Pembatal Keislaman Ketujuh:
SYAIKH -RAHIMAHULLLAH- BERKATA:
“BARANGSIAPA MELAKUKAN SIHIR, TERMASUK DI ANTARANYA ADALAH SHARF DAN ATHF, ATAU
RELA DENGAN SIHIR,
MAKA IA TELAH KAFIR.
Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala :
وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنۡ
أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَآ إِنَّمَا نَحۡنُ فِتۡنَةٞ فَلَا تَكۡفُرۡ
“Keduanya (Harut dan Marut) tidak mengajarkan (sesuatu)
kepada seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu),
sebab itu janganlah kamu kafir”.
(Al-Baqarah: 102)
Kata as-sihr (sihir) dalam bahasa Arab dimutlakkan untuk pengertian setiap yang asal-usulnya (sumbernya) tersembunyi, samar dan tidak terlihat. Oleh karena itu orang Arab dalam mengomentari sesuatu yang sangat tersembunyi mengatakan: Akhfa min as-sihr (lebih tersembunyi ketimbang sihir).
Karenanya pula Muslim bin Al-Walid Al-Anshari mengatakan dalam
sya’irnya:
Engkau buat tanda-tanda cinta di antara kita
dalam perangkap-perangkap lirikan mata
Lebih tersembunyi ketimbang sihir layaknya.
Akhirnya aku pun tahu adanya jalinan jiwa
dalam kelembutan lirikan matanya
dan aku pun tahu keengganannya
dalam tajamnya sorotan
mata.
Sedangkan definsi sihir menurut syara’ adalah: Buhul-buhul
dan mantera-mantera yang digunakan oleh
penyihir untuk dapat meminta pelayanan (mempekerjakan) setan agar menimpakan
madharat kepada pihak yang disihir.
Memang ada pula definisi lain, akan tetapi Syaikh Asy-Syanqithi
-Rahimahullah- mengatakan: “Ketahuilah bahwa istilah sihir itu tidak bisa
dibatasi dengan definisi yang bersifat jami’ (universal, inklusif) dan mani’
(interdiktif; menghalangi makna atau pengertian lain), disebabkan karena
banyaknya jenis-jenis sihir sehingga tidak dapat dibuat definisi tertentu yang
dapat meliputi seluruh pengertian yang ada (jami’) dan dapat menghalangì atau
menolak pengertian-pengertian lainnya (mani’). Inilah yang menyebabkan adanya
perbedaan para ulama dalam membuat definisi sihir.” [Adhwa’uI-Bayan» (IV :
444)]
Di antara jenis sihir itu adalah sharf dan athf
Sharf adalah tindakan memalingkan
(merubah) seseorang dan sesuatu yang disukainya, seperti memalingkannya dari
kecintaannya kepada isterinya menjadi benci terhadapnya.
Athf juga merupakan perbuatan
sihir sebagai mana sharf, akan tetapi athf itu merupakan tindakan sebaliknya,
yaitu menjadikan seseorang cenderung (tertarik) terhadap sesuatu yang
sebelumnya tidak disukainya untuk beralih mencintainya. Ini semua dilakukan
dengan menggunakan cara-cara setan. (Barangkali, athf ini dalam istilah kita
dinamakan dengan pelet atau “pekasih)
Segala bentuk sihir ini diharamkan dalam seluruh syari’at
rasul-rasul yang ada.
Beberapa masalah yang berkaitan dengan sihir.
Ada beberapa masalah yang berkaitan dengan sìhir yang akan kami
kemukakan di sini dengan menyertakan pendapat-pendapat para ulama. Ini semua
kami lakukan mengingat betapa pentingnya masalah ini, dan karena hal inï sudah
tersebar luas di banyak penjuru bumi.
Pertama : Apakah sihir itu Hakiki?
Sihir itu adalah “hakiki”
(benar-benar ada dan terjadi) sebagaimana ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala :
وَمِن شَرِّ ٱلنَّفَّٰثَٰتِ
فِي ٱلۡعُقَدِ
“Dan aku berlindung kepada Allah dari kejahatan wanita-wanita
tukang sihir yang menghembuskan buhul buhul” (A-Falaq : 4).
Jika sihir itu tidak hakiki, maka tentunya Allah tidak pernah
menyuruh kita untuk memohon perlindungan kepadaNya dari kejahatan wanita wanita
tukang sihir itu
Demikian juga firman Allah Ta’ala :
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنۡهُمَا
مَا يُفَرِّقُونَ بِهِۦ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَزَوۡجِهِ
“Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang
dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seseorang dengan pasangannya”
(Al-Baqarah : 102).
Ayat ini menunjukkan bahwa sihir itu adalah hakiki dan bisa
menjadi sebab (sarana) yang digunakan untuk menceraikan antara suami dengan
isterinya.
Dalil yang juga menunjukkan bahwa sihir itu hakiki adalah hadits
‘Aisyah Radiyallahu‘anha Bahwa Nabi tersihir, sehingga terkhayallah oleh beliau
bahwa beliau melakukan sesuatu padahal sebenarnya tidak melakukannya. Dan
bahwasanya suatu hari beliau pernah berkata kepada ‘Aisyah: “Dua orang malaikat
mendatangiku, lalu salah satunya duduk di kepalaku dan satunya lagi duduk di
kakiku, lalu ia bertanya: “Sakit apa orang ini?” (masudnya adalah Nabi
shallallahu’alaihi wa sallam) Malaikat yang satunya menjawab: “Terkena sihir”
Malaikat yang pertama bertanya lagi : “Siapa yang menyihirnya?” Malaikat yang
kedua menjawab: “Labid Ibnu Al-A’sham pada sisir dan rambut yang jatuh
(tanggal) karena disisir, serta pada seludang mayang kurma yang terdapat di
sumur Dzarwan.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad, Al-Bukhari, Muslim
dan perawi lainnya.
Ini adalah pendapat Ahlus Sunnah dan juga yang dipengangi oleb
jumhur ulama Islam.
Ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa sihir itu tidak
hakiki. ini adalah pendapat kaum Mu’tazilah yang jauh dari kitab dan sunnah.
Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala :
“terbayang kepada Musa seakan-akan ia merayap cepat lantaran
sihir mereka”. (Thaha : 66),
dan Allah tidak mengatakan “bergerak cepat” secara hakiki. Kaum
Mu’tazilah ini mengatakan: Sesungguhnya sihir itu hanyalah kamuflase, imajinaši
(khayalan) dan tipuan terhadap keberadaan sesuatu yang tak punya hakikat, namun
hanya merupakan bentuk (model) sulap atau magic.
Al-Allamah Ibnul-Qoyyim –Rahimahullah- [“Badai’ul-Fawa’id” (II :
227)] berkata: Pendapat ini bertentangan dengan berbagai atsar yang mutawatir
dan para sahabat dan salaf, serta bertentangan dengan yang telah disepakati
oleh para fuqaha’, ahli hadits, para arbabul qulub (dan para ahli tashawuf),
dan juga yang dikenal oleh umumnya manusia yang berakal. Sihir yang dapat
memberikan pengaruh rasa sakit, beban berat, rasa ringan, rasa terikat,
kecintaan, kebencian, kepalsuan dan sebagainya dan berbagai macam pengaruh yang
bisa ditimbulkan itu memang benar-benar ada dan dikenal oleh manusia secara
umum.”
Sedangkan Al-Qurthubi setelah menyebutkan pendapat kaum
Mu’tazilah dan dalil (argumentasi) mereka mengatakan: “Pendapat (Mu’tazilah)
ini sebenarnya tak beralasan. Kami tidak mengingkari bahwa khayalan dan
sebagainya itu termasuk dalam kategori sihir, namun di balik itu terdapat
berbagai hal yang pasti dapat diterima oleh akal dan disebutakan oleh nash. Di
antaranya adalah yang terkandung dalam ayat ini tentang sihir dan pengajaran sihir
yaitu firman Allah Ta’ala : “Mereka (setan-setan) itu mengajarkan sihir kepada
manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil yaitu
Harut dan Marut, sedangkan keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada
seorangpun sebelum mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab
itu janganlah kamu kafïr” (Al-Baqarah : 102)
Seandainya sihir itu tidak hakiki, maka tak mungkin sihir itu
diajarkan, dan Allah juga tidak akan naemberitahukan bahwa mereka (setan-setan)
itu mengajarkannya kepada manusia. ini semua menunjukkan bahwa sihir itu memang
hakiki.
Bukti dan nash lainnya adalah firman Allah Ta’ala dalam kisah
Fir’aun: “Mereka mendatangkan sihir yang besar (luar biasa)” (A1-A’raf :
116)
Dan, juga surat Al-Falaq yang telah disepakati oleh para
mufassir bahwa sebab nuzul-nya adalah berkenaan dengan sihir yang dilakukan
oleh Labid bin Al-A’sham.
Selanjutnya Al-Qurthubi membawakan hadits yang telah kita
kedepankan di atas, lalu berkata: “Di dalamnya disebutkan bahwa ketika sihir
itu telah terlepas dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau kemudian
berkata: “Sesungguhnya Allah telah menyembuhkanku”. Yang namanya kesembuhan itu
adalah lenyapnya penyakit. Ini menunjukkan bahwa sihir itu memang benar adanya
dan hakiki. Adanya sihir ini dapat dipastikan berdasarkan pemberitaan Allah
Ta’ala dan RasulNya mengenai adanya sihir dan terjadinya. Inilah pula pendapat
yang dipegangi oleh Ahlul-Halli wail ‘Aqdi yang mempunyai wewenang untuk
melakukan ijmak. Dan, tak perlu dipersoalkan tentang pendapat yang tak bermakna
dari kaum Mu’tazilah itu serta penyelisìhan mereka terhadap Ahlul Haq
(orang-orang yang benar, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah).
Kedua : Hukum Sahir (Penyihir)
Para ulama -Rahimahumullah- berbeda pendapat dalam menghukumi
penyihir, apakah dikafirkan ataukah tidak?
Yang tampak dan perkataan Syaìkh –Rahimahullah- adalah bahwa
penyihir itu dikafirkan, berdasarkan firman Allah Ta’ala : “keduanya tidak
mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan:”Sesungguhnya kami
hanyalah cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir” (Al-Baqarah : 102).
Ini juga merupakan madzab Al-Imam Ahmad, Malik, Abu Hanifah dan juga yang
dipegangi oleh jumhur.
Sementara itu Asy-Syafi’i –Rahimahullah- berpendapat, jika ada
orang yang mempelajari sihir, maka perlu ditanyakan kepadanya tentang sihirnya
itu: “Beritahukan kepada kami bagaimana bentuk sihirmu itu”. Jika kemudian ia
menjelaskan tentang karakter sihirnya yang ternyata memang terhitung kekufuran
-seperti sihirnya penduduk negeri Babil, berupa pendekatan kepada bintang-bintang
dengan keyakinan bahwa bintang-hintang itu dapat melakukan apa saja yang
dimintanya- maka ia berarti kafir. Jika tidak sampai pada batas kekufuran, tapi
ia meyakini tentang hukum bolehnya sihir, maka berarti Ia kafir disebabkan
tindakannya menghalalkan sesuatu yang diharam-kan. Jika tidak dernikian, maka
ia tidak kafir.
Al-Allamah Asy-Syanqithi –Rahimahullah- berkata: “Yang tepat
masalah ini haruslah dibeda-bedakan (diperinci).”
Jika di dalam sihir tersebut terdapat pengagungan selain Allah,
seperti pengagungan bintang bintang, jin dan sebagainya yang membawa kepada
kekufuran, maka sihir seperti ini hukumnya kufur, tanpa ada perselisihan.
Termasuk dalam jenis ini adalah sihirnya Harut dan Marut yang tersebutkan dalam
surat Al-Baqarah. Itu jelas merupakan kekufuran, tanpa ada perselisihan,
seperti yang ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala :
“Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya
syaitan-syaitan ítulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir
kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri
Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada
seorangpun sebelum mengatakan: ”Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebãb
itu janganlah kamu kafir”. Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa
yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan
isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya
kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. Dan mereka mempelajari sesuatu
yang memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, sesungguhnya
mereka telah meyakini bahwa barang siapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan
sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat” (Al-Baqarah : 102).
Juga firman Allah Ta’ala : “Dan tidak akan menang tukang sihir
itu, dari mana saja ia datang.” (Thaha : 69).
Jika sihir tersebut tidak menuntut adanya kekufuran, seperti
sihir dengan bantuan benda-benda tertentu berupa minyak dan selaìnnya, maka hal
ini haram dengan tingkatan keharaman yang cukup keras, akan tetapi tidak sampai
menjadikan pelakunya kafir.
Inilah -Insya Allah- pendapat yang tepat dalam masalah ini yang
memang diperselìsihkan di kalangan ulama [Adhwa’ul-Bayan, IV : 457]
Ketahuilah bahwa penyihir -dengan kedua macam bentuknya di atas-
tetap wajib dibunuh berdasarkan pendapat yang shahih; sebab ia merupakan pelaku
kerusakan di muka bumi yang menyebabkan bercerainya antara seorang suami dengan
isterinya. Keberadaannya di muka bumi akan membawa bahaya dan kerusakan yang
besar terhadap berbagai individu dan masyarakat. Membunuhnya berarti
melenyapkan kerusakannya dan memberikan kenyamanan bagi ummat manusia dan
negeri dari kekejian atau kejahatannya. Insya Allah selanjutnya akan ada
penjelasan bahwa di antara para sahabat tidak terdapat perselisihan dalam soal
membunuh (menghukum mati) tukang sihir.
Ketiga : Membunuh Penyihir
Para ulama -Rahímahumullah- berbeda pendapat dalam masalah ini
menjadi dua pendapat:
Pendapat Pertama : yaitu pendapat jumhur, bahwa ia Harus Dibunuh.
Imam Malik dan Imam Ahmad Rahimahumallah juga mengatakan
demikian.
Pendapat Kedua : Ia tidak boleh dìbunuh kecuali jika ia melakukan tindakan
yang sampai pada tingkat kekufuran.
ini adalah pendapat As-Syafi’ì -Rahimahullah-.
Ulama yang menganut pendapat yang pertama berhujjah dengan dalil-dalil -yang di antaranya- sebagai. berikut:
- Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Al-Hakim, Ibnu Adiy, Ad-Daruquthni dan lain-lain dari jalur Ismail bin Muslim AI Makki, dan Al-Hasan,
dari Jundab yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: “Hukuman had bagi penyihir adalah dipenggal (lehernya) dengan pedang”.
- At-Tirmidzi mengatakan: “Kami tidak mengetahui hadits ini sebagai hadits marfu’ kecuali dari jalur ini, sedangkan Ismail bin Muslim Al-Makki lemah (dha’if) dalam hal hadits, yang benar adalah bahwa hadits dari Jundab ini mauquf”
Perlu saya tambahkan, bahwa Ismail bin Muslim ini dikomentari
oleh Ahmad sebagai munkarul hadits (haditsnya munkar); Ibnu Mu’in mengatakan
laisa bisya’i (tak ada apa-apanya, lemah); dan Adz-Dzahabi mengatakan disepakati
mengenai kedha’ifannya.
Hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad dan lainnya dengan sanad
shahih dari Bajalah yang mengatakan: Telah datang kepada kami surat (ketetapan)
Umar selang waktu setahun sebelum ia meninggal, yang isinya: “Bunuhlah setiap
tukang sihir (barangkali Sufyan yang mengatakan:...) termasuk juga tukang sihir
perempuan). Pìsahkanlah antara setiap orang yang mempunyai mahram dari
orang-orang Majusi, dan laranglah mereka agar tidak meraung-raung Lalu kamipun
membunuh (menghukum mati) tiga orang penyihir. [Hadits ini juga dikeluarkan
dalam kitab Al-Bukhari, akari tetapi dalam sebagian naskh (salinan,
transkripsi) tidak terdapat kalimat: “Bunuhlah setiap tukang sihir”, Atsar ini
juga dikeluarkan oleh Abu Dawud. Hendaklah dapat dimengerti]
Mereka juga berdalil dengan riwayat dari Hafshah -Radhiyallahu
‘anha- bahwa ia pernah menyuruh agar budak perempuan miliknya yang telah
menyihirnya itu dihukum mati.
Atsar ini diriwayatkan oleh Malik dalam kitab Al-Muwattha’
dengan sanad munqathi’. Diriwayatkan pula oleh Abdullah bin Al-Imam Ahmad dalam
kitab “Al-Masa’il” dan juga oleh Al-Baihaqi dengan sanad shahih dan dishahihkan
pula oleh Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab dalam Kitab “At-Thuhid”.
Pendapat yang menyatakan hukuman bunuh bagi penyihir ini adalah
pendapat yang benar, dan tak diketahui seorangpun dan kalangan sahabat yang
menyelisihi pendapat Umar, Jundab dan Hafshah -Radhiyallahu ‘anhum-. Bahkan
tentang sahabat Umar ini, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam pernah bersabda:
“Teladanilah dua orang sepeninggalku, yaitu Abu Bakar dan Umar”.[Diriwayatkan
oleh Ahmad (V : 399), dan At-Tirmidzj (X : 143 )-“ Tuhfatul Ahwadzi”]. Beliau
juga pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran pada Lidah
Umar dan hatinya”.[Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (1: 169)-” Tuhfatul-Ahwadzi”
At-Tirmidzi mengatakan: “Hadits Hasan shahih gharib”] ini adalah hadits shahih.
Sedangkan kelompok yang berpendapat bahwa penyihir itu tidak
bisa dihukum bunuh jika dengan sihirnya itu ia belum sampai pada kekufuran,
berdalil dengan sabda Nabi shallallahu’alaihi wa sallam “Tidaklah halal darah
seorang muslim (tidak boleh dibunuh Pent.) kecuali disebabkan oleh salah satu
dari tiga hal: orang yang bersuami/ isteri yang berzina, jiwa dengan jiwa
(qishash) berupa hukuman mati karena telah membunuh orang lain), dan orang yang
meninggalkan agamanya, yang memisahkan diri dari jamaah (murtad)“
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Berdalil
dengan hadits ini untuk pengertian seperti itu dapat dibantah dari berbagai
sudut.
Adapun soal Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak menghukum mati terhadap Labid bin Al-A’sham itu dikarenakan adanya rasa khawatir akan timbulnya fitnah. Wallahu a’lam. Di samping itu sebagian ulama mengatakan: “Ini khusus untuk orang dzimmi.” Namun yang benar adalah bahwa dzimmi dan muslim hukumannya sama saja, yaitu dihukum mati.
Keempat : Penyembuhan terhadap orang yang terkena sihir
Ini yang dinamakan nusyrah.
Al-Allamah Ibnul-Qoyyim –Rahimahullah- mengatakan: Cara
melepaskan (mengobati) sihir dari orang
yang terkena sihir itu ada dua macam:
Pertama : Melenyapkan sihir
dengan menggunakan sihir pula. Ini yang termasuk perbuatan setan.
Perkataan Al-Hasan (yaitu : “Tiada yang melepaskan sihir kecuali
penyihir”) termasuk dalam jenis ini. Prakteknya adalah bahwa orang yang me-nusyrah
maupun orang yang di nusyrah sama-sama mengadakan pendekatan kepada setan
dengan apa yang diinginkannya, sehingga perbuatan setan (sihir) itu gagal
memberikan pengaruh terhadap orang yang di sihir.
Kedua : Nusyrah dengan
menggunakan ruqyah, ayat-ayat ta’awwudz, obat-obatan serta doa-doa yang
diperkenankan (mubah). Cara semacam ini hukumnya boleh”.
Tentang hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab
shahihnya seçara mu’allaq dari Qatadah yang pernah menuturkan: Aku pernah bertanya
kepada Ibnu Al-Musayyab: “Seorang lelaki terkena sihir atau diguna-gunai tidak
dapat menggauli isterinya, bolehkah sihir itu dilepaskan darinya atau di
nusyrah?”. Ia menjawab: “Tidak apa-apa, karena yang mereka inginkan adalah
perbaikan. Sedangkan sesuatu yang bermanfaat itu tidaklah dilarang”.
Maka penjelasan ini harus dibawa kepada pengertian jenis nusyrah
yang tidak terlarang itu. Sebab, ada hadits yang shahih dan Nabi shallallahu’alaihi
wa sallam ketika beliau ditanya mengenai nusyrah, belìau mengatakan: “Ia
termasuk perbuatan setan.” Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam kitab
Musnadnya (III : 294) dan Abu Dawud melalui jalur Ahmad, dari Abdur-Razzaq yang
menuturkan: Aqil bin Ma’qal telah menceritakan kepada kami, katanya: Aku telah mendengar
Wahb bin Munabbih menceritakan dari Jabir, dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam Sanad hadits ini
hasan.
Adapun tentang pergi ke tukang sihir, dukun, tukang nujum dan
tukang ramal untuk bertanya kepada mereka, maka ini merupakan dosa dan
kesalahan yang besar yang menyebabkan tidak diterimanya shalat selama empat
puluh hari, berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya (2230)
dari Yahya bin Sa’id, dari Ubaidullah, dari Nafi’, dari Shafiyáh, dari sebagian
dari isteri-isteri Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal, lalu menanyakan suatu perkara
kepadanya, maka shalatnya tidak akan diterima selama empat puluh hari”.
Dan jika bertanya kepada mereka lalu membenarkan (jawaban)
mereka, maka ia berarti kafir terhadap apa yang telah diturunkan kepada Nabi
kita Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam. Ini berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Hakim (I : 8) dengan sanad shahih melalu jalur Auf, dari
Khalas dari Muhammad, dari Abu Hurairah yang menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi
wa sallam telah bersabda: “Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal atau dukun,
lalu membenarkan apa yang diucapkannya, maka ia berarti telah kafir terhadap
apa yang telah diturunkan kepada Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam’.
Al-Bazzar (II : 443) juga meriwayatkan dengan sanad shahih dari
Ibnu Mas’ud secara mauquf:
مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ سَاحِرًا
فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صلى الله
عليه وسلم
“BARANGSIAPA YANG MENDATANGI DUKUN ATAU TUKANG SIHIR, LALU
MEMBENARKAN APA YANG DIUCAPKANNYA, MAKA IA BERARTI TELAH KAFIR TERHADAP APA YANG
TELAH DITURUNKAN KEPADA MUHAMMAD SHALLALLAHU’ALAIHI WA SALLAM”.
Wallahu A‘lam.
Source:
Judul Ash : At-Tibyan, Syarh Nawaqidh Al Islam li Al-Imam
Mujaddid Syaikhul Islam Muhammad bin Abdul Wahhab -Rahimahullah
Penyusun : Sulaiman bin Nashir bin Abdullah Al Ulwan
Penerbit : Darul Muslim, Riyadh
Cetakan : tahun 1417 H. / 1996 M.
Edisi Indon : Penjelasan Tentang Pembatal Keislanan
Penerjemah : Abu Sayyid Sayyaf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar