7/19/2019

LARANGAN MENGKAFIRKAN SEORANG MUSLIM KARENA DOSA


Larangan Mengkafirkan Seorang
Muslim Karena Dosa
Oleh : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah


Tidak boleh mengkafirkan seorang muslim karena dosa yang telah dia kerjakan atau karena kesalahan yang telah ia perbuat. Seperti tentang persoalan-persoalan yang masih diperselisihkan oleh ahli kiblat (kaum muslimin). Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman:

ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٖ مِّن رُّسُلِهِۦۚ وَقَالُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۖ غُفۡرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيۡكَ ٱلۡمَصِيرُ

"Rasul telah beriman kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lainnya) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta'at". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali". (Al-Baqarah: 285)

Telah disebutkan di dalam Ash-Shahih bahwa Allah ta'ala mengabulkan do'a tersebut dan mengampuni orang-orang yang beriman karena kesalahan yang mereka perbuat.4)

Adapun golongan khawarij, mereka telah meluncur dari Islam ini, dan Nabi  memerintahkan agar kita memeranginya, mereka telah diperangi oleh Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib salah seorang Khulafa'ur Rasyidun. Para imam-imam dien dari kalangan sahabat, tabi'in dan ulama' setelah mereka, telah sepakat untuk memerangi mereka. Namun Ali bin Abi Thalib5), Sa'ad bin Abi Waqash dan sahabat yang lain tidak mengkafirkan orang-orang khawarij.

4.) Berkata Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: Rasul telah beriman kepada Al^ufan yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami ta'at". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali". (Al-Baqarah: 285). Maka Allah berfirman "Sungguh Aku telah mengampuni kalian." dan hadits ini terdapat dalam shahih Muslim.
5.) Ketika Ali bin Abi Thalib 4& ditanya tentang Khawarij, apakah mereka kafir? Beliau menjawab,"dari kekafiran mereka lari", kemudian beliau ditanya, "lalu apakah mereka munafik?" Beliau menjawab / 'Orang-orang munafik itu tidak berdzikir kepada Allah melainkan sedikit, akan tetapi mereka (khawarij) berdzikir kepada Allah pagi dan senja hari."


Mereka masih menganggap bahwa khawarij adalah kaum muslimin sekalipun diperangi. Mereka memerangi khawarij tidak sampai menumpahkan darah yang dilarang ataupun merampas harta kaum muslimin. Para sahabat memerangi untuk mencegah kedhaliman mereka dan karena mereka adalah ahlul bughah (pemberontak) dan bukan diperangi karena kafir. Untuk itulah tidak diambil tawanan ataupun ghanimah dari mereka.

Apabila terhadap kelompok yang telah ditetapkan kesesatannya berdasarkan nash dan ijma' saja mereka (ahlus sunnah) tidak mengkafirkan sekalipun Allah dan Rasul-Nya memerintahkan untuk memerangi mereka, apalagi terhadap kelompok-kelompok yang menyerupai mereka. Yang benar, kesalahan dalam masalah tersebut adalah siapakah yang paling tahu di antara mereka? Maka tidak boleh masing-masing kelompok mengkafirkan kelompok lain, tidak halal darah dan hartanya, sekalipun nyata-nyata telah berbuat bid'ah. Lantas bagaimana halnya jika yang mengkafirkan adalah ahli bid'ah juga? Tentu tingkat kebid'ahannya adalah lebih berat. Dan pada umumnya mereka jahil tentang hakekat apa yang mereka perselisihkan.

Pada dasarnya, darah kaum muslimin, harta dan kehormatan mereka haram bagi sebagian atas sebagian yang lain, tidak halal (untuk merampasnya) melainkan dengan izin Allah dan Rasul-Nya. Nabi bersabda ketika berkhutbah di haji wada':

فَإِنَّ دِمَائَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا
"Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram atas kalian sebagaimana haramnya hari ini, di negeri kalian ini dan di bulan kalian ini. "
(Hadits riwayat Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)

Bersabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ

"Setiap muslim atas muslim yang lain haram (mengganggu) darah, harta dan kehormatannya."
(Hadits riwayat Muslim dan Tirmidzi, beliau berkata "hadits hasan.")

Nabi bersabda:

مَنْ صَلَّى صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا فَذَلِكَ الْمُسْلِمُ الَّذِي لَهُ ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ

"Barangsiapa shalat sebagaimana shalat kita, berkiblat sebagaimana kiblat kita dan memakan hewan sembelihan Larangan Mengkafirkan Orang Muslim kita, maka dia adalah muslim yang berada dalam perlindungan Allah dan Rasul-Nya. "
(Hadits riwayat Al-Bukhari dan Nasa'i)

Beliau bersabda :
إِذَا الْتَقَىَ الْمُسِلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ قَالَ إِنَّهُ قَدْ أَرَادَ قَتْلَ صَاحِبِهِ

"Apabila ada dua orang muslim bertemu dengan kedua pedangnya, maka yang membunuh dan yang terbunuh di neraka." Sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, yang membunuh sudah selayaknya tapi bagaimana halnya dengan yang terbunuh?" Beliau bersabda: "Karena dia bermaksud untuk membunuh saudaranya pula. "
[Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim]

Beliau bersabda:

لَا تَرِجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ

"Janganlah kalian kembali kepada kekafiran sepeninggalku nanti, yang mana sebagian memenggal leher sebagian yang lain."
[Hadits riwayat Al-Bukhari dan Muslim]

Beliau bersabda:

إِذَا قَالَ الرَّجُلُ لِلأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا

"Apabila seorang muslim berkata kepada saudaranya, "Wahai kafir" maka julukan tersebut akan hinggap pada salah satu di antara keduanya."
[Hadits riwayat Al-Bukhari]

Dan seluruh hadits-hadits di atas terdapat dalam kitab-kitab hadits yang shahih.

Apabila seseorang salah dalam menakwilkan kemudian membunuh atau mengkafirkan muslim lain, maka dia tidak menjadi kafir karenanya, sebagaimana dikatakan oleh Umar bin Khaththab kepada Hatib bin Abi Balta'ah12), "Wahai Rasulullah biarkan aku pukul leher orang munafik ini." Maka Nabi bersabda:

إِنَّهُ قَدْ شَهِيدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ الطَّلَعَ عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَاشِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ

"Sesungguhnya dia ikut dalam perang Badar dan kamu tidak tahu bisa jadi Allah melihat ahli badar kemudian berfirman, "Berbuatlah sesukamu, sungguh Aku telah mengampuni kalian."
[Hadits ini terdapat dalam shahihain]

12.) Turunlah ayat tentang kejadian tersebut permulaan surat Al-Mumtahanah. Hathib adalah sahabat muhajirin yang memiliki anak-anak dan harta di Mekah. Ketika Rasulullah berketetapan untuk menaklukkan Mekah maka Hathib segera menulis surat dan mengutus seorang wanita Quraisy agar disampaikan kepada penduduk Mekah untuk memberitahukan kepada mereka tentang rencana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tersebut agar mereka bersiap siaga. Namun Allah memberitahukan hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu beliau perintahkan sahabat untuk mengejar wanita tersebut dan mengambil surat itu.


Masih disebutkan dalam shahihain tentang "haditsul ifki" (berita dusta) bahwa Usaid bin Hudhair berkata kepada Sa'ad bin Ubadah, "Sesungguhnya engkau adalah munafik sedang kamu berbantahan tentang orang-orang munafik.", maka bertengkarlah antara dua kelompok. Lalu Nabi mendamaikan perselisihan di antara mereka. Begitulah, di antara mereka yang turut dalam perang Badar, ada yang berkata kepada yang lain, "sesungguhnya engkau munafik", namun Nabi tidak mengkafirkan kelompok ini atau kelompok itu, bahkan Nabi memberikan kabar gembira kepada mereka semua dengan jannah.

Hadits serupa diriwayatkan di dalam shahihain dari Usamah bin Zaid bahwa beliau membunuh seseorang yang telah mengucapkan la ilaha illallah dan Nabi menganggap serius persoalan tersebut setelah sampai kepada beliau, maka beliau bersabda :

يَا أُسَامَةُ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
"Wahai Usamah, apakah engkau membunuhnya, setelah ia mengucapkan la ilaha illallah? "

Beliau mengulang-ulang sabdanya hingga Usamah berkata:

أَنِّي لَمْ أَكُنْ أَسِلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمَ
"Aku berangan-angan sekiranya aku belum Islam sebelum hari itu "

Namun demikian tidak dijatuhkan qishash (balas bunuh) atas Usamah, atau diyat maupun kafarah, karena Usamah mengira diperbolehkan membunuhnya lantaran beliau berprasangka bahwa orang tersebut mengucapkan syahadat karena hendak melindungi dirinya (agar tidak dibunuh).

Begitulah para salaf, sekalipun sebagian memerangi sebagian yang lain seperti dalam perang Jamal, perang Shiffin dan semisalnya, namun mereka tetap sebagai muslimin dan mukminin sebagaimana firman Allah Ta'ala :

وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ فَإِنۢ بَغَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا عَلَى ٱلۡأُخۡرَىٰ فَقَٰتِلُواْ ٱلَّتِي تَبۡغِي حَتَّىٰ تَفِيٓءَ إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِۚ فَإِن فَآءَتۡ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَا بِٱلۡعَدۡلِ وَأَقۡسِطُوٓاْۖ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ

"Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka perangilah golong-Larangan Mengkafirkan Orang Muslim an yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (Al-Hujurat: 9)

Allah telah menjelaskan bahwa, sekalipun mereka saling memerangi atau saling memberontak sebagian atas sebagian yang lain, mereka tetap bersaudara seiman dan Allah perintahkan untuk mendamaikan perselisihan di antara mereka dengan adil.

Oleh karena itu, sekalipun mereka saling berperang namun masih tetap berwala' satu sama lain dengan wala' dien, tidak bermusuhan sebagaimana memusuhi orang-orang kafir, menerima kesaksian sebagian atas sebagian yang lain, dan sebagian menimba ilmu kepada sebagian yang lain, saling mewarisi, menjalin hubungan pernikahan dan bermu'amalah dengan mu'amalah sesama muslim sekalipun ada peperangan dan saling melaknat di antara mereka.

Disebutkan di dalam Ash-shahih bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memohon kepada Rabb-nya, agar umatnya tidak dibinasakan dengan bencana secara menyeluruh, maka Allah mengabulkannya, dan Nabi memohon kepada Allah agar kaum muslimin tidak dikuasai oleh musuh-musuh di luar kalangan mereka, maka Allah mengabulkannya, dan Nabi memohon agar tidak ada peperangan di antara kaum muslimin, namunAllah tidak mengabulkannya.

Beliau mengabarkan, Allah tidak akan menguasakan musuh di luar kaum muslimin atas mereka hingga mengalahkan seluruhnya kecuali jika kaum muslimin saling memerangi sebagian atas sebagian yang lain dan menjadikan tawanan satu sama lain."

Disebutkan pula dalam shahihain bahwa ketika turun ayat :

قَلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَّبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِّنْ فَوْقِكُمْ
"Katakanlah.:"Dia yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atas kamu..."

Beliau bersabda, “ Aku berlindung kepada wajah-Mu.”

أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلَكُمْ
"...atau dari bawah kakimu"

Beliau berdo'a, "Aku berlindung kepada wajah-Mu'

أَوۡ يَلۡبِسَكُمۡ شِيَعٗا وَيُذِيقَ بَعۡضَكُم بَأۡسَ بَعۡضٍۗ ٱنظُرۡ كَيۡفَ نُصَرِّفُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّهُمۡ يَفۡقَهُونَ

"Atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada sebahagian) kamu kepada keganasan sebahagian yang lain." (Al-An'am: 65)

Beliau bersabda, “dua hal tadi lebih ringan.”

Namun demikian Allah memerintahkan kita untuk menjaga Al-jama'ah dan menjaga persatuan serta melarang berbuat bid'ah dan berselisih:

إِنَّ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعٗا لَّسۡتَ مِنۡهُمۡ فِي شَيۡءٍۚ إِنَّمَآ أَمۡرُهُمۡ إِلَى ٱللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَفۡعَلُونَ

"Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat". (Al-An'am: 159)

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنْ يَدَ اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
"Hendaknya kalian berjama'ah dan tangan Allah di atas Al-Jama' ah"
[Hadits riwayat Tirmidzi dan Nasa'i. At-Tirmidzi berkata "Ini hadits gharib" Di dalamnya ada Sulaiman bin Sufyan yang oleh Ibnu Hajar dikatakan di dalam At-Taqrib"dha'if]

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الْإِثْنَيْنِ أَبْعَدُ

"Syetan menyertai satu orang dan terhadap dua orang lebih jauh."
[Hadits riwayat Tirmidzi dan beliau berkata "hadits hasan shahih dan gharib dari jalan ini]

Dan sabdanya :

إَنَّ الشَّيْطَانَ ذِئْبُ الْإِنْسَانِ كَذَئْبِ الْغَنَمِ يَأْخُذُ الشَّاةَ الْقَاصِيَةَ وَالنَّاحِيَةَ مِنَ الْغَنَمِ

"Sesungguhnya syetan memangsa manusia sebagaimana srigala memangsa domba dan srigala hanya memangsa domba yang menyendiri.”
[Hadits riwayat Abu Dawud, Ahmad, Nasa'i, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan beliau menshahihkannya.]

Maka wajib atas setiap muslim ketika berada di suatu kota kaum muslimin untuk mengerjakan shalat Jum'at dan shalat jama'ah bersama mereka. Hendaknya berwala' kepada mereka dan tidak memusuhinya.

Jika ia melihat sebagian mereka berada dalam kesesatan dan memungkinkan baginya untuk membenarkan dan meluruskannya, maka hendaknya dia melakukannya. Jika tidak mampu, maka Allah tidak membebankan kepada seseorang apa yang ia tidak mampu mengerjakannya. Jika dia mampu mengangkat imam kaum muslimin orang yang paling utama, maka hendaknya dia mengangkatnya, dan jika ada kemampuan baginya untuk mencegah timbulnya bid'ah dan tindakan fajir maka hendaknya ia mencegahnya. Namun jika tidak memiliki kemampuan akan hal itu, maka shalat di belakang orang yang paling faham dengan kitabullah dan sunnah Nabi-Nya serta lebih bersegera melaksanakan ketaatan kepada Allah adalah afdhal (lebih utama). Sebagaimana sabda Nabi dalam hadits yang shahih:

يَؤُمُ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاعَةِ سَوَاءً فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْعَدُهُمْ سِنًّا

"Hendaknya yang menjadi imam adalah yang paling faham (hafal) tentang Al-Qufan, jika dalam masalah hafalan sama, maka pilihlah yang paling faham tentang sunnah. jika dalam hal sunnah sama maka pilihlah orang yang dahulu berhijrah, jika dalam hal hijrah juga sama, maka pilihlah yang lebih tua."
[Hadits riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan lain-lain. At-Tirmidzi berkata, "hadits shahih."]

Maka jika dengan meninggalkan orang yang terang-terangan melakukan bid'ah adalah lebih mendatangkan maslahah yang jelas, hendaknya dia meninggalkannya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memboikot tiga sahabat yang tertinggal perang hingga Allah menerima taubat mereka. Namun jika selain dirinya mengangkat ahli bid'ah tanpa persetujuannya sedangkan tidak ada maslahah syar'iyah jika meninggalkan imam tersebut, maka tidak berjama'ah di belakangnya adalah wujud dari kebodohan dan kesesatan, ia telah menolak bid'ah dengan bid'ah yang lain.

Terhadap orang yang shalat di belakang imam fajir kemudian mengulang shalatnya karenanya, maka ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Namun sebagian besar mereka tidak menyukainya.

Bahkan Imam Ahmad bin Hambal sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdus berkata, "Barangsiapa yang mengulangi shalatnya (karena shalat di belakang imam fajir), maka dia adalah ahli bid'ah." Inilah yang paling masyhur di antara dua pendapat tersebut.

Sebab para sahabat tidak mengulang shalatnya ketika shalat berada di belakang imam fajir atau ahli bid'ah dan Allah Ta'ala sama sekali tidak memerintahkan kepada seseorang untuk mengulangi shalatnya ketika telah melaksanakan sesuai dengan kadar kemampuannya. Untuk itulah yang paling shahih di antara dua pendapat ulama' adalah barangsiapa yang shalat sesuai dengan kadar kemampuannya, maka tidak perlu mengulanginya, termasuk orang yang melakukan tayamum karena takut kedinginan. Dan barangsiapa yang tidak mendapatkan air dan debu lalu dia shalat dalam keadaan demikian, "atau ada penghalang dan udzur maka tidak wajib atasnya untuk mengulang shalatnya jika dia telah shalat sesuai dengan kadar maksimal kemampuannya.

Telah disebutkan di dalam Ash-shahih bahwa para sahabat shalat tanpa berwudhu dan tayyamum ketika 'Aisyah kehilangan kalungnya, namun Nabi tidak memerintahkan mereka untuk mengulanginya. [Diriwayatkan oleh Malik, Al-Bukhari dan Muslim.]

Bahkan lebih dari itu, barangsiapa yang meninggalkan shalat karena tidak tahu akan kewajibannya, maka tidak ada perintah baginya untuk mengqadha'. Ketika Amru dan Ammar sedang junub, Amru tidak shalat sedangkan Ammar mengguling-gulingkan tubuhnya ke tanah sebagaimana bergulingnya hewan, [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim dan Nasa'i]' namun keduanya tidak diperintahkan untuk mengqadha'nya. Dan Abu Dzar tatkala junub dan beliau tidak mengerjakan shalat, Nabi tidak memerintahkan beliau untuk mengqadha'nya. [Hadits riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Al-Hakim, dan yang lain. At-Tirmidzi berkata "hasan shahih" sedangkan Al-Hakim berkata "hadits shahih"]

Demikian pula seorang wanita sahabiyat tatkala istihadhah, yang mana aliran darahnya deras namun tidak dikenal (bukan darah haidh) lantas ia tidak melaksanakan shalat dan shaum, Nabi tidak menyuruhnya untuk mengqadha'. [Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Asy-Syafi'i di dalam Al-Umm,]

Dan orang-orang yang makan di siang ramadhan sampai jelas bagi salah seorang di antara mereka benang putih dari benang hitam, tidak diperintahkan kepadanya untuk mengqadha' karena mereka keliru dalam memahami ayat:

وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ

"Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang-putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187)

Mereka mengira bahwa "habl" (benang) dalam ayat tersebut adalah benang sungguhan. Maka Nabi bersabda :

إِنَّمَا ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ

"Yang dimaksud adalah hitam (gelap)nya malam dan putih (terang)nya siang."
Namun Nabi tidak menyuruh mereka untuk mengqadha' shaumnya. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari, Muslim, At-Tirmidzi dan beliau berkata "Hasan shahih"]


Orang yang keliru shalatnya, tidak diperintahkan untuk mengulangi apa-apa yang telah lewat dari shalatnya.

[Orang yang buruk shalatnya tersebut adalah Khalad bin Rafi' seorang sahabat Anshar yang mengikuti perang Badar bersama Rasulullah dan ikut perang Jamal dan Shiffin bersama Ali. Beliau wafat pada awal pemerintahan Mu'awiyah dan hadits yang beliau riwayatkan sebanyak tujuh hadits.]

dan orang-orang yang shalat menghadap Baitul Maqdis yakni sahabat yang masih berada di Mekah, Habsyah dan yang lain setelah dihapus perintah tersebut dan kiblat beralih ke Ka’bah, mereka shalat di atas bebatuan hingga datang kepada mereka bahwa perintah menghadap ke Baitul Maqdis telah dihapus hukumnya, mereka tidak diperintahkan mengulangi shalatnya. [Hadits riwayat Al-Bukhari, Muslim, Nasa'i dan Tirmidzi.]

Sekalipun mereka lebih memiliki udzur dari yang lain karena mereka masih berpegang dengan syari'at yang telah dihapus.

Para ulama' berbeda pendapat tentang apakah hukum ditegakkan atas hamba sebelum datang penjelasan baginya? Ada tiga pendapat, madzhab Ahmad dan yang lain mengatakan/ tidak" adapula yang mengatakan, "tetap ditegakkan" dan yang lain lagi mengatakan "ditegakkan atas hukum yang awal yang tidak dihapus hukumnya." Pendapat yang benar adalah apa yang ditunjukkan di dalam Al-Qur'an :

مَّنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا

"Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa yangsesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul."(Al-Isra': 15)

Dan firman-Nya:

رُّسُلٗا مُّبَشِّرِينَ وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمٗا

"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu." (An-Nisa': 165)

Di dalam shahihain disebutkan :

"Tiada udzur dari Allah yang lebih disukai oleh seseorang dari diutusnya para Rasul sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan."

Maka orang yang salah dalam menakwilkan atau bodoh, ia mendapat udzur dan tidak dapat dihukumi sebagai penentang atau fajir, dan sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.

Source:
Judul Asli       : Qa'idah Ahlus Sunnah wal Jama'ah
Penulis           : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Penerjemah   : Abu Umar Abdillah Asy-Syarif
Penerbit         : Daarul Wathan 21

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...