7/09/2019

TUGAS MUSLIMAH


Tugas Muslimah
Dalam Berperang
Melawan Musuh

Wanita adalah pendamping laki-laki. Berapa banyak wanita, yang rasa letih, kesibukannya mendidik anak-anaknya, dan ketaatannya kepada suaminya tidak menjadikannya duduk berdiam diri untuk meraih kebaikan seperti apa yang didapat para lelaki. Bahkan ada yang ikut andil dalam hal yang menjadi keistimewaan lelaki mengingat sulitnya hal itu bagi jiwa karena membutuhkan kekuatan serta tekad yang kuat, yaitu seperti masalah jihad di jalan Allah subhanahu wa ta’ala. Pada hari ini, ketika Daulah Islamiyah sedang diperangi dan tertimpa dengan segala cobaan dan kesulitan, maka menjadi keharusan bagi para muslimah untuk berdiri tegak mendukung mujahidin di setiap sisi pertempuran ini. Para muslimah harus mempersiapkan diri mereka untuk berjihad di jalan Allah dan bergegas membela agama, dengan jiwa sebagai tebusannya, dan juga memotivasi suami dan anak-anak mereka sebagaimana yang dilakukan para mujahidah generasi pertama.
Wahai saudariku, untuk semakin memperjelas peran penting anda dalam konflik yang berkecamuk saat ini antara agama-agama kafir dengan Islam, kita akan mengingatkan anda bagaimana seorang mujahidah itu pada masa keemasan Islam. Beberapa contoh yang akan kita sebutkan ini menjadi salah satu aspek yang menerangi kehidupan wanita muslimah, sebagai ibu, saudari, dan istri para pejuang. Tidaklah mustahil wanita muslimah saat ini memiliki pengorbanan, kejujuran dan kecintaan terhadap agama sebagaimana yang dimiliki para mujahidah terdahulu yang telah berjuang membela Islam.
Saudariku yang mulia, semoga gambaran yang kita sampaikan berikut bisa pendorong bagimu untuk meneladaninya, sehingga anda bisa menggapai kebaikan dalam agamamu sebagaimana mereka pada saat ini. Saudariku, merekalah yang sejatinya paling pantas untuk diteladani, bukan yang lain. Jika anda ingin mengetahui siapakah dirimu sebenarnya maka lihatlah siapa yang anda teladani. Jika anda ingin mengetahui kondisi suatu ummat maka perhatikanlah siapa yang menjadi panutan kaum wanitanya. Jika teladan mereka adalah para mujahidah yang jujur, senantiasa taat, ahli ibadah dan penyabar maka mereka adalah kaum yang akan menang. Namun jika wanita-wanita kafir lagi pendusta, yang sesat dan menyesatkan lagi perusak provokatif yang menjadi panutanya maka umat tersebut sungguh telah mengalami kerugian yang amat besar.

SEMANGAT JIHAD PARA SAHABIYAT
Sejak kurun pertama Islam, wanita sudah ikut ambil bagian dalam peperangan. Bukan berarti jumlah pria itu sedikit, tetapi karena kecintaan mereka terhadap pahala berkorban di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Hasyraj bin Ziyad al-Asyja’iy dari neneknya, ibu dari bapaknya, yang berkata, “Aku ikut bersama Rasulullah gdalam perang Khaibar. Aku wanita keenam dari enam wanita yang ikut serta. Lalu Rasulullah mengetahui jika ada beberapa wanita yang ikut bersamanya. Beliau kemudian mengutus seseorang untuk menanyakan, ‘Apa alasan kalian ikut serta, dan atas perintah siapa kalian keluar?’ Kami menjawab, ‘Kami ikut serta agar bisa membantu menyiapkan anak panah, menyediakan makanan, memintal serat, dan kami membawa obat-obatan untuk yang terluka’. Maka Rasulullah bersabda, ‘Berdirilah kalian dan silahkan pergi.’ Ketika Allah menaklukkan Khaibar untuknya, beliau memberikan kami bagian ghanimah seperti bagian para lelaki. Aku (Hasyraj bin Ziyaj penj.) bertanya, “Apa yang beliau berikan pada kalian Nek?” Jawabnya, “Kurma.”
Kecintaan mereka terhadap jihad dan pengorbanan untuk agama, mendorong mereka terang-terangan meminta kepada Rasulullah gagar diperbolehkan ikut berjihad. Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Sunan Nasai dengan lafadz menurut Nasai, dari Aisyah radhiallahu’anh berkata, “ Aku berkata, ‘Wahai Rasulullah, izinkan kami keluar berjihad bersamamu. Aku tidak mendapati dalam Al-Quran amalan yang lebih utama dari jihad.’ Beliau menjawab, ‘Tidak, karena sebaik-baik dan seelok-eloknya jihad bagi wanita adalah ibadah haji yang mabrur.” Pada riwayat Ahmad dan Bukhari beliau bersabda, “Tidak, jihad kalian adalah haji mabrur, itulah jihad bagi kalian.”

NUSAIBAH AL-ANSHARIYAH
Wahai saudariku yang mulia, teladan pertama yang akan kita sampaikan yang hendaknya menjadi panutanmu. Sekiranya para muslimah mencontohnya maka, Insya Allah, hak-hak kita tak akan sia-sia dan harga diri kita tak akan diperkosa. Dialah mujahidah pemberani yang keluar berperang pada masa jihad defensif, dialah Ummu ‘Imarah Nusaibah binti Ka’ab Al-Anshariyah.
Adz-Dzahabi dalam Sair A’lamin Nubala menyebutkan, “Ummu ‘Imarah ikut serta pada Baiat Aqabah, Perang Uhud, Perjanjian Hudaibiyah, Perang Hunain dan Perang Yamamah, dan berbagai aksi jihad lain. Tangannya terpotong ketika berjihad. Al-Waqidi berkata, ‘Dia ikut serta dalam Perang Uhud bersama suaminya Gaziyah bin Amr dan dua putranya. Ia hilir mudik membawa gerabah untuk memberi minum. Ia ikut bertempur dan mendapat luka di dua belas tempat.”
Dhamrah bin Said al Mazini menceritakan dari neneknya yang ikut serta dalam perang Uhud. Neneknya bercerita, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya kedudukan Nusaibah binti Ka’ab hari ini lebih baik daripada kedudukan si fulan dan si fulan.’ Ketika itu ia mengikat bajunya dan bertempur dengan sekuat tenaga hingga mendapat luka di tiga belas tempat. Ibnu Qamiah menebas bahunya mengakibatkan luka paling parah yang dideritanya hingga baru sembuh setelah satu tahun. Ketika penyeru Rasulullah gmenyeru untuk bergerak ke Hamraul Asad, ia segera membebat kuat lukanya itu namun tetap tidak mampu berangkat karena darah terus mengalir. Semoga ridha Allah dan rahmat-Nya senantiasa tercurah kepadanya.

Serahkan Perisaimu Pada Yang Bertempur
Imam Adz-Dzahabi berkata, “Ummu ‘Imarah bercerita, ‘Aku melihat orang-orang kalang kabut di sekitar Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam. Tidak tersisa kecuali kurang dari sepuluh orang saja. Aku, kedua anakku, dan suamiku melindungi beliau, sementara orang-orang berlarian kalang kabut melewatinya karena terdesak. Beliau melihatku tanpa perisai. Ketika beliau melihat seorang lelaki yang melarikan diri dan membawa perisai, beliau bersabda, Serahkan perisaimu kepada yang bertempur.’ Dia melemparkannya dan akupun mengambilnya untuk melindungi Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam. Pasukan berkuda membuat kami kerepotan kalang kabut. Andai mereka berjalan seperti kami, insya Allah kami bisa membendung mereka. Seorang penunggang kuda datang menebasku dan aku menangkisnya dengan perisai. Ia tidak dapat berbuat apa-apa dan berbalik. Aku segera menebas tumit kudanya hingga ia terjatuh. Nabi pun berteriak, ‘Ibumu, ibumu, wahai putra Ummu ‘Imarah.’ Lantas putraku membantuku mengantarkannya menjemput kematian.”
Imam ibn Katsir berkata, “Ibnu Hisyam menceritakan, ‘Ummu ‘Imarah Nusaibah binti Ka’ab Al-Maziniyah ikut bertempur pada perang Uhud. Said bin Abi Zaid Al-Anshari menyebutkan bahwa Ummu Sa’ad binti Sa’ad bin Ar-Rabi’ berkata, ‘Aku bertemu Ummu ‘Imarah, lalu bertanya, ‘Wahai bibi, ceritakan kisahmu.’ Ia bercerita, ‘Mulanya aku hilir mudik membawa wadah berisi air minum sambil memperhatikan apa yang dilakukan oleh orang-orang. Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam dijaga oleh para sahabatnya ketika kaum muslimin masih unggul. Namun kondisi berbalik. Kaum muslimin tiba-tiba kalang kabut. Aku segera mendekati Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam. Aku bertempur menyabetkan pedang dan melemparkan anak panah untuk melindungi beliau hingga terluka di sana-sini.’ Ummu Sa’ad berkata, ‘Aku melihat bekas luka lebar menganga di bahunya. Aku bertanya, ‘Siapa yang menorehkan lukamu itu?’ Jawabnya, ‘Ibnu Qamiah, semoga Allah menghinakannya. Ketika orang-orang kocar kacir dari Rasulullah, dia datang dan sesumbar, ‘Tunjukkan kepadaku mana Muhammad, aku tidak akan selamat jika ia masih selamat.’ Aku, Mus’ab bin Umair, dan orang-orang yang ada bersama Rasulullah menghadangnya, kemudia dia menebasku hingga menyebabkan luka ini.” (Al-Bidayah wan Nihayah).


Siapa Yang Bisa Berbuat Seperti Aksimu Ummu ‘Imarah?
Imam Adz-Dzahabi berkata, “Dari Abdullah bin Zaid, putra Ummu ‘Imarah, berkata, ‘Pada saat itu aku terluka dan darah tidak berhenti mengalir, maka Rasulullah bersabda, ‘Balutlah lukamu.’ Ibuku datang dengan membawa pembalut di pinggangnya. Lalu diikatnya lukaku sementara Nabi shallallahu ‘alihi wasallam berdiri menyaksikan kemudian bersabda, ‘Bangkitlah anakku dan bertempurlah.’ Beliau juga bersabda, ‘Wahai Ummu ‘Imarah, siapa yang bisa berbuat seperti perbuatanmu ini?’ Ummu ‘Imarah berkata, ‘Lalu orang yang menikam anakku datang mendekat, dan Rasulullah bersabda, ‘Inilah orang yang menikam anakmu.’ Aku lalu menghampirinya dan menebas betisnya hingga ia tersungkur. Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam tersenyum hingga terlihat gerahamnya, dan bersabda, ‘Kamu berhasil membalasnya wahai Ummu ‘Imarah.’ Lalu kami segera menghabisinya. Beliau bersabda, ‘Segala puji bagi Allah yang telah memenangkanmu.”
Adz-Dzahabi melanjutkan, “Juga dari Abdullah bin Zaid bin Ashim, dia bercerita, ‘Aku ikut dalam Perang Uhud. Ketika orang-orang kalang kabut dari Rasulullah shallallahu ‘alihi wasallam, aku dan ibuku mendekat untuk melindunginya. Beliau bertanya, ‘Kamu putra Ummu ‘Imarah?’ Aku menjawab, ‘Betul.’ Kemudian beliau bersabda, ‘Lemparlah.’ Maka aku menimpuk seorang penunggang kuda yang mendekat dengan batu. Lemparanku mengenai mata kudanya. Kudanya terjungkal mengenainya dan temannya. Aku lalu menimpukinya dengan batu, dan Nabi shallallahu ‘alihi wasallam tersenyum. Ketika melihat luka di bahu ibuku, beliau bersabda, ‘Ibumu, ibumu, balutlah lukanya, ya Allah jadikanlah mereka temanku di surga.’ Aku berkata, ‘Mendengarnya, aku tak peduli lagi dengan apa yang menimpaku di dunia ini.”
Imam Adz Dzahabi berkata, “Dari Muhammad bin Yahya bin Hibban, dia bercerita, ‘Pada Perang Uhud, Ummu ‘Imarah mendapat luka di dua belas tempat. Pada Perang Yamamah tangannya terpotong. Pada perang itu juga, selain tangannya yang terpotong, ia juga mendapat luka di sebelas tempat. Ia tiba di Madinah dalam keadaan penuh luka. Khalifah Abu Bakar radhiallahu’anh diketahui terlihat mengunjungi dan menanyakan keadaannya. Salah satu putranya, Hubaib bin Zaid bin Ashim, ia yang tewas dicincang Musailamah. Adapun putranya yang lain, Abdullah bin Zaid Al-Mazini, yang menceritakan tentang wudhu Rasulallah shallallahu ‘alihi wasallam, terbunuh pada Tragedi Hurrah. Ia juga yang membunuh Musailamah Al-Kadzab dengan pedangnya.” (Sairu A’lam an-Nubala)
Inilah kisah Ummu ‘Imarah, mujahidah pemberani nan penyabar. Sungguh betul, siapa yang bisa berbuat sepertinya? Wahai saudariku yang mulia, jika saja anda menjadikannya sebagai teladanmu dalam keberanian, pengorbanan, kegigihan, keteguhan dan kesabaran niscaya dengan izin Allah anda akan menang.

Source: AL FATIHIN 03

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...