7/22/2019

MEMPEROLOK DALAM AJARAN RASUL


Pembatal Keislaman Keenam:
Memperolok dalam Ajaran Rasul

SYAIKH RAHIMAHULLAH- MENGATAKAN: “BARANG SIAPA MEMPEROLOK-OLOKKAN SEBAGIAN (SAJA) DARI AGAMA RASUL, ATAU MEMPEROLOK PAHALA DAN HUKUMAN ALLAH, MAKA IA TELAH KAFIR.

Dalilnya adalah  firman Allah Ta’ala :

وَلَئِن سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ إِن نَّعۡفُ عَن طَآئِفَةٖ مِّنكُمۡ نُعَذِّبۡ طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ مُجۡرِمِينَ ٦٦

KATAKANLAH: “APAKAH DENGAN ALLAH, AYAT-AYATNYA DAN RASULNYA 
KAMU SELALU BEROLOK-OLOK?” 
TAK USAHLAH KAMU MEMINTA MAAF, KARENA KAMU KAFIR SESUDAH BERIMAN
(At-Taubah : 65-66)

Memperolok-olokkan sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasul merupakan kekufuran berdasarkan ijmak kaum muslimin, sekalipun tidak bermaksud betul-betul (serius) memperolokkan, umpamanya sekedar bergurau.

Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Abu As-Syaikh dan lainnya meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa ia berkata: Suatu hari pada perang Tabuk ada seseorang yang berkata dalam sebuah majlis:  “Tiada pernah kami lihat orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya, dan lebìh pengecut ketika bertemu musuh (peperangan), dibanding dengan ahli baca (Al-Qur’an) ini. (Maksudnya adalah Rasul  dan para sahabat sebagai manusia yang ahli baca Al-Qur’an - Pent) Lalu seorang lelaki yang ada dalam majlis itu bangkit seraya berkata: “Berdusta, kamu! Bahkan kamu adalah seorang munafik. Pasti akan aku laporkan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” Akhirnya laporan itu sampai kepada Rasulullah , dan turunlah Al-Qur’an. Abdullah bin Umar berkata: ‘Aku melihatnya berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah  dengan tersandung-sandung batu sambil berkata: ‘Ya Rasulullah, sebenarnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Dan Nabi  mengatakan: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu berolok-olok? “. (At-Taubah : 65).

Perkataan “Sebenarnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”, dalam arti bahwa kami tidak bermaksud betul-betul memperolok, akan tetapi kami hanya bermaksud berkelakar dan bermain-main untuk menghilangkan kepenatan dalam menempuh perjalanan” seperti yang disebutkan dalam sebagian riwayat lainnya, namun demikian Allah Jalla wa ‘Ala tetap mengkafirkannya. Sebab, persoalan ini tidak dalam kategori senda gurau dan main-main. Mereka telah kafir disebabkan perkataan itu, sekalipun sebelumnya mereka beriman.

Tentang pendapat orang yang mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu telah kafir setelah iman dengan lisan mereka, di samping kekafiran mereka sebelumnya  dengan hati mereka”, maka pendapat ini telah dibantah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah- dengan mengatakan: “Beriman dengan lisan, di samping kekufuran hati berarti yang ada adalah kekufuran, sehingga tidak perlu dikatakan: “kamu telah kafir setelah beriman”, karena sebenarnya mereka itu masih dalam keadaan kafir” 1)

Barangsiapa yang memperolok-olokkan sesuatu dan ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam; seperti memperolok-olokkan ilmu syariah dan para ulama lantaran kealimannya, memperolok-olokkan pahala Allah dan hukumanNya, memperolok-olokkan orang orang yang beramar makruf nahi munkar karena tindakan beramar makruf nahi munkarnya itu, memperolok-olokkan shalat, sunat maupun fardhu, termasuk juga memperolok-olokkan orang yang menunaikan shalat lantaran shalatnya (bukan lantaran pribadi orang yang melakukannya), memperolok-olokkan orang yang melebatkan jenggotnya karena tindakan melebatkan jenggot tersebut, atau memperolok-olokkan orang yang meninggalkan riba karena tindakan meninggalkan riba tersebut, maka ia adalah Kafir.

Memperolok-olokkan sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk di antara sifat-sifat kaum munafik; sebagaimana dikatakan oleh Allah Ta’ala :

Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya. apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira. Dan apabila mereka melihat orang-orang mu’min, mereka mengatakan: ”Sesungguhnya mereka itu benar-enar orang-orang yang sesat, padahal orang-orang yang berdosa itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin. Maka pada hari ini, orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir, sementara mereka (duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. “ (Al-Muthaffifin : 29-36).

Beberapa ulama2] telah membagi masalah memperolok-olokkan sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasul ini menjadi dua:

Pertama : Perolokan yang jelas/terang, seperti perolokan orang yang menyebabkan turunnya ayat di atas, yaitu perkataan: “Tiada pernah kami lihat orang yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut ketika bertemu musuh (peperangan)”, dibanding dengan para ahli baca Al-Qur’an ini, atau kata-kata yang semìsalnya.

Kedua : Perolokan yang tidak terang. Perolokan jenis ini banyak sekali bentuknya dan tiada batasnya, bagai “lautan yang tak bertepi”, misalnya isyarat dengan mata, mengeluarkan lidah (menjulurkan), mencibirkan bibir, berisyarat dengan tangan ketika dibacakan kitab Allah atau sunnah RasulNya, atau ketika ada yang beramar makruf, nahi mungkar dan sebagaìnya.
Setiap muslim wajib meninggalkan orang-orang yang memperolok-olokkan agama Allah dan apa yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun mereka adalah orang paling dekat (berkerabat) dengannya, dan jangan sampai duduk dengan mereka agar tergolong kelompok mereka. 

Allah Ta’ala berfirman :

وَقَدۡ نَزَّلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أَنۡ إِذَا سَمِعۡتُمۡ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ يُكۡفَرُ بِهَا وَيُسۡتَهۡزَأُ بِهَا فَلَا تَقۡعُدُواْ مَعَهُمۡ حَتَّىٰ يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيۡرِهِۦٓ إِنَّكُمۡ إِذٗا مِّثۡلُهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ جَامِعُ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡكَٰفِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا

Dan sungguh Allah. Telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam jahannam”.
(An-Nisa’ : 140)

Barangsiapa yang mendengar ayat-ayat Allah dikufuri dan diperolok-olokkan, sementara ia tetap duduk bersama orang-orang yang berbuat demikian itu dengan suka rela, maka orang ini berarti sama dengan mereka dalam soal dosa,  kekufuran dan keluar dari Islam; sebagaimana dikatakan oleh Allah Ta’ala :

ٱحۡشُرُواْ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ وَأَزۡوَٰجَهُمۡ وَمَا كَانُواْ يَعۡبُدُونَ

“(kepada malaikat diperintahkan): “Kumpulkanlah orang-orang yang zhalim bersama teman sejawat mereka ..” (As-Shaffat : 22)

Maksudnya adalah orang-orang yang serupa dan sama dengan mereka.


1] Syaikh -Rahimahullah- dalam kitab “Al-Iman” (hal. 273), tentang ayat: Kalian telah kafir setelah beriman” ini mengatakan: “ini menunjukkan bahwa menurut mereka, mereka tidak melakukan kekufuran, bahkan menganggap bahwa hal itu bukan merupakan kekufuran. Lalu Allah menjelaskan bahwa memperolok-olokkan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya merupakan kekufuran, dimana pelakunya dikafirkan setelah beriman. Ini menunjukkan juga bahwa mereka itu mempunyai iman yang lemah, sehingga mereka melakukan hal yang diharamkan ini. Dan merekapun sebenarnya tahu bahwa hal ini diharamkan, akan tetapi mereka tidak mengira (meyakini)nya sehagai suatu kekufuran, padahal sebenarnya memang merupakan kekufuran yang telah mereka perbuat. Mereka sebenarnya juga tidak meyakini kebolehannya.”

2] Di antaranya adalah Al-imam Muhammad bin Abdul Wahhab, seperti tersebut dalam kitab Hukmul-Murtad (hal. 105) dan Hamad bin ‘Atiq, sebagaimana disebutkan dalam kitab Majmu ‘atut-Tauhid.

Wallahu a‘lam



Source:
Judul Ash   : At-Tibyan, Syarh Nawaqidh Al Islam li Al-Imam Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab -Rahimahullah

Penyusun    : Sulaiman bin Nashir bin Abdullah Al Ulwan

Penerbit    : Darul Muslim, Riyadh

Cetakan     : tahun 1417 H. / 1996 M.

Edisi Indon : Penjelasan Tentang Pembatal Keislanan

Penerjemah : Abu Sayyid Sayyaf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...