7/05/2019

HUKUM FA'I DAN GHONIMAH


HUKUM FA'I DAN GHONIMAH
Oleh : Syaikh Anwar Al Awlaki
Edited By. Al-Faqir I’lmuddien



Alhamdulillah wa sholatu wa salam a’la Rasulillah, Islam mensyaratkan beberapa syarat yang jelas dalam hal pengambilan harta orang kafir.

Merujuk kepada ulama-ulama klasik kita, adalah sebuah hal yang diperbolehkan untuk mengambil harta orang kafir untuk tujuan yang berkaitan dengan jihad, sekalipun si pelakunya itu tidak memiliki kekuatan berupa pasukan bersenjata, tidak memiliki imam bahkan bila didalamnya terdapat halangan-halangan.

Karena tidak familiarnya pembahasan ini, saya merasa perlu untuk menjelaskannya.

Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “aku diutus menjelang hari kiamat dengan pedang, dijadikan rejekiku dibawah naungan tombakku. Dan kehinaan terhadap siapa saja yang menyelisihi urusanku.”(1)

Hadits yang mulia ini, menunjukan beberapa aspek penting tentang agama kita.

Yang Pertama:
1)  Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam itu diutus dengan pedang : Rasulullloh shallallahu’alaihi wasallam dan para mujahidin setalah beliau membawa cahaya islam ini kepada seluruh manusia dengan berjihad fisabilillah.

2)    Sumber rejeki yang paling besara dalah berasal dari rampasan perang dan pekerjaan yang paling utama adalah sebagai tentara dijalan Alloh.

Pemasukan yang dihasilkan dari harta rampasan yang diambil dari orang kafir menggunakan kekuatan adalah harta yang paling thayyib dari pada harta penghasilan dari perdagangan, kerja sebagai insinyur, dokter atau petani, dll.

Itulah sebabnya ghonimah Alloh tetapkan sebagai sumber penghasilan bagi Rasul-Nya Muhammad shallallahu’alaihi wasallam. Menjadi seorang mujahid adalah Sunnah.

3)    Akibat akhirnya, seluruh musuh nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam dan ummatnya akan dihinakan dan dipermalukan.

Diriwayatkan bahwa para sahabat yang pindah ke negeri syam, mereka mulai bercocok tanam karena syam adalah negeri yang tanahnya subur dengan air yang melimpah, tidak seperti tanah di negeri asal mereka dikawasan hijaz. Ketika khalifah Umar radhiallohu’anhu mendengar hal tersebut beliau menunggu sampai tibanya masa panen. Tepat sebelum para sahabat menuai panen ladang mereka, khalifah Umar radhiallohu’anhu langsung memerintahkan membakar semuanya. Khalifah Umar radhiallohu’anhu lalu mengumpulkan para sahabat, mengatakan kepada mereka bahwa Bertani Itu Pekerjaan Ahlu Kitab, Ada Pun Kalian Harusnya Berperang Dijalan Alloh.(2)

Umar radhiallohu’anhu tidak mau para sahabat terikat dengan urusan yang bisa menahan mereka dari berjihad fie sabilillah. Menginginkan mereka terbebas dari belunggu yang bisa memperbudak mereka, sebagaimana yang terjadi pada kebanyakan manusia.

Pernyataan Umar radhiallohu’anhu ini, mengimplikasikan, orang-orang yang terikat dengan dunia, para ahlu kitablah yang semustinya melakukan pekerjaan rendahan itu. Adapun kalian orang-orang muslim, seharusnya kalian ini mencari bekal penghidupan dengan kekuatan pedang kalian. Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam pernah bekerja sebagai gembala ternak, pernah juga berdagang, tapi itu sebelum islam, sebelum beliau shallallahu’alaihi wasallam diutus sebagai Rasul. Setelah beliau shallallahu’alaihi wasallam menerima wahyu, beliau shallallahu’alaihi wasallam meninggalkan semua itu dengan mencurahkan seluruh waktunya untuk menyebarkan islam.

Sangat bertentangan dengan yang orang-orang banyak pahami hari ini.

Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam itu tidak bekerja setelah menjadi nabi. Setelah beliau hijrah ke madinah, nafkah hidup beliau berasal dari harta rampasan. Hari ini mungkin beberapa orang muslim merasa tidak nyaman dengan mempergunakan harta yang diambil secara paksa dari orang kafir, tapi mereka merasa lebih nyaman kalau itu hasil gajian atau keuntungan dagang. Hal ini tidak benar. Pendapatan Yang Paling Bersih, Paling Baik Itu Adalah Harta Rampasan Dari Orang Yang Tidak Beriman.

Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Dan Dijadikan Halal Bagiku Harta Rampasan Perang..”(3)

Ghanimah dan Fa’i Ini adalah dua jenis harta yang diambil dari orang kafir. Berikut adalah definisinya:

  1. Ghanimah adalah harta yang diambil dari orang kafir secara paksa dengan kekuatan mujahidin dalam rangka lii’la’ikalimatillah.(4)

  1. Fa’i adalah harta yang diambil dari orang kafir tanpa peperangan.(5)
 


Aturan-aturan soal Ghanimah dan Fa’i

Setelah harta ghanimah terkumpul, darinya (20%) diambil, inilah yang disebut dengan takhmis. Sisanya yang (80%) dibagikan kepada seluruh pejuang. Tetapi terdapat perbedaan pendapat tentang pembagian yang seperlima (20%) tadi. Ada yang berpendapat dipergunakan seluruhnya untuk urusan jihad. Yang lain berpendapat, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kaum muslimin. Yang lain mengatakan untuk tunjangan para ulama dan para hakim di negara islam.

Adapun harta fa’i,maka ini milik kas kaum muslimin di baytul maal. Maka perbedaan antara ghanimah dan fa’i terletak pada bagian atau (80%) dari harta ghanimah untuk para mujahidin, Sedangkan harta fa’i, tidak ada satu bagian pun bagi mereka semuanya masuk ke baytul maal. Untuk dipergunakan kemaslahatan kaum muslimin sesuai kebijakan imam.

Pertanyaan :
Bisakah harta ghanimah dan fa’I diambil dari negera-negara barat hari ini?

Untuk menjawab pertanyaan ini, sebelumnya kita harus menjawab 2 pertanyaan dulu :

  1. Apakah negera-negara barat yang dimaksud itu diklasifikasikan sebagai darul harbi atau kah darul ahdi?

  1. Jika negera-negara barat ini merupakan darul harbi, apakah orang-orang muslim yang hidup di sana terikat perjanjian yang melarang mereka untuk membahayakan negara yang mereka tinggali?

Jawaban untuk pertanyaan yang pertama :

Yang paling pokok adalah hari ini tidak ada pemimpin islam yang berkuasa, yang sah untuk mengadakan suatu perjanjian dengan negara-negara kafir.

Sebab, pemerintahan-pemerintahan yang berkuasa di negeri muslim hari ini sejatinya telah kehilangan legitimasinya untuk banyak alasan, diantaranya :

  1. Mereka menjalankan hukum buatan manusia, tidak berhukum kepada hukum yang Alloh turunkan.
  2. Berwala kepada orang kafir.
  3. Memerangi wali-wali Alloh.

Maka dari itu perjanjian apapun yang mereka adakan dengan pihak mana pun dinilai batil alias tidak memiliki legitimasi. Negara mana pun yang terlibat peperangan dengan kaum muslimin, berpartisipasi dalam menginvansi negeri-negeri muslim, maka secara de facto negera tersebut berstatus sebagai darul harbi. Karena itulah seluruh negera barat yang aktif terlibat dalam penjajahan di afghanistan, di iraq atau di negeri muslim mana pun dinilai sebagai darul harbi.

Jawaban untuk pertanyaan yang kedua :
Ini adalah persoalan yang kritis, maka akan dibahas di tulisan tersendiri insyaaAlloh. Bagaimanapun kesimpulan dalam persoalan ini adalah orang-orang muslim itu tidak terikat dalam perjanjian kewarga negaraan dan visa yang ada antara mereka dan negara-negara darul harbi tersebut.

Merupakan ijma’ ulama bahwa harta milik orang kafir darul harbi adalah halal bagi seorang muslim merupakan target yang sah bagi para mujahidin. Karena ini adalah ijma, maka tidak perlu lagi pembahasan lebih jauh di point ini.

Di ensiklopedia fiqih disebutkan :

harta orang ahlu harbi dan darah mereka adalah halal bagi seorang muslim, tidak ada yang terlindungi. Orang-orang muslim boleh mengambil nyawa dan harta milik mereka dengan seluruh usaha yang mungkin bisa dilakukan. Karena mereka, orang-orang kafir, melakukan hal yang sama terhadap kita.

Ini merupakan kesepakatan para ulama. Dimasa lalu, tentara-tentara muslim masuk ke negeri-negeri kafir, baru kemudian mengambil alih harta kekayaan mereka dan membagikannya sesuai dengan aturan syariat :

  1. kalau harta tersebut diambil setelah perang, disebut ghanimah.
  2. Bila tanpa perang maka dikategorikan sebagai fa’i.

Sekarang, jihad berlangsung dengan gaya baru, berdasarkan prinsip perang gerilya yang tentu berbeda dengan gaya perang konvensional seperti yang terekam dalam sejarah.

Bagaimana hal ini bisa mempengaruhi pengaturan ghanimah dan fai?...

Jihad hari ini lebih bersifat clandestine, dilakukan oleh jaringan bawah tanah.

Pertanyaan yang muncul adalah :

1.      Bisakah jaringan-jaringan mujahidin ini menggunakan metode-metode clandestine untuk mendapatkan harta dari orang kafir di darul harbi?...
2.      Jika jawabannya “iya, bisa”. Apakah ini termasuk fa’I atau ghanimah?...
3.      Atau bukan keduanya?...
4.      Pertanyaan selanjutnya, bagaimana pembagiannya?

Kalau mau saja membuka kitab-kitab fiqih klasik dia akan menemukan ternyata mazhab yang empat telah membahasnya. Dan mazhab hanafi yang paling banyak membahas topik-topik tersebut.

Hal ini mungkin karena mazhab hanafi menjadi mazhab resmi kerajaan-kerajaan islam pada waktu yang lama dibandingkan dengan mazhab-mazhab yang lain. Sebab itu mazhab hanafi membahas persoalan ini lebih detail karena kebijakan luar negeri dari sebuah negara islam adalah jihad fisabilillah.



Kutipan Awal Dari Pendapat-Pendapat Dari Kitab-Kitab Fiqih Mazhab Hanafi.

Mazhab hanafi :

al-Natiqi meriwayatkan bahwa imam abu hanifah berkata : “jika seseorang secara sendirian masuk kedarul harbi dan mengambil harta rampasan, sedangkan di wilayah itu tidak ada tentara muslim maka harta itu tidak wajib dipotong seperlima. Itu jika mereka kurang dari 9 orang, jika jumlahnya mencapai 9 orang atau lebih mereka dinilai sebagai sariyah (gruptempur).”
Maka merujuk kepada imam abu hanifah, kalau grup ini kurang dari 9 orang, apa yang mereka rampas tidak disebut sebagai ghanimah, maka tidak wajib dipotong seperlima yang diberikan kepada penguasa muslim.(6)

Dalam kitab al-hidayah, imam al-mirghanani mengatakan : “kalau ada satu atau dua orang memasuki darul harbi tanpa ijin imam dan mereka mengambil sesuatu, maka tidak perlu dipotong seperlima.” Disini beliau menyatakan, bahwa apapun yang diambil dari darul harbi oleh individu-individu biasa bukan pasukan tentara, maka tidak masuk ke dalam pengaturan ghanimah.

Al-zayghali dalam kitab syarahnya terhadap kitabal-hidayah, judulnya “nasbal-rayah fitakhrij ahadits al-hidayah ” menjelaskan dasar pernyataan imam al-mirghanani diatas dengan mengatakan : “hal ini karena ghanimah itu diambil secara paksa dengan kekuatan bukan secara pencurian dan penipuan, sedangkan aturan pemotongan seperlima (20%) itu hanya berlaku untuk ghanimah.

Adapun bila individu atau beberapa individu non-militer ini masuk ke darul harbi dengan ijin imam, Maka ada dua pendapat; yang paling masyhur adalah aturan pemotongan seperlima berlaku atas apa yang mereka ambil, karena ijin imam itu berarti imam wajib melindungi mereka jika meraka dalam bahaya. Artinya mereka memiliki kekuatan yang menyokong. (penulis hidayah mengatakan) “kalau sekelompok orang yang memliki kekuatan masuk ke darul harbi lalu mengambil sesuatu, berlakulah aturan takhmis (pemotongan 20% dari harta rampasan) walau pun mereka tidak minta ijin dari imam” Karena hal tersebut dinilai sebagai ghanimah, sebab diambil dengan kekuatan, dan imam tetap wajib melindungi, karena jika tidak itu akan melemahkan kaum muslimin, tidak seperti kalau satu atau dua orang saja yang masuk, maka imam tidak wajib melindungi mereka.”

Al-zayghali menilai apa-apa yang diambil dinilai sebagai ghanimah bila individu atau kelompok yang bersangkutan memiliki kekuatan penyokong.

Hal ini berbeda dengan keadaan mujahidin hari ini, dimana tidak ada imam atau penguasa muslim yang memberikan perlindungan kepada mereka.

Pernyataan yang sama juga terdapat juga dikitab fiqih mazhab yang lain, seperti al-mabsut dan syarah al-sairal-kabir keduanya karya Imam Al-Sarkhasi.

Demikian mazhab hanafi memandang hukum takhmis yang diambil dari harta rampasan dan diserahkan kepada amir sebagai imbalan atas perlindungan yang diberikan. Jika perlindungan ini tidak ada maka mereka tidak perlu membayar apapun.

Maka jika ada individu atau sekelompok orang yang mengambil harta orang kafir di darul harbi tidak dengan kekuatan, tapi secara diam-diam maka hal itu tidak dinilai sebagai ghanimah, menurut mazhab hanafi.

Lalu termasuk apakah itu?...

Kita menemukan jawabanya dikitab fiqih mazhab hanafi yang lain, “al-jawhara hal-nayiroh” karya Abu Bakar Al-Abbadi, yang menyatakan dalam syarahnya atas kitab al-hidayah : “kalau ada satu atau dua orang yang memasuki darul harbi tanpa ijin imam, lalu mengambil sesuatu, maka aturan pemotongan seperlima tidak berlaku atasnya. Karena ini bukan ghanimah, sebab ghanimah itu yang diambil dengan kekuatan bukan secara pencurian”.

Tetapi kalau satu atau dua orang tadi masuk dengan ijin imam, maka ada dua pendapat yang paling masyhur, yaitu :

  1. hasilnya dibagi lima bagian, empat bagian untuk mereka (pelaku, sisanya diserahkan kepada amir ke baytul maal).

  1. Pendapat kedua menyebutkan, tidak perlu dibagi lima bagian, karena harta itu diambil dengan mencuri.

Yang paling kuat adalah pendapat yang pertama, karena imam memberi ijin mereka, yang berarti mereka melakukannya dibawah perlindungan imam bukan secara pencurian semata”. Selanjutnya beliau mengatakan : “kalau sekelompok orang yang memiliki kekuatan pasukan penyokong masuk (kedarul harbi) lalu mengambil sesuatu, maka aturan takhmis (pemotongan sepelima / 20%) berlaku, walau mereka tidak minta ijin imam, karena kelompok tadi memiliki kekuatan, sebab itu apa yang mereka ambil dinilai sebagai ghanimah.

Tetapi bila kelompok tadi tidak memiliki kekuatan berupa pasukan penyokong dan mereka juga masuk ke darul harbi tanpa ijin imam, maka apa yang mereka ambil dinilai bukan ghanimah, karena ghanimah adalah apa-apa yang diambil secara paksa dengan kekuatan. Adapun orang-orang ini sama seperti pencuri pada umumnya, yang mengambil secara diam-diam, maka bukan lah ghanimah. Karena itulah dalam kasus semacam ini, apa yang diaambil orang itu menjadi miliknya, tidak harus dia bagi, sebab ini dinilai mubah, sama seperti berburu atau mengumpulkan kayu bakar”.

Perhatikan, disini Imam Al-Abbadi menyamakan harta rampasan dengan harta hasil berburu dan hasil pengumpulan kayu bakar, karena hewan liar dan kayu dihutan itu bukan hak milik orang tertentu.

Alasan dari menyamakan harta rampasan dengan berburu dan pengumpulan kayu bakar adalah karena harta benda yang ada ditangan orang-orang kafir itu tidak sah kepemilikannya menurut syariat islam disebabkan kekufuran mereka. Adapun terjaganya harta orang kafir dari ahlu dzimmah adalah pengecualian karena jizyah yang mereka bayarkan.

Inilah kenapa para ulama kita mengatakan bahwa Alloh menyebut “harta rampasan” dengan “fa’i” yang artinya “yang kembali”, maka mereka mengatakan harta benda orang kafir yang sejatinya bukan milik mereka telah “kembali” kepada orang beriman sebagai pemiliknya yang sah.

Dalam kitanal-sairal-shaghir (hanafi) penulis menyatakan : “kalau satu, dua atau tiga orang dari kaum muslimin atau ahlu dzimmah, yang tidak memiliki kekuatan penyokong, memasuki darul harbi tanpa ijin imam lalu mengambil harta ahlu harbi sebagai rampasan kemudian membawanya ke darul islam, maka seluruh yang mereka ambil adalah milik mereka, tidak ada pemotongan seperlima darinya.”

Situasi kaum muslimin yang hari ini tinggal di darul harbi sama dengan kasus yang disebutkan di atas. Kaum muslimin hari ini tidak ada imam yang bisa mereka mintai ijin, tidak pula kekuatan berupa pasukan yang bisa melindungi mereka, dan apa yang mereka bisa ambil paling dengan cara pencurian atau pengelapan. Maka menurut pendapat yang dipegangi oleh mazhab hanafi, harta yang bisa dikuasai oleh orang muslim di darul harbi sepantasnya menjadi milik mereka seluruhnya.

Tapi bagai manapun juga, perlu digaris bawahi, walau pun hari ini seorang muslim Diperbolehkan melakukan hal itu, ada beberapa hal yang harus diperhatikan : mazhab hanafi berpendapat seorang muslim “di-ijin-kan” untuk mengambil harta orang kafir di darul harbi, tapi mereka tidak menyatakan perbuatan itu mendapatkan pahala. Mereka menyamakannya dengan berburu dan mengumpulkan kayu bakar. Dengan kata lain ini sama saja dengan usaha mata pencaharian mengunakan cara halal yang lainnya.

Walau begitu, sebagai seorang muslim, seharusnya kita mencari harta yang diambil dari orang kafir sebagai bagian jihad fisabilillah, mempergunakannya di jalan jihad, bukan untuk kesenangan syahwat pribadi.

Kita tidak ingin fatwa ini disalahgunakan oleh orang-orang yang tidak mempunyai perhatian apa pun terhadap jihad yang Cuma tertarik untuk menumpuk kekayaan pribadi. Efek dari penyalah gunaan fatwa ini bisa berakibat pada dicurigainya orang-orang muslim dan pemerintah-pemerintah negara-negara target membatasi geraknya sehingga pada akhirnya menyusahkan mereka yang benar-benar bergerak atas dasar fatwa tersebut.



Pendapat Tiga Mazhab yang lainnya.

Ibnu Hamam dalam kitabnya fathul qadir berkata: “mazhab syafi’i, maliki, dan mayoritas ulama berpendapat apa yang diambil secara individual dengan cara pencurian ini dinilai sebagai ghanimah.” Beliau kemudian berkata: “tetapi kami dan Imam Ahmad–merujuk kesatu atau dua riwayat yang disandarkan kepadanya—menolak menyebutnya sebagai ghanimah. Karena ghanimah itu apa yang diambil secara paksa dengan kekuatan, bukan dengan pencurian atau penggelapan, dan biasanya pencurian itu dilakukan dengan tipudaya, maka dinilai sebagai mata pencaharian yang halal, tidak Beda dengan mengumpulkan kayu bakar dan berburu.”

Imam al-sarkhasi meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i berkata : “ghanimah itu harta kekayaan yang orang muslim ambil dari orang kafir dengan mempergunakan kekuatan atas meraka.”

Imam Syafi’i berkata lagi : “mempergunakan kekuatan atas mereka itu termasuk menggunakan kekuatan secara langsung atau dengan tipudaya, karena Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam bersabda: (Perang Itu Tipu Daya).”

Jadi menurut Imam Syafi’i, harta yang diambil dari orang kafir secara sembunyi-sembunyi mustinya dinilai sebagai ghanimah, bahkan walaupun tanpa menggunakan kekuatan.

Dalam kitab Tuhfatal-Muhtaj Fi Syarhi Al-Minhaj Ibnu Hajar Al-Haytami mengatakan:“hasil curian dari darul harbi adalah ghanimah.”

Dalam kitabal-minhaj, Imam Nawawi mengatakan : “harta yang diambil dari darul harbi dengan kekuatan adalah ghanimah, begitu juga apa yang diambil oleh perorangan atau sekelompok orang dengan cara mencuri.”

Dalam Fatawa Al-Subki–Mazhab Syafi’i—penulis meriwayatkan pendapat dari dua imam mazhab syafi’i yang paling menonjol ; Imam Al-Ghazali Dan Imam Al-Rafi’i.

Al-Subki mengatakan : “Al-Ghazali mengatakan : “jika seorang muslim mencuri harta dari orang kafir, maka seluruhnya menjadi miliknya, tidak dipotong aturan seperlima (tidak ada takhmis)”.

Sedangkan Al-Rafi’i memegang pendapat yang menyatakan si pelaku memiliki 80% dari hasilnya, sebagaimana harta ghanimah.

Dalam kitab Al-Furu, Ibnu Muflih –Mazhab Hambali—berkata : “kalau ada sekelompok atau perorangan bahkan seandainya dia seorang budak memasuki darul harbi tanpa ijin imam, maka Harta yang mereka rampas adalah fai”.

Walaupun kebanyakan pendapat dimazhab hambali menyatakan harta yang diambil itu berstatus ghanimah, penulis Al-Furu di atas menyebutkan pendapat lain yaitu fa’I, yang berarti seluruhnya harus diserahkan kepada imam yang pembagiannya sesuai kebijakan sang imam.

Imam Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Al-Fatawa : “jika seorang muslim memasuki darul harbi, lalu menculik orang kafir atau anak mereka atau menggunakan kekuatan atas mereka dengan cara apapun maka jiwa dan harta orang kafir itu halal bagi orang muslim.”

PERSOALAN RIBA DI DARUL HARBI

Imam Al-Kasani dari mazhab hanafi berkata : “kalau seorang muslim atau seorang ahlu dzimmah memasuki darul harbi dengan perjanjian (jaminan keamanan) lalu dia melakukan transaksi dengan seorang harbi secara ribawi atau transaksi illegal lain menurut islam, hal itu diperbolehkan menurut Imam Abu Hanifah dan Muhammad.”

Walau demikian kita harus perhatikan semua mazhab yang lain telah sepakat bahwa mengambil riba dari orang kafir harbi di darul harbi itu tidak diperbolehkan bagi seorang muslim. Begitu pendapat Imam Abu Yusuf dari mazhab hanafi : “apa-apa yang dilarang bagi seorang muslim di darul islam, dilarang juga baginya di darul harbi.”(7)



KESIMPULAN

Berdasarkan kutipan-kutipan dari para ulama terdahulu diatas, bisa disimpulkan demikian :

  1. Semua ulama sepakat atas diperbolehkannya mengambil harta orang kafir di darul harbi, baik dengan cara penggunaan kekuatan atau dengan mencuri dan tipu daya.

  1. Para ulama berbeda pendapat dalam hal pembagian harta yang diambil dengan cara mencuri dan tipu daya.

Mayoritas berpendapat itu adalah ghanimah, maka seperlimanya harus diserahkan kepada Amir untuk dipergunakan dalam jihad.

  1. Dan ada pendapat alternatif dari mazhab hanafi yang memandang itu sebagai sumber penghasilan biasa yang mubah, yang keseluruhan hasilnya menjadi hak milik si pelaku usaha.

  1. Tapi ada juga pendapat minoritas, bahwa itu adalah fa’I yang seluruh alokasi pengunaannya menurut kebijakan Imam.


IMPLIKASINYA BAGI KITA :

Setiap muslim yang tinggal di darul harbi harus menghindari membayarkan apapun dari hartanya kepada orang kafir, baik berupa pajak, biaya-biaya maupun denda.

Jika seorang muslim diperbolehkan menipu orang kafir untuk mendapatkan harta mereka, maka dia juga diperbolehkan untuk menipu mereka supaya tidak musti membayarkan harta mereka kepada orang kafir.

Walaupun diperbolehkan untuk mengambil harta orang kafir di darul harbi, disarankan kepada kaum muslimin untuk menghindari target warga negara dari negara-negara yang memiliki publik opini yang mendukung urusan kaum muslimin.

Karena itu disarankan yang dijadikan target adalah :
  1. Milik-milik pemerintah
  2. Bank-bank
  3. Perusahaan multi nasional
  4. Harta milik orang kafir yang diketahui kebencian dan permusuhannya terhadap islam dan kaum muslimin.

Dalam kasus Amerika Serikat, baik pemerintah maupun warganya harus dijadikan target. Amerika dan orang Amerika adalah pemimpin kekufuran hari ini. Orang amerika yang memberikan suaranya dalam mendukung perang adalah orang yang memiliki itikad tidak baik, Siapapun yang bisa memberikan mudarat kepada mereka dalam bentuk apapun telah berjasa bagi ummat.

Perhatian harus ada kepada perhitungan risiko dan keuntungan (maslahat) dalam setiap operasi. Karena begitu negatif implikasinya bila operasi ini terbuka. Penting menghitung dengan cermat untung-ruginya! (Risiko yang diambil harus sesuai dengan maslahat yang tergambar.)

Kepada orang-orang muslim yang bergabung dengan kelompok jihad, disarankan keputusan untuk melibatkan orang-orang tertentu dalam kegiatan mendapatkan harta dari orang kafir ini, diambil oleh Amir secara musyawarah jamaah. Kami sampaikan ini, karena pertanggung jawaban nantinya menjadi beban jamaah, maka keputusan pun harus dibuat oleh jamaah.

Direkomendasikan penggunaan hasilnya diserahkan kepada Amir dan Syuro. Bila jamaah berpandangan bahwa hasil itu berstatus ghanimah, maka jika yang akan diberikan kepada para pelaku usaha adalah kurang dari 80% hendaknya dimusyawarahkan sebelumnya dengan mereka, sebab secara aturan Syar’i tentang ghanimah, mereka wajib menerima 80% utuh.

Begitu juga bila jama’ah memegang pendapat mazhab hanafi, maka disarankan kepada orang-orang muslim yang tidak bergabung dengan kelompok jihad mana pun tapi memperoleh harta dari orang kafir secara ilegal, untuk mendonasikan semuanya kepada kegiatan jihad, kecuali mereka butuh, maka tidak boleh melebihi 80%.

Urusan islam ini tidak bisa hanya bergantung kepada para relawan, maka untuk menyokong saudara–saudara kita yang full-time bekerja untuk urusan islam, pemasukan mereka bisa diambilkan dari harta yang diperoleh dari orang kafir ini.

Hal ini harus dijadikan salah satu pos anggaran alokasi dana. Terlebih bagi grup yang orientasinya full jihad, yang mana begitu sedikit sumberdaya manusianya. Sehingga ketika mereka sudah dapat mencukupi kebutuhannya mereka tidak perlu membagi waktunya untuk mencari penghidupan yang bisa mengurangi waktu mereka untuk urusan jihad ini. Mereka harus mengikuti sunnah Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam dan hidup dari ghanimah.

Hal ini penting, khususnya bagi ikhwah yang berada diposisi leader pada suatu jamaah. Karena jihad diseluruh dunia sangat membutuhkan dukungan dana.

Dihimbau kepada saudara-saudara kita yang berada di negara-negara barat untuk menjadikan hal ini sebagai prioritas dalam rancangan strategi mereka.

Dari pada kaum muslimin mendanai jihad ini dari kocek mereka sendiri, justru seharusnya mereka mendanainya dari kocek musuh-musuh mereka.

Di akhir bahasan, kami akan menjawab apa yang dikatakan oleh sebagian muslim yang lemah, bahwa fatwa semacam ini hanya akan makin memperburuk citra muslim di dunia barat dan bukan hal yang bagus untuk strategi dakwah.

Sebagai jawaban atas klaim, bahwa fatwa itu akan makin memperburuk citra muslim di dunia barat, maka kami katakan :

1. Sejak kapan dunia barat mulai memliki pandangan citra yang bagus tentang islam?

Dunia barat selalu memandang bahwa islam dan muslim itu buruk, kasar, keras kepala, dan terbelakang.

Bacalah literatur-literatur barat!...
Lihatlah gambaran tentang islam dan kaum muslimin yang mereka tampilkan dimedia-media barat.

2. Satu-satunya cara agar mereka menilai Anda baik, bagus..

Ya dengan menjadi seperti mereka.

Alloh berfirman : “dan sekali-kali tidak akan ridho orang yahudi dan nasrani kepada kamu, sampai kamu ikuti millah mereka.”Qs.2:120.

3. Alloh berfirman tentang wali-walinya : “mereka tidak takut kepada celaan orang-orang yang mencela.”Qs.5:54

Karena itulah tidak seharusnya anda peduli kepada apa yang orang-orang kafir pikirkan tentang anda, tapi yang musti anda pedulikan itu bagaimana posisi anda disisi Alloh dan Rasul-Nya dan penilaian orang-orang beriman terhadap anda.

4. Dunia barat sudah sejak lama menjarah harta kekayaan kita, semenjak berabad-abad lalu.




Sekarang waktunya mengambil kembali, insyaAlloh.

Untuk menjawab klaim yang kedua bahwa fatwa tersebut bisa berakibat buruk bagi dakwah, maka kami katakan :

1. Pedang Adalah Dakwah Terbaik

Sedangkan fatwa tersebut mendukung “pedang” tadi, maka pada akhirnya ini bagus untuk dakwah. Ketika Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam berdakwah di Mekah selama 13 tahun Cuma beberapa ratus saja yang menjadi muslim, bandingkan dengan ketika beliau shallallahu’alaihi wasallam sudah hijrah ke Madinah. Hanya dalam tempo 10 tahun, lebih dari seratus ribu orang memeluk islam.

Jadi, kenapa bisa dakwah Nabi shallallahu’alaihi wasallam di Madinah lebih membuahkan hasil dibandingkan dengan ketika di Mekah? Karena di Madinah Nabi shallallahu’alaihi wasallam Berdakwah dengan kekuatan. Itulah dakwah yang didukung dengan pedang.

2. Jihad Hari Ini Hukumnya Fardhu‘Ain,
Kewajibannya Mengenai Setiap Individu, Orang Perorang.

Maka jihad harus didahulukan dari dakwah, karena dakwah itu hukumnya sunnah mu’akaddah atau fardhu(wajib), hanya sifatnya fardhu kifayah. Karena itu semua maka hal yang mendukung jihad harus didahulukan dari semua yang berkaitan dengan dakwah.

Jihad adalah prioritas Ayyuhal Ikhwah… Jihad itu sangat membutuhkan dana. Dalam Al-Qur’an, jihad fisik selalu dikaitkan pada jihad dengan harta di delapan ayat. Semuanya diawali dengan menyebutkan biamwalikum (dengan harta kalian), baru setelahnya bianfusikum (dengan jiwa kalian). Kecuali satu ayat. Karena tidak ada dana maka tidak ada jihad.

Musuh kita sudah menyadari hal ini. Makanya mereka selalu melacak dan mengawasi aliran-aliran dana yang mencurigakan dan berusaha untuk terus membekukan sumber-sumber dana yang disinyalir mendanai “terorisme”.

Jihad kita ini Ayyuhal Ikhwah… tidak bisa terus-terusan tergantung kepada donasi kaum muslimin. Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam banyak mengirimkan grup sariyah untuk mencegat dan merampas kafilah-kafilah dagang milik orang-orang kafir.

Memang, jihad tidak hanya didanai dari harta rampasan, tapi kalau melihat sejarah kita dimasa awal-awal, perbendaharaan kaum muslimin itu kebanyakan dihasilkan dari jihad.

Pajak yang disebut khoroj dikenakan atas tanah-tanah yang ditaklukan oleh kaum muslimin.

Tawanan perang yang akhirnya menjadi budak, bisa diperjual-belikan, jizyah yang dibayar oleh ahlul kitab, semua sumber dana ini ada karena jihad. Zakat dan sedekah itu hanya menyumbang porsi kecil dari keseluruhan pendapatan negara islam.

Sudah waktunya kita mengambil langkah serius untuk mengamankan pasokan dukungan finansial kita, dari pada selalu tergantung kepada sumbangan dan sumbangan.

Semoga Alloh ta’ala mengampuni kita dan memberikan kita tempat derajat mujahidin.

Footnotes :
[1]HR.Ahmad.
[2]dikutip dari buku, ”Theexplanation of the ĥadīth,‘ I was sent before the hour with the sword…” karya Ibn Rajab Al-Hanbali.
[3]HR.Bukhari.
[4]Al-Jurjani.
[5]Al-Sharĥal-Kabīr karya Al-Maqdisi.
[6]Ketika para ulama berbicara soal aturan seperlima (takhmis), berarti harta itu diklasifikasikan sebagai ghanimah.
[7]Sebagian muslim yang tinggal di negara-negara barat mengklaim bahwa karena kita diperbolehkan mengambil bunga dari orang kafir maka kita juga boleh membiayai pembelian rumah kita lewat aplikasi kredit.
Orang-orang ini tertipu oleh syaitan dan arahan ulama yang salah, yang dimaksud oleh mazhab hanafi hanyalah, orang muslim boleh untuk “mengambil” bukan “membayar” bunga.
Alasan Mazhab Hanafi adalah karena pada dasarnya jiwa dan harta orang kafir itu halal bagi orang muslim.
Jadi bagaimana bisa fatwa itu dipakai untuk mengklaim bahwa kita boleh membayar kan harta kita ke mereka?!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...