7/20/2019

ORANG YANG MEMBUAT “PERANTARA” ANTARA DIRINYA DENGAN ALLAH.


Pembatal Keislaman Kedua:
Orang yang Membuat “Perantara”
antara dirinya dengan Allah.
SYAIKH –RAHIMAHULLAH- MENYATAKAN YANG MENJADIKAN “PERANTARA-PERANTARA DIRINYA DENGAN ALLAH, YANG KEPADA PERANTARA ITU IA BERDOA ATAU MEMINTA SYAFA’AT, SERTA BERTAWAKAL KEPADA MEREKA,
MAKA IA KAFIR BERDASARKAN IJMA’.

Saya katakan bahwa pembatal yang kedua ini merupakan pembatal yang paling banyak terjadi dan paling berbahaya bagi setiap orang. Sebab, cukup banyak orang-orang yang menamakan dirinya dengan nama Islam, padahal. sebenarnya ía tidak tahu Islam dan tidak tahu hakekatnya. la telah menjadikan perantara-perantara antara dirinya dengan Rabb Jalla wa ‘Ala yang ia seru agar perantara-perantara menghilangkan bencana, melenyapkan kesedihan dan kesulitan. Mereka itu adalah kafir berdasarkan ijma’ kaum muslimin, karena Allah Jalla wa ‘Ala tidaklah menurunkan kitab-kìtabNya dan tidak pula mengutus para rasulNya melainkan agar semua makhluk ini beribadah hanya kepadaNya saja yang tiada sekutu bagìNya. Akan tetapi ternyata para penyembah kubur enggan, lalu mereka menjadikan perantara-perantara yang mereka mintai untuk mendatangkan manfaat dan menolak madharat, dan mereka menganggap hal itu sebagai suatu ibadah yang diperintahkan oleh Allah. Apabila ada orang yang mengingkari tindakan mereka itu, maka merekapun dengan segera memberi tuduhan sebagai orang-orang yang tidak mengagungkan para auliya’ dan órang-orang saleh.

Mereka itu -disebabkan oleh anggapan/ keyakinan mereka yang rusak- tidak memohon kepada Allah secara langsung sebagai wujud pengagungan mereka kepada Allah, seraya mengatakan: “Sesungguhnya untuk Allah itu harus ada perantara wasithah), sebagaimana halnya untuk memohon sesuatu kepada seorang rajapun harus dengan perantaraan “ajudannya”, dan Allah tentunya Iebih layak untuk itu dan pada seorang raja. Mereka itu, na’udzubillah, berarti telah menyerupakan Allah dengan makhluk yang pada hakekatnya lemah. Melalui pintu inilah mereka masuk sehingga mereka keluar dari Islam. Di dalam Kitab maupun Sunnah terdapat cukup banyak dalil yang membatalkan pendapat mereka dan menganggap mereka rusak.

Barangsiapa yang merenungi A1-Qur’an dalam rangka mencari hidayah dan untuk mendapatkan kebenaran, maka hal itu akan tampak jelas baginya, serta akan terlihat jelas pula di matanya akan “keasingan” agama dan kejahilan kebanyakan manusia mengenai agama Rabb semesta alam ini.

Di antara ayat Al-Qur’an yang kita maksudkan itu adalah firman Allah Ta’ala :

قُلِ ٱدۡعُواْ ٱلَّذِينَ زَعَمۡتُم مِّن دُونِ ٱللَّهِ لَا يَمۡلِكُونَ مِثۡقَالَ ذَرَّةٖ فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَلَا فِي ٱلۡأَرۡضِ وَمَا لَهُمۡ فِيهِمَا مِن شِرۡكٖ وَمَا لَهُۥ مِنۡهُم مِّن ظَهِيرٖ ٢٢ وَلَا تَنفَعُ ٱلشَّفَٰعَةُ عِندَهُۥٓ إِلَّا لِمَنۡ أَذِنَ لَهُۥۚ حَتَّىٰٓ إِذَا فُزِّعَ عَن قُلُوبِهِمۡ قَالُواْ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمۡۖ قَالُواْ ٱلۡحَقَّۖ وَهُوَ ٱلۡعَلِيُّ ٱلۡكَبِيرُ ٢٣

Katakanlah: “Serulah mereka yang kamu anggap (sebagai ilah) selain Allah, mereka tidak memiliki (kekuasaan) seberat dzarrahpun di langit dan di bumi, dan mereka tidak mempunyai andil dalam (penciptaan) langit dan bumi dan sekali-sekali tidak ada diantara mereka yang menjadi pembantu bagi-Nya. Dan tidalah berguna syafa’at di sisi Allah melainkan bagi orang yang telah diizinkan-Nya memperoleh syafa’at itu”. (Saba’: 22-23)

قُلِ ٱدۡعُواْ ٱلَّذِينَ زَعَمۡتُم مِّن دُونِهِۦ فَلَا يَمۡلِكُونَ كَشۡفَ ٱلضُّرِّ عَنكُمۡ وَلَا تَحۡوِيلًا ٥٦
أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ يَبۡتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ ٱلۡوَسِيلَةَ أَيُّهُمۡ أَقۡرَبُ وَيَرۡجُونَ رَحۡمَتَهُۥ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُۥٓۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحۡذُورٗا ٥٧

Katakanlah: “Panggilah mereka yang kamu anggap selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan adzab-Nya; sesungguhnya adzab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti”. (Al-Isra’: 56-57).


وَلا تَدْعُ مِنْ دُونِ اللَّهِ مَا لَا يَنْفَعُكَ وَلا يَضُرُّكَ فَإِنْ فَعَلْتَ فَإِنَّكَ إِذًا مِنَ الظَّالِمِينَ (106) وَإِنْ يَمْسَسْكَ اللَّهُ بِضُرٍّ فَلا كَاشِفَ لَهُ إِلا هُوَ وَإِنْ يُرِدْكَ بِخَيْرٍ فَلا رَادَّ لِفَضْلِهِ يُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ وَهُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ (107)

Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi mudarat kepadamu selain Allah; sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, maka sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zalim.” Jika Allah menimpakan suatu kemudaratan kepadamu, maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. Dan jika Allah meng­hendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Yunus : 106-107)

Di dalam Al-Qur’an masib banyak lagi ayat ayat lain yang menunjukkan wajibnya mengikhlaskan ibadah kepada Allah saja serta tidak menjadikan perantara-perantara antara Allah dengan makhlukNya.

Allah Ta’ala berfirman: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (A1-Baqarah : 186).

Demikian juga ketika dikatakan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam Masya Allah wa Syi’ta (Atas kehendak Allah dan kehendakmu) maka beliau bersabda: “Apakah kamu menjadikan diriku sebagai tandingan Allah? Masya Allahu Wahdah! (Atas kehendak Allah saja).” [Diriwayatkan oleh Ahmad (1: 113 dan 214) dari hadits Ibnu Abbas dengan sanad hasan]

Sebab, huruf “wawu” dalam kalimat “wa syi’ta” (dan atas kehendakmu), menuntut arti kesamaan. Hanya Allah saja yang memiliki hak Ilahiyah, sehingga ubudiyah pun wajib diberikan hanya kepadaNya saja, dan tidak boleh disamakan dengan seorangpun diantara para makhlukNya dalam mendatangkan manfaat dan menolak madharat.

Nabi telah bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan Ibnu Abbas, yang dinilai oleh At-Tirmidzi sebagal hadits hasan:

JAGALAH ALLAH, NISCAYA DIA AKAN MENJAGAMU.
JAGALAH ALLAH, NISCAYA KAMU DAPATI DIA BERADA DI HADAPANMU.
JIKA KAMU MEMOHON, MAKA MEMOHONLAH KEPADA ALLAH
DAN JIKA KAMU MEMINTA PERTOLONGAN
MAKA MINTALAH PERTOLONGAN KEPADA ALLAH.
KETAHUILAH BAHWA JIKA UMMAT YANG ADA ITU BERKUMPUL BERSATU PADU/ UNTUK MEMBERIMU SUATU MANFAAT,
MAKA MEREKA TIDAK AKAN DAPAT MEMBERIMU MANFAAT KECUALI TELAH DITETAPKAN OLEH ALLAH UNTUKMU,
DAN JIKA MEREKA BERSATU UNTUK MEMBERIMU SUATU MADHARAT,
MAKA MEREKA TIDAK AKAN BISA MEMADHARATIMU KECUALI YANG TELAH DITULISKAN OLEH ALLAH AKAN MENIMPAMU.
PENA TELAH DIANGKAT DAN LEMBARAN TELAH MENGERING.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –Rahimahullah- berkata: “Sejalan dengan pengetahuan setiap mukmin bahwa Allah adalah Rabb segala sesuatu dan juga pemiliknya, maka dia tidak akan mengingkari adanya “sebab-sebab” (wasìlah) yang telah diciptakan oleh Allah, seperti Allah menjadikan hujan sebagai sarana tumbuhnya tumbuh-tumbuhan. Allah Ta’ala berfirman:

“...dan apa yang Allah turunkan dan langit berupa air, lalu dengan air itu Día hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan...” (A1-Baqarah : 164).

Begitu pula Dia telah menjadikan matahari dan bulan sebagai penyebab terhadap apa yang Dia cipta melalui keduanya, dan juga sebagaimana Dia telah menjadikan syafa’at dan doa sebagai sarana terhadap sesuatu yang akhirnya Dia kabulkan lantaran doa itu, begitu juga shalat janazah yang dilakukan kaum yang merupakan salah satu sebab diturunkannya rahmat Allah kepada mayit serta diberikannya pahala kepada orang-orang yang menshalatkannya.

Namun bertalian dengan masalah sebab dan akibat ini ada tiga perkara yang harus diketahui:

Pertama : Bahwa sebab yang membantu itu tidak berdiri sendiri dengan yang dituntut, akan tetapi ia harus disertai oleh sebab-sebab lainnya. Bertolak dari sini, maka ia mempunyai berbagai penghalang. Jika Allah tidak menyempurnakan sebab-sebab tersebut dan tidak menyìngkirkan berbagai penghalang yang ada, maka sesuatu yang dimaksud tidak akan tercapai. Apa yang dikehendaki oleh Allah pasti terjadi meskipun manusia tidak menghendaki, dan apa yang dikehendaki oleh manusia tidak akan terjadi kecuali jika Allah menghendaki.

Kedua : Seseorang tidak boleh berkeyakinan bahwa sesuatu itu merupakan “sebab” kecuali berdasarkan ilmu. Barangsiapa menetapkan sesuatu sebagai “sebab” tanpa dasar ilmu, atau menyelisihi syara’, maka ia telah melakukan kebathilan. Misal-nya orang yang mengira (meyakini) bahwa nadzar itu merupakan “sebab” tertolaknya bala’ dan datangnya karunia. Dalam Shahihain disebutkan hadits dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau pernah melarang nadzar, dan beliau bersabda: “Sesungguhnya nadzar itu tidak akan mendatangkan kebaikan. Sesungguhnya kebaikan yang dihasilkan oleh nadzar itu hanyalah berasal dari orang bakhil”.

Ketiga : Amalan-amalan diniyah tidak boleh dijadikan sebagai “sebab” kecuali jika memang hal itu disyari’atkan, karena ibadah itu dasarnya adalah syari’ah. Maka dari itu seseorang tidak boleh menyekutukan Allah dan menyeru selainNya, meskipun ia meyakini bahwa hal itu merupakan “sebab” untuk dapat memperoleh sebagian dan tujuan tujuannya. Karena itu pula, seseorang tidak boleh beribadah kepada Allah dengan cara-cara bid’ah yang menyelisihi syari’at, meskipun ada alasan keyakinan yang demikian itu. Sesungguhnya setan-setan itu ada kalanya membantu manusia untuk meraih sebagian dari keinginan-keinginannya jika manusia itu mau menyekutukan Allah. Bahkan dengan kekufuran, kefasikan dan kemaksiatan kadang-kadang beberapa tujuan atau keinginan orang itu bisa terwujud. Hal itu jelas tidak boleh ia lakukan, sebab, mafsadah yang terwujud dengan jalan seperti itu jauh lebih besar dari pada mashlahah yang didapatkan, mengingat bahwa Rasulullah itu diutus untuk mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan dan menyempurnakannya, serta untuk menggugurkan kerusakan-kerusakan (mafsadah) dan meminimalkannya.

APA SAJA YANG DIPERINTAHKAN OLEH ALLAH, MAKA HAL ITU PASTI MENGANDUNG KEMASLAHATAN;
DAN APA SAJA YANG DILARANG OLEHNYA, MAKA HAL ITU PUN JELAS MENGANDUNG MAFSADAH.”

Orang-orang musyrik, baik zaman dahulu maupun zaman sekarang bisa terperosok ke dalam syirik akbar semata-mata disebabkan ketergantungan mereka dengan “buntut-buntut” syafa’at, sebagaimana hal itu telah disebutkan oleb Allah dalam kitabNya. Syafa’at yang diyakini oleh kaum musyrikin sebagai milik mereka itu sebenarnya ternafikan pada hari kiamat, sebagaimana telah dinafikan dan digugurkan oleh Al-Qur’an di beberapa tempat. Di antaranya adalah firman Allah  Ta’ala:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَنفِقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰكُم مِّن قَبۡلِ أَن يَأۡتِيَ يَوۡمٞ لَّا بَيۡعٞ فِيهِ وَلَا خُلَّةٞ وَلَا شَفَٰعَةٞۗ وَٱلۡكَٰفِرُونَ هُمُ ٱلظَّٰلِمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dan rezki yang telah Kami beríkan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi jual beli dan tidak ada lagi persahabatan yang akrab dan tidak ada lagi syafa’at. Dan orang-orang kafir itulah orang-orang yang zhalim” (AI-Baqarah : 254).

Allah Ta’ata juga berfirman:

وَأَنذِرۡ بِهِ ٱلَّذِينَ يَخَافُونَ أَن يُحۡشَرُوٓاْ إِلَىٰ رَبِّهِمۡ لَيۡسَ لَهُم مِّن دُونِهِۦ وَلِيّٞ وَلَا شَفِيعٞ لَّعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ

Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Rabbnya (pada hari Kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa’atpun selain daripada Allah” (Al-An’am : 51).

Syafa’at yang ternafikan (as-syafa’ah al-manfiyah) ini adalah syafa’at yang dicari dari selain Allah. Sebab, Allah Jalla wa ‘Ala telah menetapkan di dalam KitabNya tentang adanya syafa’at.

Di antaranya adalah seperti dalam firman-Nya:

مَن ذَا ٱلَّذِي يَشۡفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذۡنِهِ

 “SIAPA YANG DAPAT MEMBERI SYAFA'AT DI SISI ALLAH TANPA IZINNYA?”
(Al-Baqarah : 255)

وَلَا يَشۡفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ٱرۡتَضَىٰ

DAN MEREKA TIDAK MEMBERI SYAFA’AT MELAINKAN KEPADA ORANG YANG DIRIDHAI OLEH ALLAH...”
(Al-Anbiya’ : 28)

قُل لِّلَّهِ ٱلشَّفَٰعَةُ جَمِيعٗاۖ

KATAKANLAH: HANYA KEPUNYAAN ALLAH SYAFA’AT ITU SEMUANYA
(Az-Zumar: 44)

وَأَنَّهُۥ هُوَ أَمَاتَ وَأَحۡيَا

Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikitpun tidak berguna kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan dirídhai(Nya)
(An-Najm : 26)

Berdasarkan ini, maka SYAFA’AT itu ada Dua Macam :
a.  Syafa’at Dinafikan (syafa’ah manfiyah), yaitu syafa’at yang dicari dari selain Allah.
b.  Syafa’at yang Ditetapkan (syafa’ah mutsbatah), yaitu syafa’at yang dituntut dari Allah. Syafa’at ini bukan untuk siapa-siapa, melainkan hanya untuk ‘Ahlut-Tauhid wal-Ikhlash (orang-orang yang memiliki ketahuhidan dan keikhlasan).


Sekalipun demikian, jenis syafa’at yang kedua ini pun masih tergantung dengan dua hal yang pokok:

Pertama: Izin Allah terhadap Pemberi syafa’at.

Allah Ta’ala berfirman:

مَن ذَا ٱلَّذِي يَشۡفَعُ عِندَهُۥٓ إِلَّا بِإِذۡنِهِ

Siapakah yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah tanpa izin-Nya” (Al-Baqarah : 255).

Kedua: Keridhaan Allah terhadap penerima syafa’at.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا يَشۡفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ٱرۡتَضَىٰ وَهُم مِّنۡ خَشۡيَتِهِۦ مُشۡفِقُونَ

mereka tidak memberi syafaat melainkan kepada orang-orang yang diridhai Allah..” (Al-Anbiya’ : 28)

Yakni perkataan dan perbuatannya. Adapun orang-orang musyrik, maka amalan menjadi “debu yang berhamburan” (sia-sia) dan tiada syafa’at bagi mereka. Ini sebagai tindakan balasan terhadap mereka dengan kebalikan dari tujuan mereka. “Siapa yang memburu-buru sesuatu sebelum waktunya, maka akibatnya ia tidak akan dapat meraihnya”.


 
Source:
Judul Ash   : At-Tibyan, Syarh Nawaqidh Al Islam li Al-Imam Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab -Rahimahullah

Penyusun    : Sulaiman bin Nashir bin Abdullah Al Ulwan

Penerbit    : Darul Muslim, Riyadh

Cetakan     : tahun 1417 H. / 1996 M.

Edisi Indon : Penjelasan Tentang Pembatal Keislanan

Penerjemah : Abu Sayyid Sayyaf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...