Tugas
Muslimah
Dalam
Berperang
Melawan
Musuh
Wanita adalah pendamping laki-laki.
Berapa banyak wanita, yang rasa letih, kesibukannya mendidik anak-anaknya, dan
ketaatannya kepada suaminya tidak menjadikannya duduk berdiam diri untuk meraih
kebaikan seperti apa yang didapat para lelaki. Bahkan ada yang ikut andil dalam
hal yang menjadi keistimewaan lelaki mengingat sulitnya hal itu bagi jiwa karena
membutuhkan kekuatan serta tekad yang kuat, yaitu seperti masalah jihad di
jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Pada hari ini, ketika Daulah Islamiyah sedang
diperangi dan tertimpa dengan segala cobaan dan kesulitan, maka menjadi
keharusan bagi para muslimah untuk berdiri tegak mendukung mujahidin di setiap
sisi pertempuran ini. Para muslimah harus mempersiapkan diri mereka untuk
berjihad di jalan Allah dan bergegas membela agama, dengan jiwa sebagai
tebusannya, dan juga memotivasi suami dan anak-anak mereka sebagaimana yang
dilakukan para mujahidah generasi pertama.
Wahai saudariku, untuk semakin memperjelas peran
penting anda dalam konflik yang berkecamuk saat ini antara agama-agama kafir
dengan Islam, kita akan mengingatkan anda bagaimana seorang mujahidah itu pada
masa keemasan Islam. Beberapa contoh yang akan kita sebutkan ini menjadi salah
satu aspek yang menerangi kehidupan wanita muslimah, sebagai ibu, saudari, dan
istri para pejuang. Tidaklah mustahil wanita muslimah saat ini memiliki
pengorbanan, kejujuran dan kecintaan terhadap agama sebagaimana yang dimiliki
para mujahidah terdahulu yang telah berjuang membela Islam.
Saudariku yang mulia, semoga gambaran yang kita
sampaikan berikut bisa pendorong bagimu untuk meneladaninya, sehingga anda bisa
menggapai kebaikan dalam agamamu sebagaimana mereka pada saat ini. Saudariku,
merekalah yang sejatinya paling pantas untuk diteladani, bukan yang lain. Jika
anda ingin mengetahui siapakah dirimu sebenarnya maka lihatlah siapa yang anda
teladani. Jika anda ingin mengetahui kondisi suatu ummat maka perhatikanlah
siapa yang menjadi panutan kaum wanitanya. Jika teladan mereka adalah para
mujahidah yang jujur, senantiasa taat, ahli ibadah dan penyabar maka mereka
adalah kaum yang akan menang. Namun jika wanita-wanita kafir lagi pendusta,
yang sesat dan menyesatkan lagi perusak provokatif yang menjadi panutanya maka
umat tersebut sungguh telah mengalami kerugian yang amat besar.
SEMANGAT JIHAD PARA SAHABIYAT
Sejak kurun pertama Islam, wanita sudah ikut ambil
bagian dalam peperangan. Bukan berarti jumlah pria itu sedikit, tetapi karena
kecintaan mereka terhadap pahala berkorban di jalan Allah subhanahu wa ta’ala,
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Hasyraj bin Ziyad al-Asyja’iy
dari neneknya, ibu dari bapaknya, yang berkata, “Aku ikut bersama Rasulullah
gdalam perang Khaibar. Aku wanita keenam dari enam wanita yang ikut serta. Lalu
Rasulullah mengetahui jika ada beberapa wanita yang ikut bersamanya. Beliau
kemudian mengutus seseorang untuk menanyakan, ‘Apa alasan kalian ikut serta,
dan atas perintah siapa kalian keluar?’ Kami menjawab, ‘Kami ikut serta agar
bisa membantu menyiapkan anak panah, menyediakan makanan, memintal serat, dan
kami membawa obat-obatan untuk yang terluka’. Maka Rasulullah bersabda, ‘Berdirilah
kalian dan silahkan pergi.’ Ketika Allah menaklukkan Khaibar untuknya,
beliau memberikan kami bagian ghanimah seperti bagian para lelaki. Aku (Hasyraj
bin Ziyaj penj.) bertanya, “Apa yang beliau berikan pada kalian Nek?” Jawabnya,
“Kurma.”
Kecintaan mereka terhadap jihad dan pengorbanan untuk
agama, mendorong mereka terang-terangan meminta kepada Rasulullah gagar
diperbolehkan ikut berjihad. Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Sunan Nasai
dengan lafadz menurut Nasai, dari Aisyah radhiallahu’anh berkata, “ Aku
berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan kami keluar berjihad bersamamu. Aku tidak
mendapati dalam Al-Quran amalan yang lebih utama dari jihad.’ Beliau menjawab,
‘Tidak, karena sebaik-baik dan seelok-eloknya jihad bagi wanita adalah ibadah
haji yang mabrur.” Pada riwayat Ahmad dan Bukhari beliau bersabda, “Tidak,
jihad kalian adalah haji mabrur, itulah jihad bagi kalian.”
NUSAIBAH AL-ANSHARIYAH
Wahai saudariku yang mulia, teladan pertama yang akan
kita sampaikan yang hendaknya menjadi panutanmu. Sekiranya para muslimah
mencontohnya maka, Insya Allah, hak-hak kita tak akan sia-sia dan harga diri
kita tak akan diperkosa. Dialah mujahidah pemberani yang keluar berperang pada
masa jihad defensif, dialah Ummu ‘Imarah Nusaibah binti Ka’ab Al-Anshariyah.
Adz-Dzahabi dalam Sair A’lamin Nubala menyebutkan,
“Ummu ‘Imarah ikut serta pada Baiat Aqabah, Perang Uhud, Perjanjian Hudaibiyah,
Perang Hunain dan Perang Yamamah, dan berbagai aksi jihad lain. Tangannya
terpotong ketika berjihad. Al-Waqidi berkata, ‘Dia ikut serta dalam Perang Uhud
bersama suaminya Gaziyah bin Amr dan dua putranya. Ia hilir mudik membawa
gerabah untuk memberi minum. Ia ikut bertempur dan mendapat luka di dua belas
tempat.”
Dhamrah bin Said al Mazini menceritakan dari neneknya
yang ikut serta dalam perang Uhud. Neneknya bercerita, “Aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya kedudukan
Nusaibah binti Ka’ab hari ini lebih baik daripada kedudukan si fulan dan si
fulan.’ Ketika itu ia mengikat bajunya dan bertempur dengan sekuat tenaga
hingga mendapat luka di tiga belas tempat. Ibnu Qamiah menebas bahunya
mengakibatkan luka paling parah yang dideritanya hingga baru sembuh setelah
satu tahun. Ketika penyeru Rasulullah gmenyeru untuk bergerak ke Hamraul Asad,
ia segera membebat kuat lukanya itu namun tetap tidak mampu berangkat karena
darah terus mengalir. Semoga ridha Allah dan rahmat-Nya senantiasa tercurah
kepadanya.
Serahkan Perisaimu Pada Yang
Bertempur
Imam Adz-Dzahabi berkata, “Ummu ‘Imarah bercerita,
‘Aku melihat orang-orang kalang kabut di sekitar Rasulullah shallallahu ‘alihi
wasallam. Tidak tersisa kecuali kurang dari sepuluh orang saja. Aku, kedua
anakku, dan suamiku melindungi beliau, sementara orang-orang berlarian kalang
kabut melewatinya karena terdesak. Beliau melihatku tanpa perisai. Ketika
beliau melihat seorang lelaki yang melarikan diri dan membawa perisai, beliau
bersabda, ‘Serahkan perisaimu kepada yang bertempur.’ Dia
melemparkannya dan akupun mengambilnya untuk melindungi Rasulullah shallallahu
‘alihi wasallam. Pasukan berkuda membuat kami kerepotan kalang kabut. Andai
mereka berjalan seperti kami, insya Allah kami bisa membendung mereka. Seorang
penunggang kuda datang menebasku dan aku menangkisnya dengan perisai. Ia tidak
dapat berbuat apa-apa dan berbalik. Aku segera menebas tumit kudanya hingga ia
terjatuh. Nabi pun berteriak, ‘Ibumu, ibumu, wahai putra Ummu ‘Imarah.’ Lantas
putraku membantuku mengantarkannya menjemput kematian.”
Imam ibn Katsir berkata, “Ibnu Hisyam menceritakan,
‘Ummu ‘Imarah Nusaibah binti Ka’ab Al-Maziniyah ikut bertempur pada perang
Uhud. Said bin Abi Zaid Al-Anshari menyebutkan bahwa Ummu Sa’ad binti Sa’ad bin
Ar-Rabi’ berkata, ‘Aku bertemu Ummu ‘Imarah, lalu bertanya, ‘Wahai bibi,
ceritakan kisahmu.’ Ia bercerita, ‘Mulanya aku hilir mudik membawa wadah berisi
air minum sambil memperhatikan apa yang dilakukan oleh orang-orang. Aku melihat
Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam dijaga oleh para sahabatnya ketika kaum
muslimin masih unggul. Namun kondisi berbalik. Kaum muslimin tiba-tiba kalang
kabut. Aku segera mendekati Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam. Aku
bertempur menyabetkan pedang dan melemparkan anak panah untuk melindungi beliau
hingga terluka di sana-sini.’ Ummu Sa’ad berkata, ‘Aku melihat bekas luka lebar
menganga di bahunya. Aku bertanya, ‘Siapa yang menorehkan lukamu itu?’
Jawabnya, ‘Ibnu Qamiah, semoga Allah menghinakannya. Ketika orang-orang kocar
kacir dari Rasulullah, dia datang dan sesumbar, ‘Tunjukkan kepadaku mana
Muhammad, aku tidak akan selamat jika ia masih selamat.’ Aku, Mus’ab bin Umair,
dan orang-orang yang ada bersama Rasulullah menghadangnya, kemudia dia
menebasku hingga menyebabkan luka ini.” (Al-Bidayah wan Nihayah).
Siapa Yang Bisa Berbuat Seperti
Aksimu Ummu ‘Imarah?
Imam Adz-Dzahabi berkata, “Dari Abdullah bin Zaid,
putra Ummu ‘Imarah, berkata, ‘Pada saat itu aku terluka dan darah tidak
berhenti mengalir, maka Rasulullah bersabda, ‘Balutlah lukamu.’ Ibuku
datang dengan membawa pembalut di pinggangnya. Lalu diikatnya lukaku sementara
Nabi shallallahu ‘alihi wasallam berdiri menyaksikan kemudian bersabda, ‘Bangkitlah
anakku dan bertempurlah.’ Beliau juga bersabda, ‘Wahai Ummu ‘Imarah,
siapa yang bisa berbuat seperti perbuatanmu ini?’ Ummu ‘Imarah berkata,
‘Lalu orang yang menikam anakku datang mendekat, dan Rasulullah bersabda, ‘Inilah
orang yang menikam anakmu.’ Aku lalu menghampirinya dan menebas betisnya
hingga ia tersungkur. Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam tersenyum
hingga terlihat gerahamnya, dan bersabda, ‘Kamu berhasil membalasnya wahai
Ummu ‘Imarah.’ Lalu kami segera menghabisinya. Beliau bersabda, ‘Segala
puji bagi Allah yang telah memenangkanmu.”
Adz-Dzahabi melanjutkan, “Juga dari Abdullah bin Zaid
bin Ashim, dia bercerita, ‘Aku ikut dalam Perang Uhud. Ketika orang-orang
kalang kabut dari Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam, aku dan ibuku
mendekat untuk melindunginya. Beliau bertanya, ‘Kamu putra Ummu ‘Imarah?’ Aku
menjawab, ‘Betul.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Lemparlah.’ Maka aku
menimpuk seorang penunggang kuda yang mendekat dengan batu. Lemparanku mengenai
mata kudanya. Kudanya terjungkal mengenainya dan temannya. Aku lalu
menimpukinya dengan batu, dan Nabi shallallahu ‘alihi wasallam tersenyum.
Ketika melihat luka di bahu ibuku, beliau bersabda, ‘Ibumu, ibumu, balutlah
lukanya, ya Allah jadikanlah mereka temanku di surga.’ Aku berkata,
‘Mendengarnya, aku tak peduli lagi dengan apa yang menimpaku di dunia ini.”
Imam Adz Dzahabi berkata, “Dari Muhammad bin Yahya bin
Hibban, dia bercerita, ‘Pada Perang Uhud, Ummu ‘Imarah mendapat luka di dua
belas tempat. Pada Perang Yamamah tangannya terpotong. Pada perang itu juga,
selain tangannya yang terpotong, ia juga mendapat luka di sebelas tempat. Ia
tiba di Madinah dalam keadaan penuh luka. Khalifah Abu Bakar radhiallahu’anh
diketahui terlihat mengunjungi dan menanyakan keadaannya. Salah satu putranya,
Hubaib bin Zaid bin Ashim, ia yang tewas dicincang Musailamah. Adapun putranya
yang lain, Abdullah bin Zaid Al-Mazini, yang menceritakan tentang wudhu
Rasulallah shallallahu ‘alihi wasallam, terbunuh pada Tragedi Hurrah. Ia juga
yang membunuh Musailamah Al-Kadzab dengan pedangnya.” (Sairu A’lam an-Nubala)
Inilah kisah Ummu ‘Imarah, mujahidah pemberani nan
penyabar. Sungguh betul, siapa yang bisa berbuat sepertinya? Wahai saudariku
yang mulia, jika saja anda menjadikannya sebagai teladanmu dalam keberanian,
pengorbanan, kegigihan, keteguhan dan kesabaran niscaya dengan izin Allah anda
akan menang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar