Perjalanan Menuju Allah
Telah tiba waktu
untuk membedakan dan memisahkan antara orang yang jujur dan pendusta, antara
orang yang salih dan fasik, antara mukmin dan munafik dan antara orang-orang
yang teguh dan orang-orang yang putus asa.
Telah tiba
waktu untuk memisahkan antara orang-orang yang kecintaannya terhadap Jannah
merasuk ke relung hati dan antara orang-orang yang kecintaannya terhadap Jannah
hanya sebatas di bibir saja. Aku memohon kepada Allah supaya menjadikan kita
termasuk dari mereka yang tetap teguh hingga akhir untuk menyaksikan kemenangan
atau Dia menganugerahkan kita mati syahid yang diterima.
Aku mengajak
saudari-saudariku di Daulah Islam yang dengan anugerah Allah tetap teguh,
bersabar, dan tegar untuk membuka pendengarannya untukku, sesungguhnya aku yakin
bahwa sejatinya kita sangat membutuhkan peringatan dan perbaikan. Aku meminta
kepada Allah agar menurunkan rahmat-Nya atas kalian semuanya, dan aku berharap
agar kalimat ini dapat memberi manfaat dan menjadi titik balik kita menuju
sesuatu yang lebih baik.
Wahai saudari-saudariku tercinta yang menemaniku berjalan
menuju Allah, biarkan kami menyucikan niat, dan memperbaiki amalan kami
seakan-akan engkau menunggu di hadapan kami waktu-waktu penuh ujian dan cobaan
berat, pun waktu-waktu yang penuh dengan pertempuran dahsyat antara iman dan
kufur yang insyaa Allah akan datang setelahnya kemudahan seperti yang telah Dia
janjikan kepada kita di dalam firman-Nya: “Karena
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah
kesulitan itu ada kemudahan.” (Asy-Syarh: 5-6) dan dalam firman-Nya: “Dan
sesungguhnya tentara Kami itulah yang pasti menang.” (Ash-Shaffat:
173)
Pertanyaannya adalah apakah kita siap untuk hal itu? Apakah
jiwa kita siap untuk berkorban di jalan Allah? Dan apakah hati kita telah
kosong dari segala sesuatu selain iman? Apakah kita mampu untuk terus berada di
jalan ini? Apakah kita mampu untuk tetap tinggal dengan teguh dan kuat serta
berkata apa yang telah dikatakan oleh para Sahabat –semoga Allah meridhai
mereka- setelah Perang Uhud: “Sesungguhnya
manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah
kepada mereka”, maka perkataan itu menambah keimanan mereka dan mereka
menjawab: “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik
Pelindung.” (Ali
Imran: 173)
Mereka berkata demikian karena sesungguhnya mereka telah
beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, dan mereka memiliki keyakinan dan
kepercayaan kepada Allah dan pertolongan-Nya, serta karena mereka sungguh telah
menyerahkan perkaranya kepada Allah dan mengikhlaskan untuk Allah dan
Rasul-Nya. Maka apakah tersisa satu saja yang belum mereka korbankan demi
mencari ridha Allah? Dan di sana tidaklah ada jalan apapun yang penuh dengan
duri yang memungkinkan mereka tempuh di jalan Allah kecuali pasti mereka tempuh
dengan sukarela. Dan ketika di sana tidak ada lagi jalan untuk menampakkan
loyalitas kepada Allah dan Rasul-Nya lebih baik daripada memenggal kepala
kerabat-kerabat mereka yang musyrik mereka lakukan itu. Maka sungguh ucapan
mereka tentang kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi segala sesuatu
selain keduanya adalah ucapan yang telah dibuktikan dengan iman dan takwa,
pengorbanan dan perhatian mereka, sebagiamana telah tergambar jelas dalam
kesedihan-kesedihan mereka. Sungguh kerinduan mereka kepada Allah menjelaskan
bahwasannya mereka tidaklah mengharapkan kecuali hanya akhirat saja.
Maka Allah pun ridha kepada mereka semuanya dan semoga
Allah menjadikan untuk kita kekuatan, iman dan takwa seperti apa yang telah Dia
anugerahkan kepada mereka, maka kita dapat merengkuh pahala seperti apa yang
telah mereka dapatkan.
Wahai para saudariku tercinta, sesungguhnya peran dan
tanggungjawab kita belumlah selesai, bahkan semakin bertambah baik dari segi
jumlah maupun urgensi, maka dari itu wajib atas kita untuk memperbaiki diri dan
segera sadar dari kelesuan lalai menuju realita tujuan kita. Sungguh telah tiba
saatnya untuk kita fokus pada kewajiban dan peran kita dan memprioritaskan
untuk akhirat bukan untuk dunia. Maka sesungguhnya wajib atas kita –wanita
muslimah- menunaikan kewajiban kita dengan penuh kesadaran dan perhatian,
karena sesungguhnya bersamba-lewa dalam hal ini tidak dapat mengantarkan
kecuali kepada kebinasaan kita. Dan sesungguhnya tugas kita itu lebih besar
dari apa yang kita bayangkan, maka sungguh Allah telah memuliakan kita ketika
memilih kita menjadi istri, saudari, dan ibu para Mujahidin.
Maka apakah pantas bagi kita untuk sibuk dengan kehidupan
materi yang hina sebagaimana terjadi pada kebanyakan kita? Waktu untuk
mempersiapkan diri kita sangatlah terbatas, maka hendaklah kita buang debu
kemalasan dan pecahkan belenggu dunia. Bukankah sejak lama kita telah
meninggalkan kebaikan yang diberikan dunia kepada kita? Bukankah kita telah
tinggalkan manusia tercinta ketika kita telah mengambil langkah pertama dalam
hijrah?
Maka kenapa setelah kita menyucikan hati dari dunia, lalu
sebagian dari kita malh terperangkap dalam jaring-jaring setan hingga hati kita
menjadi terjangkiti dan bergantung kepada dunia dari awal dengan menjadikan
makanan, minuman, menggunjing, omong kosong, dan tujuan materi adalah keinginan
terbesar kita? Sering kita dibuat sedih ketika melihat ada akhwat yang memilih
berlari mengejar dunia, ketimbang memprioritaskan diri mendukung suaminya yang
mujahid dan mendidik anak-anaknya agar mereka dapat mengikuti sosok seperti
Khalid bin Al-Walid dan Abdullah bin Az-Zubair.
Allah berfirman, “Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar.” (Ali
‘Imran: 110)
Akan tetapi, betapa banyak dari wanita itu kembali ke darul
harbi setelah menolak menikah lagi dikarenakan Allah, demi kecintaan besar
kepada suaminya yang telah syahid –insyaa Allah. Padahal di Hari Kiamat kelak
setiap orang akan memanggil “diriku, diriku”, sehingga seorang istri tidak akan
menghiraukan suaminya ketika itu, tidak pula suami menghiraukan istrinya.
Kenapa kita membiarkan hawa nafsu menguasai perilaku kita? Tidakkah kita merenungkan
sebuah ayat di mana Allah berfirman, “Maka
pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.” (Al-Jatsiyah: 23)
Betapa banyak dari kita yang tidak memiliki mahram, lalu
tidak taat kepada orang yang dibebani tanggung jawab mengurusi mereka, padahal
Allah telah memerintahkan kita dengan itu, Dia berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, ta’atilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu.” (An-Nisaa`: 59)
Dan betapa banyak di antara kita mencemari hidup suaminya
yang ingin menerapkan sunnah poligami yang di dalamnya terdapat banyak manfaat
untuk umat dan ingin melakukannya, padalah Allah telah berfirman, “Hai
orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan
janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh
yang nyata bagimu.” (Al-Baqarah:
208)
Betapa
banyak dari kita yang membantu setan dalam merusak pernikahan antara suaminya
dengan isterinya yang lain, disebabkan rasa cemburunya yang berlebihan? Apakah
kita lupa bahwasannya Allah berfirman, “Barangsiapa
yang memberikan syafaat yang baik , niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala)
dari padanya. Dan barangsiapa memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan
memikul bagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (An-Nisaa`:
85)
Ada
pula dari kita yang semangat satu-satunya hanyalah sering keluar rumah tanpa
ada keperluan kecuali hanya mengejar dunia. Padahal Allah telah memerintahkan
kita untuk tetap tinggal di rumah kita, “Dan
hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (Al-Ahzab:
33)
Wahai
saudari-saudariku tercinta, sesungguhnya Allah itu Mahakaya, dan sesungguhnya
Dia tidaklah membutuhkan kita sebagaimana Dia tidaklah membutuhkan amalan kita,
milik- Nyalah pembendaharaan langit dan bumi. Dia berfirman, “Dan
Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak
(kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan
kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.”
(Muhammad: 38)
Dan
agama Allah senantiasa eksis baik dengan ataupun tanpa kita. Akan tetapi
tidakkah kita mau untuk senantiasa mengunduh pahala dan membuahkan untuk
ahkirat kita? Tidak layak kita mengira bahwa hijrah kita diterima atau
menyangka kita telah memberikan anugerah kepada Allah dengan berkumpul di bawah
panji “La Ilaha Illallah”. Karena pada hakikatnya adalah kebalikannya dalam hak
setiap individu kita, karena sesunngguhnya Allah-lah yang menganugrahkan kepada
kita dengan adanya kita di sini, dan Dialah yang telah melebihkan kita atas
mayoritas orang yang meninggalkan kita.
Dan
sesungguhnya Allah-lah yang menjadikan kita mampu untuk memberikan apa yang
kita miliki demi menolong Daulah Islam. Sesungguhnya ini termasuk nikmat Allah
yang telah menunjukkan dan membimbing kita untuk mengikuti langkah ini dengan
keutamaan dan rahmat-Nya semata. Sejatinya Allah telah memberikan kepada kita
nikmat yang begitu banyak, maka wajib atas kita untuk bersyukur kepada-Nya
semampu kita –padahal sebenarnya kita tidak mungkin dapat bersyukur dengan
sebenar-benarnya sesuai Hak-Nya— sehingga Dia tidak menggantikan kita dengan
orang lain, akan tetapi (agar) Dia meridhai kita dan meneguhkan kita diatas
jalan yang lurus.
Apakah
kita lupa sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Al- Bukhari dan Muslim dari
Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
bersabda, “Wahai para
wanita, keluarkanlah sedekah, karena aku diperlihatkan bahwa kebanyakan
penghuni neraka adalah dari kalangan kalian.” Mereka bertanya, “Mengapa wahai
Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kalian banyak mengumpat dan mengingkari suami.”
Wahai
saudari-saudariku, ketika saudara-saudara kita para mujahidin mengorbankan dan
mempersembahkan jiwa mereka untuk Allah, mengapa kita tidak membasahi lisan
kita dengan berzikir kepada Allah? Ketika para mujahidin berhadapan dengan
koalisi kuffar, mengapa kita tidak bersujud dengan sujud yang panjang di
pertengahan malam? Ketika mereka mempersembahkan segala pengorbanan dan
meninggalkan orang-orang tercinta di belakang, mengapa kita tidak mengorbankan
hawa nafsu kita lalu berpuasa di siang hari dan mengendalikan syahwat juga
lisan kita?
Allah
subhaanah berfirman, “Belumkah
datang waktunya bagi orang-orang beriman untuk tunduk hati mereka mengingat
Allah dan kepada kebenaran yang telah turun kepada mereka) dan janganlah mereka
seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al- Kitab kepadanya
kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi
keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orag fasik.”
(Al-Hadid: 16)
source: www.alaraby.co.uk
Telah
tiba saatnya kita menyucikan niat kita, memeriksa amalan-amalan kita dan
membuang dari hati kita segala sesuatu yang dapat memalingkan perhatian kepada
tujuan kita. Kita hendaknya kembali kepada Allah dengan taubat sebenar-benarnya
yaitu dengan meninggalkan maksiat, menyesal atas itu, dan berjanji kepada Allah
untuk tidak lagi mengulangi. Allah subhaanah berfirman, “Katakanlah
hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah
engaku berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa
semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Az-Zumar:
53).
Dan
hendaknya kita meminta pertolongan dan hidayah- Nya, hanya Allah-lah
satu-satunya yang akan memberikan kita pertolongan. Allah berfirman, “Jika
Allah menolongmu, maka tak ada orang yang dapat mengalahkanmu. Jika Allah
membiarkanmu (tidak memberi pertolongan), maka siapa gerangan yang dapat
menolong kam selain Allah setelah itu? Karena itu, hendaklah hanya kepada Allah
saja orang-orang beriman bertawakal.” (Ali
‘Imran: 160)
Hendaklah
kita menjadi wanita yang memahami perannya, lalu menunaikannya. Karena membantu
suamimu yang mujahid –wahai saudariku tercinta- adalah salah satu peran
pentingmu di bumi jihad. Rasanya tidaklah berlebihan pernyataan ini. Dan
rumahmu hendaknya menjadi tempat istirahatnya, ketika tak ada tempat untuk
menumpahkan segala rasa. Dan jadikan pula ia tempat untuk mengisi ulang energi
kekuatannya untuk berjihad, bukan sebaliknya engkau menyerap energi yang
tersisa darinya.
Buanglah
segala kekhawatiranmu jauh-jauh, jadilah engkau orang yang memprioritaskan
untuk segala keperluannya, hargailah keberadaannya, bersabarlah dengan
ketiadaannya. Sesungguhnya dia tidak sedang mengatur perniagaan dan tidak sibuk
dengan tugas sebagaimana di darul kufur. Tetapi dia adalah mujahid fi
sabilillah, menolong agama Rabb-mu Yang Maha Tinggi. Maka cobalah untuk
menyembunyikan darinya berbagai kesulitan yang engkau jalani dan juga
kelemahanmu, hingga setan tidak menjadikan dari kelemahan itu sebagai fitnah
bagi suamimu, sedangkan dia di tengah-tengah medan perang. Dan bantulah dia
semampumu dengan karunia Allah dan karamah-Nya, kelak engkau akan memperoleh
balasan setimpal, insyaa Allah.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ad-Dunya dari Jabir bin
Abdillah, dia menceritakan; ketika kami duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam,
tiba-tiba datanglah seorang perempuan, dia berkata, “Wahai Rasulullah aku
utusan para muslimah yang datang padamu. Wahai Rasulullah, Rabbnya kaum
laki-laki dan perempuan adalah Allah subhanahu wa ta’ala, Adam adalah ayahnya laki-laki dan perempuan, Hawa adalah
ibunya laki-laki dan perempuan, dan Allah b mengutusmu kepada laki-laki dan
perempuan. Dan laki-laki, jika mereka keluar di jalan Allah, lalu terbunuh maka
mereka dicintai di sisi Rabb mereka dan diberi rezeki. Dan jika keluar, baginya
pahala sebagaimana yang telah engkau tahu, dan kami membantu mereka. Apakah
kami memperoleh pahala?” Maka Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam
bersabda kepadanya, “Sampaikan
salam dariku untuk para wanita, dan katakan kepada mereka: sesunguhnya ketaatan
kepada suami setimpal dengan seluruh amalan kaum laki-laki, tetapi sedikit dari
kalian yang melakukannya.” (An-Nafaqah ‘ala Al-‘Iyal)
Perbaruilah niat kita wahai saudari-saudariku, karena
Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
segala amal perbuatan tergantung kepada niat, dan sesungguh setiap orang akan
dibalas berdasarkan apa yang dia niatkan.” (HR.
Al-Bukhari dan Muslim)
Mulai dari sekarang, marilah kita meneladani Khadijah radhiallahuanh yang dikirimi Allah penghormatan dengan kabar gembira akan
sebuah rumah di surga, karena dia telah beriman kepada Allah secara langsung,
dan mengikuti hal itu dengan kontribusi yang kokoh untuk sang suami, Rasulullah
shallallahu ’alaihi wa sallam. Demikian pula, marilah kita meneladani Aisyah radhiallahuanh sang pemilik akal jenius dan ingatan menakjubkan yang
menyampaikan kepada kita begitu banyak hadits sampai tingkatan bahwa
perpustakaan keislaman kita takkan menjadi seperti sekarang ini tanpa keilmuan
yang dilansir Aisyah kepada kita. Pun demikian, semestinya seluruh ibunda kaum
beriman dan para wanita shalihah lain di sekeliling Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam
menjadi teladan bagi kita.
Tak hanya itu, wahai saudari-saudariku, kita harus
meninggalkan kemaksiatan, baik yang kecil maupun yang besar. Dan menjaga diri
dari dampak kemaksiatan kita kepada Allah. Janganlah kalian bergantung pada
angan-angan dan impian semu, karena tidak ada yang menjamin bahwa amalan-amalan
kita akan diterima oleh Allah. Dan kita juga bukan termasuk orang-orang yang
diberi kabar gembira jaminan masuk surga. Dan seharusnya kita memaksakan diri
kita untuk berbuat kebajikan, melaksanakan apa-apa yang telah Allah wajibkan
atas kita. Dan selalu bersungguh-sungguh dalam melaksanakan amalan-amalan
sunnah.
Dan terakhir, aku kembali mengingatkan kalian akan
pentingnya mentalak dunia dan segala keindahannya. Aku menasehati kalian agar
mengubah ujian, penderitaan, dan cobaan menjadi manisnya keimanan dengan
mengingat bahwa penderitaan yang kita alami ini akan menambah kedekatan kita
kepada Allah. Maka betapa indahnya penderitaan ini! Dan jadilah kalian
wanita-wanita yang bersedih atas kepulangan suami-suami kalian dari medan
perang tanpa menyandang status syahid.
Bangkitlah dengan semangat yang membara! Dan berdirilah
kalian dengan membawa pengorbanan dan persembahan untuk perang ini.
Sebaagaimana yang telah dilakukan wanita-wanita shalihah pada zaman Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam.
Mereka melakukan hal itu bukan karena sedikitnya jumlah kaum laki- laki,
melainkan karena kecintaan mereka kepada jihad dan keinginan mendalam untuk
mempersembahkan dan mengorbankan sesuatu untuk Allah subhaanah dan demi menggapai surga. Dan di antara para wanita
shalihah dan diberkahi itu salah satunya adalah Ummu Imarah Nusaibah binti
Ka’ab Al-Anshariyah radhiallahuanh. Imam Adz-Dzahabi radhiallahuanh meriwayatkan bahwa Ummu Imarah menyaksikan Perang Uhud,
Perang Hudaibiyah, dan Perang Hunain, bahkan tangannya terpotong di medan
jihad. Dan Rasulullah shallallahu ’alaihi
wa sallam bersabda
kepada Ummu Imarahms “Sungguh
kedudukan Nusaibah bint Ka’ab (Ummu Imarah) pada hari ini lebih baik dari
kedudukannya fulan bin fulan.” (Kitab Siyar
A’laam An-Nubalaa`)
Maka mari kita mengintrospeksi bagaimana kedudukan kita
jika kita bandingkan dengan apa yang sudah digapai para sahabat wanita shalihah
itu, serta apa yang Rasulullah shallallahu
’alaihi wa sallam
katakan tentang kita?
Sesungguhnya hakikat perlombaan itu ada di detik-detik
terakhirnya. Maka lanjutkanlah usaha dan perjuanganmu wahai saudariku yang
mulia, meskipun engkau terlambat atau lemah di langkah awalmu, dan mintalah
pertolongan Allah dan yakinlah terhadap (ketetapan dan janji-janji) Nya. Dan
bersikap sabarlah setiap kali musibah dan cobaan datang menghampirimu. Maka “Sesungguhnya
Allah bersama orang-orang yang sabar.” (Al-Anfal:
6)
Bersemangatlah dalam mengerjakan seluruh kewajiban dengan
tujuan mendapatkan keridhaan Rabbmu, dan bersiaplah untuk mengorbankan hal-hal
yang paling penting dan paling berharga dalam hidupmu, maka yang demikian itu
dapat membersihkan hatimu dari ketergantungan terhadap sesuatu apapun selain
Allah.
Dan inilah sebenarnya yang dibebankan kepada kita untuk
Allah, agar kita dapat menyempurnakan perjalanan kita kepada-Nya. Bersedialah
untuk mengerjakan amal-amal shalih dan jadikanlah harapanmu adalah diterimanya
amal-amal itu. Dan bergembiralah akan satu dari dua kebaikan, yaitu pertolongan
Allah atau kesyahidan!
Dan aku tutup (permbicaraan ini) dengan firman Allah yang
sempurna:
“Dan
berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah
memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu
kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai
kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam
(Al-Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu
semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka
Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (Al-Hajj: 78)
Source: RUMIYAH Edisi 12
Tidak ada komentar:
Posting Komentar