Larangan Mengkafirkan Seorang
Muslim Karena Dosa
Oleh : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Tidak boleh mengkafirkan seorang
muslim karena dosa yang telah dia kerjakan atau karena kesalahan yang telah ia
perbuat. Seperti tentang persoalan-persoalan yang masih diperselisihkan oleh ahli
kiblat (kaum muslimin). Sesungguhnya Allah Ta'ala
berfirman:
ءَامَنَ ٱلرَّسُولُ بِمَآ
أُنزِلَ إِلَيۡهِ مِن رَّبِّهِۦ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَۚ كُلٌّ ءَامَنَ بِٱللَّهِ
وَمَلَٰٓئِكَتِهِۦ وَكُتُبِهِۦ وَرُسُلِهِۦ لَا نُفَرِّقُ بَيۡنَ أَحَدٖ مِّن
رُّسُلِهِۦۚ وَقَالُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۖ غُفۡرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيۡكَ ٱلۡمَصِيرُ
"Rasul telah beriman
kepada Al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula
orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak
membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lainnya)
dari rasul-rasul-Nya", dan mereka mengatakan: "Kami dengar dan kami
ta'at". (Mereka berdoa): "Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada
Engkau-lah tempat kembali". (Al-Baqarah:
285)
Telah disebutkan di dalam
Ash-Shahih bahwa Allah ta'ala
mengabulkan do'a tersebut dan
mengampuni orang-orang yang beriman karena kesalahan yang mereka perbuat.4)
Adapun golongan khawarij, mereka
telah meluncur dari Islam ini, dan Nabi memerintahkan
agar kita memeranginya, mereka telah diperangi oleh Amirul mukminin Ali bin Abi
Thalib salah seorang Khulafa'ur Rasyidun. Para imam-imam dien dari kalangan
sahabat, tabi'in dan ulama' setelah mereka, telah sepakat untuk memerangi
mereka. Namun Ali bin Abi Thalib5), Sa'ad bin Abi Waqash dan sahabat
yang lain tidak mengkafirkan orang-orang khawarij.
4.)
Berkata Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: Rasul telah beriman kepada
Al^ufan yang diturunkan kepadanya dari Rabb-nya, demikian pula orang-orang yang
beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya
dan rasul-rasul-Nya. (Mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan
antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya", dan mereka
mengatakan: "Kami dengar dan kami ta'at". (Mereka berdoa):
"Ampunilah kami ya Rabb kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali". (Al-Baqarah: 285). Maka Allah berfirman "Sungguh Aku telah
mengampuni kalian." dan
hadits ini terdapat dalam shahih Muslim.
5.)
Ketika Ali bin Abi Thalib 4&
ditanya tentang Khawarij, apakah
mereka kafir? Beliau menjawab,"dari kekafiran mereka lari", kemudian
beliau ditanya, "lalu apakah mereka munafik?" Beliau menjawab /
'Orang-orang munafik itu tidak berdzikir kepada Allah melainkan sedikit, akan
tetapi mereka (khawarij) berdzikir kepada Allah pagi dan senja hari."
Mereka masih menganggap bahwa
khawarij adalah kaum muslimin sekalipun diperangi. Mereka memerangi khawarij
tidak sampai menumpahkan darah yang dilarang ataupun merampas harta kaum muslimin.
Para sahabat memerangi untuk mencegah kedhaliman mereka dan karena mereka
adalah ahlul bughah (pemberontak) dan bukan diperangi
karena kafir. Untuk itulah tidak diambil tawanan ataupun ghanimah dari mereka.
Apabila terhadap kelompok yang
telah ditetapkan kesesatannya
berdasarkan nash dan ijma' saja mereka (ahlus sunnah) tidak mengkafirkan
sekalipun Allah dan Rasul-Nya memerintahkan untuk memerangi mereka, apalagi
terhadap kelompok-kelompok yang menyerupai mereka. Yang benar, kesalahan dalam
masalah tersebut adalah siapakah yang paling tahu di antara mereka? Maka tidak
boleh masing-masing kelompok mengkafirkan kelompok lain, tidak halal darah dan
hartanya, sekalipun nyata-nyata telah berbuat bid'ah. Lantas bagaimana halnya jika
yang mengkafirkan adalah ahli bid'ah juga? Tentu tingkat kebid'ahannya adalah
lebih berat. Dan pada umumnya mereka jahil tentang hakekat apa yang mereka
perselisihkan.
Pada dasarnya, darah kaum
muslimin, harta dan kehormatan mereka haram bagi sebagian atas sebagian yang
lain, tidak halal (untuk merampasnya) melainkan dengan izin Allah dan
Rasul-Nya. Nabi bersabda ketika berkhutbah di haji wada':
فَإِنَّ
دِمَائَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ
يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا
"Sesungguhnya darah,
harta dan kehormatan kalian haram atas kalian sebagaimana haramnya hari ini, di
negeri kalian ini dan di bulan kalian ini. "
(Hadits riwayat Al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud)
Bersabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:
كُلُّ
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
"Setiap
muslim atas muslim yang lain haram (mengganggu) darah, harta dan
kehormatannya."
(Hadits riwayat Muslim dan Tirmidzi, beliau berkata
"hadits hasan.")
Nabi
bersabda:
مَنْ
صَلَّى صَلَاتَنَا وَاسْتَقْبَلَ قِبْلَتَنَا وَأَكَلَ ذَبِيحَتَنَا فَذَلِكَ
الْمُسْلِمُ الَّذِي لَهُ ذِمَّةُ اللهِ وَذِمَّةُ رَسُولِهِ
"Barangsiapa shalat
sebagaimana shalat kita, berkiblat sebagaimana kiblat kita dan memakan hewan
sembelihan Larangan Mengkafirkan Orang Muslim kita, maka dia adalah muslim yang
berada dalam perlindungan Allah dan Rasul-Nya. "
(Hadits
riwayat Al-Bukhari dan Nasa'i)
Beliau
bersabda :
إِذَا
الْتَقَىَ الْمُسِلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَالْقَاتِلُ وَالْمَقْتُولُ فِي
النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ هَذَا الْقَاتِلُ فَمَا بَالُ الْمَقْتُولِ
قَالَ إِنَّهُ قَدْ أَرَادَ قَتْلَ صَاحِبِهِ
"Apabila ada dua orang
muslim bertemu dengan kedua pedangnya, maka yang membunuh dan yang terbunuh di
neraka." Sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, yang membunuh sudah
selayaknya tapi bagaimana halnya dengan yang terbunuh?" Beliau bersabda:
"Karena dia bermaksud untuk membunuh saudaranya pula. "
[Hadits riwayat Al-Bukhari dan
Muslim]
Beliau
bersabda:
لَا
تَرِجِعُوا بَعْدِي كُفَّارًا يَضْرِبُ بَعْضُكُمْ رِقَابَ بَعْضٍ
"Janganlah kalian
kembali kepada kekafiran sepeninggalku nanti, yang mana sebagian memenggal
leher sebagian yang lain."
[Hadits riwayat Al-Bukhari dan
Muslim]
Beliau
bersabda:
إِذَا
قَالَ الرَّجُلُ لِلأَخِيْهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهِ أَحَدُهُمَا
"Apabila seorang muslim
berkata kepada saudaranya, "Wahai kafir" maka julukan tersebut akan
hinggap pada salah satu di antara keduanya."
[Hadits riwayat Al-Bukhari]
Dan
seluruh hadits-hadits di atas terdapat dalam kitab-kitab hadits yang shahih.
Apabila seseorang salah dalam
menakwilkan kemudian membunuh atau mengkafirkan muslim lain, maka dia tidak
menjadi kafir karenanya, sebagaimana dikatakan oleh Umar bin Khaththab kepada
Hatib bin Abi Balta'ah12),
"Wahai Rasulullah biarkan aku pukul leher orang munafik ini." Maka Nabi
bersabda:
إِنَّهُ
قَدْ شَهِيدَ بَدْرًا وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّ اللهَ أَنْ يَكُونَ قَدِ الطَّلَعَ
عَلَى أَهْلِ بَدْرٍ فَقَالَ اعْمَلُوا مَاشِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
"Sesungguhnya dia ikut
dalam perang Badar dan kamu tidak tahu bisa jadi Allah melihat ahli badar
kemudian berfirman, "Berbuatlah sesukamu, sungguh Aku telah mengampuni
kalian."
[Hadits ini terdapat dalam
shahihain]
12.)
Turunlah ayat tentang kejadian tersebut permulaan surat Al-Mumtahanah. Hathib
adalah sahabat muhajirin yang memiliki anak-anak dan harta di Mekah. Ketika
Rasulullah berketetapan untuk menaklukkan Mekah maka Hathib segera menulis
surat dan mengutus seorang wanita Quraisy agar disampaikan kepada penduduk Mekah
untuk memberitahukan kepada mereka tentang rencana Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam tersebut agar mereka bersiap siaga. Namun Allah memberitahukan
hal itu kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lalu beliau perintahkan
sahabat untuk mengejar wanita tersebut dan mengambil surat itu.
Masih disebutkan dalam shahihain
tentang "haditsul ifki" (berita dusta) bahwa Usaid bin
Hudhair berkata kepada Sa'ad bin Ubadah, "Sesungguhnya engkau adalah
munafik sedang kamu berbantahan tentang orang-orang munafik.", maka
bertengkarlah antara dua kelompok. Lalu Nabi mendamaikan perselisihan di antara
mereka. Begitulah, di antara mereka yang turut dalam perang Badar, ada yang berkata
kepada yang lain, "sesungguhnya engkau munafik", namun Nabi tidak
mengkafirkan kelompok ini atau kelompok itu, bahkan Nabi memberikan kabar
gembira kepada mereka semua dengan jannah.
Hadits serupa diriwayatkan di
dalam shahihain dari Usamah bin Zaid bahwa beliau membunuh seseorang yang telah
mengucapkan la ilaha illallah dan Nabi menganggap serius
persoalan tersebut setelah sampai kepada beliau, maka beliau bersabda :
يَا
أُسَامَةُ أَقَتَلْتَهُ بَعْدَ مَا قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
"Wahai Usamah, apakah
engkau membunuhnya, setelah ia mengucapkan la ilaha illallah? "
Beliau mengulang-ulang sabdanya
hingga Usamah berkata:
أَنِّي
لَمْ أَكُنْ أَسِلَمْتُ قَبْلَ ذَلِكَ الْيَوْمَ
"Aku berangan-angan sekiranya
aku belum Islam sebelum hari itu "
Namun demikian tidak dijatuhkan qishash (balas bunuh) atas Usamah, atau diyat maupun kafarah, karena Usamah
mengira diperbolehkan membunuhnya lantaran beliau berprasangka bahwa orang tersebut
mengucapkan syahadat karena hendak melindungi dirinya (agar tidak dibunuh).
Begitulah para salaf, sekalipun
sebagian memerangi sebagian yang lain seperti dalam perang Jamal, perang
Shiffin dan semisalnya, namun mereka tetap sebagai muslimin dan mukminin
sebagaimana firman Allah Ta'ala
:
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
ٱقۡتَتَلُواْ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَاۖ فَإِنۢ بَغَتۡ إِحۡدَىٰهُمَا عَلَى ٱلۡأُخۡرَىٰ
فَقَٰتِلُواْ ٱلَّتِي تَبۡغِي حَتَّىٰ تَفِيٓءَ إِلَىٰٓ أَمۡرِ ٱللَّهِۚ فَإِن
فَآءَتۡ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَهُمَا بِٱلۡعَدۡلِ وَأَقۡسِطُوٓاْۖ إِنَّ ٱللَّهَ
يُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِينَ
"Dan jika ada dua
golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.
Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang
lain maka perangilah golong-Larangan Mengkafirkan Orang Muslim an yang berbuat
aniaya itu sehingga golongan itu kembali, kepada perintah Allah; jika golongan
itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya
dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil. (Al-Hujurat: 9)
Allah telah menjelaskan bahwa,
sekalipun mereka saling memerangi atau saling memberontak sebagian atas
sebagian yang lain, mereka tetap bersaudara seiman dan Allah perintahkan untuk
mendamaikan perselisihan di antara mereka dengan adil.
Oleh karena itu, sekalipun mereka
saling berperang namun masih tetap berwala' satu sama lain dengan wala' dien,
tidak bermusuhan sebagaimana memusuhi orang-orang kafir, menerima kesaksian sebagian
atas sebagian yang lain, dan sebagian menimba ilmu kepada sebagian yang lain,
saling mewarisi, menjalin hubungan pernikahan dan bermu'amalah dengan mu'amalah sesama muslim sekalipun ada
peperangan dan saling melaknat di antara mereka.
Disebutkan di dalam Ash-shahih
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memohon kepada Rabb-nya, agar
umatnya tidak dibinasakan dengan bencana secara menyeluruh, maka Allah
mengabulkannya, dan Nabi memohon kepada Allah agar kaum muslimin tidak dikuasai
oleh musuh-musuh di luar kalangan mereka, maka Allah mengabulkannya, dan Nabi
memohon agar tidak ada peperangan di antara kaum muslimin, namunAllah tidak
mengabulkannya.
Beliau mengabarkan, Allah tidak
akan menguasakan musuh di luar kaum muslimin atas mereka hingga mengalahkan
seluruhnya kecuali jika kaum muslimin saling memerangi sebagian atas sebagian yang
lain dan menjadikan tawanan satu sama lain."
Disebutkan
pula dalam shahihain bahwa ketika turun ayat :
قَلْ
هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَّبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِّنْ فَوْقِكُمْ
"Katakanlah.:"Dia
yang berkuasa untuk mengirimkan adzab kepadamu, dari atas kamu..."
Beliau
bersabda, “ Aku berlindung kepada wajah-Mu.”
أَوْ
مِنْ تَحْتِ أَرْجُلَكُمْ
"...atau
dari bawah kakimu"
Beliau
berdo'a, "Aku berlindung kepada
wajah-Mu'
أَوۡ يَلۡبِسَكُمۡ شِيَعٗا
وَيُذِيقَ بَعۡضَكُم بَأۡسَ بَعۡضٍۗ ٱنظُرۡ كَيۡفَ نُصَرِّفُ ٱلۡأٓيَٰتِ لَعَلَّهُمۡ
يَفۡقَهُونَ
"Atau Dia mencampurkan
kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan) dan merasakan kepada
sebahagian) kamu kepada keganasan sebahagian yang lain." (Al-An'am: 65)
Beliau
bersabda, “dua hal tadi lebih ringan.”
Namun demikian Allah memerintahkan
kita untuk menjaga Al-jama'ah dan menjaga persatuan serta melarang berbuat
bid'ah dan berselisih:
إِنَّ ٱلَّذِينَ فَرَّقُواْ
دِينَهُمۡ وَكَانُواْ شِيَعٗا لَّسۡتَ مِنۡهُمۡ فِي شَيۡءٍۚ إِنَّمَآ أَمۡرُهُمۡ
إِلَى ٱللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَفۡعَلُونَ
"Sesungguhnya
orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan,
tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan
mereka hanyalah (terserah) kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan
kepada mereka apa yang telah mereka perbuat". (Al-An'am: 159)
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
عَلَيْكُمْ
بِالْجَمَاعَةِ فَإِنْ يَدَ اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ
"Hendaknya kalian
berjama'ah dan tangan Allah di atas Al-Jama' ah"
[Hadits riwayat Tirmidzi dan Nasa'i. At-Tirmidzi berkata
"Ini hadits gharib" Di dalamnya ada Sulaiman bin Sufyan yang oleh
Ibnu Hajar dikatakan di dalam At-Taqrib"dha'if]
Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
فَإِنَّ
الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدِ وَهُوَ مِنَ الْإِثْنَيْنِ أَبْعَدُ
"Syetan menyertai satu
orang dan terhadap dua orang lebih jauh."
[Hadits
riwayat Tirmidzi dan beliau berkata "hadits hasan shahih dan gharib dari
jalan ini]
Dan
sabdanya :
إَنَّ
الشَّيْطَانَ ذِئْبُ الْإِنْسَانِ كَذَئْبِ الْغَنَمِ يَأْخُذُ الشَّاةَ
الْقَاصِيَةَ وَالنَّاحِيَةَ مِنَ الْغَنَمِ
"Sesungguhnya
syetan memangsa manusia sebagaimana srigala memangsa domba dan srigala hanya memangsa
domba yang menyendiri.”
[Hadits
riwayat Abu Dawud, Ahmad, Nasa'i, Ibnu Hibban, Al-Hakim dan beliau
menshahihkannya.]
Maka wajib atas setiap muslim
ketika berada di suatu kota kaum muslimin untuk mengerjakan shalat Jum'at dan
shalat jama'ah bersama mereka. Hendaknya berwala' kepada mereka dan tidak
memusuhinya.
Jika ia melihat sebagian mereka
berada dalam kesesatan dan memungkinkan baginya untuk membenarkan dan
meluruskannya, maka hendaknya dia melakukannya. Jika tidak mampu, maka Allah tidak
membebankan kepada seseorang apa yang ia tidak mampu mengerjakannya. Jika dia
mampu mengangkat imam kaum muslimin orang yang paling utama, maka hendaknya dia
mengangkatnya, dan jika ada kemampuan baginya untuk mencegah timbulnya bid'ah
dan tindakan fajir maka hendaknya ia mencegahnya.
Namun jika tidak memiliki kemampuan akan hal itu, maka shalat di belakang orang
yang paling faham dengan kitabullah dan sunnah Nabi-Nya serta lebih bersegera melaksanakan
ketaatan kepada Allah adalah afdhal
(lebih utama). Sebagaimana sabda
Nabi dalam hadits yang shahih:
يَؤُمُ
الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ فَإِنْ كَانُوا فِي الْقِرَاعَةِ سَوَاءً
فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ فَإِنْ كَانُوا فِى السُّنَّةِ سَوَاءً
فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً فَأَقْعَدُهُمْ
سِنًّا
"Hendaknya yang menjadi
imam adalah yang paling faham (hafal) tentang Al-Qufan, jika dalam masalah hafalan
sama, maka pilihlah yang paling faham tentang sunnah. jika dalam hal sunnah
sama maka pilihlah orang yang dahulu berhijrah, jika dalam hal hijrah juga
sama, maka pilihlah yang lebih tua."
[Hadits riwayat Ahmad, Muslim, Abu Dawud,
Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan lain-lain. At-Tirmidzi berkata, "hadits
shahih."]
Maka jika dengan meninggalkan
orang yang terang-terangan melakukan bid'ah adalah lebih mendatangkan maslahah
yang jelas, hendaknya dia meninggalkannya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam memboikot
tiga sahabat yang tertinggal perang hingga Allah menerima taubat mereka. Namun
jika selain dirinya mengangkat ahli bid'ah tanpa persetujuannya sedangkan tidak
ada maslahah syar'iyah jika meninggalkan imam tersebut, maka tidak berjama'ah di
belakangnya adalah wujud dari kebodohan dan kesesatan, ia telah menolak bid'ah
dengan bid'ah yang lain.
Terhadap orang yang shalat di
belakang imam fajir kemudian mengulang shalatnya
karenanya, maka ulama berbeda pendapat tentang hukumnya. Namun sebagian besar
mereka tidak menyukainya.
Bahkan Imam Ahmad bin Hambal
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdus berkata, "Barangsiapa yang mengulangi
shalatnya (karena shalat di belakang imam fajir), maka dia adalah ahli
bid'ah." Inilah yang paling masyhur di antara dua pendapat tersebut.
Sebab para sahabat tidak mengulang
shalatnya ketika shalat berada di belakang imam fajir atau
ahli bid'ah dan Allah Ta'ala
sama sekali tidak memerintahkan kepada
seseorang untuk mengulangi shalatnya ketika telah melaksanakan sesuai dengan kadar
kemampuannya. Untuk itulah yang paling shahih di antara dua pendapat ulama'
adalah barangsiapa yang shalat sesuai dengan kadar kemampuannya, maka tidak
perlu mengulanginya, termasuk orang yang melakukan tayamum karena takut kedinginan. Dan
barangsiapa yang tidak mendapatkan air dan debu lalu dia shalat dalam keadaan
demikian, "atau ada penghalang dan udzur maka tidak wajib atasnya untuk
mengulang shalatnya jika dia telah shalat sesuai dengan kadar maksimal
kemampuannya.
Telah disebutkan di dalam Ash-shahih bahwa para sahabat shalat tanpa
berwudhu dan tayyamum ketika 'Aisyah kehilangan kalungnya, namun Nabi tidak
memerintahkan mereka untuk mengulanginya.
[Diriwayatkan oleh Malik,
Al-Bukhari dan Muslim.]
Bahkan lebih dari itu, barangsiapa
yang meninggalkan shalat karena tidak tahu akan kewajibannya, maka tidak ada
perintah baginya untuk mengqadha'. Ketika Amru dan Ammar sedang junub, Amru
tidak shalat sedangkan Ammar mengguling-gulingkan tubuhnya ke tanah sebagaimana
bergulingnya hewan, [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari, Muslim dan Nasa'i]'
namun keduanya tidak diperintahkan untuk mengqadha'nya. Dan Abu Dzar tatkala
junub dan beliau tidak mengerjakan shalat, Nabi tidak memerintahkan beliau
untuk mengqadha'nya. [Hadits
riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa'i, Al-Hakim, dan yang lain. At-Tirmidzi
berkata "hasan shahih" sedangkan Al-Hakim berkata "hadits
shahih"]
Demikian pula seorang wanita sahabiyat
tatkala istihadhah, yang mana aliran darahnya deras
namun tidak dikenal (bukan darah haidh) lantas ia tidak melaksanakan shalat dan
shaum, Nabi tidak menyuruhnya untuk mengqadha'. [Diriwayatkan
oleh Abu Dawud, Asy-Syafi'i di dalam Al-Umm,]
Dan orang-orang yang makan di
siang ramadhan sampai jelas bagi salah seorang di antara mereka benang putih
dari benang hitam, tidak diperintahkan kepadanya untuk mengqadha' karena mereka
keliru dalam memahami ayat:
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ
حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ
مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
"Dan makan
minumlah hingga terang bagimu benang-putih dari benang hitam, yaitu fajar. (Al-Baqarah: 187)
Mereka
mengira bahwa "habl" (benang) dalam ayat tersebut
adalah benang sungguhan. Maka Nabi bersabda :
إِنَّمَا
ذَلِكَ سَوَادُ اللَّيْلِ وَبَيَاضُ النَّهَارِ
"Yang dimaksud adalah hitam
(gelap)nya malam dan putih (terang)nya siang."
Namun
Nabi tidak menyuruh mereka untuk mengqadha' shaumnya. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari,
Muslim, At-Tirmidzi dan beliau berkata "Hasan shahih"]
Orang yang keliru shalatnya, tidak
diperintahkan untuk mengulangi apa-apa yang telah lewat dari shalatnya.
[Orang yang buruk shalatnya tersebut adalah Khalad bin
Rafi' seorang sahabat Anshar yang mengikuti perang Badar bersama Rasulullah dan
ikut perang Jamal dan Shiffin bersama Ali. Beliau wafat pada awal pemerintahan
Mu'awiyah dan hadits yang beliau riwayatkan sebanyak tujuh hadits.]
dan orang-orang yang shalat
menghadap Baitul Maqdis yakni sahabat yang masih berada di Mekah, Habsyah dan yang
lain setelah dihapus perintah tersebut dan kiblat beralih ke Ka’bah, mereka
shalat di atas bebatuan hingga datang kepada mereka bahwa perintah menghadap ke
Baitul Maqdis telah dihapus hukumnya, mereka tidak diperintahkan mengulangi shalatnya.
[Hadits riwayat Al-Bukhari, Muslim,
Nasa'i dan Tirmidzi.]
Sekalipun mereka lebih memiliki
udzur dari yang lain karena mereka masih berpegang dengan syari'at yang telah
dihapus.
Para ulama' berbeda pendapat
tentang apakah hukum ditegakkan atas hamba sebelum datang penjelasan baginya?
Ada tiga pendapat, madzhab Ahmad dan yang lain mengatakan/ tidak" adapula yang
mengatakan, "tetap ditegakkan" dan yang lain lagi mengatakan
"ditegakkan atas hukum yang awal yang tidak dihapus hukumnya."
Pendapat yang benar adalah apa yang ditunjukkan di dalam Al-Qur'an :
مَّنِ ٱهۡتَدَىٰ فَإِنَّمَا
يَهۡتَدِي لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيۡهَاۚ وَلَا تَزِرُ
وَازِرَةٞ وِزۡرَ أُخۡرَىٰۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبۡعَثَ رَسُولٗا
"Barangsiapa yang
berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan)
dirinya sendiri; dan barangsiapa yangsesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi
(kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa
orang lain, dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang
rasul."(Al-Isra': 15)
Dan
firman-Nya:
رُّسُلٗا مُّبَشِّرِينَ
وَمُنذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى ٱللَّهِ حُجَّةُۢ بَعۡدَ ٱلرُّسُلِۚ
وَكَانَ ٱللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمٗا
"(Mereka Kami utus)
selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya
tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul
itu." (An-Nisa': 165)
Di
dalam shahihain disebutkan :
"Tiada udzur dari Allah
yang lebih disukai oleh seseorang dari diutusnya para Rasul sebagai pemberi
kabar gembira dan pemberi peringatan."
Maka orang yang salah dalam
menakwilkan atau bodoh, ia mendapat udzur dan tidak dapat dihukumi sebagai
penentang atau fajir, dan sesungguhnya Allah telah
mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.
Source:
Judul Asli : Qa'idah Ahlus Sunnah wal
Jama'ah
Penulis : Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Penerjemah : Abu Umar Abdillah
Asy-Syarif
Penerbit : Daarul Wathan 21
Tidak ada komentar:
Posting Komentar