MADZHAB
AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH DALAM
MASALAH
PARA SHAHABAT RASULULLAH, ISTERI,
DAN
AHLI BAIT BELIAU
Salah satu prinsip
Ahlu Sunnah adalah bersihnya hati mereka dari kedengkian, kebencian, dan permusuhan
terhadap para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam lidah mereka juga bersih dari perbuatan mencaci dan
mencela. Mereka memohon keridhaan untuk para sahabat dan mendoakan mereka :
رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا
وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ
"Wahai
Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih
dahulu daripada kami."
(Al-Hasyr
: 10).
Mereka mematuhi perintah Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam yang bersabda :
لَا
تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ
أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ كُدًّا أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيقَهُ
"Janganlah
kalian mencela para Sahabatku.
Demi
Allah yang jiwaku di tangan-Nya, jika salah seorang dari kalian menginfakkan
emas sebesar Uhud, niscaya tidak sebanding dengan satu mud mereka atau
setengahnya.
[Al-Bukhari,
"Fathul Bari", VII/21
dan Muslim IV/1967.]
Mereka menerima
keutamaan-keutamaan para shahabat sebagaimana yang dikabarkan dalam Al-Kitab dan
As-Sunnah. Mereka lebih mengutamakan para shahabat yang telah berinfak dan berperang
sejak sebelum Fathu Makkah. Mereka lebih mengutamakan shahabat-shahabat
Muhajirin di atas shahabat-shahabat Anshar. Mereka juga mengutamakan sepuluh
shahabat Muhajirin yang diberi kabar gembira masuk jannah. Mereka meyakini
bahwa Allah telah melihat kepada Ahli Badar yang berjumlah tiga ratus lebih
belasan orang, lalu berfirman :
إِعْمَلُوا
مَاشِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ
"Berbuatlah
kalian semau kalian, karena sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian."
[Al-Bukhari,
"Fathul Bari", VII/305
dan Muslim IV/1941.]
Mereka meyakini bahwa tidak ada seorang puri di antara
mereka yang telah berbai'at di bawah “pohon” (dalam Bai'atur Ridwan) yang akan
masuk naar. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda
:
لَا
يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ بَايِعَ تَحْتَ السَّجَرَةِ
"Tidak
akan masuk naar seorangpun yang telah berbai'at di bawah pohon.”
[Muslim
IV/1942.]
Mereka yang berbai'at
itu berjumlah seribu empat ratus orang. Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga meyakini,
akan masuk jannah orang-orang yang dikabarkan oleh Rasul shallallahu
‘alaihi wasallam akan memasukinya, seperti Tsabit bin Qais bin Syamas.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
telah
bersaksi bahwa ia masuk jannah. [Muslim 1/110.].
Demikian halnya sepuluh
shahabat yang dikabarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam akan masuk jannah. Mereka adalah : Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, Az-Zubair, Thalhah, Sa'ad bin Malik bin Abi Waqqash, Abdurrahman
bin Auf, Abu Ubaidah bin Al-Jarah, serta Sa'id bin Zaid [Abu Dawud, '"Aunul
ma'bud" XXI/401 dan At-Tirmidzi V/647].
Mereka mengakui bahwa Sebaik-Baik
Umat Ini Setelah Nabi mereka adalah : Abu Bakar,
kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali radhiallahu’anhum [Al-Bukhari,
"Fathul Bari", VII/53.].
Mereka berlepas diri dari paham Rafidhah -di muka telah
dijelaskan pemahaman mereka- dan Nawashib yang mengkafirkan dan mencela Ahlul
Bait, serta menampakkan permusuhan terhadap Ahlul Bait. Ahlus Sunnah menahan
diri dari perselisihan di antara mereka dan apa saja yang benar-benar terjadi
pada sejarah mereka, karena mereka adalah para mujtahid yang benar, atau kalau
tidak mereka adalah mujtahid yang keliru. Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa tidak
ada seorang pun yang ma'shum dari dosa besar kecuali para nabi 'alaihim
ash-shalah was salam.
Para shahabat bisa
saja melakukan dosa-dosa, akan tetapi mereka memiliki banyak keutamaan yang menghapuskan keburukan itu. Mereka
adalah sebaik-baik generasi.1 ' Bisa jadi pula, shahabat yang pernah melakukan
dosa itu telah bertaubat. Mereka juga orang yang paling berbahagia dengan
syafa'at Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ahlus Sunnah mencintai Ahlul
Bait Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dikarenakan hal itu telah diwasiatkan
oleh beliau. [Muslim IV/1873 dan IV/1782]
Mereka berwala' kepada isteri-isteri Nabi dan memohonkan keridhaan
untuk mereka. Mereka juga meyakini bahwa isteri-isteri beliau tersebut adalah isteri-isteri
beliau di akhirat. Mereka adalah ibu bagi kaum mukminin (umahatul mukminin)
dipandang dari segi penghormatan, pengagungan, dan pengharaman menikahi mereka.
Mereka adalah wanita-wanita suci yang bebas dari setiap keburukan. Ahlus Sunnah
berlepas diri dari siapa saja yang menyakiti atau mencela mereka. Ahlus Sunnah
mengharamkan untuk mencaci dan menuduh mereka. Banyak sekali hadits yang
menjelaskan keutamaan mereka, kaji kembalilah hadits-hadits tersebut [Al-Bukhari,
"Fathul
Bari", VII/133 dan
VII/106 dan Muslim IV/1886 dan IV/1895].
Semoga Allah meridhai
mereka beserta seluruh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
MADZHAB
AHLUS SUNNAH DALAM MASALAH
KARAMAH
PARA WALI
Ahlus Sunnah
mempercayai karamah para wali. Karamah adalah sesuatu yamg luar biasa, yang terjadi
bukan pada seorang nabi. Bila hal itu terjadi pada seorang nabi, maka disebut
sebagai mukjizat.
Sesuatu yang luar
biasa tidak menjadi karamah kecuali bila ia terjadi pada seorang hamba yang
nyata keshalihannya, yang memiliki aqidah sahih dan amal shalih. Bila sesuatu
yang luar biasa itu terjadi pada diri orang-orang yang menyimpang, maka ia merupakan
salah satu dari rekayasa syaithan. Bila hal itu terjadi pada seseorang yang
belum diketahui keadaannya, maka keadaannya tersebut diukur dengan Al-Kitab dan
As-Sunnah. Sebagaimana diriwayatkan dari Imam Syafi'i, bahwa beliau berkata :
إِذَا
رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَسِيرُ عَلَى الْمَاءِ وَيَطِيرُ فِي الْهَوَأء فَلَا
تُصَدِّقُوهُ حَتَّى تَعْرِضُوا حَالَهُ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ
Apabila
kalian melihat seseorang berjalan di atas air dan terbang di udara,
maka
janganlah kalian mempercayainya
sebelum
kalian menilai keadaan dirinya berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah.
Atau sebagaimana kata
beliau Rahimahullah. Ahlus Sunnah
mempercayai dan meyakini dengan seyakin-yakinnya akan adanya karamah para wali dan
berbagai hal luar biasa yang terjadi pada mereka, baik dalam bidang ilmu
pengetahuan, penemuan-penemuan, macam-macam kemampuan, dan pengaruh. Di
antaranya adalah kisah Ashabul Kahfi yang tidur panjang. Contoh lain adalah
kemurahan Allah kepada Maryam binti Imran yang mendapat rizki sedangkan ia
masih berada di dalam mihrab.
Salah satu contoh lain
adalah ucapan Umar bin Al-Khattab ketika di atas mimbar: "Wahai Sariyah,
ke gunung!" Beliau melihat pasukan yang berada di Nahawand tersebut dan
Sariyah tersebut mendengar perkataan beliau, sekalipun dari jarak yang jauh.
Banyak lagi contoh karamah tersebut, yang tidak
terhitung jumlahnya. Kebanyakan dari hal itu saya lihat terdapat dalam buku
Al-Alamah Syaikh Ibnu Taimiyah, yaitu "Al-Furqan
Baina Auliya' Ar-Rahman wa Auliya' Asy-Syaithan."
JALAN
YANG DITEMPUH AHLUS SUNNAH
ADALAH
ITTIBA'
Ahlus Sunnah mengikuti
perkataan, perbuatan, dan pengakuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan
inilah yang dimaksud dengan mengikuti jejak beliau (ittiba'). Adapun mengikuti jejak-jejak
fisik beliau yang tidak merupakan bagian dari Din, seperti tempat kencing,
tidur, dan berjalan beliau, maka tidak diperbolehkan mencari-cari hal itu,
karena hal itu merupakan sarana menuju kesyirikan. Salah satu jalan (cara) yang
dianut oleh Ahlus Sunnah Wal Jama'ah adalah mengikuti perkataan para shahabat
ketika tidak ditemukan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun
ketika terdapat nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah, maka nash tersebut haruslah
didahulukan daripada pendapat siapapun.
Allah Ta'ala berfirman
:
لَّٰكِنِ
ٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ مِنۡهُمۡ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ يُؤۡمِنُونَ بِمَآ
أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَۚ وَٱلۡمُقِيمِينَ ٱلصَّلَوٰةَۚ وَٱلۡمُؤۡتُونَ
ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ أُوْلَٰٓئِكَ
سَنُؤۡتِيهِمۡ أَجۡرًا عَظِيمًا
"Kemudian
jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada
Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada
Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya."
(An-Nisa' : 162).
Ahlus Sunnah wal
Jama'ah mematuhi wasiat Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berpegang
kepada sunnah-Nya dan sunnah Khulafaur Rasyidin. Mereka mengigitnya dengan geraham
mereka dan memegangnya erat-erat sebagai pelaksanaan perintah beliau shallallahu
‘alaihi wasallam. Mereka mengutamakan firman Allah, kemudian petunjuk Rasulullah
Karena itulah mereka disebut sebagai Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
[ Lihat hadits Al-Trbadh bin Sariyah dalam Sunan
At-Tirmidzi, Abu Dawud dalam '"Aunul
Ma'bud" XII/358, Ibnu Majah 1/15, dan Musnad Ahmad IV/126.
Lihat pula "Al-Ajwibah Al-Ushuliyah", hal.
140 dan "Syarh Ath-Thahawiyah", tahqiq
Al-Arnauth, hal. 495.]
DASAR-DASAR
YANG DIGUNAKAN OLEH
AHLUS
SUNNAH WAL JAMA'AH UNTUK MENGUKUR
AMALAN
SELURUH MANUSIA
Ahlus Sunnah
menggunakan tiga dasar untuk mengukur kebenaran amal perbuatan manusia, baik yang
lahir maupun yang batin, yang berkaitan dengan Din. Dasar-dasar itu adalah :
1. Kitabullah 'Azza wa Jalla, yang
merupakan sebaik-baik perkataan, barangsiapa berkata dengannya pasti benar,
barangsiapa berhukum dengannya pasti adil, barangsiapa yang berpegang teguh
padanya pasti mendapatkan petunjuk kepada jalan yang lurus, dan barangsiapa menyimpang
darinya pasti tersesat dan sengsara di dunia dan akhirat. Ahlus Sunnah tidak mengutamakan
perkataan siapapun daripada perkataan Allah ini.
2. Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka
tidak mengutamakan perkataan seorang makhluk Allah pun daripada sunnah Rasul
yang shahih.
3. Kesepakatan (ijma') yang terjadi di masa generasi pertama
umat ini, sebelum terjadinya perpecahan, perluasan Islam, serta sebelum
bermunculannya bid'ah dan perbedaan pendapat.
Adapun
pendapat-pendapat yang datang setelah itu, maka mereka timbang dengan ketiga
dasar ini. Bila sesuai
dengannya, maka mereka menerimanya. Tetapi bila tidak sesuai dengannya, maka
mereka menolaknya, tanpa memandang siapa yang mengucapkannya. Inilah manhaj yang
benar dan pemahaman yang lurus.
AKHLAK
AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH
Penulis Rahimahullah
Ta'ala mengakhiri tulisan tentang aqidahnya ini dengan
sifat-sifat mulia yang disandang oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Di antara kebaikan
dan akhlak mulia mereka adalah : Memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar.
Ma'ruf
adalah segala yang dinilai
baik oleh syar'i maupun akal sedangkan Munkar
adalah segala yang dinilai
buruk berdasarkan syar'i maupun akal.
Allah Ta'ala berfirman
:
وَلۡتَكُن
مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ
وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ
"Dan
hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada yang ma'ruf
dan mencegah dari yang munkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung."
(Ali Imran : 104).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda :
مَنْ
رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسَتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَافُ
الْإِيمَانِ
"Barangsiapa di antara kalian
melihat sesuatu yang munkar, maka hendaklah merubahnya dengan tangannya. Apabila
ia tidak mampu, hendaklah dengan lisannya. Apabila tidak mampu, hendaklah
dengan hatinya, dan ini selemah-lemah IMAN."
[Muslim
1/69]
Ketiga hal yang
disebutkan dalam hadits ini merupakan tingkatan-tingkatan amar ma'ruf nahyi munkar,
yaitu dengan tangan, kemudian dengan lisan, dan terakhir dengan hati.
Di antara akhlak mulia
Ahlus Sunnah adalah memberikan nasihat (ketulusan) untuk Allah, rasul-Nya,
imam-imam kaum muslimin, dan kalangan awam mereka; orang mukmin yang satu
dengan mukmin yang lain ibarat bangunan yang tersusun kokoh; mereka mengasihi
saudara-saudara muslim mereka; mereka menganjurkan akhlak mulia dan perbuatan
yang baik; mereka memerintahkan berlaku sabar dan berbuat baik kepada
hamba-hamba Allah sesuai dengan keadaan dan hak mereka, baik kepada kerabat,
anak yatim, maupun fakir miskin; dan mereka melarang bersikap congkak dan
sombong. Segala yang mereka lakukan tidak lain dalam rangka mengikuti Al-Kitab
dan As-Sunah.
Kita memohon kepada
Allah agar menjadikan kita berada di dalam thaifah (kelompok) yang senantiasa berada di atas kebenaran,
mendapatkan pertolongan, dan yang tidak terkena mudharat. dari orang yang
memusuhi atau yang enggan menolong, sampai terjadinya kiamat, sesungguhnya,
Dialah yang berwewenang dan berkuasa atas hal itu. Dan semoga Allah melimpahkan
shalawat kepada nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, juga kepada
segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang mengikuti mereka dengan
baik, hingga hari pembalasan.
Source:
Syarh
Al-Aqidah Al-Wasithiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Oleh: Sa’id bin Ali bin Wahfi AI-Qahthaniy