HUKUM FA'I DAN GHONIMAH
Oleh : Syaikh Anwar Al Awlaki
Edited By. Al-Faqir I’lmuddien
Alhamdulillah wa sholatu wa salam a’la
Rasulillah, Islam mensyaratkan beberapa syarat yang jelas dalam hal pengambilan
harta orang kafir.
Merujuk kepada ulama-ulama klasik kita, adalah
sebuah hal yang diperbolehkan untuk mengambil harta orang kafir untuk tujuan
yang berkaitan dengan jihad, sekalipun si pelakunya itu tidak memiliki kekuatan
berupa pasukan bersenjata, tidak memiliki imam bahkan bila didalamnya terdapat halangan-halangan.
Karena tidak familiarnya pembahasan ini, saya
merasa perlu untuk menjelaskannya.
Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “aku
diutus menjelang hari kiamat dengan pedang, dijadikan rejekiku dibawah naungan
tombakku. Dan kehinaan terhadap siapa saja yang menyelisihi urusanku.”(1)
Hadits yang mulia ini, menunjukan beberapa aspek
penting tentang agama kita.
Yang Pertama:
1) Nabi Muhammad shallallahu’alaihi wasallam itu diutus dengan pedang : Rasulullloh shallallahu’alaihi
wasallam dan para mujahidin setalah beliau membawa cahaya
islam ini kepada seluruh manusia dengan berjihad fisabilillah.
2) Sumber rejeki yang paling besara dalah berasal
dari rampasan perang dan pekerjaan yang paling utama adalah sebagai tentara
dijalan Alloh.
Pemasukan
yang dihasilkan dari harta rampasan yang diambil dari orang kafir menggunakan
kekuatan adalah harta yang paling thayyib dari pada harta penghasilan dari
perdagangan, kerja sebagai insinyur, dokter atau petani, dll.
Itulah
sebabnya ghonimah Alloh tetapkan sebagai sumber penghasilan bagi Rasul-Nya
Muhammad shallallahu’alaihi
wasallam. Menjadi seorang mujahid adalah Sunnah.
3) Akibat akhirnya, seluruh musuh nabi Muhammad shallallahu’alaihi
wasallam dan ummatnya akan dihinakan dan dipermalukan.
Diriwayatkan bahwa para sahabat yang pindah ke negeri
syam, mereka mulai bercocok tanam karena syam adalah negeri yang tanahnya subur
dengan air yang melimpah, tidak seperti tanah di negeri asal mereka dikawasan
hijaz. Ketika khalifah Umar radhiallohu’anhu
mendengar hal tersebut beliau menunggu sampai
tibanya masa panen. Tepat sebelum para sahabat menuai panen ladang mereka,
khalifah Umar radhiallohu’anhu langsung memerintahkan membakar semuanya. Khalifah Umar radhiallohu’anhu lalu mengumpulkan para sahabat, mengatakan kepada mereka bahwa Bertani Itu Pekerjaan Ahlu Kitab, Ada Pun Kalian
Harusnya Berperang Dijalan Alloh.(2)
Umar radhiallohu’anhu
tidak mau para sahabat terikat dengan urusan yang
bisa menahan mereka dari berjihad fie sabilillah. Menginginkan mereka terbebas
dari belunggu yang bisa memperbudak mereka, sebagaimana yang terjadi pada
kebanyakan manusia.
Pernyataan Umar radhiallohu’anhu ini, mengimplikasikan, orang-orang yang terikat
dengan dunia, para ahlu kitablah yang semustinya melakukan pekerjaan rendahan
itu. Adapun kalian orang-orang muslim, seharusnya kalian ini mencari bekal
penghidupan dengan kekuatan pedang kalian. Rasululloh shallallahu’alaihi
wasallam pernah bekerja sebagai gembala ternak, pernah
juga berdagang, tapi itu sebelum islam, sebelum beliau shallallahu’alaihi
wasallam diutus sebagai Rasul. Setelah beliau shallallahu’alaihi
wasallam menerima wahyu, beliau shallallahu’alaihi
wasallam meninggalkan semua itu dengan mencurahkan seluruh
waktunya untuk menyebarkan islam.
Sangat bertentangan dengan yang orang-orang
banyak pahami hari ini.
Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam itu tidak bekerja setelah menjadi nabi. Setelah
beliau hijrah ke madinah, nafkah hidup beliau berasal dari harta rampasan. Hari
ini mungkin beberapa orang muslim merasa tidak nyaman dengan mempergunakan
harta yang diambil secara paksa dari orang kafir, tapi mereka merasa lebih
nyaman kalau itu hasil gajian atau keuntungan dagang. Hal ini tidak benar. Pendapatan Yang Paling Bersih, Paling Baik Itu
Adalah Harta Rampasan Dari Orang Yang Tidak Beriman.
Rasululloh shallallahu’alaihi wasallam bersabda : “Dan Dijadikan Halal Bagiku Harta Rampasan Perang..”(3)
Ghanimah
dan Fa’i Ini adalah dua jenis harta yang diambil dari orang kafir.
Berikut adalah definisinya:
- Ghanimah adalah harta yang diambil dari orang kafir secara paksa dengan kekuatan mujahidin dalam rangka lii’la’ikalimatillah.(4)
- Fa’i adalah harta yang diambil dari orang kafir tanpa peperangan.(5)
Aturan-aturan soal Ghanimah dan Fa’i
Setelah harta ghanimah terkumpul, darinya (20%)
diambil, inilah yang disebut dengan takhmis. Sisanya yang (80%) dibagikan
kepada seluruh pejuang. Tetapi terdapat perbedaan pendapat tentang pembagian
yang seperlima (20%) tadi. Ada yang berpendapat dipergunakan seluruhnya untuk
urusan jihad. Yang lain berpendapat, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan kaum
muslimin. Yang lain mengatakan untuk tunjangan para ulama dan para hakim di negara
islam.
Adapun harta fa’i,maka ini milik kas kaum
muslimin di baytul maal. Maka perbedaan antara ghanimah dan fa’i terletak pada
bagian atau (80%) dari harta ghanimah untuk para mujahidin, Sedangkan harta
fa’i, tidak ada satu bagian pun bagi mereka semuanya masuk ke baytul maal.
Untuk dipergunakan kemaslahatan kaum muslimin sesuai kebijakan imam.
Pertanyaan :
Bisakah harta ghanimah dan fa’I
diambil dari negera-negara barat hari ini?
Untuk menjawab pertanyaan ini, sebelumnya kita
harus menjawab 2 pertanyaan dulu :
- Apakah negera-negara barat yang dimaksud itu diklasifikasikan sebagai darul harbi atau kah darul ahdi?
- Jika negera-negara barat ini merupakan darul harbi, apakah orang-orang muslim yang hidup di sana terikat perjanjian yang melarang mereka untuk membahayakan negara yang mereka tinggali?
Jawaban untuk pertanyaan yang pertama :
Yang paling pokok adalah hari ini tidak ada
pemimpin islam yang berkuasa, yang sah untuk mengadakan suatu perjanjian dengan
negara-negara kafir.
Sebab, pemerintahan-pemerintahan yang berkuasa di
negeri muslim hari ini sejatinya telah kehilangan legitimasinya untuk banyak
alasan, diantaranya :
- Mereka menjalankan hukum buatan manusia, tidak berhukum kepada hukum yang Alloh turunkan.
- Berwala kepada orang kafir.
- Memerangi wali-wali Alloh.
Maka dari itu perjanjian apapun yang mereka
adakan dengan pihak mana pun dinilai batil alias tidak memiliki legitimasi.
Negara mana pun yang terlibat peperangan dengan kaum muslimin, berpartisipasi
dalam menginvansi negeri-negeri muslim, maka secara de facto negera
tersebut berstatus sebagai darul harbi. Karena itulah seluruh negera barat yang
aktif terlibat dalam penjajahan di afghanistan, di iraq atau di negeri muslim
mana pun dinilai sebagai darul harbi.
Jawaban untuk pertanyaan yang kedua :
Ini adalah persoalan yang kritis, maka akan
dibahas di tulisan tersendiri insyaaAlloh. Bagaimanapun kesimpulan dalam
persoalan ini adalah orang-orang muslim itu tidak terikat dalam perjanjian
kewarga negaraan dan visa yang ada antara mereka dan negara-negara darul harbi
tersebut.
Merupakan ijma’ ulama bahwa harta
milik orang kafir darul harbi adalah halal bagi seorang muslim merupakan target
yang sah bagi para mujahidin.
Karena ini adalah ijma, maka tidak perlu lagi pembahasan lebih jauh di point
ini.
Di ensiklopedia fiqih disebutkan :
harta orang ahlu harbi dan darah mereka
adalah halal bagi seorang muslim, tidak ada yang terlindungi. Orang-orang
muslim boleh mengambil nyawa dan harta milik mereka dengan seluruh usaha yang
mungkin bisa dilakukan. Karena mereka, orang-orang kafir, melakukan hal yang
sama terhadap kita.
Ini merupakan kesepakatan para ulama. Dimasa
lalu, tentara-tentara muslim masuk ke negeri-negeri kafir, baru kemudian
mengambil alih harta kekayaan mereka dan membagikannya sesuai dengan aturan
syariat :
- kalau harta tersebut diambil setelah perang, disebut ghanimah.
- Bila tanpa perang maka dikategorikan sebagai fa’i.
Sekarang, jihad berlangsung dengan gaya baru,
berdasarkan prinsip perang gerilya yang tentu berbeda dengan gaya perang
konvensional seperti yang terekam dalam sejarah.
Bagaimana hal ini bisa mempengaruhi
pengaturan ghanimah dan fai?...
Jihad hari ini lebih bersifat clandestine,
dilakukan oleh jaringan bawah tanah.
Pertanyaan yang muncul adalah :
1.
Bisakah jaringan-jaringan mujahidin ini menggunakan
metode-metode clandestine untuk mendapatkan harta dari orang kafir di darul
harbi?...
2.
Jika jawabannya “iya, bisa”. Apakah ini termasuk
fa’I atau ghanimah?...
3.
Atau bukan keduanya?...
4.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimana pembagiannya?
Kalau mau saja membuka kitab-kitab
fiqih klasik dia akan menemukan ternyata mazhab yang empat telah membahasnya.
Dan mazhab hanafi yang paling banyak membahas topik-topik tersebut.
Hal ini mungkin karena mazhab hanafi menjadi
mazhab resmi kerajaan-kerajaan islam pada waktu yang lama dibandingkan dengan
mazhab-mazhab yang lain. Sebab itu mazhab hanafi membahas persoalan ini
lebih detail karena kebijakan luar negeri dari sebuah negara islam adalah jihad
fisabilillah.
Kutipan Awal Dari Pendapat-Pendapat Dari
Kitab-Kitab Fiqih Mazhab Hanafi.
Mazhab hanafi :
al-Natiqi meriwayatkan bahwa imam abu hanifah
berkata : “jika seseorang secara sendirian masuk
kedarul harbi dan mengambil harta rampasan, sedangkan di wilayah itu tidak ada
tentara muslim maka harta itu tidak wajib dipotong seperlima. Itu jika mereka
kurang dari 9 orang, jika jumlahnya mencapai 9 orang atau lebih mereka dinilai
sebagai sariyah (gruptempur).”
Maka merujuk kepada imam abu hanifah, kalau grup
ini kurang dari 9 orang, apa yang mereka rampas tidak disebut sebagai ghanimah,
maka tidak wajib dipotong seperlima yang diberikan kepada penguasa muslim.(6)
Dalam kitab
al-hidayah, imam al-mirghanani mengatakan
: “kalau ada satu atau dua orang memasuki
darul harbi tanpa ijin imam dan mereka mengambil sesuatu, maka tidak perlu
dipotong seperlima.” Disini beliau menyatakan, bahwa apapun yang
diambil dari darul harbi oleh individu-individu biasa bukan pasukan tentara,
maka tidak masuk ke dalam pengaturan ghanimah.
Al-zayghali dalam kitab
syarahnya terhadap kitabal-hidayah,
judulnya “nasbal-rayah fitakhrij ahadits
al-hidayah ” menjelaskan dasar pernyataan imam al-mirghanani diatas dengan mengatakan : “hal ini karena ghanimah itu diambil
secara paksa dengan kekuatan bukan secara pencurian dan penipuan, sedangkan
aturan pemotongan seperlima (20%) itu hanya berlaku untuk ghanimah.
Adapun bila individu atau beberapa individu
non-militer ini masuk ke darul harbi dengan ijin imam, Maka ada dua pendapat; yang paling masyhur adalah aturan
pemotongan seperlima berlaku atas apa yang mereka ambil, karena ijin imam itu
berarti imam wajib melindungi mereka jika meraka dalam bahaya. Artinya mereka
memiliki kekuatan yang menyokong. (penulis hidayah mengatakan) “kalau
sekelompok orang yang memliki kekuatan masuk ke darul harbi lalu mengambil
sesuatu, berlakulah aturan takhmis (pemotongan 20% dari harta rampasan) walau
pun mereka tidak minta ijin dari imam” Karena
hal tersebut dinilai sebagai ghanimah, sebab diambil dengan kekuatan, dan imam
tetap wajib melindungi, karena jika tidak itu akan melemahkan kaum muslimin,
tidak seperti kalau satu atau dua orang saja yang masuk, maka imam tidak wajib
melindungi mereka.”
Al-zayghali menilai apa-apa yang diambil dinilai sebagai
ghanimah bila individu atau kelompok yang bersangkutan memiliki kekuatan
penyokong.
Hal ini berbeda dengan keadaan
mujahidin hari ini, dimana tidak ada imam atau penguasa muslim yang memberikan
perlindungan kepada mereka.
Pernyataan yang sama juga terdapat juga dikitab
fiqih mazhab yang lain, seperti al-mabsut
dan syarah al-sairal-kabir keduanya
karya Imam Al-Sarkhasi.
Demikian mazhab hanafi memandang
hukum takhmis yang diambil dari harta rampasan dan diserahkan kepada amir
sebagai imbalan atas perlindungan yang diberikan. Jika perlindungan ini tidak
ada maka mereka tidak perlu membayar apapun.
Maka jika ada individu atau
sekelompok orang yang mengambil harta orang kafir di darul harbi tidak dengan
kekuatan, tapi secara diam-diam maka hal itu tidak dinilai sebagai ghanimah,
menurut mazhab hanafi.
Lalu termasuk apakah itu?...
Kita menemukan jawabanya dikitab fiqih mazhab
hanafi yang lain, “al-jawhara hal-nayiroh” karya Abu
Bakar Al-Abbadi, yang menyatakan dalam syarahnya atas kitab
al-hidayah : “kalau ada satu atau dua orang yang
memasuki darul harbi tanpa ijin imam, lalu mengambil sesuatu, maka aturan
pemotongan seperlima tidak berlaku atasnya. Karena ini bukan ghanimah, sebab
ghanimah itu yang diambil dengan kekuatan bukan secara pencurian”.
Tetapi kalau satu atau dua orang tadi masuk
dengan ijin imam, maka ada dua pendapat yang paling masyhur, yaitu :
- hasilnya dibagi lima bagian, empat bagian untuk mereka (pelaku, sisanya diserahkan kepada amir ke baytul maal).
- Pendapat kedua menyebutkan, tidak perlu dibagi lima bagian, karena harta itu diambil dengan mencuri.
Yang paling kuat adalah pendapat yang
pertama, karena imam memberi ijin mereka, yang berarti
mereka melakukannya dibawah perlindungan imam bukan secara pencurian semata”.
Selanjutnya beliau mengatakan : “kalau
sekelompok orang yang memiliki kekuatan pasukan penyokong masuk (kedarul harbi) lalu mengambil sesuatu,
maka aturan takhmis (pemotongan sepelima / 20%) berlaku, walau mereka tidak
minta ijin imam, karena kelompok tadi memiliki kekuatan, sebab itu apa yang
mereka ambil dinilai sebagai ghanimah.
Tetapi bila kelompok tadi tidak memiliki kekuatan berupa pasukan
penyokong dan mereka juga masuk ke darul harbi tanpa ijin
imam, maka apa yang mereka ambil dinilai bukan
ghanimah, karena ghanimah adalah apa-apa yang diambil
secara paksa dengan kekuatan. Adapun orang-orang ini sama seperti pencuri pada
umumnya, yang mengambil secara diam-diam, maka bukan lah ghanimah. Karena
itulah dalam kasus semacam ini, apa yang diaambil orang itu menjadi miliknya,
tidak harus dia bagi, sebab ini dinilai
mubah, sama seperti berburu atau mengumpulkan kayu
bakar”.
Perhatikan, disini Imam Al-Abbadi menyamakan harta rampasan dengan harta
hasil berburu dan hasil pengumpulan kayu bakar, karena hewan liar dan kayu dihutan itu bukan
hak milik orang tertentu.
Alasan dari menyamakan harta rampasan dengan berburu dan pengumpulan kayu
bakar adalah karena harta benda yang ada ditangan
orang-orang kafir itu tidak sah kepemilikannya menurut syariat islam disebabkan
kekufuran mereka. Adapun terjaganya harta orang kafir dari ahlu dzimmah adalah
pengecualian karena jizyah yang mereka bayarkan.
Inilah kenapa para ulama kita
mengatakan bahwa Alloh menyebut “harta rampasan” dengan “fa’i” yang artinya
“yang kembali”, maka mereka mengatakan harta benda orang kafir yang sejatinya
bukan milik mereka telah “kembali” kepada orang beriman sebagai pemiliknya yang
sah.
Dalam kitanal-sairal-shaghir
(hanafi) penulis menyatakan : “kalau satu, dua atau tiga orang dari
kaum muslimin atau ahlu dzimmah, yang tidak memiliki kekuatan penyokong,
memasuki darul harbi tanpa ijin imam lalu mengambil harta ahlu harbi sebagai
rampasan kemudian membawanya ke darul islam, maka seluruh yang mereka ambil
adalah milik mereka, tidak ada pemotongan seperlima darinya.”
Situasi kaum muslimin yang hari ini
tinggal di darul harbi sama dengan kasus yang disebutkan di atas. Kaum muslimin
hari ini tidak ada imam yang bisa mereka mintai ijin, tidak pula kekuatan
berupa pasukan yang bisa melindungi mereka, dan apa yang mereka bisa ambil
paling dengan cara pencurian atau pengelapan. Maka menurut pendapat yang
dipegangi oleh mazhab hanafi, harta yang bisa dikuasai oleh orang muslim di
darul harbi sepantasnya menjadi milik mereka seluruhnya.
Tapi bagai manapun juga, perlu digaris bawahi,
walau pun hari ini seorang muslim Diperbolehkan melakukan hal itu, ada beberapa
hal yang harus diperhatikan : mazhab hanafi berpendapat seorang muslim
“di-ijin-kan” untuk mengambil harta orang kafir di darul harbi, tapi mereka tidak menyatakan perbuatan itu
mendapatkan pahala. Mereka menyamakannya dengan berburu dan
mengumpulkan kayu bakar. Dengan kata lain ini sama saja dengan usaha mata
pencaharian mengunakan cara halal yang lainnya.
Walau begitu, sebagai seorang muslim, seharusnya
kita mencari harta yang diambil dari orang kafir sebagai bagian jihad
fisabilillah, mempergunakannya di jalan jihad, bukan untuk kesenangan syahwat
pribadi.
Kita tidak ingin fatwa ini disalahgunakan oleh
orang-orang yang tidak mempunyai perhatian apa pun terhadap jihad yang Cuma
tertarik untuk menumpuk kekayaan pribadi. Efek dari penyalah gunaan fatwa ini
bisa berakibat pada dicurigainya orang-orang muslim dan pemerintah-pemerintah
negara-negara target membatasi geraknya sehingga pada akhirnya menyusahkan
mereka yang benar-benar bergerak atas dasar fatwa tersebut.
Pendapat Tiga Mazhab yang lainnya.
Ibnu Hamam dalam kitabnya fathul qadir berkata: “mazhab syafi’i, maliki, dan
mayoritas ulama berpendapat apa yang diambil secara individual dengan cara
pencurian ini dinilai sebagai ghanimah.” Beliau
kemudian berkata: “tetapi kami dan Imam Ahmad–merujuk
kesatu atau dua riwayat yang disandarkan kepadanya—menolak menyebutnya sebagai
ghanimah. Karena ghanimah itu apa yang diambil secara paksa dengan kekuatan,
bukan dengan pencurian atau penggelapan, dan biasanya pencurian itu dilakukan
dengan tipudaya, maka dinilai sebagai mata pencaharian yang halal, tidak Beda
dengan mengumpulkan kayu bakar dan berburu.”
Imam al-sarkhasi meriwayatkan bahwa Imam Syafi’i berkata :
“ghanimah itu harta kekayaan yang orang muslim ambil dari orang kafir dengan
mempergunakan kekuatan atas meraka.”
Imam Syafi’i berkata lagi : “mempergunakan kekuatan atas mereka itu termasuk
menggunakan kekuatan secara langsung atau dengan tipudaya, karena Rasululloh shallallahu’alaihi
wasallam bersabda: (Perang Itu Tipu Daya).”
Jadi menurut Imam Syafi’i, harta
yang diambil dari orang kafir secara sembunyi-sembunyi mustinya dinilai sebagai
ghanimah, bahkan walaupun tanpa menggunakan kekuatan.
Dalam kitab Tuhfatal-Muhtaj Fi Syarhi Al-Minhaj Ibnu Hajar Al-Haytami mengatakan:“hasil
curian dari darul harbi adalah ghanimah.”
Dalam kitabal-minhaj, Imam Nawawi mengatakan :
“harta yang diambil dari darul harbi dengan kekuatan adalah ghanimah, begitu
juga apa yang diambil oleh perorangan atau sekelompok orang dengan cara
mencuri.”
Dalam Fatawa
Al-Subki–Mazhab Syafi’i—penulis
meriwayatkan pendapat dari dua imam mazhab syafi’i yang paling menonjol ; Imam Al-Ghazali Dan Imam Al-Rafi’i.
Al-Subki mengatakan : “Al-Ghazali mengatakan
: “jika seorang muslim mencuri harta dari
orang kafir, maka seluruhnya menjadi miliknya, tidak dipotong aturan seperlima
(tidak ada takhmis)”.
Sedangkan Al-Rafi’i
memegang pendapat yang menyatakan si pelaku memiliki 80% dari hasilnya,
sebagaimana harta ghanimah.
Dalam kitab Al-Furu, Ibnu
Muflih –Mazhab Hambali—berkata : “kalau
ada sekelompok atau perorangan bahkan seandainya dia seorang budak memasuki
darul harbi tanpa ijin imam, maka Harta yang mereka rampas adalah fai”.
Walaupun kebanyakan pendapat dimazhab hambali
menyatakan harta yang diambil itu berstatus ghanimah, penulis Al-Furu di atas menyebutkan pendapat lain yaitu fa’I, yang berarti seluruhnya harus
diserahkan kepada imam yang pembagiannya sesuai kebijakan sang imam.
Imam Ibnu Taimiyah menyatakan dalam Al-Fatawa : “jika
seorang muslim memasuki darul harbi, lalu menculik orang kafir atau anak mereka
atau menggunakan kekuatan atas mereka dengan cara apapun maka jiwa dan harta
orang kafir itu halal bagi orang muslim.”
PERSOALAN RIBA DI DARUL HARBI
Imam Al-Kasani dari mazhab
hanafi berkata : “kalau
seorang muslim atau seorang ahlu dzimmah memasuki darul harbi dengan perjanjian
(jaminan keamanan) lalu dia melakukan transaksi dengan seorang harbi secara
ribawi atau transaksi illegal lain menurut islam, hal itu diperbolehkan menurut
Imam Abu Hanifah dan Muhammad.”
Walau demikian kita harus perhatikan semua mazhab yang lain
telah sepakat bahwa mengambil
riba dari orang kafir harbi di darul harbi itu tidak diperbolehkan bagi seorang
muslim. Begitu pendapat Imam Abu Yusuf dari
mazhab hanafi : “apa-apa
yang dilarang bagi seorang muslim di darul islam, dilarang juga baginya di
darul harbi.”(7)
KESIMPULAN
Berdasarkan kutipan-kutipan dari para ulama terdahulu diatas, bisa
disimpulkan demikian :
- Semua ulama sepakat atas diperbolehkannya mengambil harta orang kafir di darul harbi, baik dengan cara penggunaan kekuatan atau dengan mencuri dan tipu daya.
- Para ulama berbeda pendapat dalam hal pembagian harta yang diambil dengan cara mencuri dan tipu daya.
Mayoritas berpendapat itu adalah ghanimah, maka
seperlimanya harus diserahkan kepada Amir untuk dipergunakan dalam jihad.
- Dan ada pendapat alternatif dari mazhab hanafi yang memandang itu sebagai sumber penghasilan biasa yang mubah, yang keseluruhan hasilnya menjadi hak milik si pelaku usaha.
- Tapi ada juga pendapat minoritas, bahwa itu adalah fa’I yang seluruh alokasi pengunaannya menurut kebijakan Imam.
IMPLIKASINYA BAGI KITA :
Setiap muslim yang tinggal di darul harbi harus
menghindari membayarkan apapun dari hartanya kepada orang kafir, baik berupa
pajak, biaya-biaya maupun denda.
Jika seorang muslim diperbolehkan menipu orang
kafir untuk mendapatkan harta mereka, maka dia juga diperbolehkan untuk menipu
mereka supaya tidak musti membayarkan harta mereka kepada orang kafir.
Walaupun diperbolehkan untuk mengambil harta
orang kafir di darul harbi, disarankan kepada kaum muslimin untuk menghindari
target warga negara dari negara-negara yang memiliki publik opini yang
mendukung urusan kaum muslimin.
Karena itu disarankan yang dijadikan target
adalah :
- Milik-milik pemerintah
- Bank-bank
- Perusahaan multi nasional
- Harta milik orang kafir yang diketahui kebencian dan permusuhannya terhadap islam dan kaum muslimin.
Dalam kasus Amerika Serikat, baik pemerintah
maupun warganya harus dijadikan target. Amerika dan orang Amerika adalah
pemimpin kekufuran hari ini. Orang amerika yang memberikan suaranya dalam
mendukung perang adalah orang yang memiliki itikad tidak baik, Siapapun yang
bisa memberikan mudarat kepada mereka dalam bentuk apapun telah berjasa bagi
ummat.
Perhatian harus ada kepada perhitungan risiko dan
keuntungan (maslahat) dalam setiap operasi. Karena begitu negatif implikasinya
bila operasi ini terbuka. Penting menghitung dengan cermat untung-ruginya!
(Risiko yang diambil harus sesuai dengan maslahat yang tergambar.)
Kepada orang-orang muslim yang bergabung dengan
kelompok jihad, disarankan keputusan untuk melibatkan orang-orang tertentu dalam
kegiatan mendapatkan harta dari orang kafir ini, diambil oleh Amir secara
musyawarah jamaah. Kami sampaikan ini, karena pertanggung jawaban nantinya
menjadi beban jamaah, maka keputusan pun harus dibuat oleh jamaah.
Direkomendasikan penggunaan hasilnya diserahkan
kepada Amir dan Syuro. Bila jamaah berpandangan bahwa hasil itu berstatus
ghanimah, maka jika yang akan diberikan kepada para pelaku usaha adalah kurang
dari 80% hendaknya dimusyawarahkan sebelumnya dengan mereka, sebab secara aturan Syar’i tentang
ghanimah, mereka wajib menerima 80% utuh.
Begitu juga bila jama’ah memegang pendapat mazhab
hanafi, maka disarankan kepada orang-orang muslim yang tidak bergabung dengan
kelompok jihad mana pun tapi memperoleh harta dari orang kafir secara ilegal, untuk mendonasikan semuanya kepada
kegiatan jihad, kecuali mereka butuh, maka tidak boleh melebihi 80%.
Urusan islam ini tidak bisa hanya bergantung
kepada para relawan, maka untuk menyokong saudara–saudara kita yang full-time
bekerja untuk urusan islam, pemasukan mereka bisa diambilkan dari harta yang
diperoleh dari orang kafir ini.
Hal ini harus dijadikan salah satu pos anggaran
alokasi dana. Terlebih bagi grup yang orientasinya full jihad, yang mana begitu
sedikit sumberdaya manusianya. Sehingga ketika mereka sudah dapat mencukupi
kebutuhannya mereka tidak perlu membagi waktunya untuk mencari penghidupan yang
bisa mengurangi waktu mereka untuk urusan jihad ini. Mereka harus mengikuti
sunnah Rasululloh shallallahu’alaihi
wasallam dan hidup dari ghanimah.
Hal ini penting, khususnya bagi ikhwah yang
berada diposisi leader pada suatu jamaah. Karena jihad diseluruh dunia sangat
membutuhkan dukungan dana.
Dihimbau kepada saudara-saudara kita yang berada
di negara-negara barat untuk menjadikan hal ini sebagai prioritas dalam
rancangan strategi mereka.
Dari pada kaum muslimin mendanai jihad ini dari
kocek mereka sendiri, justru seharusnya mereka mendanainya dari kocek
musuh-musuh mereka.
Di akhir bahasan, kami akan menjawab apa yang
dikatakan oleh sebagian muslim yang lemah, bahwa fatwa semacam ini hanya akan
makin memperburuk citra muslim di dunia barat dan bukan hal yang bagus untuk
strategi dakwah.
Sebagai jawaban atas klaim, bahwa fatwa itu akan
makin memperburuk citra muslim di dunia barat, maka kami katakan :
1.
Sejak kapan dunia barat mulai memliki pandangan citra yang bagus tentang islam?
Dunia
barat selalu memandang bahwa islam dan muslim itu buruk, kasar, keras kepala,
dan terbelakang.
Bacalah literatur-literatur barat!...
Lihatlah
gambaran tentang islam dan kaum muslimin yang mereka tampilkan dimedia-media
barat.
2. Satu-satunya cara agar mereka menilai Anda
baik, bagus..
Ya
dengan menjadi seperti mereka.
Alloh
berfirman : “dan sekali-kali tidak akan ridho orang yahudi dan nasrani kepada
kamu, sampai kamu ikuti millah mereka.”Qs.2:120.
3.
Alloh berfirman tentang wali-walinya : “mereka tidak takut kepada celaan orang-orang yang mencela.”Qs.5:54
Karena
itulah tidak seharusnya anda peduli kepada apa yang orang-orang kafir pikirkan
tentang anda, tapi yang musti anda pedulikan itu bagaimana posisi anda disisi
Alloh dan Rasul-Nya dan penilaian orang-orang beriman terhadap anda.
4.
Dunia barat sudah sejak lama menjarah harta kekayaan kita, semenjak
berabad-abad lalu.
Sekarang waktunya mengambil kembali,
insyaAlloh.
Untuk menjawab klaim yang kedua bahwa fatwa
tersebut bisa berakibat buruk bagi dakwah, maka kami katakan :
1. Pedang Adalah Dakwah Terbaik
Sedangkan fatwa tersebut mendukung “pedang” tadi,
maka pada akhirnya ini bagus untuk dakwah. Ketika Rasululloh shallallahu’alaihi
wasallam berdakwah di Mekah selama 13 tahun Cuma beberapa
ratus saja yang menjadi muslim, bandingkan dengan ketika beliau shallallahu’alaihi
wasallam sudah hijrah ke Madinah. Hanya dalam tempo 10
tahun, lebih dari seratus ribu orang memeluk islam.
Jadi, kenapa bisa dakwah Nabi shallallahu’alaihi
wasallam di Madinah lebih membuahkan hasil dibandingkan
dengan ketika di Mekah? Karena di Madinah Nabi shallallahu’alaihi
wasallam Berdakwah dengan kekuatan. Itulah dakwah yang
didukung dengan pedang.
2. Jihad Hari Ini Hukumnya Fardhu‘Ain,
Kewajibannya Mengenai Setiap Individu, Orang
Perorang.
Maka jihad harus didahulukan dari dakwah, karena
dakwah itu hukumnya sunnah mu’akaddah atau fardhu(wajib), hanya sifatnya fardhu
kifayah. Karena itu semua maka hal yang mendukung jihad harus didahulukan dari
semua yang berkaitan dengan dakwah.
Jihad adalah prioritas Ayyuhal Ikhwah… Jihad itu sangat membutuhkan dana. Dalam
Al-Qur’an, jihad fisik selalu dikaitkan pada jihad dengan harta di delapan
ayat. Semuanya diawali dengan menyebutkan biamwalikum (dengan harta kalian), baru setelahnya bianfusikum (dengan jiwa kalian). Kecuali satu ayat. Karena tidak ada dana maka
tidak ada jihad.
Musuh kita sudah menyadari hal ini. Makanya
mereka selalu melacak dan mengawasi aliran-aliran dana yang mencurigakan dan
berusaha untuk terus membekukan sumber-sumber dana yang disinyalir mendanai “terorisme”.
Jihad kita ini Ayyuhal Ikhwah…
tidak bisa terus-terusan tergantung kepada donasi kaum muslimin. Rasululloh shallallahu’alaihi
wasallam banyak mengirimkan grup sariyah untuk mencegat dan merampas kafilah-kafilah
dagang milik orang-orang kafir.
Memang, jihad tidak hanya didanai dari harta
rampasan, tapi kalau melihat sejarah kita dimasa awal-awal, perbendaharaan kaum
muslimin itu kebanyakan dihasilkan dari jihad.
Pajak yang disebut khoroj dikenakan atas tanah-tanah yang ditaklukan oleh kaum muslimin.
Tawanan perang yang akhirnya menjadi budak, bisa
diperjual-belikan, jizyah yang dibayar oleh ahlul kitab, semua sumber dana ini ada karena jihad.
Zakat dan sedekah itu hanya menyumbang porsi kecil dari keseluruhan pendapatan
negara islam.
Sudah waktunya kita mengambil langkah serius
untuk mengamankan pasokan dukungan finansial kita, dari pada selalu tergantung
kepada sumbangan dan sumbangan.
Semoga Alloh ta’ala mengampuni kita dan
memberikan kita tempat derajat mujahidin.
Footnotes :
[1]HR.Ahmad.
[2]dikutip
dari buku, ”Theexplanation of the ĥadīth,‘ I was sent before the hour with the
sword…” karya Ibn Rajab Al-Hanbali.
[3]HR.Bukhari.
[4]Al-Jurjani.
[5]Al-Sharĥal-Kabīr
karya Al-Maqdisi.
[6]Ketika
para ulama berbicara soal aturan seperlima (takhmis), berarti harta itu
diklasifikasikan sebagai ghanimah.
[7]Sebagian
muslim yang tinggal di negara-negara barat mengklaim bahwa karena kita
diperbolehkan mengambil bunga dari orang kafir maka kita juga boleh membiayai
pembelian rumah kita lewat aplikasi kredit.
Orang-orang
ini tertipu oleh syaitan dan arahan ulama yang salah, yang dimaksud oleh mazhab
hanafi hanyalah, orang muslim boleh untuk “mengambil”
bukan “membayar” bunga.
Alasan Mazhab Hanafi adalah karena pada dasarnya jiwa dan harta orang
kafir itu halal bagi orang muslim.
Jadi bagaimana bisa fatwa itu dipakai untuk
mengklaim bahwa kita boleh membayar kan harta kita ke mereka?!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar