BERSAMA DAULAH
ISLAM
ATAU BERSAMA
BADAI
Oleh: Abu Amr
Al-Kinani
Segala puji bagi Allah Rabb semesta Alam.
Sesungguhnya di antara pemikiran rusak
yang menghinggapi manusia seluruhnya, dari kejahatan kekuatan kufur dan
keburukan mereka, adalah pemikiran bahwa manusia selalu diberi pilihan di
dunia, antara mengikuti kebenaran atau melakukan kebatilan, dan tidak ada
seorang pun yang berhak, siapa pun dia nama dan jabatannya, untuk mewajibkan
seseorang atas sebuah keyakinan atau moral, walaupun keyakinan dan moral ini
adalah sebuah kebenaran yang turun dari sisi Allah, hingga mereka membuat metodologi
kebebasan memilih (methodology of free choice) terhadap agama Allah dan dakwah para
nabi alaihimussalam!
Sehingga pengusung metode ini menganggap para
nabi dengan gambaran yang jauh dari hakikat kebenaran, mereka menjadikan para
nabi tidak lebih seperti orang yang memberi pelajaran dan arahan, yang tidak
memiliki kekuasaan sedikit pun atas mereka. Atau mungkin yang sedikit lebih baik,
mereka menganggapnya tidak lebih seperti penasihat politik atau ketua partai
oposisi, lantaran mereka memiliki risalah atau prinsip-prinsip yang berlawanan
dengan prinsip‐prinsip yang berlaku, hanya saja mereka tetap tidak memiliki
kekuasaan untuk merubah keyakinan atau keadaan masyarakat, kecuali dengan satu cara,
yaitu yang sekarang kita kenal dengan “metode perubahan damai/ peaceful means
of changes”, dengan cara menguraikan manhaj mereka di hadapan manusia, lalu
membiarkan mereka memilih dengan sendirinya, tanpa sedikit pun diperbolehkan
untuk menekan atau memaksa, walaupun manhaj yang disandingkan dengannya
merupakan manhaj yang benar‐benar berlawanan dengan manhaj para nabi itu, dan selainnya
dari apa yang mereka senangi untuk dijadikan pilihan.
Maka ketika ada satu kelompok dari umat
ini yang unggul, dan menolak metode menyimpang ini, dalam masalah memilih
antara kebenaran mutlak dan kebatilan murni, di mana kebanyakan manusia – kecuali mereka yang Allah rahmati – telah terkena kotoran dari polusi
pemikiran ini, mereka meyakini bahwa manusia memiliki kebebasan memilih dalam
lingkaran kebenaran, antara mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar, baik
perkataan maupun perbuatan.
Maksudnya cukup dengan menjauhkan hal
yang bersifat kekufuran sharih (jelas) dari opsi pilihan, tapi tetap
membiarkan di dalamnya berbagai jenis bid’ah dan kemunafikan, yang tidak bisa dibedakan
oleh kebanyakan manusia termasuk yang menisbatkan dirinya kepada Islam, siapa
pun dia. Bahkan ada yang menganggap bahwa sebagian bid’ah itu adalah sunnah dan
ittiba’, sedangkan lainnya adalah ghuluw (belebihlebihan), ekstrim dan fanatik
terhadap agama.
Para perintis “teori pilihan” ini telah
lupa, bahwa banyak umat yang berpegang dengan nama Islam, namun mereka telah
keluar dari sifat paling utamanya lantaran perbuatan mereka. Karenanya tidak
mungkin lagi memberikan opsi pilihan bagi manusia dalam keadaan yang baru ini,
bahkan telah menjadi kaedah yang berlaku, bahwa setiap opsi pilihan yang
diberikan kepada manusia hanya akan membawa kepada kesesatan, baik cepat atau
lambat.
BAGIAN 2
DAKWAH NABI NUH
Jika kita berusaha mencari solusi dari
akar masalah dalam tulisan ini, yaitu masalah “kebebasan memilih”, maka kita
katakan: Sesungguhnya dakwah nabi Allah Nuh alaihissalam, sungguh sejak awal telah menyelisihi
metode pemilihan, bahkan memiliki ciri yang sangat kontras, dengan memberikan peringatan
sejak awal dan jelas tentang hukuman bagi para penghalangnya dan orang‐orang
yang menyelisihi kebenaran. Allah berfirman {Dan
sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata), “Sungguh, aku
ini adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kalian, agar kalian tidak
menyembah selain Allah. Aku benar-benar khawatir kalian akan ditimpa azab
(pada) hari yang sangat pedih.” } Hud: 25‐26.
Imam Asy‐Syaukani rahimahullah berkata: “Dan kalimat ‘sesungguhnya
aku khawatir kalian akan ditimpa adzab pada hari yang pedih’ merupakan kalimat ta’liliah (menunjukkan
sebab), yang maknanya: aku larang kalian dari menyembah selain Allah karena aku
khawatir atas kalian, di dalamnya terdapat penekanan makna peringatan, dan
maksud hari yang pedih adalah hari kiamat atau hari taufan (flood) (badai dan
banjir bandang)”.
Dan kata ‘atau’ pada perkataan imam Asy‐Syaukani
memiliki makna penggabungan, dan ini tidak diragukan lagi, karena adzab yang diperingatkan
atas mereka oleh Nuh alaihissalam mencakup dua hal, yakni adzab neraka pada
hari kiamat, dan adzab tenggelam dan badai taufan di dunia, dan adzab yang
menimpa mereka hakekatnya memang mencakup keduanya. Allah berfirman: {Disebabkan kesalahan‐kesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke
neraka, maka mereka tidak mendapat penolong selain Allah.} [QS.Nuh: 25].
Dan yang membuat hal ini semakin jelas
adalah, bahwa konflik yang terjadi antara Nuh dan kaumnya, di saat hari
datangnya banjir yang dijanjikan semakin dekat, maka bahasa ancaman Nuh kepada
mereka semakin bertambah, bahkan Nuh meninggalkan cara perdebatan yang biasa
terjadi di antara mereka, apa lagi setelah turun wahyu yang menjelaskan bahwa tidak
ada lagi yang akan beriman kepadanya kecuali mereka yang telah beriman sebelumnya.
Dan di antara bentuk ancaman yang disampaikan
kepada umatnya, apa yang Allah firmankan: {Dan
mulailah dia (Nuh) membuat kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan
melewatinya, mereka mengejeknya. Dia (Nuh) berkata, “Jika kamu mengejek kami,
maka kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami). Maka kelak
kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan (siapa)
yang akan ditimpa azab yang kekal.”} [QS. Hud: 38‐39].
BAGIAN 3:
MENTADABBURI AYAT-AYAT
INI
Bagi orang‐orang yang merenungi ayat ayat
ini akan menemukan keruntuhan ‘metodologi pilihan’ dalam dakwah seperti yang
mereka yakini, dan di dalamnya ada tantangan dan ancaman balasan yang setimpal
atas perbuatan mereka, bahkan nada ancaman keras ini meruntuhkan bangunan teori
baru tentang ‘pilihan bebas/free of
choice’ dalam dakwah.
Menurut mereka mengancam dengan kehinaan
dan adzab bukanlah alat politik atau dakwah yang sesuai dengan zaman ini, dan
tidak akan menyampaikan kepada tujuannya. Namun ini semua sesungguhnya bukti
atas kelemahan argumen mereka, karena berarti lisan mereka telah menuduh Nabi
Allah Nuh Alaihissalam lebih memilih cara yang tidak efektif
daripada cara yang jauh lebih efektif.
Kemudian datanglah badai banjir bandang,
dan selamatlah bahtera itu, dan bersandar di bukit Judi...
Para penyeru konsep ‘pemilihan bebas’
tidak merenungi hikmah sesungguhnya dari terkenalnya kisah banjir Nabi Nuh alalihissalam, hingga mencapai tingkat mutawatir dan kuat, bahkan dijadikan
permisalan bagi manusia hingga zaman sekarang, mereka tidak merenungi tentang
bukit yang bernama Judi telah menjadi simbol yang nyata dalam sejarah manusia,
juga tentang bahtera Nuh alalihissalam
yang hingga sekarang
masih menjadi tujuan penggalian para arkeolog dari penjuru dunia, sehingga
terjadi kontradiksi, mereka tidak bisa menyerasikan antara hasil politik mereka
dengan apa yang turun temurun diyakini manusia, dibuktikan secara ilmiah dan
oleh peninggalan‐peninggalan sejarah, dan adat kebiasaan masyarakat yang baku.
Dan keimanan manusia telah meyakini hal
ini walau bereda‐berbeda akidah mereka, bahkan seorang bisnisman kaya raya yang
beragama kristen, bernama Danial McGivern telah menyiapkan 900.000 dolar bagi
tim ilmiah yang mampu menemukan bahtera Nabi Nuh alaihissalam.
Dan ini semua tidak lain karena Allah
Azza wa Jalla telah menetapkan dan menyebutkan kisah bahtera ini di dalam
kitab‐Nya, yang menjadikan bahtera ini sebagai bukti yang nyata dan tanda yang
jelas (akan keagungan Allah) dalam kehidupan manusia. Allah berfirman; {Maka Kami selamatkan Nuh dan orang‐orang yang berada di kapal itu, dan Kami
jadikan dia sebagai pelajaran bagi semua manusia.} [QS. Al‐Ankabut: 15].
Ath‐Thahir ibn ‘Asyur berkata: “Dan
firman‐Nya ‘dan Kami jadikan dia sebagai pelajaran
bagi manusia’ kata
ganti di sini (pada kalimat ‘jadikan dia’) maksudnya adalah bahtera”.
Dan makna ‘pelajaran (ayat/tanda)’
adalah; bukti nyata akan terjadinya badai dan banjir bandang, sebagai adzab
dari Allah atas orang‐orang yang mendustakan para rasul, sehingga bahtera ini
menjadi tanda nyata untuk setiap zaman dari umat‐umat yang diutus kepada mereka
rasul-rasul setelah Nuh alaihissalam, sebagai peringatan bagi para pendusta
dan hujjah bagi kaum mukminin.
Allah telah mengekalkan bekas bahtera
Nabi Nuh hingga generasi umat Islam, seperti yang disebutkan dalam Shahih
Al‐Bukhari: Berkata Qathadah: “Telah tersisa peninggalan bahtera (Nuh alaihissalam) di atas bukit Judi hingga dilihat oleh generasi pertama umat ini”.
Dan ada yang mengatakan bahwa hal ini
berlangsung hingga masa‐masa awal Dinasti Abbasiah, kemudian bekas bahtera itu
tertutup salju.
Bukit Judi terletak di dekat Baqirda,
sebuah desa dekat Jazirah Ibnu Umar di Mosul sebelah timur sungai Dijlah. Allah
Ta’ala berfirman di dalam surat Al‐Qamar:
Dan Adapun Allah berfirman ‘bagi seluruh manusia’, maksudnya adalah seluruh penduduk bumi, karena siapa yang tidak
menyaksikan bahtera Nuh alaihissalam
dia bisa
menyaksikan kapal‐kapal lainnya lalu mengingat bahtera Nuh, bagaimana dia membuatnya
dengan bimbingan wahyu dari Allah untuk menyelamatkan Nuh dan orang‐orang yang
Dia kehendaki, dan juga orang-orang saling menceritakan kisah ini turun temurun
hingga kisah ini menjadi mutawatir” (At‐Tahrir wa At‐Tanwir 20: 223).
BADAI ADALAH BANTAHAN
BAGI PARA
PECINTA DAMAI
Jika mereka merenungi semua itu, mereka
pasti akan mengetahui bahwa banjir bandang merupakan bukti yang sangat jelas
atas kesalahan teori ‘pilihan’ antara yang hak dan batil di dalam dakwah, dan
ini merupakan buntut dan hasil yang akan menimpa setiap para penyelisih, ini
juga dalil yang menunjukkan bahwa para penyelisih kebenaran akan dihukum di
dunia sebelum mendapat hukuman di akhirat, dan tidak ada pilihan dalam hal ini.
Dan bahwasanya gunung merupakan simbol perlindungan dan keselamatan dari adzab
bagi orang yang beriman dan berittiba’, dan bahwasanya bahtera merupakan saksi
abadi atas dua hakikat penting berikut ini: Pertama: Bahwa keselematan di dunia
dikhususkan bagi mereka yang menetapi kebenaran dan mengikutinya. Sedangkan
orang yang menyelisihinya maka kebalikannya. Kedua: Di setiap zaman dan tempat,
orang‐orang yang diselamatkan dari adzab adalah orang‐orang dengan jumlah
sedikit (minoritas), sedangkan kelompok mayoritas selalu menjadi kelompok yang
binasa.
Bahkan jika ada yang mengira bahwa Nuh alaihissalam tidak mengetahui tentang masalah banjir bandang sebelum terjadi, maka
sebenarnya dia telah memvonis dirinya dengan ketidak tahuan sebelum
menuduhkannya kepada Nabi Allah Nuh alaihissalam. Jika ada yang mengira bahwa Nuh alaihissalam mengetahui tentang banjir bandang tapi dia menyembunyikannya secara
mutlak dari manusia di kala itu, hingga dia tetap dianggap menjalankan ‘metode
pilihan’, menjauhi metode pengganti berupa ‘teror pemikiran’, berarti dia telah
menuduh Nuh alaihissalam melakukan kecurangan dan penipuan
terhadap siapa yang dia diutus untuknya, karena ingin dianggap baik citranya di
hadapan mereka, padahal pasti Nuh alaihissalam
jauh dari sikap
itu. Lafadz al‐Quran dengan jelas menyebutkan bahwa bentuk ancaman dengan adzab
telah keluar dari kata‐kata Nabi Nuh alaihissalam
tatkala dia
membalas ejekan orang-orang yang diterimanya ketika membangun kapal.
Dan sungguh Allah telah memberi tahu
nabi‐Nya bahwa adzab yang menanti kaumnya yang durhaka adalah ditenggelamkan.
Allah berfirman; {Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan
dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah engkau bicarakan dengan Aku tentang
orang‐orang
yang zalim. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.”} [QS. Hud: 37].
Ringkasan dari pembahasan ini adalah;
bahwa metode yang membiarkan manusia bebas memilih antara kebenaran dan
kebathilan bukanlah berasal dari cara dakwah Nabi Nuh alaihissalam kepada kaumnya, beliau tidak pernah mengatakan kepada kaumnya,
misalnya; “sesungguhnya aku datang kepada kalian dengan membawa kebenaran, dan
ada orang‐orang dari kalian yang mengajak kalian kepada kebathilan, kalian
boleh memilih antara mengikutiku atau mengikuti orang‐orang itu”.
Bahkan beliau tidak pernah mengatakan;
‘sesungguhnya jika kalian mengikutiku maka kalian benar dan jika mengikuti
orang‐orang itu maka kalian salah dan menyelisihi kebenaran’, atau mengatakan;
‘sesungguhnya kalian jika mengikutiku kalian akan selamat dan jika
menyelisihiku dan mengikuti orang‐orang itu maka perhitungan kalian ada pada
Allah, aku telah menyampaikan kewajibanku dan kalian bebas memilihnya’. Namun
dengan jelas dan gamblang nabi Nuh alaihissalam
mengatakan kepada
kaumnya; “Bersamaku atau bersama badai!”.
Seandainya muncul di zaman nabi Nuh alaihissalam orang yang menyeru kepada prinsip kebebasan
memilih bagi kaum Nabi Nuh alaihissalam, dan bahwa Nuh hanyalah
manusia biasa yang menyeru kepada manhaj kebenaran, sehingga tidak berhak
memaksa manusia untuk mengikuti dakwahnya, maka orang seperti ini telah kafir
dengan dakwah Nabi, walaupun dia sendiri menyebut dakwah nabi itu sebagai
seruan kebenaran.
MENYEBARNYA
KEBODOHAN
P A D A K E B A
N Y A K A N
M A N U S I A
Jika ada yang mengatakan; ‘kalian hai
orang-orang yang ekstrim dan berlebihan, kalian telah menerapkan ayat‐ayat yang
turun kepada orang-orang kafir dan musyrik, dan menggunakannya untuk
orang‐orang Islam di zaman ini, dan kalian tidak memperhatikan perbedaan antara
mereka.
Kami jawab; sesungguhnya menyifati
manusia di zaman ini dengan Islam lantaran mereka mengucapkan ‘laa ilaaha illallah’ tidaklah sepantasnya menjadi penghalang untuk melihat sebuah urusan di
atas hakikat sesungguhnya, atau menyifati kenyataan dengan hal yang memang
pantas untuknya.
Yang demikian karena manusia yang
mengucapkan ‘laa ilaaha illaallah’ banyak yang telah terjatuh ke dalam
berbagai kesyirikan, dengan berbagai warna dan jenisnya, seperti syirik dalam
meminta, tawasul dan doa, syirik ketaatan, hukum, dan tasyri’, syirik dalam
cinta, menolong dan loyalitas. Jika kita tetap menyifati manusia hari ini hanya
dengan sifat Islam tanpa memperhatikan hakikat yang sebenarnya terjadi pada
mereka dari berbagai kesyirikan ini, maka sungguh kita telah cukup jauh dari
kenyataan dan kebenaran, dan kita berarti rela dengan kelalaian dan kejumudan tanpa
mau mengobati dan mengoreksi, dan yang seperti ini bukanlah tabiat seorang
mukmin.
Sesungguhnya manusia hari ini benar‐benar
seperti seratus unta yang hampir engkau tidak menemukan darinya yang layak
dijadikan tunggangan, kenyataan ini persis seperti yang dahulu terjadi antara
para nabi dan kaumnya, karena di antara mereka yang memahami dakwah para
nabinya dengan benar adalah kelompok sedikit dari yang sedikit, berbeda jauh
dengan keadaan yang pernah terjadi pada kehidupan islami yang tergambar di masa
para shahabat yang mendapat didikan dari nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau di masa orang‐orang Islam pada zaman Khulafa ar‐Rasyidin, di
mana banyak para shahabat yang menjadi wali atau komandan di kota‐kota kaum
muslimin, dan juga tidak seperti di zaman generasi yang dididik pada masa jihad
melawan Persia, Romawi, penaklukkan Syam, Irak, dan Khurasan, munculnya para
sultan yang kekuasaannya hingga Andalusia di sisi barat pada masa Daulah
Umawiyah, bukan juga seperti zaman di mana para ulama berlomba‐lomba dengan
bebas, bertukar fikiran dan juga para pengikut mereka dalam masalah furu’
setelah masalah ushul melekat kuat di kehidupan masyarakat, tidak ada kelompok
Ba’ats, sekuler, liberal, demokrasi dan lainnya yang berlawanan dengan norma
Tauhid.
Jika engkau ingin mengetahui kenyataan
yang kita hidup di dalamnya, maka dengarkan dan renungilah apa yang disabdakan
oleh Nabi Shallallahu alalihi wa sallam; Dari Imran ibn Hushain radhiyallahu
anhu berkata; Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda;
“Sebaik‐baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian
generasi sesudahnya –Imran berkata; “Aku tidak tahu apakah beliau menyebut kata
generasi sesudah generasinya dua kali atau tiga kali” – kemudian sesudah kalian
akan muncul kaum yang mereka bersaksi padahal tidak diminta bersaksi,
berkhianat dan tidak bisa dipercaya, bersumpah dan tidak memenuhinya, dan menyebarlah
pada mereka kegemukan”. (HR. Al‐Bukhari (3693) dan Muslim 6638)).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata; “Mereka sepakat
bahwa orang terakhir dari generasi tabi’ut tabi’in yang bisa diterima
pendapatnya adalah mereka yang hidup hingga batas menjelang tahun 220, dan pada
tahun ini muncullah secara luas kebid’ahan, orang‐orang mu’tazilah dengan bebas
melepaskan lisan mereka, para ahli filsafat mengangkat kepala mereka, dan ahlul
ilmi diuji untuk mengatakan al‐Quran adalah makhluk, keadaan berubah secara drastis,
dan hal ini terus memburuk hingga sekarang, hingga nampaklah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ‘kemudian menyebarlah kedustaan dengan jelas dan terang, meliputi
perkataan, perbuatan hingga keyakinan”. (Fath al‐Bari 6: 7).
Hanya kepada Allah kita memohon
pertolongan atas apa yang menimpa zaman yang kita hidup di dalamnya ini, dari
berbagai macam kekufuran, kezindikan dan atheisme, yang kebanyakan manusia
telah terserap ke dalam kebanyakan ideology menyimpang ini dan terpengaruh
dengannya, bahkan yang selamat dari mereka pun memilih bergabung dengan
pergerakan islam yang melenceng dari manhaj ahlus
sunnah wal jama’ah, innaa lillahi wa innaa ilaihi raji’un..
Hingga datangnya kembali masa kehidupan
islami yang benar, maka menjadi keharusan bagi kita untuk bersama menghancurkan
prinsip ‘pemberian pilihan’ pada manusia hanya untuk meraih keridhoan mereka
terhadap diri kita, dan janganlah kita menipu mereka dengan hal ini demi
menyenangkan mereka, namun seharusnya kita menghadapi mereka dengan kenyataan
bahwa mereka telah melenceng dari dien, dan kenyataan bahwa kita berpegang
teguh kepada dien ini, dengan kejernihan, kemurnian dan kelengkapannya, tanpa
syubhat syirik, sesat dan bid’ah, dan bahwasanya kita siap sepenuhnya untuk
tegak berdiri menghadapi siapa pun yang mencela kami di atas tekad untuk
memenangkan agama Allah di atas seluruh agama lainnya, dan kami akan terus
memerangi orang‐orang yang menyimpang hingga urusan ini tegak berdiri atau kami
binasa karenanya.
Ya Allah curahkanlah shalawat,
keselamatan dan keberkahan atas nabi‐Mu Muhammad, dan atas keluarga dan para
shahabatnya.
SOURCE: DABIQ
SOURCE: DABIQ
SOURCE: ARTIKEL DABIQ 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar