7/31/2019

Al WAHN


Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

يُوشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمُ الْأُمَمُ مِنْ كُلِّ أُفُقٍ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ عَلَى قَصْعَتِهَا. قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللهِ أَمِنْ قِلَّةٍ بِنَا يَوْمَئِذٍ, قَالَ: أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ تُنْزَعُ الْمَهَابَةِ مِنْ قُلُوبِ عَدُوِّكُمْ وَيُجْعَلُ فَي قُلُوبِكُمُ الْوَهْنَ. قَالُوا وَمَا الْوَهْنُ؟
 قَالَ: حُبُّ الْحُيَاةِ وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

HAMPIR-HAMPIR DATANG WAKTUNYA KALIAN DIKEROYOK OLEH SEMUA BANGSA DARI BERBAGAI PENJURU, 
SEBAGAIMANA MEREKA MENGEROYOK HIDANGAN MEREKA."

KAMI (SAHABAT) BERTANYA. “WAHAI RASULULLAH, APAKAH KARENA WAKTU ITU JUMLAH KAMI SEDIKIT?” 

BELIAU MENJAWAB, “KALIAN KETIKA ITU BANYAK, AKAN TETAPI KALIAN SEPERTI BUIH BANJIR. 
DICABUT RASA TAKUT DARI HATI MUSUH-MUSUH KALIAN DAN DIJADIKAN DALAM HATI KALIAN WAHN.” 

MEREKA (SAHABAT) BERTANYA, “APAKAH WAHN ITU?” 

BELIAU MENJAWAB, “CINTA HIDUP DAN BENCI MATI.”

(HR. Ahmad dan Abu Daud)

7/30/2019

Kekejaman Kaum Musyrikin Atas Orang-Orang Lemah Yang Baru Masuk Islam

Kekejaman Kaum Musyrikin Atas Orang-Orang Lemah Yang Baru Masuk Islam

Ibnu Ishaq berkata: Kemudian orang-orang Quraisy meneror orang-orang yang masuk Islam dan mengikuti Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa Sallam. Setiap kabilah menangkap kaum Muslimin yang berada di kabilahnya kemudian memenjara mereka, menghajar mereka, membiarkan mereka lapar dan haus, dan menjemur mereka di padang pasir Makkah jika musim panas sedang membara. Mereka menyiksa orang-orang yang lemah di antara kaum Muslimin. Mereka melakukan cobaan berat atas sikap keberagamaan orang-orang lemah itu. Di antara kaum Muslimin ada yang berubah karena beratnya cobaan yang diterimanya. Namun ada pula yang lawan dan melakukan resistensi, Allah melindungi mereka dari orang-orang Quraisy.

Bilal adalah mantan budak Abu Bakar Radhiyallahu Anhu. Awalnya ia adalah budak salah seorang dari Bani Jumah dan dilahirkan di Bani Jumah. Dialah Bilal bin Rabah. Ibunya bernama Hamamah. Bilal bin Rabah masuk Islam dengan tulus, hatinya bersih. Umayyah bin Khalaf bin Wahb bin Hudzafah bin Jumah mengeluarkannya ketika matahari sedang di puncak teriknya. Ia membaringkannya di atas padang pasir Makkah kemudian memerintahkan untuk meletakkan batu besar di atas dadanya. Umayyah bin Khalaf berkata kepada Bilal: "Demi Allah, engkau akan berada dalam kondisi seperti ini hingga engkau mati atau engkau kafir kepada Muhammad dan menyembah Al-Lata dan Al-Uzza." Menghadapi ujian tersebut, Bilal berkata: "Ahad (Esa) Ahad(Esa)."

Ibnu Ishaq berkata: Hisyam bin Urwah berkata kepadaku dari ayahnya ia berkata: Pada saat Bilal sedang disiksa, dan mengucapkan, 'Ahad. Ahad,' Waraqah bin Naufal berjalan melewatinya. Waraqah bin Naufal berkata: "Demi Allah, Ahad, dan Ahad, wahai Bilal." Waraqah bin Naufal menemui Umayyah bin Khalaf dan orang-orang dari Bani Jumah yang menyiksa Bilal. Waraqah bin Naufal berkata kepada mereka, "Demi Allah, jika kalian menghabisi Bilal dalam kondisi seperti ini, pasti aku akan memberkati tempat kematiannya." Demikianlah apa yang terjadi sampai Abu Bakar Ash-Shiddiq Radhiyallahu Anhu berjalan melewati orang-orang yang sedang menyiksa Bilal. Rumah Abu Bakar berada di Bani Jumah. Abu Bakar berkata kepada Umayyah bin Khalaf: "Mengapa engkau tidak takut kepada Allah dari menyiksa orang miskin ini? Hingga kapan engkau akan menyiksanya?" Umayyah bin Khalaf berkata: "Engkaulah yang merusak pikiran orang ini. Oleh karena itu, selamatkan dia jika engkau suka!" Abu Bakar berkata: "Boleh! aku mempunyai budak hitam yang lebih kuat dan kekar daripada dia, dan lebih fanatik berpegang dengan agamamu. Bagaimana kalau kita barter saja." Umayyah bin Khalaf berkata: "Aku setuju." Abu Bakar berkata: "Budak tersebut menjadi milikmu." Kemudian Abu Bakar memberikan budaknya itu kepada Umayyah bin Khalaf sementara ia mengambil Bilal kemudian dia memerdekakannya.

Sebelum hijrah ke Madinah, Abu Bakar memerdekakan enam budak dan Bilal adalah budak ketujuh yang ia merdekakan. Keenam budak yang ia merdekakan adalah sebagai berikut: Amir bin Fuhairah. Ia terlibat pada Perang Badar dan Uhud dan syahid di Perang Bi'ru Maunah, Ummu Ubais, Zinnirah ketika Abu Bakar memerdekakannya, ia dalam kondisi buta akibat penyiksaan yang diterimanya. Orang-orang Quraisy berkata: "Matanya di cabut Al-Lata dan Al-Uzza." Zinnirah berkata: "Demi Rumah Allah, mereka bohong. Al-Lata dan Al-Uzza adalah patung yang tidak bisa berbuat apa-apa." Kemudian Allah mengembalikan matanya menjadi melihat kembali.

Kemudian dia memerdekakan An-Nahdiyyah dan putrinya. Keduanya milik seorang wanita dari Bani Abduddar. Abu Bakar melewati keduanya yang ketika itu sedang membuat tepung. Tuannya berkata: "Demi Allah, aku tidak akan pernah memerdekakan kalian berdua." Abu Bakar berkata: "Wahai ibu Si Fulan, batalkanlah sumpahmu itu!" Wanita tersebut berujar: "Membatalkan sumpah? Padahal engkau yang merusak pikiran keduanya!

Merdekakanlah mereka berdua, jika engkau suka!" Abu Bakar berkata: "Berapa harga keduanya?" Wanita itu berkata: "Sekian dan sekian." Abu Bakar berkata: "Aku beli keduanya dengan harga tersebut, dan keduanya menjadi orang merdeka." Abu Bakar berkata kepada An-Nahdiyyah dan putrinya: "Berhentilah membuat tepung itu!" An-Nahdiyyah dan putrinya berkata: "Wahai Abu Bakar, bagaimana kalau kami selesaikan dulu pembuatan tepung ini, jika telah selesai, baru kami kembalikan kepadanya?" Abu Bakar kemudian berkata: "Terserah kalian berdua." Abu Bakar berjalan melewati budak Muslimah Bani Muammil di perkampungan Bani Adi bin Ka'ab. Ketika itu Umar bin Khaththab menyiksanya agar ia meninggalkan agama Islam. Umar bin Khaththab yang waktu itu masih musyrik tidak henti-hentinya menyiksa budak wanita tersebut hingga ia kelelahan sendiri. Umar bin Khaththab berkata: "Aku berhenti menyiksamu hanyalah karena kelelahan." Budak wanita itu berkata: "Demikianlah Allah berbuat terhadap dirimu." Kemudian Abu Bakar membeli budak wanita tersebut dan memerdekakannya.

Ibnu Ishaq berkata: Muhammad bin Abdullah bin Abu Atiq bercerita kepadaku dari Amir bin Abdullah bin Zubair dari sebagian keluarganya yang berkata: Abu Quhafah berkata kepada Abu Bakar: "Aku lihat engkau cenderung memerdekakan budak-budak yang lemah. Andai saja engkau memerdekakan budak-budak yang kuat, niscaya mereka siap untuk melindungimu." Abu Bakar berkata: "Wahai ayahanda, aku hanya melakukan apa yang Allah inginkan." Salah seorang dari keluarga Abu Bakar berkata bahwa Allah menurunkan ayat-ayat tentang Abu Bakar dan tentang ucapan ayahnya kepadanya:

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ. وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ. فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ. وَأَمَّا مَنۢ بَخِلَ وَٱسْتَغْنَىٰ. وَكَذَّبَ بِٱلْحُسْنَىٰ. فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْعُسْرَىٰ. وَمَا يُغْنِى عَنْهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰٓ. إِنَّ عَلَيْنَا لَلْهُدَىٰ. وَإِنَّ لَنَا لَلْءَاخِرَةَ وَٱلْأُولَىٰ. فَأَنذَرْتُكُمْ نَارًا تَلَظَّىٰ. لَا يَصْلَىٰهَآ إِلَّا ٱلْأَشْقَى. ٱلَّذِى كَذَّبَ وَتَوَلَّىٰ. وَسَيُجَنَّبُهَا ٱلْأَتْقَى. ٱلَّذِى يُؤْتِى مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ. وَمَا لِأَحَدٍ عِندَهُۥ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَىٰٓ. إِلَّا ٱبْتِغَآءَ وَجْهِ رَبِّهِ ٱلْأَعْلَىٰ. وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila ia telah binasa. Sesungguhnya kewajiban Kamilah memberi petunjuk, dan sesungguhnya kepunyaan Kamilah akhirat dan dunia. Maka Kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala. Tidak ada yang masuk ke dalamnya kecuali orang yang paling celaka, yang mendustakan (kebenaran) dan berpaling (dari iman). Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan. (QS. al-Lail: 5-21).

Ibnu Ishaq berkata: tatkala matahari sedang mencapai puncak panasnya, Bani Makhzum membawa Ammar bin Yasir, ayah, dan ibunya, yang semuanya telah masuk Islam, ke padang pasir Makkah untuk disiksa. Pada saat mereka bertiga sedang disiksa, Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa Sallam melewati mereka. Beliau bersabda seperti kabar yang aku terima, "Sabarlah, wahai keluarga Yasir, karena sesungguhnya tempat kembali kalian adalah surga."Mereka membunuh Ummu Ammar karena tetap kokoh dan menolak kecuali Islam.

Abu Jahal inilah yang mencemooh kaum Muslimin di kalangan orang-orang Quraisy. Jika mendengar ada orang yang mulia mendapat perlindungan masuk Islam, ia mencemooh dan menjelek-jelekkannya dengan mengatakan: "Engkau murtad dari agama ayahmu, padahal ayahmu lebih baik daripada engkau. Kami pasti menjelek-jelekkan mimpimu, tidak menerima pendapatmu, dan merusak kehormatanmu."

Jika orang tersebut pelaku bisnis, Abu Jahal akan berkata kepadanya: "Demi Allah, kami pasti membuat bisnismu bangkrut, dan kami hancurkan kekayaanmu” Jika orang tersebut orang lemah, maka Abu Jahl akan menyiksa atau merayunya.

Ibnu Ishaq berkata: Hakim bin Jubair berkata kepadaku dari Sa'id bin Jubair yang berkata bahwa aku bertanya kepada Abdullah bin Abbas: "Bagaimanakah bentuk penyiksaan orang-orang musyrikin terhadap sahabat-sahabat Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa Sallam," Abdullah bin Abbas berkata: "Demi Allah. Orang-orang Quraisy memukul salah seorang dari sahabat Rasulullah Shallalahu 'alaihi wa Sallam, membuat mereka kelaparan dan kehausan hingga salah seorang dari mereka tidak bisa berdiri tegak akibat beratnya penyiksaan yang diterimanya. Sampai-sampai orang-orang Quraisy berkata kepadanya, "Al-Lata dan Al-Uzza adalah Tuhanmu, bu- kan Allah!!" Ia berkata: "Ya." Bahkan seekor sapi betina dibawa ke hadapannya, kemudian mereka berkata kepadanya: "Sapi betina ini adalah Tuhanmu dan bukannya Allah." Ia menjawab: "Ya." Ia melakukan ini semua demi menghindari penyiksaan yang lebih kejam."

Ibnu Ishaq berkata: Zubair bin Ukasyah bin Abdullah bin Abu Ahmad berkata kepadaku: Beberapa orang Bani Makhzum berjalan menuju rumah Hisyam bin Al-Walid, karena saudaranya yang bernama Al-Walid bin Al-Walid bin Al-Mughirah telah memeluk Islam. Mereka sepakat untuk memurtadkan kembali anak-anak muda mereka yang telah masuk Islam, di antarannya Salamah bin Hisyam, dan Ayyasy bin Abu Rabi'ah. Mereka berkata kepada Al-Walid dalam dengan ketakutan karena wataknya yang keras, "Sesungguhnya kami ingin menjelek-jelekkan anak-anak muda tersebut karena agama baru yang mereka anut. Sehingga kita merasa ringan dalam menangani kasus lainnya selain mereka." Hisyam bin Al-Walid berkata: "Baiklah, silahkan saja, namun kalian jangan macam-macam dengan Al-Walid. Hati-hatilah kalian terhadap dia." Kemudian Hasyim bin Al-Walid berkata:
Janganlah kau sekali-kali habisi Ubais saudaraku
Jika kalian lakukan, maka kita mempunyai permusuhan abadi

"Berhati-hatilah kalian terhadapnya. Aku bersumpah dengan nama Allah, jika kalian membunuhnya, aku akan menghabisi orang paling dihormati di antara kalian. Mereka berkata: 'Ya Allah, laknatilah dia! Siapakah yang mau tertipu dengan ucapannya tersebut. Demi Allah, andaikata saudaranya meninggal di tangan kita, pasti ia membunuh orang paling dihormati di antara kita." Makanya mereka tidak berani menganggu Al-Walid. Demikianlah Allah melindungi Al-Walid dari teror mereka.

Source: SIRAH NABAWIYAH - Ibnu Hisyam

Sikap Murji’ah Kontemporer Terhadap Ulil Amri


Sikap Murji’ah Kontemporer Terhadap Ulil Amri
Oleh: Abu Luqman

Kaum Murji’ah kerap menyeru dan melarang kaum Muslimin untuk memberontak terhadap para penguasa Muslim yang dzalim. Mereka berdalih dengan keumuman pendapat mayoritas.

Memang, sejarah kelam kaum Muslimin sejak dahulu banyak terjadi pemberontakan pada penguasa Muslim yang dzalim di masanya yang mengakibatkan banyaknya korban jiwa. Belajar dari sini, banyak pendapat yang memilih untuk bersabar dan tidak memberontak. Hanya saja, kesabaran mereka adalah untuk menghindari kekejaman penguasa dzalim dan sama sekali bukan bentuk pengormatan.

Namun tidak bagi kaum Murji’ah. Mereka menahan diri seraya memberikan penghormatan dan menerima apa saja yang menyenangkan penguasa, entah yang dilakukan para penguasa dzalim itu melanggar syariat Allah Ta’ala atau tidak.

Diantara perbedaan antara penguasa Muslim yang adil dan penguasa Muslim yang dzalim, adalah membedakan kadar pemberian penghormatan dan pengagungan terhadap masing-masing mereka, walaupun syariat telah mengharamkan untuk khuruj (memberontak) dari kedua jenis penguasa ini.

Dari sudut pandang inilah, kaum Murji’ah kontemporer banyak yang tergelincir, sehingga merekapun menyandarkan pada Salaf bahwa mereka menyamakan penghormatan dan pengagungan terhadap mereka (penguasa adil dan penguasa dzalim), tentunya dengan berdalil dengan hujjah-hujjah tersebut (larangan khuruj).

Padahal, pemahaman yang benar adalah, bahwa alasan larangan khuruj atau memberontak terhadap penguasa dzalim itu demi untuk melindungi umat ini agar kedzalimannya tidak bertambah atau melindungi mereka dari kedzalimannya, dan sama sekali bukan karena untuk menghormati dan mengagungkannya.

Adapun kaum Murji’ah kontemporer, maka mereka menyeru agar tidak memberontak kepada penguasa sembari memberikan pujian, penghormatan dan pengagungan terhadap para penguasa dzalim, padahal para Salaf kita menyeru agar tidak memberontak dengan alasan dari sudut pandang keadilan, dan pertimbangan antara maslahat dan mafsadat. (Al-Khurasaainyah Fi Syarhi ‘Aqiidah Ar-Raaziyain, 468)

Lalu bagaimana jika penguasa tersebut Murtad?

Namun begitulah bagi kaum Murji’ah, mereka selalu menempatkan dalil bukan pada tempatnya, dan realita bukan pada realitanya.

Seluruh dalil-dalil yang menyeru taat pada penguasa diambil sebagian, namun ditempatkan bukan pada tempatnya, entah mau penguasanya sekuler, nasionalis, kejawen dan Syiah. Entah itu penguasanya menjadikan aturan dan hukum buatan dari manusia, mereka tetap menyandarkannya pada dalil-dalil taat pada penguasa sekalipun sifat-sifat ulil amri itu tidak ada padanya atau sudah batal dengan perkara kekufuran.

Begitulah bagi kaum Murji’ah, tidak ada kamus Kafir bagi mereka.
Pembatal Islam hanya dipelajari tapi tidak dipraktekkan. 
Pembahasan Murtad hanya dihafalkan tapi tidak diamalkan, padahal disekelilingnya sifat-sifat itu sudah ada, dan bukan satu atau dua saja, bahkan lebih dari itu dari berbagai pintu-pintu riddah yang banyak diamalkan manusia dan khususnya para penguasa pada hari ini.

Lalu bagaimana jika penguasa tersebut Murtad ?
Berikut ini ada kutipan bagus.

Perihal penguasa, jika mereka Muslim tapi dzalim, Ahlul Sunnah mempunyai dua (2) pendapat,

yang Pertama adalah mereka boleh memberontak terhadapnya dan inilah yang terjadi di awal generasi. Revolusi al-Hussain terhadap Yazid, Abdullah ibn az-Zubair terhadap Marwan, Abdul Rahman ibn al-Ash’ath terhadap Abdul Malik, Muhammad al-Nafs al-Zakiyyah dan Zaid bin Ali terhadap Abbasiyyah.

Yang Kedua, kita tidak boleh memberontak terhadap penguasa Muslim meski ia dzalim, dan inilah pandangan mayoritas.

Para ulama klasik kita mengambil kesimpulan ini setelah mempelajari sejarah awal Islam. Menurut mereka, pemberontakan terhadap penguasa Muslim yang dzalim menimbulkan mafsadah yang lebih besar daripada penindasan penguasa.

Namun, inti dari perkara ini adalah, jika seorang penguasa tersebut melakukan perkara kufur, maka menjadi kewajiban untuk menggulingkannya. Inilah perkara yang telah menjadi ijma’ diantara ulama Salaf Ahlu Sunnah. (Imam Anwar Awlaki rahimahullah). 

source: [Edt; Abd/RMC] (Mata-Media.Com)

MADZHAB AHLUS SUNNAH - Oleh Ibnu Taimiyah


MADZHAB AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH DALAM
MASALAH PARA SHAHABAT RASULULLAH, ISTERI,
DAN AHLI BAIT BELIAU

Salah satu prinsip Ahlu Sunnah adalah bersihnya hati mereka dari kedengkian, kebencian, dan permusuhan terhadap para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lidah mereka juga bersih dari perbuatan mencaci dan mencela. Mereka memohon keridhaan untuk para sahabat dan mendoakan mereka :

رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ

"Wahai Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu daripada kami."
(Al-Hasyr : 10).

Mereka mematuhi perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda :


لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَوَالَّذِي نَفْسِى بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا بَلَغَ كُدًّا أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيقَهُ

"Janganlah kalian mencela para Sahabatku.
Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, jika salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar Uhud, niscaya tidak sebanding dengan satu mud mereka atau setengahnya.

[Al-Bukhari, "Fathul Bari", VII/21 dan Muslim IV/1967.]

Mereka menerima keutamaan-keutamaan para shahabat sebagaimana yang dikabarkan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah. Mereka lebih mengutamakan para shahabat yang telah berinfak dan berperang sejak sebelum Fathu Makkah. Mereka lebih mengutamakan shahabat-shahabat Muhajirin di atas shahabat-shahabat Anshar. Mereka juga mengutamakan sepuluh shahabat Muhajirin yang diberi kabar gembira masuk jannah. Mereka meyakini bahwa Allah telah melihat kepada Ahli Badar yang berjumlah tiga ratus lebih belasan orang, lalu berfirman :

إِعْمَلُوا مَاشِئْتُمْ فَقَدْ غَفَرْتُ لَكُمْ

"Berbuatlah kalian semau kalian, karena sesungguhnya Aku telah mengampuni kalian."
[Al-Bukhari, "Fathul Bari", VII/305 dan Muslim IV/1941.]

Mereka meyakini bahwa tidak ada seorang puri di antara mereka yang telah berbai'at di bawah “pohon” (dalam Bai'atur Ridwan) yang akan masuk naar. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

لَا يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ بَايِعَ تَحْتَ السَّجَرَةِ

"Tidak akan masuk naar seorangpun yang telah berbai'at di bawah pohon.”
[Muslim IV/1942.]

Mereka yang berbai'at itu berjumlah seribu empat ratus orang. Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga meyakini, akan masuk jannah orang-orang yang dikabarkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam akan memasukinya, seperti Tsabit bin Qais bin Syamas. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah bersaksi bahwa ia masuk jannah. [Muslim 1/110.].

Demikian halnya sepuluh shahabat yang dikabarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam akan masuk jannah. Mereka adalah : Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Az-Zubair, Thalhah, Sa'ad bin Malik bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Abu Ubaidah bin Al-Jarah, serta Sa'id bin Zaid [Abu Dawud, '"Aunul ma'bud" XXI/401 dan At-Tirmidzi V/647].

Mereka mengakui bahwa Sebaik-Baik Umat Ini Setelah Nabi mereka adalah : Abu Bakar, kemudian Umar, kemudian Utsman, kemudian Ali radhiallahu’anhum [Al-Bukhari, "Fathul Bari", VII/53.].

Mereka berlepas  diri dari paham Rafidhah -di muka telah dijelaskan pemahaman mereka- dan Nawashib yang mengkafirkan dan mencela Ahlul Bait, serta menampakkan permusuhan terhadap Ahlul Bait. Ahlus Sunnah menahan diri dari perselisihan di antara mereka dan apa saja yang benar-benar terjadi pada sejarah mereka, karena mereka adalah para mujtahid yang benar, atau kalau tidak mereka adalah mujtahid yang keliru. Ahlus Sunnah berkeyakinan bahwa tidak ada seorang pun yang ma'shum dari dosa besar kecuali para nabi 'alaihim ash-shalah was salam.

Para shahabat bisa saja melakukan dosa-dosa, akan tetapi mereka memiliki banyak keutamaan yang menghapuskan keburukan itu. Mereka adalah sebaik-baik generasi.1 ' Bisa jadi pula, shahabat yang pernah melakukan dosa itu telah bertaubat. Mereka juga orang yang paling berbahagia dengan syafa'at Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Ahlus Sunnah mencintai Ahlul Bait Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dikarenakan hal itu telah diwasiatkan oleh beliau. [Muslim IV/1873 dan IV/1782]

Mereka berwala' kepada isteri-isteri Nabi dan memohonkan keridhaan untuk mereka. Mereka juga meyakini bahwa isteri-isteri beliau tersebut adalah isteri-isteri beliau di akhirat. Mereka adalah ibu bagi kaum mukminin (umahatul mukminin) dipandang dari segi penghormatan, pengagungan, dan pengharaman menikahi mereka. Mereka adalah wanita-wanita suci yang bebas dari setiap keburukan. Ahlus Sunnah berlepas diri dari siapa saja yang menyakiti atau mencela mereka. Ahlus Sunnah mengharamkan untuk mencaci dan menuduh mereka. Banyak sekali hadits yang menjelaskan keutamaan mereka, kaji kembalilah hadits-hadits tersebut [Al-Bukhari, "Fathul Bari", VII/133 dan VII/106 dan Muslim IV/1886 dan IV/1895].

 Semoga Allah meridhai mereka beserta seluruh sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.


MADZHAB AHLUS SUNNAH DALAM MASALAH
KARAMAH PARA WALI


Ahlus Sunnah mempercayai karamah para wali. Karamah adalah sesuatu yamg luar biasa, yang terjadi bukan pada seorang nabi. Bila hal itu terjadi pada seorang nabi, maka disebut sebagai mukjizat.

Sesuatu yang luar biasa tidak menjadi karamah kecuali bila ia terjadi pada seorang hamba yang nyata keshalihannya, yang memiliki aqidah sahih dan amal shalih. Bila sesuatu yang luar biasa itu terjadi pada diri orang-orang yang menyimpang, maka ia merupakan salah satu dari rekayasa syaithan. Bila hal itu terjadi pada seseorang yang belum diketahui keadaannya, maka keadaannya tersebut diukur dengan Al-Kitab dan As-Sunnah. Sebagaimana diriwayatkan dari Imam Syafi'i, bahwa beliau berkata :


إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَسِيرُ عَلَى الْمَاءِ وَيَطِيرُ فِي الْهَوَأء فَلَا تُصَدِّقُوهُ حَتَّى تَعْرِضُوا حَالَهُ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ

Apabila kalian melihat seseorang berjalan di atas air dan terbang di udara,
maka janganlah kalian mempercayainya
sebelum kalian menilai keadaan dirinya berdasarkan Al-Kitab dan As-Sunnah.

Atau sebagaimana kata beliau Rahimahullah. Ahlus Sunnah mempercayai dan meyakini dengan seyakin-yakinnya akan adanya karamah para wali dan berbagai hal luar biasa yang terjadi pada mereka, baik dalam bidang ilmu pengetahuan, penemuan-penemuan, macam-macam kemampuan, dan pengaruh. Di antaranya adalah kisah Ashabul Kahfi yang tidur panjang. Contoh lain adalah kemurahan Allah kepada Maryam binti Imran yang mendapat rizki sedangkan ia masih berada di dalam mihrab.

Salah satu contoh lain adalah ucapan Umar bin Al-Khattab ketika di atas mimbar: "Wahai Sariyah, ke gunung!" Beliau melihat pasukan yang berada di Nahawand tersebut dan Sariyah tersebut mendengar perkataan beliau, sekalipun dari jarak yang jauh.

Banyak lagi contoh karamah tersebut, yang tidak terhitung jumlahnya. Kebanyakan dari hal itu saya lihat terdapat dalam buku Al-Alamah Syaikh Ibnu Taimiyah, yaitu "Al-Furqan Baina Auliya' Ar-Rahman wa Auliya' Asy-Syaithan."


JALAN YANG DITEMPUH AHLUS SUNNAH
ADALAH ITTIBA'


Ahlus Sunnah mengikuti perkataan, perbuatan, dan pengakuan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan inilah yang dimaksud dengan mengikuti jejak beliau (ittiba'). Adapun mengikuti jejak-jejak fisik beliau yang tidak merupakan bagian dari Din, seperti tempat kencing, tidur, dan berjalan beliau, maka tidak diperbolehkan mencari-cari hal itu, karena hal itu merupakan sarana menuju kesyirikan. Salah satu jalan (cara) yang dianut oleh Ahlus Sunnah Wal Jama'ah adalah mengikuti perkataan para shahabat ketika tidak ditemukan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Adapun ketika terdapat nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah, maka nash tersebut haruslah didahulukan daripada pendapat siapapun.

Allah Ta'ala berfirman :

لَّٰكِنِ ٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ مِنۡهُمۡ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ يُؤۡمِنُونَ بِمَآ أُنزِلَ إِلَيۡكَ وَمَآ أُنزِلَ مِن قَبۡلِكَۚ وَٱلۡمُقِيمِينَ ٱلصَّلَوٰةَۚ وَٱلۡمُؤۡتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ أُوْلَٰٓئِكَ سَنُؤۡتِيهِمۡ أَجۡرًا عَظِيمًا

"Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (As-Sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya."
(An-Nisa' : 162).

Ahlus Sunnah wal Jama'ah mematuhi wasiat Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berpegang kepada sunnah-Nya dan sunnah Khulafaur Rasyidin. Mereka mengigitnya dengan geraham mereka dan memegangnya erat-erat sebagai pelaksanaan perintah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka mengutamakan firman Allah, kemudian petunjuk Rasulullah Karena itulah mereka disebut sebagai Ahlus Sunnah wal Jama'ah.

[ Lihat hadits Al-Trbadh bin Sariyah dalam Sunan At-Tirmidzi, Abu Dawud dalam '"Aunul Ma'bud" XII/358, Ibnu Majah 1/15, dan Musnad Ahmad IV/126. Lihat pula "Al-Ajwibah Al-Ushuliyah", hal. 140 dan "Syarh Ath-Thahawiyah", tahqiq Al-Arnauth, hal. 495.]


DASAR-DASAR YANG DIGUNAKAN OLEH
AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH UNTUK MENGUKUR
AMALAN SELURUH MANUSIA


Ahlus Sunnah menggunakan tiga dasar untuk mengukur kebenaran amal perbuatan manusia, baik yang lahir maupun yang batin, yang berkaitan dengan Din. Dasar-dasar itu adalah :

1. Kitabullah 'Azza wa Jalla, yang merupakan sebaik-baik perkataan, barangsiapa berkata dengannya pasti benar, barangsiapa berhukum dengannya pasti adil, barangsiapa yang berpegang teguh padanya pasti mendapatkan petunjuk kepada jalan yang lurus, dan barangsiapa menyimpang darinya pasti tersesat dan sengsara di dunia dan akhirat. Ahlus Sunnah tidak mengutamakan perkataan siapapun daripada perkataan Allah ini.

2. Sunnah Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka tidak mengutamakan perkataan seorang makhluk Allah pun daripada sunnah Rasul yang shahih.

3. Kesepakatan (ijma') yang terjadi di masa generasi pertama umat ini, sebelum terjadinya perpecahan, perluasan Islam, serta sebelum bermunculannya bid'ah dan perbedaan pendapat.

Adapun pendapat-pendapat yang datang setelah itu, maka mereka timbang dengan ketiga
dasar ini. Bila sesuai dengannya, maka mereka menerimanya. Tetapi bila tidak sesuai dengannya, maka mereka menolaknya, tanpa memandang siapa yang mengucapkannya. Inilah manhaj yang benar dan pemahaman yang lurus.


AKHLAK AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH


Penulis Rahimahullah Ta'ala mengakhiri tulisan tentang aqidahnya ini dengan sifat-sifat mulia yang disandang oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Di antara kebaikan dan akhlak mulia mereka adalah : Memerintahkan yang ma'ruf dan mencegah yang munkar.

Ma'ruf adalah segala yang dinilai baik oleh syar'i maupun akal sedangkan Munkar adalah segala yang dinilai buruk berdasarkan syar'i maupun akal.

Allah Ta'ala berfirman :

وَلۡتَكُن مِّنكُمۡ أُمَّةٞ يَدۡعُونَ إِلَى ٱلۡخَيۡرِ وَيَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَيَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ

"Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung."
(Ali Imran : 104).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسَتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ, فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَافُ الْإِيمَانِ

"Barangsiapa di antara kalian melihat sesuatu yang munkar, maka hendaklah merubahnya dengan tangannya. Apabila ia tidak mampu, hendaklah dengan lisannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dengan hatinya, dan ini selemah-lemah IMAN."
[Muslim 1/69]

Ketiga hal yang disebutkan dalam hadits ini merupakan tingkatan-tingkatan amar ma'ruf nahyi munkar, yaitu dengan tangan, kemudian dengan lisan, dan terakhir dengan hati.

Di antara akhlak mulia Ahlus Sunnah adalah memberikan nasihat (ketulusan) untuk Allah, rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin, dan kalangan awam mereka; orang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain ibarat bangunan yang tersusun kokoh; mereka mengasihi saudara-saudara muslim mereka; mereka menganjurkan akhlak mulia dan perbuatan yang baik; mereka memerintahkan berlaku sabar dan berbuat baik kepada hamba-hamba Allah sesuai dengan keadaan dan hak mereka, baik kepada kerabat, anak yatim, maupun fakir miskin; dan mereka melarang bersikap congkak dan sombong. Segala yang mereka lakukan tidak lain dalam rangka mengikuti Al-Kitab dan As-Sunah.

Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita berada di dalam thaifah (kelompok) yang senantiasa berada di atas kebenaran, mendapatkan pertolongan, dan yang tidak terkena mudharat. dari orang yang memusuhi atau yang enggan menolong, sampai terjadinya kiamat, sesungguhnya, Dialah yang berwewenang dan berkuasa atas hal itu. Dan semoga Allah melimpahkan shalawat kepada nabi kita, Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, juga kepada segenap keluarga dan sahabatnya, serta siapa saja yang mengikuti mereka dengan baik, hingga hari pembalasan.



Source:
Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Oleh: Sa’id bin Ali bin Wahfi AI-Qahthaniy

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...