SYAIKH ‘ALLAMAH
ABDUL QODIR ABDUL AZIZ
KEDUDUKAN TAUHID DAN JIHAD
Alih Bahasa: MUHAMMAD ROHIL AS-SOLOFI
1. T A U H I D
ADALAH KEWAJIBAN YANG PERTAMA
Pensyarh kitab Al 'Aqidah Ath Thohawiyah berkata: “Kewajiban pertama
yang harus dikerjakan oleh setiap mukallaf (orang yang berakal yang telah
baligh) adalah bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan yang hakiki) selain
Alloh.”
Ibnu Abbas ra berkata: Ketika Nabi SAW mengutus Mu’adz bin Jabal ke
negeri Yaman, beliau bersabda kepadanya:
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi sebuah kaum dari kalangan ahlul
kitab, maka hendaknya pertama kali kamu serukan kepada mereka adalah agar
mereka mengesakan Alloh ta’ala. Apabila mereka telah mengetahui hal itu maka
beritahukanlah kepada mereka bahwa Alloh telah mewajibkan kepada mereka untuk
melaksanakan sholat lima waktu” (HR. Al-Bukhori).
Dalam riwayat lain:
“Apabila kamu datang kepada mereka serukanlah agar mereka bersaksi
bahwa tiada ilah (sesembahan yang hakiki) selain Alloh dan Muhammad adalah
utusan Alloh.” (HR. Muttafaqun ‘alaih)
Hadits itu menunjukkan bahwa tauhid - yang diterima dengan cara
mengikrarkan dua kalimat syahadat - itu adalah kewajiban yang paling pertama,
dan sesungguhnya khitob (perintah) yang berupa kewajiban-kewajiban dan
syariat-syariat - yang berbentuk ibadah - tidak terwujud kecuali setelah
mengikrarkan keimanan dan tauhid.
Alloh Ta’ala berfirman:
وَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلۡإِيمَٰنِ
فَقَدۡ حَبِطَ عَمَلُهُ
“Dan barang siapa yang mengingkari keimanan
maka telah terhapus amalnya.” [Al Maidah : 5]
Maka tidak ada perintah (khitob) yang berupa syareat-syareat kecuali
setelah iman.
2. IMAN ITU
ADA YANG FARDLU ‘AIN
DAN ADA YANG FARDLU KIFAYAH
Tauhid adalah rukun yang pertama dalam rukun iman yang berjumlah enam,
sementara iman itu ada yang fardhu ‘ain, yaitu iman yang mujmal (secara global)
dan ada yang fardhu kifayah, yaitu iman yang mufashol (secara terperinci) yang
mana iman yang mufashol ini merupakan buah dari ilmu. Ibnu Taimiyah rohimahulloh
berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa setiap orang wajib untuk beriman secara mujmal
(global) dengan ajaran yang dibawa oleh Rosululloh SAW, dan tidak diragukan
lagi bahwa mengetahui ajaran yang dibawa oleh Rosululloh SAW secara mufashol (terperinci)
itu adalah fardhu kifayah”. [Majmu’ Fatawa : III / 312] Perkataan ini
disebutkan secara lengkap oleh pensyarah kitab Al 'Aqidah Ath Thohawiyah. [Syarh
Al Aqidah Ath Thohawiyah hal. 66, cet. Al Maktab Al Islaami 1403 H]
Ibnu Hajar rohimahulloh mengatakan bahwa: Imam Al-Ghozali berkata:
“Suatu kaum telah melampaui batas, mereka mengkafirkan kaum muslimin yang
awwam, dan mereka menganggap bahwa orang yang tidak mengetahui al 'aqo-id asy
syar'iyah (keyakinan-keyakinan dalam syariat) beserta dalil-dalilnya yang
mereka paparkan, maka orang tersebut kafir. Dengan demikian mereka telah
menyempitkan rahmat Alloh yang luas, dan menjadikan syurga yang luas itu khusus
hanya untuk segelintir mutakallimin (orang-orang ahli filsafat).
Yang senada dengan ini juga dikatakan oleh Abul Mudhofar bin As
Sam’ani, dan beliau membantah secara panjang lebar terhadap orang yang
berpendapat seperti ini. Beliau juga menukil dari kebanyakan para imam fatwa,
bahwa mereka mengatakan: Tidak boleh memberikan beban kepada masyarakat awam
untuk meyakini dasar-dasar aqidah disertai dalil-dalilnya, karena hal itu
terkadang lebih berat daripada mempelajari cabang-cabang fiqh. ” [Fat-hul Bari
XIII / 349]
Ibnu Hajar juga mengatakan bahwa: “Sebagian di antara mereka ada yang
berkata: Yang dituntut dari setiap orang adalah membenarkan secara mantap
dengan tidak bercampur dengan keraguan terhadap wujud Alloh ta’ala dan beriman
kepada para Rosul-Nya serta ajaran yang mereka bawa, dengan cara bagaimanapun
dia melakukannya dan dengan jalan apa saja yang dapat menghantarkan dia seperti
itu, walaupun hanya semata-mata dengan taqlid (ikut-ikutan) apabila hal itu
dapat membebaskannya dari kebimbangan. Imam Al-Qurthubi berkata: Inilah yang
dilakukan oleh para imam fatwa dan para imam salaf sebelum mereka. Kemudian
sebagian mereka berhujjah dengan perkataan yang telah disebutkan di muka
mengenai dasar fithroh dan dengan hadits mutawatir dari Nabi SAW, kemudian para
sahabat, bahwasanya mereka semua menganggap Islam terhadap setiap orang yang
masuk Islam dari orang-orang Arab kolot penyembah berhala, mereka semua
menerima orang-orang Arab kolot penyembah berhala tersebut (sebagai orang
Islam-pent.) dengan mengikrarkan dua kalimat syahadat, dan dengan melaksanakan
hukum-hukum Islam tanpa mengharuskan mereka untuk mempelajari dalil-dalilnya.”
[ Fat-hul Bari XIII / 352-353].
3. TAUHID ADALAH TUJUAN
SEDANGKAN
JIHAD SALAH SATU SARANA
UNTUK MEWUJUDKANNYA
Alloh ta’ala berfirman:
وَقَٰتِلُوهُمۡ حَتَّىٰ لَا
تَكُونَ فِتۡنَةٞ وَيَكُونَ ٱلدِّينُ كُلُّهُۥ لِلَّهِۚ
“Dan perangilah mereka sehingga tidak ada fitnah dan sehingga seluruh
agama menjadi milik Alloh.” [Al Anfal : 39]
Dan Rosululloh SAW bersabda:
أٌمِرْتُ
أَنْ أُقَاتِلِ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَ أَنَّ
مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهَ
“Aku diperintahkan untuk memerangi seluruh manusia hingga mereka
bersaksi bahwa tidak ada ilah (sesembahan yang hakiki) selain Alloh dan bahwa
Muhammad adalah Rosululloh.” (HR. Muttafaqun ‘Alaih).
Dan Nabi SAW bersabda:
بُعِثْتُ
بَيْنَ يَدَى السَّاعَةَ بِالسَّيْفِ حَتَّى يُعْبَدُ اللهُ تَعَالَى وَحْدَهُ لَا
شَرِيْكَ لَهُ
“Aku diutus menjelang hari kiyamat dengan pedang sehingga hanya Alloh
ta’ala saja yang diibadahi, tidak ada sekutu bagi-Nya” (HR.Ahmad, dan
dishohihkan oleh Al-Albani).
Sebagaimana yang anda lihat, kata “ حتى ” (sehingga) diulang-ulang pada ketiga hadits di atas,
sedangkan kata “ حتى ”
(sehingga) itu berfungsi sebagai tujuan, yaitu apa yang disebutkan sesudah kata
tersebut merupakan tujuan dari apa yang disebutkan sebelum kata tersebut [Sayrhut
Talwih I / 112]. Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa tauhid itu
adalah tujuan dari jihad sedangkan jihad adalah sarana untuk mewujudkan tauhid.
Dengan begitu dapat kita pahami bahwa jihad bukan merupakan sebuah tujuan,
akan tetapi jihad itu fungsinya adalah untuk mewujudkan tauhid. Dan diantara
yang dapat menjelaskan permasalahan ini secara gamblang adalah: Jika kita
memahami bahwasanya Alloh ta’ala mewajibkan kepada seluruh para nabi dan
seluruh umat untuk bertauhid, sebagaimana yang diterangkan dalam firman Alloh ta’ala:
وَلَقَدۡ بَعَثۡنَا فِي
كُلِّ أُمَّةٖ رَّسُولًا أَنِ ٱعۡبُدُواْ ٱللَّهَ وَٱجۡتَنِبُواْ ٱلطَّٰغُوتَۖ
“Dan telah Kami utus kepada tiap-tiap umat seorang Rosul agar yang
menyerukan: beribadahlah kalian kepada Alloh dan jauhilah thoghut.” [An Nahl :
36]
Akan tetapi Alloh tidak mewajibkan jihad -dalam bentuk peperangan
orang-orang mu’min melawan orang-orang kafir - terhadap seluruh Nabi karena
kewajiban jihad itu dimulai pada masa Nabi Musa 'alaihis salam. Hal ini
disebutkan oleh Al-Qurthubi di dalam tafsirannya terhadap firman Alloh ta'ala yang
berbunyi:
إِنَّ ٱللَّهَ ٱشۡتَرَىٰ
مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَنفُسَهُمۡ وَأَمۡوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلۡجَنَّةَ
“Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang mu’min…” [At
Taubah: 111] [Tafsir Al Qurthubi VIII / 268]
Dan disebutkan oleh Ibnu Katsir di dalam tafsirannya terhadap firman
Alloh ta'ala yang berbunyi:
وَلَقَدۡ ءَاتَيۡنَا مُوسَى
ٱلۡكِتَٰبَ مِنۢ بَعۡدِ مَآ أَهۡلَكۡنَا ٱلۡقُرُونَ ٱلۡأُولَىٰ بَصَآئِرَ
لِلنَّاسِ وَهُدٗى وَرَحۡمَةٗ لَّعَلَّهُمۡ يَتَذَكَّرُونَ
“Dan sesungguhnya telah kami berikan kepada Musa Al-Kitab (Taurot)
sesudah kami binasakan generasi-generasi yang terdahulu” [Al Qoshosh: 43]
[Tafsir Ibnu Katsir III / 390].
4. DALAM BEBERAPA KEADAAN JIHAD
HUKUMNYA FARDHU ‘AIN SEDANGKAN ORANG YANG
MENINGGALKAN JIHAD YANG BERHUKUM FARDHU ‘AIN ITU ADALAH BERDOSA BESAR DAN FASIQ
Keadaan-keadaan yang mana pada saat itu jihad fardhu ‘ain itu ada 3
yaitu:
A. Apabila dua barisan (barisan orang beriman dan barisan orang kafir)
saling bertemu dan dua pasukan saling berhadapan. Hal ini berdasarkan firman
Alloh ta’ala yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ زَحۡفٗا فَلَا تُوَلُّوهُمُ ٱلۡأَدۡبَارَ
* وَمَن يُوَلِّهِمۡ
يَوۡمَئِذٖ دُبُرَهُۥٓ إِلَّا مُتَحَرِّفٗا لِّقِتَالٍ أَوۡ مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ
فِئَةٖ فَقَدۡ بَآءَ بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَمَأۡوَىٰهُ جَهَنَّمُۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ
*
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang
kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kalian membelakangi mereka
(mundur). Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) pada waktu itu,
kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak bergabung dengan pasukan
yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari
Alloh, dan tempatnya adalah Neraka Jahannam dan amat buruklah tempat kembalinya.”
[Al Anfal: 15-16.]
Dan firman Alloh:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُوٓاْ إِذَا لَقِيتُمۡ فِئَةٗ فَٱثۡبُتُواْ وَٱذۡكُرُواْ ٱللَّهَ كَثِيرٗا
لَّعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ
“Apabila kalian bertemu dengan musuh maka tetap teguhlah” [Al Anfal:
45.]
B. Apabila musuh menyerang suatu negeri tertentu, fardlu 'ain hukumnya
bagi penduduk negeri tersebut untuk memerangi musuh yang menyerang tersebut.
Dalil atas wajibnya hal ini adalah juga ayat-ayat di atas karena disini juga
terjadi pertemuan dengan orang-orang kafir, dan pertemuan dengan sebuah
kelompok yang menyerang kaum muslimin. Inilah yang dimaksudkan oleh DR.
Abdulloh Azzam rohimahulloh dengan “Membela Negeri-negeri Kaum Muslimin” ( الدفاع عن أراضي المسلمين )
C. Apabila imam melakukan istinfar (memobilisasi) suatu kaum untuk
berangkat berperang, maka mereka wajib berangkat bersamanya.
Karena Alloh ta’ala berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلۡتُمۡ
إِلَى ٱلۡأَرۡضِۚ أَرَضِيتُم بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا مِنَ ٱلۡأٓخِرَةِۚ فَمَا
مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ ....
“Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika dikatakan kepada kalian:
“Berangkatlah untuk berperang di jalan Alloh!", kalian merasa berat dan
ingin tinggal di tempatmu?”
Hingga firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
إِلَّا تَنفِرُواْ
يُعَذِّبۡكُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا وَيَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَكُمۡ وَلَا
تَضُرُّوهُ شَيۡٔٗاۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ
“Jika kamu tidak berangkat berperang, niscaya Alloh akan menyiksa
kalian dengan siksaan yang pedih” [At Taubah : 38-39.]
Dan Sabda Nabi SAW:
إِذَا
اسْتَنْفِرُوا فَانْفِرُوا
“Apabila kalian diperintahkan untuk berangkat berperang maka
berangkatlah.” (Muttafaqun ‘alaih).
Inilah kondisi-kondisi di mana pasa saat itu jihad hukumnya fardhu
‘ain sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah [Al Mughni Wa Syarhul Kabir
X / 365]. Dan anda dapat lihat sendiri bahwa orang-orang yang tidak
melaksanakan jihad ketika hukumnya fardhu ‘ain, ia diancam mendapatkan
kemarahan dari Alloh ta’ala dan mendapatkan siksaan, sebagaimana disebutkan
dalam firman Alloh ta’ala:
فَقَدْ
بَآءَ بِغَضَبٍ مَّنَ اللَّهِ وَمأْوَاهُ جَهَنَّمُ
… sungguh dia mendapat kemarahan dari Alloh dan tempat kembalinya
adalah Jahannam…
Dan firman Alloh:
إِلَّا
تَنفِرُواْ يُعَذِّبۡكُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا
“Jika kalian tidak berangkat jihad niscaya Alloh akan menyiksa
kalian dengan siksaan yang pedih”.
Dan oleh karena di antara tanda-tanda dosa besar itu adalah
disebutkannya ancaman di akherat, maka dengan demikian setiap orang yang tidak
melaksanakan jihad ketika hukumnya fardhu ‘ain, ia berdosa besar karena dia
diancam dengan siksaan, dan pelaku dosa besar itu adalah fasiq, sedangkan orang
yang fasiq gugur sifat 'adalahnya (artinya; dia tidak dapat dipercaya
lagi-pent.) baik 'adalahtur riwayah (kepercayaan untuk menjadi rowi) maupun 'adalatusy
syahadah (kepercayaan untuk menjadi saksi-pent.).
5. SYARAT-SYARAT DIWAJIBKANNYA JIHAD
Syarat-syarat
yang menjadikan jihad itu menjadi fardhu kifayah ada sembilan, yaitu: Islam,
baligh, berakal, laki-laki, tidak cacat, merdeka, memiliki biaya, idzin kedua
orang tua dan izin kepada orang yang menghutangi.[Al Mughni Wa Syarhul Kabir X
/ 366 dan 371-383]
Namun apabila jihad menjadi fardhu ‘ain maka syarat-syaratnya ada
lima, yaitu lima syarat pertama dari sembilan syarat di atas, tidak sebagai mana
orang yang tidak mensyaratkan laki-laki dalam jihad yang hukumnya fardlu 'ain,
sehingga ia mengatakan:
“Seorang wanita keluar tanpa perlu izin kepada suaminya.” Dan orang
yang berpendapat seperti ini banyak dari kalangan fuqoha'. Masalah ini telah saya
bahas secara detail dalam kitabku yang berjudul “Al Umdah Fi I’dadil 'Uddah”.
Di sana saya katakan bahwa pada zaman Nabi SAW jihad itu sering hukumnya fardlu
'ain, namun demikian Rosululloh SAW tidak memerintahkan kaum wanita untuk
keluar berperang.
Pada perang
Tabuk, ketika itu terjadi mobilisasi umum -- dan ini adalah keadaan yang ketiga
di mana jihad hukumnya fardhu ‘ain sebagaimana yang telah disebutkan dalam kata
pengantar yang telah -- dan Nabi SAW menjadikan Ali sebagai penggantinya di
Madinah, maka Ali berkata:
أَتَخْلَفْنِيْ
فِي النِّسَاءِ وَالصِّبْيَانُ
“Apakah engkau
tinggalkan aku bersama para wanita dan anak-anak.” (HR. Al-Bukhoriy)
Para
wanitapun tidak ikut berangkat berperang meskipun ketika mobilisasi umum, dan
meskipun mereka juga masuk orang yang mendapatkan perintah dalam keumuman ayat
yang berbunyi:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُواْ ....
“Wahai orang-orang yang beriman mengapa apabila dikatakan kepada
kalian: Berangkatlah untuk berperang…” [ At Taubah:
38.]
…maka itu menunjukkan bahwa mereka bukan termasuk orang yang keluar
berangkat untuk berjihad.
Dan juga dalam perang Khandaq ketika musuh menduduki kota Madinah dan
itu kondisi kedua jihad menjadi fardhu ‘ain seperti yang telah lalu para wanita
tidak keluar untuk berjihad, dan mereka juga tidak diperintah untuk keluar. Ini
menunjukkan bahwa jihad tidak wajib bagi mereka baik ketika fardhu ‘ain ataupun
fardhu kifayah. Maka yang ada adalah sabda Nabi SAW:
جِهَادُكُنَّ
الْحَجَّ
“Jihad kalian adalah berhaji”
Secara umum tanpa ada pengkhususan, dan hadits ini shohih,
diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Aisyah rodliyallohu 'anha.
Namun demikian bagi seorang wanita boleh melakukan hal yang sunnah
dengan keluar untuk berperang atas izin Amir [Al Mughni Wa Syarhul Kabir X /
391] dan hendaknya dia berperang demi jiwanya apabila musuh masuk ke dalam
rumah-rumah mereka, karena itu termasuk dalam bab membela diri.
Maksud daripada menyebutkan syarat-syarat di atas untuk menerangkan
dua hal:
Pertama : bahwa ilmu bukan syarat kewajiban jihad, karena jihad wajib
bagi orang yang berilmu maupun yang bodoh dan makna lain: tidak boleh
seorangpun meninggalkan jihad yang bersifat fardhu ‘ain yang telah kami
sebutkan kondisi-kondisinya dengan alasan sibuk untuk mencari ilmu yang fardhu
‘ain maupun yang fardhu kifayah sebagaimana dalam kata pengantar yang keenam.
Kedua : bahwa sifat adil bukan syarat kewajiban jihad, karena jihad
wajib bagi orang yang sholih maupun yang berdosa. Imam Asy-Syaukani rh berkata
dalam kitab Al-Bahri: “Secara ijma; boleh meminta pertolongan kepada orang
munafiq karena Nabi SAW meminta pertolongan kepada Ibnu Ubay dan sahabat-sahabatnya,
dan secara ijma’ boleh meminta pertolongan kepada orang fasiq melawan
orang-orang kafir” [Nailul Author: 8]
Berkata di dalam Al-Majmu’: “Abu Bakar Al-Jashshosh berkata di dalam
kitab Ahkamul Qurban:
“Jihad itu wajib bersama orang-orang fasiq sebagaimana wajib jihad
bersama orang-orang yang adil, dan seluruh ayat yang mewajibkan kewajiban jihad
tidak membedakan antara melakukan jihad bersama orang-orang fasiq dengan
berjihad bersama orang-orang adil yang sholih, dan juga orang-orang fasiq itu
apabila berjihad, mereka taat dalam hal itu”. [Al Majmu’ Syarhul Muhadzab XIX /
279.]
Permasalahan ini telah disepakati dalam dasar-dasar Aqidah Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. [Lihat Syarh Al Aqidah Ath Thohawiyah, hal. 437, cet. 1403
H]
Sebab-sebab dibebankan kepada orang yang tidak adil dan fasiq untuk
berjihad atau orang-orang yang memiliki mutlakul iman (iman yang lemah) yang
wajib karena mendapat beban syariat-syariat. Walaupun dia tidak memiliki iman
yang mutlak artinya sempurna.
Maka orang fasiq dengan keimanannya yang kurang termasuk di dalam
keumuman ayat dalam firman Alloh Ta’ala:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ
ءَامَنُواْ مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُواْ
“Wahai orang-orang yang beriman kenapa apabila dikatakan kalian
berangkatlah berperang…”
dan ayat-ayat yang lainnya.
Namun demikian sesungguhnya Amir boleh melarang orang yang fasiq atau
fajir (jahat) untuk keluar berjihad apabila mudhorotnya lebih besar daripada
manfaatnya sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah rohimahulloh. [25 Al Mughni wa
Syarhul Kabir X / 372.]
6. APABILA ADA BEBERAPA KEWAJIBAN
ATAU BEBERAPA HAK YANG SALING BERTENTANGAN,
MAKA DIDAHULUKAN YANG MUDLOYYAQ (MENDESAK)
DARIPADA YANG MUWASSA' (LONGGAR)
Imam Al-Qurofi Al-Maliki berkata: “Sesungguhnya permasalahan ini dibangun
diatas pemahaman yang disimpulkan dari salah satu kaidah tarjih (menentukan yang
lebih utama) dan patokan untuk menentukan mana perintah yang Alloh ta'ala lebih
dahulukan, yaitu yang menyatakan bahwa apabila ada beberapa hak yang saling
bertentangan maka didahulukan yang mudloyyaq (lebih mendesak) daripada yang muwassa'
(longgar), karena sempitnya waktu itu menunjukkan seolah-olah lebih
diperhatikan oleh Sang Pembuat syariat sehingga waktu pelaksanannya dibuat mudloyyaq
(sempit), dan bahwa apa yang dibolehkan untuk diundur pelaksanaannya, dan
dijadikannya sebagai kelonggaran, tanpa ada dalil. Dan yang bersifat al fauri (segera)
itu lebih didahulukan daripada yang bersifat al mutarokhi (memiliki toleransi
waktu), karena perintah yang bersifat segera itu menunjukkan bahwa perintah
tersebut lebih kuat daripada yang diakhirkan.
Dan fardhu ‘ain lebih di dahulukan daripada fardhu kifayah, karena
perintah yang ditujukan untuk seluruh orang yang mukallaf (berakal dan baligh)
itu menunjukkan bahwa perintah tersebut lebih kuat daripada perintah yang hanya
ditujukan kepada sebagian orang saja, dan juga karena fardhu kifayah itu kemashlahatannya
tidak terulang dengan diulanginya amalan, padahal sebuah amalan yang
kemashlahatan berulang dalam segala bentuknya itu lebih kuat keterkaitannya
dengan maslahat dari pada amalan yang tidak ada maslahatnya kecuali dalam
beberapa bentuk saja. Oleh karena itu sesuatu yang dikhawatirkan akan
terlewatkan itu lebih didahulukan pelaksanaannya daripada sesuatu yang tidak dikhawatirkan
akan terlewatkan meskipun derajatnya lebih tinggi darinya”. [Al Furuq,
karangan Al Qurofi, cet. Darul Ma’rifah II / 203.]
7. LEBIH DIDAHULUKAN
TIDAK MESTI BERARTI LEBIH DIUTAMAKAN
Sesuatu itu jika lebih didahulukan itu terasa seakan-akan sesuatu
tersebut lebih diutamakan, akan tetapi tidak selalu begitu. Contohnya adalah
jihad dengan harta, ia lebih di dahulukan daripada jihad dengan jiwa (fisik) di
seluruh ayat Al Qur'an yang menyebutkan kedua macam jihad itu secara bersamaan,
kecuali hanya dalam satu ayat saja, yaitu firman Alloh ta'ala yang berbunyi:
إِنَّ ٱللَّهَ ٱشۡتَرَىٰ
مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَنفُسَهُمۡ وَأَمۡوَٰلَهُم بِأَنَّ لَهُمُ ٱلۡجَنَّةَ
“Sesungguhnya Alloh telah membeli dari orang-orang mu’min jiwa dan
harta mereka”.
Namun, lebih didahulukannya jihad dengan harta daripada jihad dengan
fisik dikebanyakan ayat Al Qur'an tidaklah menunjukkan bahwa jihad dengan harta
itu lebih utama daripada jihad dengan jiwa (fisik), bahkan justru jiwa itu lebih
diutamakan daripada harta di dalam adl dlorurotul khomsi (lima kebutuhan
mendesak). Akan tetapi karena dalam banyak keadaan jihad secara fisik itu tidak
dapat terwujud kecuali dengan pengorbanan harta. Oleh karena itu tersedianya
biaya itu menjadi salah satu syarat diwajibkannya jihad, sebagaimana yang telah
kami terangkan di depan, sehingga tidak tersedianya biaya itu menggugurkan
kewajiban jihad -- dalam hal ini ada perinciannya -- sebagaimana yang
diterangkan dalam firman Alloh ta'ala:
لَّيۡسَ عَلَى ٱلضُّعَفَآءِ
وَلَا عَلَى ٱلۡمَرۡضَىٰ وَلَا عَلَى ٱلَّذِينَ لَا يَجِدُونَ مَا يُنفِقُونَ
حَرَجٌ إِذَا نَصَحُواْ لِلَّهِ وَرَسُولِهِۦۚ مَا عَلَى ٱلۡمُحۡسِنِينَ مِن
سَبِيلٖۚ وَٱللَّهُ غَفُورٞ رَّحِيمٞ
“Dan tidak ada dosa (lantaran tiada pergi berjihad) bagi orang-orang
yang tidak memiliki biaya”. [At Taubah: 91.]
Maka lebih didahulukannya harta pada kebanyakan ayat bukan karena ia
lebih utama, akan tetapi karena kedudukannya sebagai pendahulu dari jihad
dengan fisik. Hal ini telah disinggung oleh Al-‘Allamah Asy-Syanqithi rohimahulloh
di dalam kitab Adhwa-ul Bayan [VIII / 184-185], dan telah saya bahas secara
detail di dalam kitabku yang berjudul Al-‘Umdah Fi I’dadil ‘Uddah.
=> karangan Abdul Qodir bin Abdul Aziz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar