Berhati-Hatilah
Dari Bencana Riya’
Seri Nasehat Untuk Mujahid
Segala puji bagi Allah, semoga shalawat dan salam selalu tercurah
kepada Rasulullah, keluarganya, para shahabatnya serta orang yang loyal
kepadanya, amma ba’ad:
Pada pertemuan pertama dari silsilah “Seri Nasehat Untuk Mujahid”
kita telah membahas tentang akhlak ikhlas dan pengaruh-pengaruhnya yang besar.
Di sini -wahai mujahid- kita akan membicarakan tentang lawan dari ikhlas dan
yang membatalkan amal, yang merupakan penyakit terbesar yang menyerang mujahid
dalam perjuangan jihadnya, dan merupakan seburuk-buruk penyakit hati; yaitu
riya, kita berlindung kepada Allah dari penyakit tersebut.
Apa definisi Riya? Apa
jenis-jenisnya? Apa dampaknya?
Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman janganlah
kalian merusak pahala sedekah-sedekah kalian dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya
karena ingin riya terhadap manusia, dan tidaklah dia itu beriman kepada Allah
dan hari akhir.” (QS al-Baqarah: 264).
Imam ath-Thabari berkata dalam tafsirnya: “’Yang menafkahkan
hartanya karena ingin riya terhadap manusia’, yakni memperlihatkan amalnya
di hadapan manusia. Seperti menginfakkan hartanya terang-terangan agar nampak
bagi manusia bahwa ia ikhlas karena Allah sehingga meluncurlah padanya pujian
manusia, padahal hakikatnya tidaklah dia menginginkan Allah dan tidak pula
mengharap balasan dari-Nya. Demikian juga maksudnya agar manusia memujinya dan
berkata, ‘Sungguh dia merupakan seorang yang dermawan mulia lagi orang saleh.’
Sehingga semakin bertambah-tambah pujian mereka padanya, padahal mereka tiada
mengetahui niat sebenarnya dalam menginfakkan hartanya.”
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman, “Sesungguhnya
orang-orang munafiq itu hendak menipu Allah, dan Allah-lah yang akan membalas
tipuan mereka, dan apabila mereka hendak menegakkan shalat, mereka shalat
dengan malas serta bermaksud riya dan tidak pula mereka menyebut nama Allah
kecuali sedikit.” (QS an-Nisa: 142).
Ibnu Katsir berkata dalam tafsirnya, “’Mereka bermaksud riya’,
yakni tidak ada keikhlasan dalam diri mereka dan tidak hendak berhubungan
dengan Allah. Mereka melakukannya dalam rangka membentuk citra dan mencari muka
di hadapan manusia.
Dari Abu Musa al-Asy’ari radhiallahu’anh berkata, “Seorang
laki-laki datang menemui Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam
dan bertanya, ‘Seseorang berperang demi kejantanan dan berperang
demi keberanian serta berperang karena riya, maka apakah semua hal tersebut
merupakan di jalan Allah? Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, ‘Barang siapa
yang berperang agar kalimat Allah menjadi tinggi maka dia fi sabilillah.’ Dalam
suatu riwayat, ‘Seseorang berperang demi mendapatkan ghanimah, dan seseorang
berperang agar namanya disebut serta seseorang yang berperang agar kedudukannya
dilihat’.” (Muttafaq ‘alaihi).
Ibnu Daqiq al-‘Ied berkata, “Adapun riya maka dia merupakan lawan
dari ikhlas itu sendiri, mustahil keduanya bisa bertemu; yang aku maksud
seseorang berperang karena Allah sekaligus karena manusia.” (Ihkamul
Ahkam Syarh ‘Umdatil Ahkam).
Sebagaimana halnya bahwasanya riya itu merupakan suatu kesyirikan wal
‘iyadzubillah. Dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiallahu’anh berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda,
‘Ingatlah sesungguhnya aku mengabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang
lebih aku takutkan atas kalian dari Dajjal.’ Kami bertanya, ‘Apa itu
wahai Rasulullah? Beliau bersabda, ‘Sesuatu itu adalah syirik
tersembunyi, seseorang shalat lalu memperindah shalatnya ketika mengetahui
manusia melihatnya’.” (HR. Ibnu Majah dan dihasankan oleh
al-Haitsamiy).
Riya itu bermacam-macam, sebagiannya lebih buruk dibanding
sebagian yang lain, dampak sebagiannya lebih berbahaya daripada yang lain. Yang
paling besar keburukannya adalah riya yang murni, dan yang paling rendah adalah
bersitan-bersitan hati yang jika berhasil dicegah maka beruntunglah dia namun
ketika dibiarkan maka rugilah dia. Macam-macam riya yaitu :
►
Pertama;
Riya murni
Riya murni merupakan
suatu amal yang sama sekali tidak mengharap wajah Allah, hanya menginginkan
dunia dan tujuan-tujuan pribadi lainnya. Yang seperti ini adalah kondisi
munafik murni, hampir tidak muncul pada seorang mukmin.
► Kedua; Beramal mengharapkan wajah Allah sekaligus ingin dilihat,
Ada Dua Macam:
1. Riya mencampuri amalnya sejak permulaan. Maka amalnya batal dan
rusak. Dari Abu Umamah al-Bahili radhiallahu’anh berkata, “Bahwasanya seorang
laki-laki datang menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apa pendapatmu
tentang seorang laki-laki yang berperang karena mengharap pahala sekaligus
keterkenalan? Maka Rasulullah subhanahu wa ta’ala
bersabda, ‘Tidak
mendapatkan apapun’, beliau mengulangnya sebanyak tiga kali
dan bersabda kepadanya, ‘Tidak mendapatkan apapun’, kemudian
Rasulullah melanjutkan, ‘Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amalan kecuali jika amalan
tersebut ikhlas dan karena menginginkan wajah Allah’.” (Dikeluarkan oleh an-Nasa’i dan
dihasankan oleh al-Hafizh al-‘Iraqi).
2. Riya
itu datang tiba-tiba ketika beramal. Dalam hal ini Ibnu Rajab al-Hanbali
berkata, “Adapun jika asalnya amal itu untuk Allah, kemudian tiba-tiba riya
menimpanya, maka jika dia menolaknya tidak diperselisihkan lagi riya tersebut
tidak akan membahayakannya. Namun jika riya tersebut dibiarkan maka apakah hal
ini membatalkan amal, ataukah tidak membahayakannya, dan apakah dia dibalas
dengan niat aslinya? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan para
ulama… Ibnu Jarir menyebutkan bahwasanya perbedaan pendapat ini terjadi pada
suatu amal yang akhirnya itu terikat dengan awalnya seperti shalat, shaum dan
haji. Adapun amal yang tidak seperti itu seperti membaca Al-Qur’an, zikir,
berinfaq dan menyebarkan ilmu, maka sungguh terputuslah ia dengan niat riya
yang datang tiba-tiba tadi, dan mesti baginya untuk memperbaharui niatnya.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam). Jihad
di jalan Allah merupakan suatu amal yang senantiasa membutuhkan pembaruan niat
untuk membersihkannya dari noda riya dan hal-hal yang serupa dengannya.
► Ketiga; Ingin beramal demi mengharap wajah Allah dan pahala
sekaligus ghanimah:
Seperti orang
yang ingin berjihad sekaligus ingin mendapatkan ghanimah, maka amalnya ini
tidaklah batal akan tetapi pahalanya berkurang. Ibnu Rajab berkata, “Maka
sesungguhnya mencampur niat jihad dengan niat selain riya, seperti mengambil
upah untuk melayani, atau mengambil sesuatu dari ghanimah atau perdagangan,
maka ini mengurangi pahala jihad mereka dan tidak membatalkannya secara
keseluruhan.” (Jami’ul
‘Ulum wal Hikam).
PERINGATAN: Jika
seorang hamba beramal dengan suatu amalan demi mencari wajah Allah, kemudian
dia dipuji atas hal tersebut dan dia senang dengan pujian tersebut dengan
keutamaan Allah atasnya, maka hal tersebut insya Allah tidak membahayakannya.
Ibnu Rajab berkata, “Maka apabila dia beramal ikhlas karena Allah kemudian
Allah menyelipkan pujian untuknya dalam hati kaum muslimin, dan dengan hal
tersebut ternyata dia senang akan keutamaan dari Allah dan rahmat-Nya, dan dia
gembira dengan hal tersebut, maka tidaklah hal tersebut membahayakannya.
Tentang makna ini terdapat hadits Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Bahwasanya
beliau ditanya tentang seorang laki-laki yang beramal dengan suatu amalan untuk
Allah dan manusiapun memujinya, maka Rasulullah subhanahu wa ta’ala bersabda, ‘Itu
merupakan suatu kabar gembira yang disegerakan untuk seorang mukmin’. (HR. Muslim).
Ibnu Majah juga
men-takhrij dalam riwayat miliknya, ‘Seorang
laki-laki beramal karena Allah maka manusiapun mencintainya’, dan atas makna
inilah Imam Ahmad, Ishaq bin Rahawaih, Ibnu Jarir ath-Thabari dan selain mereka
menafsirkannya.” (Jami’ul
Ulum wal Hikam).
PERINGATAN KEDUA: Riya
itu bisa terjadi baik dengan melakukan suatu perbuatan maupun meninggalkannya
sebagaimana perkataan Fudhail bin ‘Iyadh, “Meninggalkan suatu amal karena
manusia adalah riya, dan beramal karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah
Allah melindungimu dari keduanya.” (al-Adab asy-Syar’iyyah, Ibnu Muflih al-Maqdisi).
DAMPAK dan
PENGARUH
RIYA
pada diri mujahid cukup banyak dan berbahaya.
Akibat riya di DUNIA di antaranya:
1> Tidak mendapatkan hidayah dan taufik.
Allah tidak menunjuki kepada
kebenaran dan memberi taufik kecuali orang-orang yang ikhlas, Allah berfirman, “Dan orang-orang yang berjihad karena
kami maka kami akan menunjukkan atas mereka jalan-jalan kami dan sesungguhnya
Allah bersama orang-orang yang muhsin.” (QS al-‘Ankabut: 69).
2> Malas dan tidak sempurna dalam
beramal.
Orang yang riya akan berlipat ganda kesungguhannya ketika
manusia memujinya, dan dia menjadi malas ketika dia diabaikan dan dicela,
sebagaimana seorang yang riya itu bersungguh-sungguh apabila bersama manusia,
dan menjadi malas ketika dia sendiri dan jauh dari manusia.
Ali ibn Abi Thalib radhiallahu’anh
berkata, “Tanda untuk orang yang riya itu ada tiga, yaitu malas apabila dia
sendiri, rajin apabila dia bersama manusia dan dia ingin menambahkan amalannya
apabila dia dipuji, serta mengurangi amalnya apabila dia dicela. (az-Zawajir ‘an Iqtirafil Kabair,
al-Haitami).
3> Aibnya tersingkap.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barang
siapa menampak-nampakkan amalnya, maka Allah akan menyingkap aib-aibnya, dan
barangsiapa yang ingin amalnya dilihat, maka Allah akan mempertontonkan isi
hatinya.” (Muttafaq
alaihi).
Imam an-Nawawi berkata, (samma’a),
dengan mim bertasydid, maknanya adalah dia menampakkan amalnya kepada manusia
karena riya. (samma’allahu bihi; Allah akan
menampakkannya) yaitu menyingkap aib-aibnya pada hari kiamat. Adapun ‘barang siapa yang
ingin amalnya dilihat’ yakni barang siapa
menampak-nampakkan amal shalih yang dilakukannya agar terlihat penting, maka
Allah akan memperlihatkannya, yakni mempertontonkan isi hatinya pada seluruh
makhluk. (Riyadush
Shalihin).
Adapun dampak di AKHIRAT adalah:
4> Amalannya batal.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Apabila
Allah telah mengumpulkan manusia yang pertama kali diciptakan dan yang terakhir
di hari yang tidak ada keraguan didalamnya, maka berserulah seorang penyeru,
‘Barang siapa menyekutukan sesuatu dengan Allah pada amalan yang dilakukannya
maka mintalah pahala darinya, karena Allah tidaklah membutuhkan akan
sekutu-sekutu.” (HR.
Ahmad dan dihasankan oleh al-Arnauth).
Berkata al-Munawi, “Dalam hadits
ini terdapat hujjah bagi orang yang berpendapat bahwasanya riya meskipun sedikit
itu membatalkan amal.” (Faidhul Qadir).
5> Masuk neraka.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya
manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah seorang yang syahid, maka
didatangkanlah ia dan dia diberi tahu akan nikmat-nikmatnya maka ia pun mengetahui,
Allah berkata kepadanya, ‘Apa yang engkau lakukan? Dia berkata, ‘Aku berperang
karenamu sehingga aku pun syahid, Allah berkata, ‘Engkau dusta, akan tetapi
engkau berperang karena ingin disebut pemberani, dan telah dikatakan. Kemudian
diperintahkan agar dia diseret paksa dan dilemparkan ke dalam Nereka.” (HR. Muslim).
Wahai akhi
mujahid, demikianlah telah jelas bagimu dampak-dampak riya, maka
bersungguh-sungguhlah untuk membersihkan niatmu karena Allah subahanahu wa ta’ala
dalam semua kondisimu ketika menempuh jalan jihad ini. Peganglah selalu
keikhlasanmu. Perbarui selalu niatmu dan perbaiki sanubarimu ketika setan
menutup-nutupi hatimu. Hati anak manusia itu terkadang kuat dan terkadang
lemah.
Ya Allah sesungguhnya kami berlindung kepadamu dari riya.
Sumber: PUSTAKA AL HIMMAH
Daulah Islamiyah, Safar 1437 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar