Pembatal Keislaman Keenam:
Memperolok dalam Ajaran Rasul
SYAIKH RAHIMAHULLAH- MENGATAKAN: “BARANG SIAPA
MEMPEROLOK-OLOKKAN SEBAGIAN (SAJA) DARI AGAMA RASUL, ATAU MEMPEROLOK PAHALA DAN HUKUMAN
ALLAH, MAKA IA TELAH KAFIR.
Dalilnya adalah firman
Allah Ta’ala :
وَلَئِن
سَأَلۡتَهُمۡ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلۡعَبُۚ قُلۡ أَبِٱللَّهِ
وَءَايَٰتِهِۦ وَرَسُولِهِۦ كُنتُمۡ تَسۡتَهۡزِءُونَ ٦٥ لَا تَعۡتَذِرُواْ قَدۡ
كَفَرۡتُم بَعۡدَ إِيمَٰنِكُمۡۚ إِن نَّعۡفُ عَن طَآئِفَةٖ مِّنكُمۡ نُعَذِّبۡ
طَآئِفَةَۢ بِأَنَّهُمۡ كَانُواْ مُجۡرِمِينَ ٦٦
“KATAKANLAH: “APAKAH DENGAN ALLAH, AYAT-AYATNYA DAN RASULNYA
KAMU SELALU BEROLOK-OLOK?”
KAMU SELALU BEROLOK-OLOK?”
TAK USAHLAH KAMU MEMINTA MAAF, KARENA KAMU KAFIR SESUDAH BERIMAN”
(At-Taubah : 65-66)
Memperolok-olokkan sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasul
merupakan kekufuran berdasarkan ijmak kaum muslimin, sekalipun tidak bermaksud
betul-betul (serius) memperolokkan, umpamanya sekedar bergurau.
Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, Abu As-Syaikh dan lainnya
meriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa ia berkata: Suatu hari pada perang
Tabuk ada seseorang yang berkata dalam sebuah majlis: “Tiada pernah kami lihat orang yang lebih
buncit perutnya, lebih dusta lisannya, dan lebìh pengecut ketika bertemu musuh
(peperangan), dibanding dengan ahli baca (Al-Qur’an) ini. (Maksudnya adalah
Rasul dan para sahabat sebagai manusia yang
ahli baca Al-Qur’an - Pent) Lalu seorang lelaki yang ada dalam majlis itu
bangkit seraya berkata: “Berdusta, kamu! Bahkan kamu adalah seorang munafik.
Pasti akan aku laporkan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”
Akhirnya laporan itu sampai kepada Rasulullah , dan turunlah Al-Qur’an.
Abdullah bin Umar berkata: ‘Aku melihatnya berpegangan pada sabuk pelana unta
Rasulullah dengan tersandung-sandung
batu sambil berkata: ‘Ya Rasulullah, sebenarnya kami hanyalah bersenda gurau
dan bermain-main saja”. Dan Nabi
mengatakan: “Apakah dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu
berolok-olok? “. (At-Taubah : 65).
Perkataan “Sebenarnya kami hanyalah bersenda gurau dan
bermain-main saja”, dalam arti bahwa kami tidak bermaksud betul-betul
memperolok, akan tetapi kami hanya bermaksud berkelakar dan bermain-main untuk
menghilangkan kepenatan dalam menempuh perjalanan” seperti yang disebutkan
dalam sebagian riwayat lainnya, namun demikian Allah Jalla wa ‘Ala tetap
mengkafirkannya. Sebab, persoalan ini tidak dalam kategori senda gurau dan
main-main. Mereka telah kafir disebabkan perkataan itu, sekalipun sebelumnya
mereka beriman.
Tentang pendapat orang yang mengatakan: “Sesungguhnya mereka itu
telah kafir setelah iman dengan lisan mereka, di samping kekafiran mereka sebelumnya dengan hati mereka”, maka pendapat ini telah
dibantah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah -Rahimahullah- dengan mengatakan: “Beriman
dengan lisan, di samping kekufuran hati berarti yang ada adalah kekufuran,
sehingga tidak perlu dikatakan: “kamu telah kafir setelah beriman”, karena
sebenarnya mereka itu masih dalam keadaan kafir” 1)
Barangsiapa yang memperolok-olokkan sesuatu dan ajaran yang
dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam; seperti memperolok-olokkan
ilmu syariah dan para ulama lantaran kealimannya, memperolok-olokkan pahala Allah
dan hukumanNya, memperolok-olokkan orang orang yang beramar makruf nahi munkar
karena tindakan beramar makruf nahi munkarnya itu, memperolok-olokkan shalat,
sunat maupun fardhu, termasuk juga memperolok-olokkan orang yang menunaikan
shalat lantaran shalatnya (bukan lantaran pribadi orang yang melakukannya), memperolok-olokkan
orang yang melebatkan jenggotnya karena tindakan melebatkan jenggot tersebut,
atau memperolok-olokkan orang yang meninggalkan riba karena tindakan
meninggalkan riba tersebut, maka ia adalah Kafir.
Memperolok-olokkan sesuatu dari ajaran yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk di antara sifat-sifat kaum munafik; sebagaimana dikatakan oleh Allah Ta’ala :
“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa, adalah mereka yang
dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang
beriman lalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya.
apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya, mereka kembali dengan gembira.
Dan apabila mereka melihat orang-orang mu’min, mereka mengatakan: ”Sesungguhnya
mereka itu benar-enar orang-orang yang sesat, padahal orang-orang yang berdosa
itu tidak dikirim untuk penjaga bagi orang-orang mukmin. Maka pada hari ini,
orang-orang yang beriman menertawakan orang-orang kafir, sementara mereka
(duduk) di atas dipan-dipan sambil memandang. Sesungguhnya orang-orang kafir
telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan. “
(Al-Muthaffifin : 29-36).
Beberapa ulama2] telah membagi masalah memperolok-olokkan sesuatu dari ajaran
yang dibawa oleh Rasul ini menjadi dua:
Pertama : Perolokan yang jelas/terang, seperti perolokan orang yang
menyebabkan turunnya ayat di atas, yaitu perkataan: “Tiada pernah kami lihat orang
yang lebih buncit perutnya, lebih dusta lisannya dan lebih pengecut ketika
bertemu musuh (peperangan)”, dibanding dengan para ahli baca Al-Qur’an ini,
atau kata-kata yang semìsalnya.
Kedua : Perolokan yang tidak terang. Perolokan jenis ini banyak sekali
bentuknya dan tiada batasnya, bagai “lautan yang tak bertepi”, misalnya isyarat
dengan mata, mengeluarkan lidah (menjulurkan), mencibirkan bibir, berisyarat
dengan tangan ketika dibacakan kitab Allah atau sunnah RasulNya, atau ketika
ada yang beramar makruf, nahi mungkar dan sebagaìnya.
Setiap muslim wajib meninggalkan orang-orang yang memperolok-olokkan agama Allah dan apa yang dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam sekalipun mereka adalah orang paling dekat (berkerabat) dengannya, dan jangan sampai duduk dengan mereka agar tergolong kelompok mereka.
Allah Ta’ala berfirman :
وَقَدۡ
نَزَّلَ عَلَيۡكُمۡ فِي ٱلۡكِتَٰبِ أَنۡ إِذَا سَمِعۡتُمۡ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ
يُكۡفَرُ بِهَا وَيُسۡتَهۡزَأُ بِهَا فَلَا تَقۡعُدُواْ مَعَهُمۡ حَتَّىٰ
يَخُوضُواْ فِي حَدِيثٍ غَيۡرِهِۦٓ إِنَّكُمۡ إِذٗا مِّثۡلُهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ
جَامِعُ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡكَٰفِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
“Dan sungguh Allah. Telah
menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar
ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka
janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang
lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa
dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang munafik dan
orang-orang kafir di dalam jahannam”.
(An-Nisa’ : 140)
Barangsiapa yang mendengar ayat-ayat Allah dikufuri dan diperolok-olokkan, sementara ia tetap duduk bersama orang-orang yang berbuat demikian itu dengan suka rela, maka orang ini berarti sama dengan mereka dalam soal dosa, kekufuran dan keluar dari Islam; sebagaimana dikatakan oleh Allah Ta’ala :
ٱحۡشُرُواْ
ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ وَأَزۡوَٰجَهُمۡ وَمَا كَانُواْ يَعۡبُدُونَ
“(kepada malaikat diperintahkan): “Kumpulkanlah orang-orang yang
zhalim bersama teman sejawat mereka ..” (As-Shaffat : 22)
Maksudnya adalah orang-orang yang serupa dan sama dengan mereka.
1] Syaikh -Rahimahullah- dalam kitab “Al-Iman” (hal. 273), tentang
ayat: Kalian telah kafir setelah beriman” ini mengatakan: “ini menunjukkan
bahwa menurut mereka, mereka tidak melakukan kekufuran, bahkan menganggap bahwa
hal itu bukan merupakan kekufuran. Lalu Allah menjelaskan bahwa memperolok-olokkan
Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya merupakan kekufuran, dimana pelakunya
dikafirkan setelah beriman. Ini menunjukkan juga bahwa mereka itu mempunyai
iman yang lemah, sehingga mereka melakukan hal yang diharamkan ini. Dan
merekapun sebenarnya tahu bahwa hal ini diharamkan, akan tetapi mereka tidak
mengira (meyakini)nya sehagai suatu kekufuran, padahal sebenarnya memang
merupakan kekufuran yang telah mereka perbuat. Mereka sebenarnya juga tidak
meyakini kebolehannya.”
2] Di antaranya adalah Al-imam Muhammad bin Abdul Wahhab, seperti
tersebut dalam kitab Hukmul-Murtad (hal. 105) dan Hamad bin ‘Atiq, sebagaimana
disebutkan dalam kitab Majmu ‘atut-Tauhid.
Wallahu a‘lam
Source:
Judul Ash : At-Tibyan, Syarh Nawaqidh Al Islam li Al-Imam
Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab -Rahimahullah
Penyusun : Sulaiman bin Nashir bin Abdullah Al Ulwan
Penerbit : Darul Muslim, Riyadh
Cetakan : tahun 1417 H. / 1996 M.
Edisi Indon : Penjelasan Tentang Pembatal Keislanan
Penerjemah : Abu Sayyid Sayyaf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar