untuk orang yang memecah-belah jamaah kaum muslimin, lalu apa gerangan dengan para ulama suu` yang menjadi penolong para thaghut, corong kekafiran yang menggiring orang-orang bodoh untuk membela para thaghut? Mereka telah menahbiskan diri mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, melalui seluruh ceramah dan fatwa sesat mereka yang menghalalkan hal-hal haram dan mengharamkan hal-hal halal.
Terutama lagi, segenap kaum kafir, para pemimpin kekafiran, dan para ulama suu` itu memerangi para mujahidin dan pemimpin Daulah Islam, yang notabene mereka adalah wali Allah. Dan siapa saja yang memerangi para wali Allah, maka dia wajib untuk diperangi. Allah sendiri memperkenankan untuk memerangi mereka, sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi riwayat Imam Al-Bukhari: “Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku maklumkan perang dengannya.”
Maka perangilah orang-orang kafir dan para pemimpin kekafiran itu dengan peralatan apa pun yang kita miliki! Mari kita terjemahkan baiat kita kepada Khalifah Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi –semoga Allah menjaga dan memenangkannya— ke dalam ‘bahasa realitas’ (!) Wallahu a’lam bi ash-shawab. []

Source: AL FATIHIN 10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...