7/02/2019

BERSAMA DAULAH ISLAM ATAU BERSAMA BADAI


BERSAMA DAULAH ISLAM
ATAU BERSAMA BADAI
Oleh: Abu Amr Al-Kinani



Segala puji bagi Allah Rabb semesta Alam.

Sesungguhnya di antara pemikiran rusak yang menghinggapi manusia seluruhnya, dari kejahatan kekuatan kufur dan keburukan mereka, adalah pemikiran bahwa manusia selalu diberi pilihan di dunia, antara mengikuti kebenaran atau melakukan kebatilan, dan tidak ada seorang pun yang berhak, siapa pun dia nama dan jabatannya, untuk mewajibkan seseorang atas sebuah keyakinan atau moral, walaupun keyakinan dan moral ini adalah sebuah kebenaran yang turun dari sisi Allah, hingga mereka membuat metodologi kebebasan memilih (methodology of free choice) terhadap agama Allah dan dakwah para nabi alaihimussalam!

Sehingga pengusung metode ini menganggap para nabi dengan gambaran yang jauh dari hakikat kebenaran, mereka menjadikan para nabi tidak lebih seperti orang yang memberi pelajaran dan arahan, yang tidak memiliki kekuasaan sedikit pun atas mereka. Atau mungkin yang sedikit lebih baik, mereka menganggapnya tidak lebih seperti penasihat politik atau ketua partai oposisi, lantaran mereka memiliki risalah atau prinsip-prinsip yang berlawanan dengan prinsip‐prinsip yang berlaku, hanya saja mereka tetap tidak memiliki kekuasaan untuk merubah keyakinan atau keadaan masyarakat, kecuali dengan satu cara, yaitu yang sekarang kita kenal dengan “metode perubahan damai/ peaceful means of changes”, dengan cara menguraikan manhaj mereka di hadapan manusia, lalu membiarkan mereka memilih dengan sendirinya, tanpa sedikit pun diperbolehkan untuk menekan atau memaksa, walaupun manhaj yang disandingkan dengannya merupakan manhaj yang benar‐benar berlawanan dengan manhaj para nabi itu, dan selainnya dari apa yang mereka senangi untuk dijadikan pilihan.

Maka ketika ada satu kelompok dari umat ini yang unggul, dan menolak metode menyimpang ini, dalam masalah memilih antara kebenaran mutlak dan kebatilan murni, di mana kebanyakan manusia – kecuali mereka yang Allah rahmati – telah terkena kotoran dari polusi pemikiran ini, mereka meyakini bahwa manusia memiliki kebebasan memilih dalam lingkaran kebenaran, antara mana yang ma’ruf dan mana yang mungkar, baik perkataan maupun perbuatan.

Maksudnya cukup dengan menjauhkan hal yang bersifat kekufuran sharih (jelas) dari opsi pilihan, tapi tetap membiarkan di dalamnya berbagai jenis bid’ah dan kemunafikan, yang tidak bisa dibedakan oleh kebanyakan manusia termasuk yang menisbatkan dirinya kepada Islam, siapa pun dia. Bahkan ada yang menganggap bahwa sebagian bid’ah itu adalah sunnah dan ittiba’, sedangkan lainnya adalah ghuluw (belebihlebihan), ekstrim dan fanatik terhadap agama.

Para perintis “teori pilihan” ini telah lupa, bahwa banyak umat yang berpegang dengan nama Islam, namun mereka telah keluar dari sifat paling utamanya lantaran perbuatan mereka. Karenanya tidak mungkin lagi memberikan opsi pilihan bagi manusia dalam keadaan yang baru ini, bahkan telah menjadi kaedah yang berlaku, bahwa setiap opsi pilihan yang diberikan kepada manusia hanya akan membawa kepada kesesatan, baik cepat atau lambat.

BAGIAN 2
DAKWAH NABI NUH

Jika kita berusaha mencari solusi dari akar masalah dalam tulisan ini, yaitu masalah “kebebasan memilih”, maka kita katakan: Sesungguhnya dakwah nabi Allah Nuh alaihissalam, sungguh sejak awal telah menyelisihi metode pemilihan, bahkan memiliki ciri yang sangat kontras, dengan memberikan peringatan sejak awal dan jelas tentang hukuman bagi para penghalangnya dan orang‐orang yang menyelisihi kebenaran. Allah berfirman {Dan sungguh, Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, (dia berkata), “Sungguh, aku ini adalah pemberi peringatan yang nyata bagi kalian, agar kalian tidak menyembah selain Allah. Aku benar-benar khawatir kalian akan ditimpa azab (pada) hari yang sangat pedih.” } Hud: 25‐26.

Imam Asy‐Syaukani rahimahullah berkata: “Dan kalimat ‘sesungguhnya aku khawatir kalian akan ditimpa adzab pada hari yang pedih’ merupakan kalimat ta’liliah (menunjukkan sebab), yang maknanya: aku larang kalian dari menyembah selain Allah karena aku khawatir atas kalian, di dalamnya terdapat penekanan makna peringatan, dan maksud hari yang pedih adalah hari kiamat atau hari taufan (flood) (badai dan banjir bandang)”.

Dan kata ‘atau’ pada perkataan imam Asy‐Syaukani memiliki makna penggabungan, dan ini tidak diragukan lagi, karena adzab yang diperingatkan atas mereka oleh Nuh alaihissalam mencakup dua hal, yakni adzab neraka pada hari kiamat, dan adzab tenggelam dan badai taufan di dunia, dan adzab yang menimpa mereka hakekatnya memang mencakup keduanya. Allah berfirman: {Disebabkan kesalahankesalahan mereka, mereka ditenggelamkan lalu dimasukkan ke neraka, maka mereka tidak mendapat penolong selain Allah.} [QS.Nuh: 25].

Dan yang membuat hal ini semakin jelas adalah, bahwa konflik yang terjadi antara Nuh dan kaumnya, di saat hari datangnya banjir yang dijanjikan semakin dekat, maka bahasa ancaman Nuh kepada mereka semakin bertambah, bahkan Nuh meninggalkan cara perdebatan yang biasa terjadi di antara mereka, apa lagi setelah turun wahyu yang menjelaskan bahwa tidak ada lagi yang akan beriman kepadanya kecuali mereka yang telah beriman sebelumnya.

Dan di antara bentuk ancaman yang disampaikan kepada umatnya, apa yang Allah firmankan: {Dan mulailah dia (Nuh) membuat kapal. Setiap kali pemimpin kaumnya berjalan melewatinya, mereka mengejeknya. Dia (Nuh) berkata, “Jika kamu mengejek kami, maka kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami). Maka kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan (siapa) yang akan ditimpa azab yang kekal.”} [QS. Hud: 38‐39].

BAGIAN 3:
MENTADABBURI AYAT-AYAT INI

Bagi orang‐orang yang merenungi ayat ayat ini akan menemukan keruntuhan ‘metodologi pilihan’ dalam dakwah seperti yang mereka yakini, dan di dalamnya ada tantangan dan ancaman balasan yang setimpal atas perbuatan mereka, bahkan nada ancaman keras ini meruntuhkan bangunan teori baru tentang ‘pilihan bebas/free of choice’ dalam dakwah.

Menurut mereka mengancam dengan kehinaan dan adzab bukanlah alat politik atau dakwah yang sesuai dengan zaman ini, dan tidak akan menyampaikan kepada tujuannya. Namun ini semua sesungguhnya bukti atas kelemahan argumen mereka, karena berarti lisan mereka telah menuduh Nabi Allah Nuh Alaihissalam lebih memilih cara yang tidak efektif daripada cara yang jauh lebih efektif.

Kemudian datanglah badai banjir bandang, dan selamatlah bahtera itu, dan bersandar di bukit Judi...

Para penyeru konsep ‘pemilihan bebas’ tidak merenungi hikmah sesungguhnya dari terkenalnya kisah banjir Nabi Nuh alalihissalam, hingga mencapai tingkat mutawatir dan kuat, bahkan dijadikan permisalan bagi manusia hingga zaman sekarang, mereka tidak merenungi tentang bukit yang bernama Judi telah menjadi simbol yang nyata dalam sejarah manusia, juga tentang bahtera Nuh alalihissalam yang hingga sekarang masih menjadi tujuan penggalian para arkeolog dari penjuru dunia, sehingga terjadi kontradiksi, mereka tidak bisa menyerasikan antara hasil politik mereka dengan apa yang turun temurun diyakini manusia, dibuktikan secara ilmiah dan oleh peninggalan‐peninggalan sejarah, dan adat kebiasaan masyarakat yang baku.

Dan keimanan manusia telah meyakini hal ini walau bereda‐berbeda akidah mereka, bahkan seorang bisnisman kaya raya yang beragama kristen, bernama Danial McGivern telah menyiapkan 900.000 dolar bagi tim ilmiah yang mampu menemukan bahtera Nabi Nuh alaihissalam.
Dan ini semua tidak lain karena Allah Azza wa Jalla telah menetapkan dan menyebutkan kisah bahtera ini di dalam kitab‐Nya, yang menjadikan bahtera ini sebagai bukti yang nyata dan tanda yang jelas (akan keagungan Allah) dalam kehidupan manusia. Allah berfirman; {Maka Kami selamatkan Nuh dan orangorang yang berada di kapal itu, dan Kami jadikan dia sebagai pelajaran bagi semua manusia.} [QS. Al‐Ankabut: 15].

Ath‐Thahir ibn ‘Asyur berkata: “Dan firman‐Nya ‘dan Kami jadikan dia sebagai pelajaran bagi manusia’ kata ganti di sini (pada kalimat ‘jadikan dia’) maksudnya adalah bahtera”.

Dan makna ‘pelajaran (ayat/tanda)’ adalah; bukti nyata akan terjadinya badai dan banjir bandang, sebagai adzab dari Allah atas orang‐orang yang mendustakan para rasul, sehingga bahtera ini menjadi tanda nyata untuk setiap zaman dari umat‐umat yang diutus kepada mereka rasul-rasul setelah Nuh alaihissalam, sebagai peringatan bagi para pendusta dan hujjah bagi kaum mukminin.
Allah telah mengekalkan bekas bahtera Nabi Nuh hingga generasi umat Islam, seperti yang disebutkan dalam Shahih Al‐Bukhari: Berkata Qathadah: “Telah tersisa peninggalan bahtera (Nuh alaihissalam) di atas bukit Judi hingga dilihat oleh generasi pertama umat ini”.

Dan ada yang mengatakan bahwa hal ini berlangsung hingga masa‐masa awal Dinasti Abbasiah, kemudian bekas bahtera itu tertutup salju.

Bukit Judi terletak di dekat Baqirda, sebuah desa dekat Jazirah Ibnu Umar di Mosul sebelah timur sungai Dijlah. Allah Ta’ala berfirman di dalam surat Al‐Qamar:

Dan Adapun Allah berfirman ‘bagi seluruh manusia’, maksudnya adalah seluruh penduduk bumi, karena siapa yang tidak menyaksikan bahtera Nuh alaihissalam dia bisa menyaksikan kapal‐kapal lainnya lalu mengingat bahtera Nuh, bagaimana dia membuatnya dengan bimbingan wahyu dari Allah untuk menyelamatkan Nuh dan orang‐orang yang Dia kehendaki, dan juga orang-orang saling menceritakan kisah ini turun temurun hingga kisah ini menjadi mutawatir” (At‐Tahrir wa At‐Tanwir 20: 223).


BADAI ADALAH BANTAHAN
BAGI PARA PECINTA DAMAI

Jika mereka merenungi semua itu, mereka pasti akan mengetahui bahwa banjir bandang merupakan bukti yang sangat jelas atas kesalahan teori ‘pilihan’ antara yang hak dan batil di dalam dakwah, dan ini merupakan buntut dan hasil yang akan menimpa setiap para penyelisih, ini juga dalil yang menunjukkan bahwa para penyelisih kebenaran akan dihukum di dunia sebelum mendapat hukuman di akhirat, dan tidak ada pilihan dalam hal ini. Dan bahwasanya gunung merupakan simbol perlindungan dan keselamatan dari adzab bagi orang yang beriman dan berittiba’, dan bahwasanya bahtera merupakan saksi abadi atas dua hakikat penting berikut ini: Pertama: Bahwa keselematan di dunia dikhususkan bagi mereka yang menetapi kebenaran dan mengikutinya. Sedangkan orang yang menyelisihinya maka kebalikannya. Kedua: Di setiap zaman dan tempat, orang‐orang yang diselamatkan dari adzab adalah orang‐orang dengan jumlah sedikit (minoritas), sedangkan kelompok mayoritas selalu menjadi kelompok yang binasa.

Bahkan jika ada yang mengira bahwa Nuh alaihissalam tidak mengetahui tentang masalah banjir bandang sebelum terjadi, maka sebenarnya dia telah memvonis dirinya dengan ketidak tahuan sebelum menuduhkannya kepada Nabi Allah Nuh alaihissalam. Jika ada yang mengira bahwa Nuh alaihissalam mengetahui tentang banjir bandang tapi dia menyembunyikannya secara mutlak dari manusia di kala itu, hingga dia tetap dianggap menjalankan ‘metode pilihan’, menjauhi metode pengganti berupa ‘teror pemikiran’, berarti dia telah menuduh Nuh alaihissalam melakukan kecurangan dan penipuan terhadap siapa yang dia diutus untuknya, karena ingin dianggap baik citranya di hadapan mereka, padahal pasti Nuh alaihissalam jauh dari sikap itu. Lafadz al‐Quran dengan jelas menyebutkan bahwa bentuk ancaman dengan adzab telah keluar dari kata‐kata Nabi Nuh alaihissalam tatkala dia membalas ejekan orang-orang yang diterimanya ketika membangun kapal.

Dan sungguh Allah telah memberi tahu nabi‐Nya bahwa adzab yang menanti kaumnya yang durhaka adalah ditenggelamkan. Allah berfirman; {Dan buatlah kapal itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah engkau bicarakan dengan Aku tentang orangorang yang zalim. Sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan.”} [QS. Hud: 37].

Ringkasan dari pembahasan ini adalah; bahwa metode yang membiarkan manusia bebas memilih antara kebenaran dan kebathilan bukanlah berasal dari cara dakwah Nabi Nuh alaihissalam kepada kaumnya, beliau tidak pernah mengatakan kepada kaumnya, misalnya; “sesungguhnya aku datang kepada kalian dengan membawa kebenaran, dan ada orang‐orang dari kalian yang mengajak kalian kepada kebathilan, kalian boleh memilih antara mengikutiku atau mengikuti orang‐orang itu”.

Bahkan beliau tidak pernah mengatakan; ‘sesungguhnya jika kalian mengikutiku maka kalian benar dan jika mengikuti orang‐orang itu maka kalian salah dan menyelisihi kebenaran’, atau mengatakan; ‘sesungguhnya kalian jika mengikutiku kalian akan selamat dan jika menyelisihiku dan mengikuti orang‐orang itu maka perhitungan kalian ada pada Allah, aku telah menyampaikan kewajibanku dan kalian bebas memilihnya’. Namun dengan jelas dan gamblang nabi Nuh alaihissalam mengatakan kepada kaumnya; “Bersamaku atau bersama badai!”.

Seandainya muncul di zaman nabi Nuh alaihissalam orang yang menyeru kepada prinsip kebebasan
memilih bagi kaum Nabi Nuh alaihissalam, dan bahwa Nuh hanyalah manusia biasa yang menyeru kepada manhaj kebenaran, sehingga tidak berhak memaksa manusia untuk mengikuti dakwahnya, maka orang seperti ini telah kafir dengan dakwah Nabi, walaupun dia sendiri menyebut dakwah nabi itu sebagai seruan kebenaran.

MENYEBARNYA KEBODOHAN
P A D A K E B A N Y A K A N
M A N U S I A

Jika ada yang mengatakan; ‘kalian hai orang-orang yang ekstrim dan berlebihan, kalian telah menerapkan ayat‐ayat yang turun kepada orang-orang kafir dan musyrik, dan menggunakannya untuk orang‐orang Islam di zaman ini, dan kalian tidak memperhatikan perbedaan antara mereka.

Kami jawab; sesungguhnya menyifati manusia di zaman ini dengan Islam lantaran mereka mengucapkan ‘laa ilaaha illallah’ tidaklah sepantasnya menjadi penghalang untuk melihat sebuah urusan di atas hakikat sesungguhnya, atau menyifati kenyataan dengan hal yang memang pantas untuknya.

Yang demikian karena manusia yang mengucapkan ‘laa ilaaha illaallah’ banyak yang telah terjatuh ke dalam berbagai kesyirikan, dengan berbagai warna dan jenisnya, seperti syirik dalam meminta, tawasul dan doa, syirik ketaatan, hukum, dan tasyri’, syirik dalam cinta, menolong dan loyalitas. Jika kita tetap menyifati manusia hari ini hanya dengan sifat Islam tanpa memperhatikan hakikat yang sebenarnya terjadi pada mereka dari berbagai kesyirikan ini, maka sungguh kita telah cukup jauh dari kenyataan dan kebenaran, dan kita berarti rela dengan kelalaian dan kejumudan tanpa mau mengobati dan mengoreksi, dan yang seperti ini bukanlah tabiat seorang mukmin.

Sesungguhnya manusia hari ini benar‐benar seperti seratus unta yang hampir engkau tidak menemukan darinya yang layak dijadikan tunggangan, kenyataan ini persis seperti yang dahulu terjadi antara para nabi dan kaumnya, karena di antara mereka yang memahami dakwah para nabinya dengan benar adalah kelompok sedikit dari yang sedikit, berbeda jauh dengan keadaan yang pernah terjadi pada kehidupan islami yang tergambar di masa para shahabat yang mendapat didikan dari nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau di masa orang‐orang Islam pada zaman Khulafa ar‐Rasyidin, di mana banyak para shahabat yang menjadi wali atau komandan di kota‐kota kaum muslimin, dan juga tidak seperti di zaman generasi yang dididik pada masa jihad melawan Persia, Romawi, penaklukkan Syam, Irak, dan Khurasan, munculnya para sultan yang kekuasaannya hingga Andalusia di sisi barat pada masa Daulah Umawiyah, bukan juga seperti zaman di mana para ulama berlomba‐lomba dengan bebas, bertukar fikiran dan juga para pengikut mereka dalam masalah furu’ setelah masalah ushul melekat kuat di kehidupan masyarakat, tidak ada kelompok Ba’ats, sekuler, liberal, demokrasi dan lainnya yang berlawanan dengan norma Tauhid.

Jika engkau ingin mengetahui kenyataan yang kita hidup di dalamnya, maka dengarkan dan renungilah apa yang disabdakan oleh Nabi Shallallahu alalihi wa sallam; Dari Imran ibn Hushain radhiyallahu anhu berkata; Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Sebaik‐baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi sesudahnya, kemudian generasi sesudahnya –Imran berkata; “Aku tidak tahu apakah beliau menyebut kata generasi sesudah generasinya dua kali atau tiga kali” – kemudian sesudah kalian akan muncul kaum yang mereka bersaksi padahal tidak diminta bersaksi, berkhianat dan tidak bisa dipercaya, bersumpah dan tidak memenuhinya, dan menyebarlah pada mereka kegemukan”. (HR. Al‐Bukhari (3693) dan Muslim 6638)).

Ibnu Hajar rahimahullah berkata; “Mereka sepakat bahwa orang terakhir dari generasi tabi’ut tabi’in yang bisa diterima pendapatnya adalah mereka yang hidup hingga batas menjelang tahun 220, dan pada tahun ini muncullah secara luas kebid’ahan, orang‐orang mu’tazilah dengan bebas melepaskan lisan mereka, para ahli filsafat mengangkat kepala mereka, dan ahlul ilmi diuji untuk mengatakan al‐Quran adalah makhluk, keadaan berubah secara drastis, dan hal ini terus memburuk hingga sekarang, hingga nampaklah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ‘kemudian menyebarlah kedustaan dengan jelas dan terang, meliputi perkataan, perbuatan hingga keyakinan”. (Fath al‐Bari 6: 7).

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan atas apa yang menimpa zaman yang kita hidup di dalamnya ini, dari berbagai macam kekufuran, kezindikan dan atheisme, yang kebanyakan manusia telah terserap ke dalam kebanyakan ideology menyimpang ini dan terpengaruh dengannya, bahkan yang selamat dari mereka pun memilih bergabung dengan pergerakan islam yang melenceng dari manhaj ahlus sunnah wal jama’ah, innaa lillahi wa innaa ilaihi raji’un..

Hingga datangnya kembali masa kehidupan islami yang benar, maka menjadi keharusan bagi kita untuk bersama menghancurkan prinsip ‘pemberian pilihan’ pada manusia hanya untuk meraih keridhoan mereka terhadap diri kita, dan janganlah kita menipu mereka dengan hal ini demi menyenangkan mereka, namun seharusnya kita menghadapi mereka dengan kenyataan bahwa mereka telah melenceng dari dien, dan kenyataan bahwa kita berpegang teguh kepada dien ini, dengan kejernihan, kemurnian dan kelengkapannya, tanpa syubhat syirik, sesat dan bid’ah, dan bahwasanya kita siap sepenuhnya untuk tegak berdiri menghadapi siapa pun yang mencela kami di atas tekad untuk memenangkan agama Allah di atas seluruh agama lainnya, dan kami akan terus memerangi orang‐orang yang menyimpang hingga urusan ini tegak berdiri atau kami binasa karenanya.

Ya Allah curahkanlah shalawat, keselamatan dan keberkahan atas nabi‐Mu Muhammad, dan atas keluarga dan para shahabatnya.

SOURCE: DABIQ

 
SOURCE: ARTIKEL DABIQ 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ

TALBIS IBLIS Terhadap Golongan KHAWARIJ Oleh: Ibnul Jauzi Orang Khawarij yang pertama kali dan yang paling buruk keadaannya ada...