Pembatal Keislaman Kesembilan:
Meyakini Bahwa Ada Sebagian Manusia
yang Mempunyai Kebebasan Keluar dari
Syari’at Muhammad
Syari’at Muhammad
Syaikh -Rahimahullah- berkata “BARANGSIAPA
MEYAKINI BAHWA ADA SEBAGIAN DAPAT KELELUASAAAN (KEBEBASAN) KELUAR DARI SYARI’AT
MUHAMMAD SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM, SEBAGAIMANA KELELUASAAN KHIDHIR UNTUK
KELUAR DARI (TIDAK MENGIKUTI) SYARI’AT MUSA, MAKA IA KAFIR”.
Itu karena termasuk dalam kategori mendustakan firman Allah Ta’ala :
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِى مُسْتَقِيمًا
فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“DAN BAHWA (YANG KAMI PERINTAHKAN) INI ADALAH
JALAN-KU YANG LURUS, MAKA IKUTILAH DIA; DAN JANGANLAH KAMU MENGIKUTI
JALAN-JALAN (YANG LAIN), KARENA JALAN-JALAN ITU MENCERAI-BERAIKAN KAMU DAN
JALAN-NYA. YANG DEMIKIAN ITU DIPERINTAHKAN ALLAH KEPADAMU AGAR KAMU BERTAQWA.”
(Al-An’am : 153).
Al Imam Ahmad, Abu Dawud, At-Thayalisi, Ad-Darimi dan perawi
lainnya merìwayatkan dari Ibnu Mas’ud Radhíyallahu‘anhu bahwa ìa berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menggariskan
kepada kami satu garis, kemudian berkata: “ini adalah jalan Allah”, lalu beliau
menggariskan sekian garis dari sebelah kanan dan kirinya, kemudian berkata:
“ini adalah jalan-jalan yang bersimpang-siur; di atas setiap jalan tersebut terdapat
setan yang menyeru kepadanya. Selanjutnya beliau membaca ayat: “Ini adalah
jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan
(yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (Al-An’am
: 153).
Hadits ini juga dikeluarkan oleh Al-Hakim, dan ia mengatakan
bahwa hadits ini shahihul-isnad.
Barangsiapa yang hendak keluar dari syari’at Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, atau meyakini tidak memerlukan kepada syari’at
Muhammad, maka berarti melepas ikatan Islam dari lehennya.
Al-Imam Muhammad bin Abdul Wahhab –Rahimahullah- dalam kitab “Fadhlul Islam” telah menulis sebuah bab yang sangat pokok yang berjudul “Bab : Wajib Merasa Cukup dengan Mengikuti Kitab dari Mengikuti Selainnya.
Tidak diragukan bahwa kitab Al-Qur’an memerintahkan kita untuk
mengikuti Rasul Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
serta tidak keluar dari mentaatinya. Bahkan keluar dari mentaatinya
merupakan salah satu sebab yang mengharuskan pelakunya masuk ke dalam neraka. Hal
ini sebagaimana disebutkan dalam hadits yang terdapat dalam Musnad Ahmad dan
Shahih Al-Bukhari dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu‘anhu bahwa ia berkata:
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam telah bersabda: “Masing-masing
ummatku akan masuk jannah, kecuali yang enggan, Para sahabat bertanya: Siapakah
orang yang enggan itu, ya Rasulullah?”, Beliau menjawab: “Siapa saja yang
mentaatiku, maka ia masuk jannah, dan siapa saja yang mendurhakaiku, maka dialah
orang yang enggan”.
Selanjutnya Syaikh -Rahimahullah- mengemukakan firman Allah
Ta’ala :
وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ
تِبْيَانًا لِّكُلِّ شَيْءٍ
“Dan Kami turunkan kepadamu Kitab A1-Qur’an untuk menjelaskan
segala sesuatu”. (An-Nahi : 89).
An-Nasa’i dan lainnya meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : bahwa beliau melihat lembaran dari kitab Taurat di tangan Umar bin Al-Khathab Radiyallahu ‘anhu, lalu beliau bersabda: “Apakah kamu masih juga bingung wahai putera Al-Khathab ?, padahal aku telah membawakan kepadamu ajaran yang putih cemerlang. Seandainya Musa masih hidup, lalu kalian mengikutinya dan meninggalkanku tentulah kamu tersesat”.
Dalam riwayat lain disebutkan: “Seandaìnya Musa masih hidup,
maka tiada keleluasaan baginya kecuali harus mengikutiku”, lalu Umarpun
berkata: “Aku telah ridha bila Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama, dan
Muhammad sebagai nabi”.
Hadits ini merupakan nash yang menunjukkan bahwa tak seorangpun
yang mendapat keleluasaan untuk keluar dari syari’at Muhammad Shallallahu
‘llaihi Wa Sallam. Dalil-dalil lain mengenai hal ini masih cukup banyak.
Manakala para sahabat -Radiyallahu ‘anhum- merupakan manusia
yang paling tahu tentang Allah dan paling kuat imannya, maka tidak ada pilihan lain
bagi mereka kecuali mengikuti Rasulullah, menghormatinya, memuliakannya serta
mengikuti “cahaya” yang diturunkan kepadanya (Wahyu; Al-Qur’an). Itu tidak lain
karena Allah Ta’ala telah memilih mereka untuk menemani nabi-Nya. Al-Imam Ahmad,
Al-Bazzar dan lainnya telah mengeluarkan riwayat hadits dengan sanad basan,
dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu‘anhu yang menuturkan bahwa Nabi Shallallahu
‘alaihi Wa Sallam : telah bersabda:
“Sesungguhnya Allah melihat (memperhatikan) hati para hamba, lalu Ia mendapati
hati Muhammad; sebagai sebaik-baik hati umat manusia. Maka la pun memilihnya
untuk dirinya dan mengutusnya dengan risalahNya. Selanjutnya la pun memperhatikan
kembali hati para hamba, lalu la mendapati hati para sahahat nabi sehagai sebaik-baik
hati ummat manusia (setelah Nabi) Maka, Ia menjadikan mereka sebagai para wazir
(menteri) nabiNya yang siap berperang membela agamanya. Apa yang dilihat oleh
kaum muslimin sebagai suatu kebaikan; maka hal itu di sisi Allah juga merupakan
suatu kebaikan, dan apa yang dilihat oleh mereka sebagai suatu keburukan, maka
di sisi Allah pun merupakan suatu keburukan pula.
ALLAH TELAH MEMFARDHUKAN ATAS SEMUA MANUSIA
UNTUK MENTAATI NABI,
NAMUN DI ANTARA MANUSIA ITU
ADA YANG TAAT (PATUH) DAN ADA PULA YANG DURHAKA.
a. Ummat ljabah : Yaitu mereka yang mentaatinya dan mengikuti “cahaya” yang dibawanya.
b. Ummat Dakwah:
Yaitu mereka yang sombong dari mentaati dan mengikutinya (artinya tidak mentaati
dan mengikuti Nabi).
Syaìkhul Islam Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah- [“Al-Fatawa” (XI : 418), dalam masalah tasawwuf] berkata: “Di antara mereka ada yang mengira bahwa berpegang kepada syari’at, baik yang berupa perintah maupun larangan, itu hanya di wajibkan atas orang yang belum sampai kepada tìngkatan ma’rifat atau hal (kondisi-kondisi tertentu). Namun jika telah sampai pada tingkatan itu, maka ketika syari’at itu tidak ada lagi kewajiban baginya untuk berpegang dengan sunnah Nabawíyah. Bahkan ketika itu ia bisa berjalan bersama dengan “hakekat kauniyah Qadariyah”, atau melakukan sesuatu berdasarkan perasaan, keinginan hati, kasyf dan pendapatnya sendiri tanpa harus berpegang dengan Kitab dan Sunnab. Diantara mereka itu ada yang mendapatkan hukuman dengan dicabutnya hal (status)nya sehingga menjadi berkurang, lemah, bahkan tak punya sama sekali; ada yang mendapatkan hukuman dengan dicabutnya ketaatannya sehingga ia menjadi orang fasik; dan ada yang mendapat hukuman dengan dicabutnya keimanannya sehingga ia menjadi murtad, munafik atau kafir secara terang-terangan. Jumlah mereka cukup banyak. Dan banyak dan mereka itu yang berhujjah (beralasan) dengan kisah Musa dan Khidir.
Selanjutnya Ibnu Taimìyyah –Rahimahullah- menjelaskañ lagi :
“Tentang pengambilan hujjah yang mereka lakukan berdasarkan
kisah Musa dengan Khidhir itu ada Dua Macam:
Pertama: Mereka katakan bahwa
Khidhir adalah seorang yang menyaksikan al-iradah ar-rabbaniyyah as-syamilah
dan al-masyi’ah al-ilahiyyah al-’ammah (kehendak Allah yang bersifat
menyeluruh), yaitu yang dinamakan hakekat kauniyah, oleh karena itu ia tidak
bisa dicela atau disalahkan bila menyelisihi perintah dan larangan syar‘i. Pendapat
ini merupakan kejahilan dan kesesatan yang besar, bahkan merupàkan kanifakan
dan kekufuran yang besar. Kandungan dan perkataan itu adalah bahwa orang yang
telah beriman kepada qadar dan bersaksi bahwa Allah adalah Rabb segala sesuatu,
maka tidak ada lagi perintah dan lararigan atas dirinya. ini merupakan
kekufuran kepada seluruh kitab-kitab Allah dan para rasulNya serta apa saja (ajaran)
yang mereka bawa, yang berupa perintah ataupun laranganNya.
Kedua : Di antara mereka ada
yang meyakini bahwa di antara para wali itu ada yang diperbolehkan untuk keluar
dari syari’at Nabawiyah sebagaimana Khidhir diizinkan keluar dan mengikuti Musa
‘alaihi salam. Dan bahwasannya bisa saja bagi seorang wali itu dalam mukasyafah
dan mukhathabah cukup untuk tidak mengikuti rasul atas seluruh aturannya atau
sebahagian darinya. Banyak dan mereka yang lebih mengutamakan wali dari pada nabi,
menurut anggapan mereka baik secara mutlak maupun dalam sebagian hal saja.
Mereka semua beranggapan bahwa apa yang terjadi dalam kisah Khidir itu
merupakan hujjah bagi mereka.
Pendapat-pendapat tersebut merupakan bentuk kejahilan dan
kesesatan, bahkan juga merupakan jenis kenifakan, keilhadan (ketidak percayaan)
dan kekufuran yang paling besar. Karerta sesungguhnya sudah difahami dengan
pasti dari Dinul Islam bahwa risalah Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi
wa sallam itu adalah ditujukan bagi seluruh ummat manusia tanpa kecuali; bangsa
Arab maupun ’ajam (selain bangsa Arab), para raja maupun ahli zuhud, para ulama
maupun orang awam, dan bahwasanya risalah tersebut tetap berlaku selamanya
hingga hari kiamat. Bahkan risalah itu juga berlaku untuk seluruh jin dan
manusia. Tak seorang makhlukpun yang diperbolehkan keluar untuk tidak mengikutinya,
tìdak mentaatinya, dan tidak berpegang kepadanya dalam hal apa saja yang
disyari’atkan olehnya untuk ummatnya berupa ajaran agama, serta apa saja yang
disunnahkan untuk mereka berupa pengamalan terhadap perintah-perintah dan
meninggalkan 1arangan1arangan. Bahkan juga seandainya para nabi terdahulu yang
hidup sebelum Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu masih hidup, maka
wajiblah atas mereka semua untuk patuh dan taat kepada Rasulullah Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Sementara telah disebutkan dalam hadits-hadits shahih bahwa jika
Al-Masih petera Maryam sudah turun dan Jangit, maka ia pun mengikuti syari’at
Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika seandainya para nabi yang bersua beliaupun wajib mengikuti
dan membela beliau, lalu bagaimana halnya dengan manusia biasa yang bukan nabi?
Telah diketahui pula dengan pasti dan agama Islam ini bahwa
setiap orang yang telah menerima dakwah beliau tidak dibolehkan untuk mengikuti
rasul lainnya, seperti (mengikuti) Nabi Musa dan Nabi isa alaihimassalam. Jika
seseorang dilarang untuk keluar dari syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam rangka mengikuti syari’at rasul laìnnya, maka bagaimana halnya
kalau ia keluar dan syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta keluar dari
syari’at-syari’at rasul lain-lainya?!
Diantara hal yang menjelaskan kesalahan yang menimpa mereka
dalam berhujjah berdasarkan kisah Nabí Musa dan Khidhir untuk menyelisihi syari’at
yaitu bahwa Musa alaihisalam itu tidak pernah diutus kepada Khidhir, dan Allah
pun tidak pernah mewajibkan kepada Khidhir untuk mengikuti dan mentaati Musa. Bahkan
dalam kitab Shahihain disebutkan bahwa Khidhir berkata kepada Musa: “Wahai
Musa! Sesungguhnya aku ini berada di atas suatu ilmu dari ilmu Allah yang telah
diajarkan oleh Allah kepadaku yang kamu tidak mengetahuinya. Dan kamu pun
berada di atas suatu ilmu dari ilmu Allah yang telah diajarkan oleh Allah
kepadamu yang aku tidak mengetahuinya.” Itu karena dakwah Musa bersifat khusus.
Dalam hadits-hadits shahih disebutkan bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata tentang pengutamaan Allah terhadap dirinya atas
nabi-nabi lainnya: “Adalah nabi (selainku Pt) itu diutus secara khusus untuk kaumnya,
sedangkan aku diutus kepada manusia secara umum”
Dakwah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu meliputi
seluruh umat manusia, sehingga tak seorangpun boleh keluar untuk tidak mengikuti
dan mentaatinya, serta tidak memerlukan risalahnya; seperti Khidhir dìbolehkan
keluar untuk tidak mengikuti dan mentaati Musa serta cukup dengan ilmu yang
telah diajarkan oleh Allah kepadanya. Tak seorang pun yang telah menerima agama
Islam diperbolehkan untuk mengatakan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam : Sesungguhnya aku berada di atas suatu ilmu yang telah diajarkan oleh
Allah kepadaku yang anda tidak mengetahuinya. Barangsiapa yang membolehkan hal
semacam ini, atau meyakini bahwa salah seorang dan orang-orang zuhud dan ahli
ibadah, atau selain mereka, memiliki kebebasan untuk keluar dari dakwah
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan keluar untuk tidak mentaatinya, maka
ia adalah kafir berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Dalil-dalil mengenai hal
ini dalam Kitab maupun Sunnah cukup banyak untuk disebutkan.
Kisab tentang Khidhir itu tidak mengandung adanya unsur
diperbolehkannya seseorang keluar dari syari’at. Oleh karena itu, ketika
Khìdhir menjelaskan kepada Musa tentang sebab-sebab yang menjadikannya
melakukannya hal-hal yang dilakukannya itu, maka Musa pun dapat menerima
(menyetujui)nya, dan keduanya pun ketika itu tidak lagi berselisih. Seandainya
apa yang telah dilakukan oleh Khidhir itu menyelisihi syari’at Musa, maka Musa
pun tentu tak akan menyetujuinya.
Demikianlah penjelasan yang cukup memuaskan dari Ibnu Taimiyyah
-Rahimahullah- mengenai masalah yang cukup besar ini.
Dengan ini jelaslah sudah bahwa tak seorangpun dibolehkan untuk keluar dan syari’at Muhammad, seperti yang dilakukan oleh orang-orang sufi yang menafsirkan firman Allah Ta’ala :
وَاعْبُدُوا رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu yang diyakini
(ajal)” (Al-Hijr : 99),
dengan arti: ìlmu dan ma’rifah
Sehìngga mereka membolehkan orang yang telah sampai pada ilmu dan
ma’rifah itu untuk keluar dari syari’at Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
serta menggugurkan beban-beban syari’at (takalif) atas dirinya. Ini merupakan
kekufuran dan keluar dari Islam berdasarkan kesepakatan ulama.
Betapa bagusnya apa yang dikatakan oleh Al-Allamah lbnuL-Qoyyim
dalam kitab “Nuniyah’-nya :
Kekufuran itu tidak lain adalah menentang dan menolak ajaran
yang dibawa oleh Rasul demi mengikuti pendapat si Polan.
Maka lihatlah, mudah-mudahan kamu tidak mengikuti apa yang telah
dikatakan orang itu karena akibatnya engkau akan kembali dengan membawa
kerugian!.
Jika menolak ajaran yang dibawa oleh Rasul saja merupakan
kekufuran, lalu bagaimana halnya dengan keluar dari syari’atnya secara penuh?!
Allahlah tempat memohon pertolongan.
Wallahu A‘lam.
Source:
Judul Ash : At-Tibyan, Syarh Nawaqidh Al Islam li Al-Imam
Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab -Rahimahullah
Penyusun : Sulaiman bin Nashir bin Abdullah Al Ulwan
Penerbit : Darul Muslim, Riyadh
Cetakan : tahun 1417 H. / 1996 M.
Edisi Indon : Penjelasan Tentang Pembatal Keislanan
Penerjemah : Abu Sayyid Sayyaf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar