Orang Kafir Halal Darah dan Hartanya
Kebanyakan muslim yang tidak memahami akidah Islam secara benar
meyakini bahwa orang-orang kafir dan musyrik yang tidak tergabung ke dalam
barisan militer, maka mereka dikategorikan sebagai “masyarakat sipil”. Tak
ayal, bagi mereka, orang-orang kafir “masyarakat sipil” tersebut tidak boleh
ditarget untuk diperangi atau dilawan.
Padahal, penamaan dan pembagian tersebut –serta berbagai
konsekuensi hukumnya yang batil— tidak pernah disebutkan dan tidak pernah ada
keterangannya di dalam syariat Allah, baik secara tekstual maupun kontekstual.
Ini mengingat, neraca klasifikasi manusia di dalam Islam tidak mengenal istilah
“sipil” dan “militer”. Pembagian manusia di dalam Islam sesungguhnya hanya
mengenal dua kelompok saja; beriman atau kafir.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dialah
yang menciptakan kamu maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada
yang mukmin.” (At-Taghabun: 2)
Maknanya, orang-orang yang mau mengimani Allah dan Rasulullah,
kafir kepada thaghut, mengerjakan segala perintah Allah, menjauhi segala
larangan-Nya, serta menghindari hal-hal yang membatalkan keimanannya, maka
mereka adalah orang-orang beriman. Dan orang-orang yang tidak mau mengimani
Islam sebagai satu-satunya agama yang benar, tidak mau masuk ke dalamnya secara
menyeluruh, atau melakukan satu dari sepuluh pembatal keislaman, maka mereka
adalah orang-orang kafir. Allah mengingatkan:”Dan
katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Rabb kalian; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah dia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah
dia kafir.” (Al-Kahfi: 29)
Ibnu Hazm menguatkan hal ini, “Tak ada agama selain Islam atau
kekafiran. Barangsiapa yang meninggalkan salah satunya, akan memasuki yang
lain, sebab tidak ada lagi sesuatu di antara keduanya.” Jadi, barangsiapa yang
terjatuh ke dalam kekafiran, maka dia telah meninggalkan Islam. Islam dan
kekafiran adalah dua hal kontradiktif secara diametral.
Selanjutnya, dari pembagian ini, Islam menetapkan sejumlah
konsekuensi bagi masing-masing kelompok, baik konsekuensi di dunia maupun yang
bersifat eskatologis (akhirat). Orang Islam mendapatkan konsekuensi dari
keimanannya, sebagaimana orang kafir pun akan mendapatkan konsekuensi dari
kekafirannya.
Di antara konsekuensi terpenting di dunia; orang beriman akan
terjaga darah dan hartanya, apa pun pekerjaan dan posisinya. Adapun orang
kafir, jika dia tidak mau beriman dan tidak terlibat dalam perjanjian keamanan
–semisal akad ahlu dzimmah, gencatan senjata, atau ‘ahdun musta`man
(perlindungan keamanan)— maka darah dan hartanya tidak terjaga, alias darahnya
boleh ditumpahkan dan hartanya halal diambil alih, apa pun pekerjaan dan
posisinya. Dan membunuhnya adalah sebuah kewajiban berpahala.
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda,”Barangsiapa
yang mengucapkan ‘la ilaha illallah’ (tiada ilah yang berhak disembah selain
Allah) dan kafir kepada segala sesuatu yang disembah selain Allah, maka telah
haram harta dan darahnya, dan perhitungannya ada pada Allah.” (HR. Muslim)
Tentunya, kalimat “la ilaha illallah” tidak boleh hanya diucapkan
atau diikrarkan lisan tanpa mengetahui maknanya dan tanpa mengamalkan berbagai
konsekuensinya. Kaum munafik mengikrarkan kalimat tauhid, namun sejatinya
mereka berada dalam kekufuran dan menempati kerak neraka, kendati mereka
shalat, puasa, dan mengeluarkan zakat. (Lihat: Kalimat La Ilaha Illallah,
infografik buletin An- Nabaa`, Rajab 1437 H)
Dikatakan kepada Hasan Al-Bashri, “Sebagian manusia berkata bahwa
siapa saja yang mengikrarkan “La Ilaha Illallah” akan masuk surga.”
Dia menjawab,
“BARANGSIAPA MENGUCAPKAN
“LA ILAHA ILLALLAH”
LALU MEMENUHI
SYARAT-SYARAT DAN MENGAMALKAN KEWAJIBANNYA,
MAKA DIA MASUK SURGA.”
DUA RUKUN KALIMAT TAUHID
Wajib dipahami oleh kita; “La ilaha illallah” mempunyai dua rukun
utama; (1) Menafikan semua ibadah yang diperuntukkan selain Allah dan (2)
menetapkan semua ibadah hanya untuk Allah semata tanpa menyekutukannya. Dan
ketujuh syaratnya adalah ilmu yang meniadakan kebodohan, cinta meniadakan
benci, yakin meniadakan keraguan, patuh meniadakan pengabaian, jujur meniadakan
dusta, menerima yang meniadakan penolakan, dan ikhlas yang meniadakan syirik.
Dalam sabda yang lain, Rasulullah menegaskan bahwa keterjagaan
darah dan harta seseorang tergantung pada penunaiannya terhadap kalimat tauhid
dan pelaksanaan hal-hal yang wajib secara pasti diketahui di dalam agama (baca:
penegakan shalat, dan pembayaran zakat).
Rasul menegaskan:”Aku diperintahkan untuk
memerangi manusia hingga mereka bersaksi; tiada Ilah yang berhak disembah
selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, menegakkan shalat
dan menunaikan zakat. Jika mereka melakukan yang demikian, maka mereka telah
memelihara darah dan harta mereka dariku kecuali dengan hak Islam dan
perhitungan mereka ada pada Allah.” (HR.
Al-Bukhari)
Dari
dua hadits di atas dapat diambil kesimpulan hukum, sesungguhnya orang beriman
yang mengucapkan, meyakini, dan mengamalkan segenap konsekuensi kalimat tauhid,
maka darah dan hartanya terjaga. Haram bagi siapapun untuk menumpahkan darah
dan mengambil alih harta seorang muslim. Dan sebaliknya, orang kafir dan
musyrik tidaklah terjaga darah dan hartanya, disebabkan mereka menafikan
kalimat “la ilaha illallah”.
Terlebih lagi di negara-negara Salibis yang berkomplot untuk
memerangi Daulah Islam, maka darah orang-orang kafir di sana tidaklah terjaga.
Juru Bicara Daulah Islam Syaikh Abu Muhammad Al-Adnani –semoga Allah
menjaganya—memaparkan di dalam pidato berjudul Wa Yahya Man Hayya ‘An
Bayyinah, “Maka ketahuilah, sesungguhnya di tanah air Salibis yang
memerangi (Daulah Islam) tidak ada perlindungan darah, dan tidak ada yang
disebut “masyarakat tidak berdosa”.”
KEKAFIRAN
DAN KESYIRIKAN
ADALAH
SEBAB PEPERANGAN
Selain itu, hadits-hadits di atas juga menyatakan secara tegas,
bahwa sebab dari diwajibkan peperangan dan pembunuhan terhadap orang kafir
adalah kekafiran, kesyirikan, dan penafian kalimat tauhid. Rasul diperintahkan
untuk memerangi manusia, sampai mereka mau beriman dan bertaubat dari kekafiran
mereka. Maknanya, Rasulullah diutus dan diperintahkan Allah untuk memerangi
manusia, sampai mereka mau menyembah dan mengibadahi Allah semata serta
berlepas diri dan memerangi setiap berhala dan thaghut yang disembah dan
ditaati selain Allah.
Artinya, alasan dan sebab diperangi dan dibunuhnya orang-orang
kafir adalah murni karena kekafiran dan kesyirikan mereka, bukan karena mereka
memerangi kita terlebih dulu, atau hal-hal lainnya. Dalam hadits tadi,
Rasulullah menjadikan tujuan akhir dari peperangan adalah Islam. Bermakna bahwa
jika seluruh manusia sudah masuk Islam, maka tidak ada lagi perang. Di sisi
lain, banyak sekali hadits yang menunjukkan bahwa tidak mungkin seluruh manusia
akan menjadi Islam. Pun demikian dengan hadits-hadits yang menunjukkan bahwa
kekufuran senantiasa ada hingga Hari Kiamat. Jika demikian, berarti perang akan
senantiasa eksis bersamaan dengan adanya kekufuran.
Konsepsi demikian sudah lebih dulu ditegaskan Allah di dalam
Al-Quran. Allah berfirman,
”DAN PERANGILAH MEREKA, SUPAYA
JANGAN ADA FITNAH (SYIRIK) DAN SUPAYA AGAMA ITU SEMATA-MATA MILIK ALLAH.”
(Al-Anfal: 39)
Dijelaskan oleh para ulama, “fitnah” dalam ayat tersebut maknanya
adalah “kekafiran”. Artinya, perangilah orang-orang kafir sehingga tidak ada
lagi kekafiran. Karena dalam ayat lainnya diterangkan bahwa “fitnah”
(kesyirikan atau kekufuran) lebih dahsyat bahayanya daripada pembunuhan. Allah
berfirman: “Dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari pembunuhan.” (Al-Baqarah: 191) Dalam ayat lainnya:”Dan berbuat fitnah lebih besar
(dosanya) daripada membunuh.” (Al-Baqarah:
217)
Dikuatkan lagi oleh Ibnul Arabi Al-Maliki rahimahullah ketika
menjelaskan surat Al-Anfal ayat 39: “Dengan ayat ini, sebab pembunuhan adalah
adanya kekafiran. Karena Allah berfirman, ‘Supaya jangan ada fitnah.’ Allah
menetapkan tujuan yaitu tidak adanya kekafiran secara tekstual. Dan menerangkan
bahwa sebab pembunuhan yang dibolehkan dalam al-qital (peperangan) adalah
karena adanya kekafiran.” (Lihat:
Ahkam Al-Quran, Ibnul Arabi)
Di dalam tafsirnya, Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Ibnu
Jarir (Ath-Thabari) melansir ijma’ (konsensus) bahwa orang musyrik boleh
dibunuh apabila dia tidak memiliki perlindungan keamanan, meskipun dia menjadi
imam di Baitul Haram atau di Baitul Maqdis.” (Lihat: Tafsir Ibnu Katsir). Imam Asy-Syaukani menyebutkan bahwasanya orang
musyrik, baik dia memerangi atau tidak memerangi (kaum muslimin), maka darahnya
halal selama dia masih musyrik.
Pasalnya, orang kafir musyrik adalah najis, bukan najis tubuh
mereka, melainkan disebabkan kesyirikan yang mereka anut. Allah berfirman, “Wahai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis, maka janganlah mereka
mendekati Masjidil Haram sesudah tahun ini.” (At-Taubah: 28)
Sebagaimana halnya najis yang bersifat konkret, najis kesyirikan
yang abstrak pun sesuatu yang dibenci serta harus dilenyapkan. Orang kafir dan
musyrik harus hidup tunduk terhina di bawah supremasi aturan Islam dan
superioritas kaum muslimin. Mereka tidak boleh dibiarkan hidup secara nyaman.
Sampai-sampai di dalam hadits hasan-shahih, Rasulullah mengajarkan:”Janganlah
kalian memulai memberi salam kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani. Apabila
kalian berjumpa dengan salah seorang dari mereka di jalan, maka desaklah mereka
ke jalan paling sempit.” (HR.
At-Tirmidzi, 1528)
Para ulama menerangkan, maksud dari pelarangan itu adalah karena
memulai memberi salam kepada orang-orang kafir merupakan bagian dari
penghormatan kepada mereka, padahal kaum muslimin diperintahkan untuk
menghinakan mereka. Hal ini juga berlaku saat bertemu salah seorang dari mereka
di jalan, maka dianjurkan untuk tidak memberi jalan kepada mereka, sebab itu
bagian dari pengagungan kepada mereka.
Kaum muslimin adalah umat superior. Sehingga Allah pun hanya
memberi – misalnya— ampunan kepada orang-orang beriman, tidak kepada
orang-orang kafir. Allah meminta kita agar tidak bersikap lemah dan berdamai
kepada orang kafir, karena kita berada di atas mereka. Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman,
taatilah Allah dan taatilah Rasul dan janganlah kamu merusakkan (pahala)
amal-amalmu. Sesungguhnya orang-orang kafir dan (yang) menghalangi manusia dari
jalan Allah kemudian mereka mati dalam keadaan kafir, maka sekali-kali Allah
tidak akan memberi ampun kepada mereka. Janganlah kamu lemah dan minta damai
padahal kamulah yang di atas dan Allah pun bersamamu dan Dia sekali-kali tidak
akan mengurangi pahala amal-amalmu.” (Muhammad:
33-35)
Orang-orang beriman mestilah menerapkan perlakuan keras kepada
orang-orang kafir, sebagai realisasi firman Allah:”Wahai
orang-orang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan
hendaknya mereka mendapatkan sikap keras dari kalian.” (At- Taubah: 123)
Maksudnya, supaya orang-orang kafir itu mendapatkan kekerasan dari
kalian dalam peperangan kalian melawan mereka. Karena mukmin sempurna adalah orang
yang berlemah-lembut kepada saudara seiman dan keras terhadap orang kafir.
Allah berfirman, “Keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih-sayang kepada sesama
mereka.” (Al-Fath: 29)
Sehingga Nabi Muhammad pun diperintahkan untuk menjihadi
orang-orang kafir dan munafik, serta bersikap keras kepada mereka. Allah
menegaskan, “Wahai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan
orang-orang mnunafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka
adalah Jahanam. Dan itu adalah tempat kembali yang seburuk-buruknya.” (At-Taubah: 73, At-Tahrim: 9)
Pembagian
Manusia Menurut Islam
Terkait hal demikian, Syaikh Abu Mush’ab Az- Zarqawi membeberkan
di dalam ceramah berjudul Qul A`antum A’lamu Am Allah, bahwa Islam hanya
mengklasifikasikan seluruh manusia di muka bumi ke dalam tiga kelompok:
Pertama,
ahlul (pemeluk) Islam yang benar-benar berafiliasi kepada akidah Islam. Kedua, orang kafir yang mengadakan perdamaian dengan
Islam. Dia berdamai dengan kaum muslimin, baik dengan akad dzimmah (perjanjian keamanan hidup di bawah
naungan Daulah Islam), perjanjian gencatan senjata dengan mujahidin Daulah
Islam, atau perjanjian keamanan yang diberikan oleh Khalifah (‘ahd musta`man).
Dua golongan di atas meniscayakan terjaganya darah dan
harta mereka, kecuali apabila salah seorang di antara mereka melakukan
pelanggaran yang menghalalkan darah mereka untuk ditumpahkan atau harta mereka
untuk dirampas, berdasarkan ketentuan-ketentuan syariat Islam.
Di antara salah satu akad perjanjian yang menjaga
darah dan harta orang kafir, dan dijelaskan di dalam Al-Quran, adalah akad
dzimmah dan pembayaran jizyah. Allah berfirman di dalam surat At-Taubah ayat
29, “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak
(pula) kepada Hari Akhir, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan
oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama
Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai
mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.”
Perhatikanlah, Allah memerintahkan kita memerangi
orang-orang yang tidak beriman, orang-orang yang menghalalkan apa-apa yang
diharamkan Allah dan Rasul-Nya, serta tidak beragama yang benar. Jika mereka
tidak mau diperangi, maka mereka harus patuh di bawah ketentuan Daulah Islam,
dengan membayar jizyah, sedang mereka dalam keadaan tunduk terhina di bawah
kaum muslimin. Dari sini juga kita dapatkan sekali lagi, alasan di balik
pembunuhan dan peperangan adalah adanya “ketidakberimanan” atau
“ketidakbertauhidan” (baca: kekafiran atau kesyirikan).
Ketiga,
yaitu orang-orang yang berada di selain dua kelompok di atas; setiap orang
kafir di muka bumi yang tidak mau masuk Islam dan juga enggan untuk mengadakan
perdamaian dengan Islam dan dengan kaum muslimin, baik melalui akad ahlu
dzimmah, gencatan senjata, dan ‘ahd musta`man. Jika demikian, mereka adalah
orang-orang kafir yang muharib (wajib diperangi). Mereka tidak memiliki ‘ishmah
(keterjagaan) secara absolut. Namun dengan syarat; mereka bukanlah pihak-pihak
yang tidak boleh dibunuh pertama kali, semisal anak-anak dan kaum wanita.
Dalam risalah terbitan Pustaka Al-Himmah Daulah Islam
berjudul Al-Masaa`il Al-Jiyad fi Fiqh Al-Jihad, didapat keterangan
terkait siapa orang-orang kafir yang boleh dibunuh. Di risalah tersebut
dijelaskan, seluruh ahli fikih sepakat bahwa boleh untuk membunuh siapa saja
orang kafir yang ahlul-qital (mampu berperang), yang mana dakwah Islam secara
umum telah sampai kepada mereka, yaitu dari kalangan laki-laki kafir baligh
yang mampu berperang. Baik apakah mereka berpartisipasi dalam peperangan
ataupun tidak ikut berperang. Oleh karena itu, fuqaha mendefinisikan “kafir
harbi” sebagai: orang kafir yang tidak memiliki perjanjian damai dengan kaum
muslimin, tidak terlibat akad ahlu dzimmah, dan tidak memiliki surat perjanjian
perlindungan dari Khalifah.
Dari sini dapat diambil pengertian, sesungguhnya pada
asalnya setiap orang kafir adalah harbi (wajib diperangi) hanya disebabkan
kekafirannya, baik dia memerangi kita ataupun tidak. Artinya, jika kita
mendapati orang kafir yang tidak mengangkat senjata kepada kita, namun di saat
bersamaan dia tidak menjalin perjanjian damai dengan kaum muslimin –baik akad
dzimmah, gencatan senjata, atau perlindungan keamanan— maka kita menganggapnya
sebagai kafir harbi yang mana darahnya halal ditumpahkan dan hartanya halal
dirampas.
Hal tersebut berdasarkan pemahaman umum dari firman
Allah:
“APABILA
SUDAH HABIS BULAN-BULAN HARAM, MAKA BUNUHLAH ORANG-ORANG MUSYRIKIN ITU DI MANA
SAJA KAMU MENJUMPAI MEREKA, DAN TANGKAPLAH MEREKA. KEPUNGLAH MEREKA DAN INTAILAH
DI TEMPAT PENGINTAIAN.”
(At-Taubah: 5)
Mayoritas ulama fiqih berpendapat bahwa pada awalnya
berperang di asyhur al-haram (bulan-bulan haram: Dzulqa’dah, Dzulhijjah,
Muharram, dan Rajab)) adalah diharamkan di dalam Islam, kecuali dalam kondisi
membalas serangan musuh. Namun kemudian pemberlakuan hukum ini dihapuskan, dan
digantikan oleh syariat jihad secara total, yaitu memerangi orang-orang kafir
di setiap waktu meliputi bulan-bulan haram. (Lihat: Al-Asyhur Al-Hurum, Buletin An-Naba`, edisi 29, Rajab
1437 H)
Beberapa kelompok orang kafir di atas tidaklah
dibunuh, dengan syarat mereka benar-benar tidak memiliki andil dan kontribusi
(baik pikiran atau tenaga) serta tidak berpartisipasi dalam memerangi kaum
muslimin. Karena apabila mereka mempunyai andil dan turut berperang, maka
mereka pun boleh dibunuh, berdasarkan ijma’ ulama.
Dan yang mesti diperhatikan, orang-orang kafir yang
dikecualikan untuk dibunuh tersebut adalah berasal dari golongan kafir asli.
Kafir asli adalah kafir yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam,
seperti kaum Yahudi, Kristen, Hindu, dan lain sebagainya. Adapun kafir murtad
adalah kafir yang sebelumnya pernah menjadi muslim, lalu dia memeluk agama
lainnya atau melakukan satu dari sepuluh pembatal keislaman. Demikian juga kafir
yang mencampuradukkan Islam dengan kekafiran dan syirik, semisal Syiah
Rafidhah, para thaghut, dan Nushairiyah, mereka adalah murtaddin.
Kaum murtaddin mesti diperlakukan dengan pedang
terhadap kemurtadan, yang berbeda dengan pedang terhadap kaum kafir asli.
Perbedaan antara dua pedang tersebut adalah sebagai berikut: 1) Orang murtad
dapat dibunuh setelah dia ditawan, meskipun jika dia menyatakan pertaubatan. 2)
Orang murtad tidak bisa membayar jizyah untuk berubah menjadi kafir dzimmi. 3)
Tidak ada perjanjian keamanan dengan pihak murtaddin. 4) Pria murtad tidak
dapat dijadikan budak. 5) Orang murtad tidak dapat dibebaskan dengan uang
tebusan. 6) Orang murtad tidak dapat dibebaskan dengan pemberian ampunan. 7)
Orang murtad dapat dipaksa kembali kepada Islam. Dan lain sebagainya, yang mana
rincian tentang hal ini bisa ditemukan dalam berbagai literature fikih Islam. (Lihat: Rafidhah: Dari Ibnu Saba` Hingga Sang
Dajjal, Majalah Dabiq, vol. 13, Rabi’ul Akhir 1437 H)
Dengan demikian, orang-orang kafir murtad, maka
semuanya wajib untuk dibunuh –kecuali anak-anak dan orang gila—berdasarkan
keumuman sabda Nabi Muhammad: “Barangsiapa yang mengganti agamanya, maka
bunuhlah dia.” (HR.
Al-Bukhari)
Memerangi orang-orang murtad lebih didahulukan
daripada memerangi orang-orang musyrik dan kafir asli dari kalangan Yahudi dan
Nasrani. Disebutkan pula menurut ijma’, bahwa kafir murtad lebih buruk daripada
kafir asli. Oleh karenanya, memerangi kaum murtaddin lebih didahulukan
ketimbang memerangi orang kafir asli. (Lihat: Majalah Dabiq, vol. 14, Rajab 1437 H)
Karena seburuk-buruknya orang kafir adalah orang kafir
murtad, orang kafir terburuk berikutnya adalah orang kafir paganis penyembah
berhala, dan orang kafir terburuk berikutnya adalah Yahudi dan Nasrani.
Demikianlah, di dalam agama dan syariat Islam,
kekafiran serta penghalalan darah dan harta tak ubahnya dua sisi mata uang yang
tak dapat dipisahkan. Artinya, siapa saja orang kafir dan orang yang mempunyai
atribut kekafiran di dalam dirinya karena melakukan pembatal-pembatal
keislaman, maka darahnya halal ditumpahkan dan
harta-bendanya halal diakuisisi. Tidak ada sesuatu yang bisa menjaga darah dan
hartanya, selain beriman atau terlibat dalam akad ahlu dzimmah, perjanjian
gencatan senjata, dan akad perlindungan keamanan.
Membunuh orang kafir murtad dan kafir asli adalah sebuah kewajiban
agama yang berbuah pahala dan ganjaran baik. Betapa tidak, setiap muslim
muwahhid yang bisa membunuh orang kafir, maka Allah akan menjauhkannya dari api
neraka. Rasulullah memberi kabar gembira:
“Orang kafir tidak akan berkumpul dengan
pembunuhnya (mukmin) di dalam neraka selamanya.” (HR. Muslim)
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anh dia berkata, Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam bersabda, “Tidak akan berkumpul di dalam neraka, yang salah satunya
dapat membahayakan yang lain.” Beliau ditanya, “Siapa mereka wahai Rasulullah?”
Beliau menjawab, “Seorang mukmin yang membunuh orang kafir, lalu dia konsisten
dalam tindakannya yang benar itu.” (HR. Muslim)
Bunuhlah
Para Pemimpin KEKAFIRAN
Jika orang kafir yang dibunuh oleh seorang muslim berada di
neraka, dan orang muslim tidak akan berkumpul bersamanya, artinya si muslim
tadi jelas berada di surga. Dan apabila membunuh seorang kafir saja bisa
dijauhkan dari neraka, lalu apa gerangan dengan seorang muslim atau mujahid
yang membunuh puluhan atau ratusan Salibis, orang kafir, dan murtaddin?
Alangkah besarnya ganjaran yang akan diterimanya bukan? Maka sewajibnya setiap
muslim beribadah dan mendekatkan diri dengan menumpahkan darah orang-orang
kafir. Terlebih lagi jika mereka adalah para pentolan thaghut, para ulama suu`
yang melecehkan agama, dan para pemimpin kekafiran.
“Jika mereka merusak sumpah
(janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka
perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka
itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka
berhenti.” (At-Taubah: 12)
Sungguh ‘para ulama’ penyeru ke pintu Jahanam itu telah merusak
sumpah mereka kepada Allah dan kaum muslimin, karena mereka telah membuat
kedustaan di dalam agama serta memfitnah para pengemban jihad dan kaum
shalihin. Mereka merupakan target serangan yang syar’i. Mereka tidak memiliki
perjanjian atau keselamatan, dan harus diperangi. Rasulullah memerintahkan
untuk membunuh siapa saja datang untuk mematahkan kekuatan atau memecah-belah
persatuan kaum muslimin, di saat urusan umat berada di bawah komando satu orang
(imam). Demikianlah hukuman untuk orang yang memecah-belah jamaah kaum
muslimin, lalu apa gerangan dengan para ulama suu` yang menjadi penolong para
thaghut, corong kekafiran yang menggiring orang-orang bodoh untuk membela para
thaghut? Mereka telah menahbiskan diri mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah,
melalui seluruh ceramah dan fatwa sesat mereka yang menghalalkan hal-hal haram
dan mengharamkan hal-hal halal.
Terutama lagi, segenap kaum kafir, para pemimpin kekafiran, dan
para ulama suu` itu memerangi para mujahidin dan pemimpin Daulah Islam, yang
notabene mereka adalah wali Allah. Dan siapa saja yang memerangi para wali
Allah, maka dia wajib untuk diperangi. Allah sendiri memperkenankan untuk
memerangi mereka, sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi riwayat Imam
Al-Bukhari: “Barangsiapa memusuhi wali-Ku, maka Aku maklumkan perang
dengannya.”
Maka perangilah orang-orang kafir dan para
pemimpin kekafiran itu dengan peralatan apa pun yang kita miliki! Mari kita
terjemahkan baiat kita kepada Khalifah Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi –semoga
Allah menjaga dan memenangkannya— ke dalam ‘bahasa realitas’ (!) Wallahu
a’lam bi ash-shawab. []
Source:
AL FATIHIN 10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar